Lesson from the Coral Track

Ini adalah hiking ke-4 yang kuikuti bersama Diva. Tujuannya adalah kawah Tangkuban Perahu tapi melalui track yang belum pernah kulalui sebelumnya. Ini memang sangat menarik.

Kami berangkat dari CIC agak siang, molor dari jadwal  seharusnya pukul 08.30, dikarenakan ada beberapa teman datang terlambat. Setelah pemanasan, berdoa, seperti biasa kami melakukan ‘Foto Kelas’  maksudnya foto bersama sebelum memulai aktivitas.

Jauh-jauh hari di  grup D1VA, kami diingatkan untuk membawa bekal dan perlengkapan secukupnya dan ekstra  minum karena jarak yang akan kita tempuh P.P lebih dari 10 KM, dengan perkiraan waktu tempuh sekitar 6 jam (walau kenyataanya 15KM dan memakan waktu 7,5 jam…hiks)

 

Sebelumnya kami sudah mendapat informasi tentang kondisi track yang akan kami lalui coral treal,  tea walk, view pinus and eucalyptus. Menurutku medan tracknya masih bersahabat, tidak sesulit saat hiking pertama kali bersama D1VA ke Curug Cirengkrang, tapi yang menjadi tantangan adalah saat menghadapi coral track yang panjangnya minta ampun, seolah-olah tiada akhirnya.

 

Memang diakui, suasana masih berbeda saat kami masih di kebun teh dan coral track dengan pinus view.  Kami masih memiliki semangat ditambah dengan hamparan kebun teh yang hijau dan pohon-pohon pinus menjulang tinggi, indah, memanjakan mata dan menggoda kami untuk berfoto ria, sampai lupa perjalanan kami ke depan masih panjang dan itu menyebabkan waktu yang kami butuhkan sampai ke tujuan justru lebih lama.

Saat kami memasuki hutan Tangkuban Perahu, akhirnya kami menemukan coral track yang cukup mengganggu langkah kami, awalnya kami masih semangat, sempet foto-foto dulu, namun lama kelamaan membuat telapak kaki sakit seolah-olah sedang  melakukan refleksi kaki di sepanjang jalan berbatu. Lama-lama kami mengalami kelelahan, pegal,dan sakit badan. Ini mulai membuat mental menjadi down. 

Sebenarnya kami sudah diingatkan agar jangan terlalu berjauhan dari guide,  tapi yah namanya budak baraong, sepertinya gank d1va masih harus belajar disiplin mengenai aturan, hal itu sering diabaikan, terutama karena kekuatan fisik dan pace teman-teman berbeda-beda.

Kecepatan langkah kami di coral track mulai menurun, nafas mulai naik turun, kecemasan mulai melanda. Hal itu menyebabkan kami terbagi menjadi 5 kelompok berpencar  dan jarak antara kelompok lumayan cukup jauh dan cukup menyulitkan host dan guide untuk memantau kami.

 

Akhirnya kami sampai di tempat kelompok yang lebih dulu tiba, tinggal seitar 300 meter lagi menuju kawah. Di sini kami istirahat sambil menunggu peserta lain kumpul semua, sayang salah satu teman kami tak bisa lanjut dan dia ditemani teman kami, Desi.

Setelah cukup istirahat, beberapa teman termasuk aku memutuskan balik sebelum menuju kawah, memang disayangkan, meskipun sebenarnya kami masih mampu tapi kami masing-masing memiliki alasan; takut kemalaman saat masih di hutan, mengejar waktu sholat yang semakin mepet, padahal sebenarnya kami bisa melakukan tayamum untuk menggantikan wudhu dan sholat, di hutan pun bisa, aturan agama telah banyak memberikan kelrluasaan umatnya beirbadah dimanapun. Tapi entah mengapa saat itu  tak terpikirkan sama sekali. Kami terlalu fokus dan khawatir pada keadaan teman kami yang tidak bisa lanjut.

 

Saat menuju pulang, aku dan Desi terpisah dari teman-teman yang sama-sama balik turun, perkiraan pukul 16.00 tiba di warung Emak di Sukawana tempat kita kumpul untuk makan dan sholat, namun sayang rencana tinggal rencana ternyata kami berdua malah tersesat, gara-gara kami berdua asyik ngobrol sehingga tidak fokus dengan track yang kami lalui, kami lupa belokan arah menuju warung Emak. Kami sempat bertanya pada penduduk  tapi ia malah memberikan informasi yang justru membuat kami semakin menjauh dari tempat yang dituju.

Hari semakin sore, kami berdua belusukan di kebun teh, sadar ternyata semakin jauh, kami kembali ke jalan berbatu tapi kami semakin jauh karena jalan yang kami lalui tidak sama saat kita berangkat, perasaan kami bercampur aduk, yang tadinya lapar, hilang seketika, yang ada cemas, lelah, pegal, dan takut orang lain khawatir, apalagi signal sulit sekali, sehingga membuat kami sulit berkomunikasi, migrainku kambuh tapi aku tetap menyemangati diri bahwa  ini pasti bisa kami lalui, beberapa kali aku istirahat untuk minum sambil menenangkan diri, lalu kami sampai di daerah pemukiman, bergantian kami bertanya pada penduduk yang kami temui, tapi kami ditunjukkan ke tempat mahasiswa yang sedang camping, lalu kami balik lagi ke arah kebun teh, beberapa kali kami bertanya tapi tetep tidak menemukan arah yang benar, dan akhirnya kami masuk ke pemukiman penduduk dan kami bertanya pada bapak-bapak di sana dan kami diantarkan sampai ke jalan yang ternyata berbatu juga, coral track, tapi kami memutuskan untuk sholat dulu, saat menemukan mesjid, di sana kami baru dapat sinyal dan kami hubungi bu Tanti yang kebetulan dia ga bisa ikut karena sakit, kami menngabari kami tersesat ke Pabrik Teh,  lalu beliau membalas “ Pabrik Teh nya buka tidak?” “Banyak orang gak di sana? “Coba Tanya mereka” Tidak lama kemudian dia WA call Desi meminta penjelasan, lalu kami kabari lagi  kalau kita mulai mendekati tempat titik kumpul, yaitu warungnya emak tapi mau sholat dulu, agar semua tidak khawatir.

 

Setelah selasai sholat, perasaan kami mulai tenang, dan kami mulai mencari penduduk sebelum melanjutkan pencarian kami,untuk memastikan arah yang diberikan bapak tadi, dan ternyata arah yang kami ambil salah, harusnya ke atas, kami malah turun ke bawah, kami diminta mengikuti jalan yang berbatu, tapi tidak terlalu rapat, sampai ada pohon pinus diujung jalan lalu belok kiri, lalu terus ikuti jalan berbatu tersebut dan setelah beberapa kali belok akhirnya Alhamdulillah kami menemukan warung emak, dan kami disambut tawa teman-teman lain yang sudah menunggu di sana. Ternyata bukan hanya kami saja yang tersesat, hampir setengah dari kelompok salah ambil jalan. Akhirnya kami menertawakan diri kami sendiri karena akibat kelalaian kami 😂

 

Sungguh dari  hiking kali ini, aku mendapat pembelajaran yang sangat berharga, ternyata coral track tak selamanya menyebalkan, menyakitkan telapak kakiku, tapi saat kami tersesat justru membantu kami kembali menuju arah yang benar, menuju warung Emak,  Satu hal lagi aku banyak belajar bahwa aku harus selalu tenang dan berpikiran jernih dan positive thinking dalam situasi apapun, termasuk saat kelelahan dan tersesat.  Sometimes you win, sometimes you learn.

Apapun yang terjadi   Keep calm and enjoy.

 

Gak sabar nunggu hiking berikutnya.

 

Penulis

Neneng ‘marni’ Sumarni

Pengajar di SD Terpadu Niagara, Ngamprah – KBB

Melanjutkan Rute Laos : Luang Prabang ke Hanoi

Salah satu rute backpacker di Laos yang masih membuat penasaran adalah rute Utara menuju Hanoi, ibukota Vietnam. Sejak pertama kali mengunjungi Laos tahun 2011, lalu 2015 dan 2017 maka rute Northeast ini belum dicoba. Biasanya rute ini dimulai dari Luang Prabang sebagai destinasi wisata UNESCO heritage di Laos. Ada dua jalur menuju Hanoi dari Luang Prabang  yaitu via Oudomxay dan Ponsavan. Tadinya dipikir semua rute itu akan melewati Dien Bien Phu, namun hanya jalur Oudomxay yang menuju kota itu.

Bila memesan tiket bis menuju Hanoi, maka hampir bisa dipastikan akan memakai rute Ponsavan yang lebih pendek,. Namun karena memilih singgah di Dien Bien Phu, saya membeli tiket bis menuju Dien Bien Phu saja yang berarti melewati Oudomxay. Kota ini pernah terlewati tahun 2015 kala datang dari arah Luang Namtha.

 

Bis kecil menuju Dien Bien Phu  dikatakan berangkat jam 6 pagi dari terminal Naluang. Walau skeptis berangkat tepat waktu, terpaksalah tetap bergerak pagi-pagi sekali dari hotel, berjalan kaki ditengah hujan yang mengguyur sejak subuh. Bukan hari keberuntungan tampaknya, padahal sejak datang dikota ini cuacanya panas ngajeos. Karena tak membawa rain coat, terpaksalah ngingkig memakai sarung melindungi guyuran air dari langit. Ya sarung amat berguna… jangan pergi tanpa membawa sarung.

 

Kala melewatinya tahun 2015 sedang dilakukan perbaikan jalan di kawasan ini sehingga sesuai prediksi jalan menuju Oudomxay sangat mulus. Jalur menuju utara ini melipir pegunungan, tampak sungai  jernih disebelah kanan selalu menyertai. Singgah untuk makan siang di Oudomxay, perjalanan dilanjutkan ke Muang Khua -kota terakhir sebelum perbatasan.  Kota kecil di pegunungan ini sekilas tampak cukup menyenangkan, tampak sebuah hotel yang cukup representatif juga. Beberapa pejalan menyarankan transit disini bila ingin menghindari perjalanan 12 jam Luang Prabang – Dien Bien Phu yang membuat panas bujur.

Pos imigrasi Tay Trang terletak di pegunungan, tak banyak yang melintas saat tiba sekitar jam 4 sore disini. Seperti biasa, petugas mengutip “biaya stempel”. Hal yang kerap dijumpai di Laos dan Kamboja, wajar…negara kismin. Tak perlu banyak argumentasi, toh cuma 10.000 kip, sekitar 16 ribu rupian. Seorang backpacker Spanyol yang misuh-misuh “disetrap” oleh petugas imigrasi yang kesal.  Wong cuma sedolaran aja ribet, mungkin begitu pikir mereka.

Pos imigrasi Vietnam terletak sekitar lima kilometer dari pos imigrasi Laos, melewati jalan melipir pegunungan. Disini proses stempel berjalan lancar tak ada kutip mengutip, entah kalo si Spanyol karena naik bis paling akhir.  Darisini kota Dien Bien Phu hanya berjarak sejam perjalanan. Setiba di terminal bis, langsung dikerubuti supir taxi. “Xe om..xe om..,” ujar saya dengan lafaz Vietnam sefasih mungkin padahal cuma itu yang tahu hehe… xe om artinya ojek, merekapun membiarkan saya melenggang dibonceng ojek ke hotel dengan tarif 20 ribu dong sekitar 13 ribu rupiah.

Esoknya, perjalanan malam ke Hanoi dilakukan dari terminal bis yang sama. Tak banyak yang bisa diceritakan karena tidur sepanjang perjalanan. Sleeper bus selalu menjadi favorit karena menghemat biaya hotel dan sebetulnya cukup nyaman untuk tidur. Sekitar pukul 6 pagi tiba di terminal bus Yen Nghia yang berada dekat stasiun MRT..waduh, Hanoi ternyata sudah lama punya MRT. Sementara Jakarta baru eforia sebulan lalu.

Di terminal seukuran Kampung Rambutan ini sempat celingukan mencari arah ke bandara dan tak mendapati tanda-tandanya. Mengandalkan kata kunci san bay No Bai akhirnya dapat juga arah menuju bandara No Bai diluar kota Hanoi yaitu memakai bis no 27, lalu dilanjutkan memakai bis no 7 disuatu tempat,entah dimana. Karcis bis di Vietnam cukup murah. kedua bis itu tarifnya 7000 dong. Sedikit tips di domestic departure bandara No Bai, ada resto cukup murah dengan wifi ngabret di lantai tiga. Saya memesan nasi goreng, kopi hitam dan segelas air putih dibandrol seharga 80.000 dong saja.

@districtonebdg

 

 

 

 

Catper Singkat Ronin Backpacker di Phnompenh

19/10.

Subuh itu sekitar jam 6 waktu Kuala Lumpur, kami berempat bergegas boarding pesawat dari KLIA airport menuju Phnom Penh, setiba disana de ronin sepakat naik transportasi lokal bernama Tuktuk, modifikasi andong dengan motor sebagai sumber geraknya menggantikan kuda, biaya 2$ perorang. Kamboja negara kismin gitu juga currency nya dollar Amrik dong hehe.

Sepanjang jalan menuju hotel backpacker suasana nampak bangunan tua, tapi pembangunan nampak disana-sini. Setiba di hotel budget ‘riverside-backpaker’, kami mencari makanan halal, informasi dari kang Predy, seorang alumnus Unpad, merekomendasikan ‘Warung Bali’ untuk di singgahi. Sang empunya yaitu kang Firdaus bahkan menyambut kami dengan bahasa Sunda setelah tahu kami dari Bandung. Yang paling asik saat akan makan malam, ternyata Warung Bali sedang mendapat tamu yang sedang menjamu atase militer Indonesia yg baru, sehingga kami pun diajak makan bersama.. beuh wareg ta mah..dan banyak ketemu orang Indonesia yang bermukim disana

 

20/10

Tadi pagi de Ronin menyusuri sepanjang sungai Mekong yang ternyata sangat lebar..  asiknya trotoar yang luas dengan beberapa sarana olahraga sederhana cukup menarik untuk dicoba. Diujung jalan ada vihara kecil dengan aktivitas ibadah mereka, banyaknya merpati juga menjadi hiburan tersendiri. Tak jauh darisini terletak Royal Palace. Dan akhirnya sarapan …lagi-lagi.. di Warung Bali cukup untuk bekal energi ke Russian market, hanya saja banyak yg memberi peringatan akan banyaknya copet..entahlah, sepertinya senapan AK -47 menarik untuk jadi oleh oleh, meunang teu nya??? Heuheu

21/10

Tadi sore, setelah sepakat janjian lagi dengan kang Predy dan istrinya, kami bergerak ke arahan pasar Russia, dan bertemu di KFC nya Kamboja, lalu masuk ke dalam pasar. Tapi barang yang dicari tidak ditemukan, kamipun bergerak kearah mall, yang konon menjadi mall pertama kota Phnom Penh, disini ada sekelompok anak muda yang sedang belajar musik tradisional, menarik tapi hanya lewat saja karena keterbatasan waktu. Kemudian kami bergegas ke Pasar Central dan disana ternyata terdapat los barang second…cocok nih.. Setelah membeli beberapa barang, kami memutuskan untuk pulang ke hotel, dan di jalan ada kaki lima kuliner unik yang sayang bila dilewatkan. Kesempatan terakhir mencoba jajanan Kamboja sebelum besok merembes jalur darat ke border..nyam nyam

by Erfanzain
sebagai ‘ronin backpacker’

Aroma Fresh Cut Grass yang Menyegarkan

Ada kalanya dalam melakukan hiking, jalan setapak sudah terlalu rimbun dan harus dilakukan penebasan sehingga batang-batang rumput yang tinggi terpotong. Diwaktu lain kita akan berpapasan dengan peternak yang sedang memanen rumput untuk pakan, dan dilain waktu kita sendiri berbaring di rerumputan yang membuat kerusakan pada batang-batangnya. Semuanya membuat rumput mengeluarkan wewangian yang khas.

Beberapa waktu lalu kita pernah membahas petrichor, sebuah aroma alam yang hanya dijumpai kala hujan. Aroma unik lain yang sering dijumpai di alam liar dan sering terendus kala hiking adalah aroma patahan rumput. Wangi alam yang khas ini kerap terendus diperbukitan kala berjalan diatas rerumputan liar atau padang rumput yang sengaja ditanam untuk dipanen sebagai pakan ternak.

Aroma unik ini adalah senyawa yang dihasilkan rerumputan sebagai pertahanan diri dan penyembuhan. Senyawa ini disebut GLV’s ( green leaf volatiles) namun gampangnya sering disebut saja smell of fresh cut grass. Industri  telah berusaha mengekstrak senyawa rerumputan ini untuk menghasilkan essential oil dan parfum yang harganya cukup mahal. Namun bila kita mau meluangkan waktu jalan-jalan ke alam, aroma fresh cut grass  ini dapat dinikmati dengan cuma-cuma.

Aroma fresh cut grass  dihasilkan oleh tanaman seperti rerumputan dan perdu sebagai respon untuk melindungi diri, memulihkan trauma dan juga memberi peringatan bagi tanaman sekitarnya bila ada bahaya. Namun bagi manusia, aroma ini terasa segar dan relax.

Bila direnungi lebih jauh, betapa mulianya mahkluk kecil seperti rumput yang justru memberikan balasan berupa  aroma yang wangi atas “luka-luka” -nya untuk dinikmati indra penciuman manusia. Adakah yang lain bisa kita pelajari darisini? Sebuah kutipan barangkali bisa menjadi perenungan :   What forgiveness is? Sufi replied , It is the fragrance that flowers give when they are crushed..

@districtonebdg

Berburu Petrichor Kala Hujan Datang

Adakalanya kala sedang hiking serta merta hujan menghampiri. Hujan merupakan hal yang biasa di pegunungan, jadi selalu bekali diri dengan jas hujan bila ingin tetap nyaman kala suasana hujan. Bagi beberapa orang, hujan di pegunungan kala hiking merupakan elemen pelengkap dan merupakan hal yang ditunggu. Saat itulah sebuah aroma alam yang tak akan didapat dalam cuaca cerah, akan muncul bagai parfum yang tiba-tiba semerbak penuh pesona. Smell of rain.

Aroma alam yang unik itu adalah petrichor, yang akan melengkapi perjalanan kita di alam seiring dengan aroma lainnya seperti aroma rumput yang terinjak, aroma kayu, humus dan lainnya yang hanya akan didapat bila kita keluar dari kenyamanan rumah. Kegiatan hiking tak hanya untuk menkmati pemandangan alam, namun juga mengenali kembali aroma purba di alam pada setiap langkah kita. Hal ini akan menjadi terapi tersendiri bagi setiap orang yang melakukannya.

Petrichor ( /ˈpɛtrᵻkɔər/ ) adalah aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering. Aroma tersebut berasal dari minyak yang dikeluarkan oleh tumbuhan tertentu saat cuaca kering, kemudian minyak tersebut diserap oleh tanah dan batuan yang terbentuk dari tanah liat. Ketika hujan turun, minyak tersebut dilepaskan ke udara bersama senyawa lain yang dikeluarkan oleh tanah basah dan menghasilkan bau yang unik. Hal ini mengindikasikan tanaman mengeluarkan minyak untuk melindungi benih. Tetes hujan yang bergerak dengan laju yang lambat cenderung menghasilkan aerosol lebih banyak; hal ini menjelaskan kenapa petrikor lebih umum ada pada saat rinai. Beberapa ilmuwan percaya bahwa manusia menyukai aroma hujan karena nenek moyang mereka mungkin bergantung pada musim hujan untuk bertahan hidup. (wiki)

Jadi kala hujan menghampiri, alih-alih berdesah, bersyukurlah karena kita akan mengendus parfum alam yang penuh kesegaran. Some people feel the rain, others just get wet. Sayangnya kota sudah penuh dengan beton dan aspal sehingga aroma petrichor sudah jarang tercium. Maka segera ambil jas hujan dan bergegaslah ke alam, tinggalkan kesumpekan perkotaan dan rengkuh sebuah aroma semesta yang penuh kehidupan. @districtonebdg

Melirik Kawasan Priangan Timur untuk Hiking

Salah satu kendala kala akan hiking adalah bila akses ke lokasi merupakan jalur macet. Karena inilah kami jarang sekali melakukan kegiatan di Bandung Selatan yang rawan stuck lalulintasnya apalagi kala musim hujan. Lalulintas yang relatif lancar merupakan pertimbangan utama, tak heran Bandung Utara menjadi kawasan favorit karena walau jalur utamanya langganan macet namun memiliki banyak jalur alternatif seperti via Punclut, Ciwaruga atau bahkan Ujungberung.

Satu-satunya transportasi yang bebas macet di Bandung adalah kereta api, menjadikan moda transport ini memiliki nilai tambah bila dikombinasikan dengan aktifitas hiking. Selain bebas macet juga cepat dan memiliki sensasi tersendiri. Dari pengalaman, perjalanan kereta api akan merupakan sebuah petualangan tersendiri yang tak dapat dibandingkan dengan bis bahkan pesawat.

Sejak lama akses-akses yang bisa dicapai oleh kereta ekonomi masuk kedalam bucket list untuk dijadikan trek hiking yang accesible dari Bandung. Diantaranya adalah Padalarang, Cibatu dan Purwakarta. Namun belum banyak tempat yang telah disurvey dilokasi-lokasi itu. Bukan karena sulit menuju lokasi hikingnya, melainkan lebih karena jadwal keretanya yang tidak pas.

Sebuah kegairahan baru muncul kala KA Galunggung relasi Kiaracondong – Tasikmalaya mulai beroperasi sejak 26 Desember 2018 dan KA Pangandaran yang mulai beroperasi 2 Januari 2019 relasi Gambir – Banjar yang mampir di Bandung. Menghidupkan  kembali jalur kereta ekonomi ke Priangan Timur ini hal yang menggembirakan sehingga perjalanan ke berbagai tempat disebelah Tiimur kota Bandung akan semakin terjangkau.

KA Galunggung relasi Kiaracondong-Tasikmalaya misalnya, akan membantu membuka akses ke Garut dan Tasikmalaya untuk dieksplore lebih jauh. Walau akan lebih semaksimal bila kereta relasi Cibatu-Garut-Cikajang juga diaktifkan lagi.  Selama ini pun Cibatu sudah bisa diakses namun ya itu tadi aksesnya terbatas.

Beberapa gunung seperti Galunggung, Talaga Bodas, Guntur dan Papandayan merupakan tempat wisata pegunungan populer yang terletak di kawasan Garut dan Tasikmalaya. Dibukanya jalur kereta ekonomi ke arah Priangan Timur akan menjadikan perjalanan ke tempat-tempat itu semakin menyenangkan. @districtonebdg

Camping atau Hiking? Dua-duanya Aja

Selamat Tahun Baru…! Mulai tahun 2019 DO Adventure akan memperluas outdoor service nya dengan membuka paket camping. Loh camping dimana…, memangnya  DO Adventure punya resort untuk camping kah? Oya betul, resort kami ada dimana-mana 😀  maksudnya kamu bisa pilih tempat camping dimana saja sepanjang trek hiking yang biasa dilalui hehe.

Banyak lokasi yang layak untuk camping sepanjang trek-trek hiking dari Bandung Utara hingga Sumedang.  Barangkali banyak tempat yang  belum pernah kamu dengar sebelumnya seperti curug Cibareubeuy, curug Layung, Puncak Eurad, gunung Lingkung, puncak Papanggungan, Sukawana dan banyak lagi. Atau lokasi populer seperti Jayagiri dan Dago Pakar.

Jadi kamu ga usah khawatir kekurangan tempat camping yang asyik sepanjang trek mulai dari Burangrang Selatan hingga Manglayang. Medannya bervariasi mulai dari pinus, kebun teh, air terjun, tepi sungai atau puncak bukit. Namun semua ada tantangannya yaitu akan ada aktifitas hiking ringan sebagai eksplorasi medan sekitar.  Tapi jangan khawatir hikingnya hanya untuk kesegaran saja kok tidak akan terlalu jauh ^_^

 

Haduuh… kenapa harus ada hikingnya seh? Begini, bila tempatnya terlalu mudah dicapai maka akan sangat ramai oleh pengunjung, kadang bahkan seperti pasar ( hiperbol tentu saja 😀 ). Bukan suasana seperti itu yang diharapkan kala camping bukan? Nah tempat-tempat agak menyingkir dengan suasana asri bisa dibilang akan selalu dapat ditemukan bila kita mau sedikit orientasi. Disamping itu sangat dianjurkan untuk mengenal medan sekitar area camping, disamping menambah wawasan pada kawasan sekitar juga kurang seru bila seharian hanya dilewatkan disekitar tenda saja.

Bila tak mau repot-repot ada baiknya memlih camping di resort-resort wisata saja yang sudah menyediakan fasilitas tenda mulai dari yang medium hingga glamor. Kalo yang murah  tentu akan tetap sedikit repot kan hehe.. Banyak sebaran tempat glamping di lokasi-lokasi wisata di Bandung Utara  mulai ratusan  ribu hingga jutaan yang tak masuk akal. But please do yourself a favor...carilah sedikit adrenalin bila ingin merasakan camping yang sesungguhnya.

Camping di bukit Papanggungan.

Operator camping biasanya sudah menyediakan perlengkapan namun sebatas standar seperti tenda, matras dan sleepingbag. Diskusikan dengan penyelenggara, peralatan apa yang disediakan dan apa yang perlu dipersiapkan sendiri. DO Adventure sendiri hanya menyediakan tenda, matras, kompor dan sleepingbag. Sebenarnya itupun sudah cukup namun bila ingin kelengkapan lebih, jangan khawatir banyak penyewaan alat-alat outdoor yang selalu siap membantu.

Nah dengan perlengkapan yang memadai camping di pegunungan akan sangat mengasyikan, namun bersiaplah pada dinamika cuaca. Elemen ini sering kurang diperhitungkan oleh para penyuka kegiatan outdoor, berharap cuaca bagus sepanjang hari. Siapkan perlengkapan yang memadai karena cuaca buruk dapat mampir sejenak karena seperti dikatakan mereka yang berpengalaman : there’s no such thing as bad weather only bad clothes. @districtonebdg

 

Menepis Dingin di Nagarkot

Nama kota kecil Nagarkot pertama muncul kala sedang membolak-balik halaman majalah travel maskapai. Karena bosan dalam suasana kabin membaca majalah travel yang disediakan menjadi aktifitas favorit -selain tidur. Yang membuat terkesan adalah pemandangan gunung-gunung salju menjulang yang bisa dilihat dari pelataran hotel-hotelnya. Seketika itu juga saya paham bahwa Nagarkot akan jadi tujuan perjalanan berikutnya. The mountain is calling.

Pada ketinggian 2.195 meter, Nagarkot adalah salah satu tempat paling indah di Distrik Bhaktapur. Kota ini dikenal karena pemandangan matahari terbit dari Himalaya termasuk Gunung Everest serta puncak-puncak lainnya dari jajaran Himalaya di Nepal Timur. Nagarkot menawarkan rentang pemandangan pegunungan Himalaya di wilayah yang disebut Kathmandu Valley. Rentang ini mencakup Annapurna, Manaslu,  Ganesh Himal,  Langtang,  Jugal, Rolwaling, Everest dan Numbur dengan pemandangan luas kearah lembah Kathmandu dan Taman Nasional Shivapuri.

Nagarkot berjarak 32 kilometer dari Kathmandu dengan perjalanan sekitar dua jam-an dengan berganti bis di Bhaktapur. Menuju Bhaktapur, naik bis metromini dari terminal bis Ratna Park di Kathmandu. Suasananya  mirip terminal Kebon Kalapa tahun 90-an demikian juga bisnya seperti bis yang akan ke Ciwidey kala itu. Jangan  heran bila ditengah jalan bisnya mogok, lalu seluruh penumpang diover ke bis lain. Walhasil suasananya berjejal, beruntung Bhaktapur tidaklah jauh hanya sejam perjalanan.

Kala tiba di Bhaktapur, kondektur hanya menyuruh berhenti di suatu lokasi. Ia menunjukkan tangan ke sebuah arah ,” Nagarkot..'” katanya. Tak ada tanda-tanda arah harus kemana kala turun dari bis. Cukup lama melakukan orientasi medan sebelum mendapat secercah info. Rupanya menuju terminal bis yang akan menuju Nagarkot perlu jalan dulu sekitar satu kilometer, disekitar Kamal Pokhari setelah melewati terminal bis yang akan menuju Changu Narayan. Suasana terminalnya lebih amburadul dan bis baru bergerak kala sudah penuh.

Setelah sekitar 1,5 jam perjalanan menanjak dan meliuk-liuk dijalanan rusak sambil terus menaik-turunkankan penumpang sepanjang jalan akhirnya sampai juga di terminal bis Nagarkot yang lebih mirip parkiran tepi jalan. Setelah turun dari bis, segera terasa angin dingin Himalaya yang mengiris kulit. Tak buang-buang waktu saya segera membungkus badan. Beruntung jaket polar yang sudah berusia satu dasawarsa ini masih mampu menangkal dingin.

Saya segera mencari hotel yang ternyata masih sekitar satu kilometer jaraknya dari parkiran bis. Tak heran nama hotelnya pun  At the End of the Universe. Namun ditengah hawa dingin, tak seorangpun keberatan untuk berjalan dan bergerak bila tak ingin disayat angin gunung.

Suasana hotel cukup menyenangkan dengan ruangan kayu yang hangat, namun sedikit saja pintu terbuka udara dingin akan terasa mengelus. Bagi warga disini udara bulan Desember mungkin biasa saja dinginnya, namun bagi saya terlalu dingin untuk cuaca sore hari. Sebuah galau menggelayut antara romantisme menikmati sore dari teras sambil menggigil atau defensif saja dikamar dipeluk kehangatan. Viewnya memang luarbiasa, pegunungan salju didepan mata ;benar-benar tak menyesal datang kesini. Tapi suhunya brrr… walau matahari bersinar. Mungkin memang sebaiknya tak datang kesini dimusim dingin.

Coba menepis dingin dengan secangkir hot lemon ginger, namun tidak bertahan lama. Matahari semakin terbenam dan setelah cangkir kosong  “terpaksa” jalan-jalan lagi sekedar supaya tidak menggigil. Sambil orientasi medan, hibur saya dalam hati. Di sepanjang perjalanan, warung-warung mulai membuat perapian dipinggir jalan. Perapian sepanjang jalan memberi nuansa pada suasana malam. Dalam  hawa dingin dimana nafas pun beruap, percikan bara dan kobaran api disepanjang jalan seperti genit menggoda.

***

Hampir saja imaji saya tentang Nagarkot akan melulu tentang view pegunungan salju yang indah dengan anginnya yang dingin. Esoknya, kala turun ke Bhaktapur kembali dengan bis yang sesak oleh penumpang tiba-tiba saja seorang ibu yang baik hati memberi tidak sekepal tapi dua kepal kacang untuk dinikmati sepanjang perjalanan.  Saya mengikuti jalan bis yang meliuk-liuk dengan cemilan kacang. Saat melihat kacangnya habis, tanpa ba-bi-bu ia  segera memberi sekepal lagi tanpa bisa ditolak. Bis sampai di Bhaktapur, dan imaji tentang Nagarkot terasa lebih hangat.

@districtonebdg

 

 

Terhanyut Riak Chao Phraya Diwaktu Malam

Bangkok memang kota yang beruntung memiliki sungai sekelas Chao Phraya. Keberadaanya merupakan nadi transportasi , ekonomi dan pariwisata bagi  masyarakat Bangkok. Dari saat saya masih di angkasa  hendak landing, sudah terlihat guratan sungai Chao Phraya berkelok kelok membelah kota Bangkok yang panjangnya sekitar 372 KM ini. Perkenalan pertama dengan sungai ini terjadi keesokan harinya, ketika hendak melakukan Bangkok City Tour , yaitu di  dermaga Ratchawong yang mengantarkan kami, grup Sadaya Geulis Hikers,  ke Wat Arun.

Lalu lintas air dengan tarif murah ini memang digandrungi  masyarakat Bangkok, terbukti dengan selalu penuhnya kapal-kapal yang berisi muatan penumpang. Aktivitas rutin masyarakat yang hilir mudik berbaur dengan para wisatawan yang selalu membawa kamera sangatlah terlihat kontras. Tapi memang inilah yang membuat unik.

Perjalanan dengan boat di Chao Phraya  menuju Wat Arun ini seperti memandangi wajah tua kota Bangkok di sisi lain.  Rumah-rumah kumuh padat berjejal sepanjang tepian sungai, sempat terlintas di pikiran  apakah penduduknya juga membuang limbah rumah tangganya ke sungai ini? Lalu apa yang terjadi setelahnya?

Saat di dermaga saya sempat memperhatikan air sungai yang beriak di sekitar perahu, ikan- ikan besar berebut makanan yang ditaburkan oleh salah seorang masyarakat yang kemudian berdoa  di depan ikan-ikan tersebut. Saya yakin Chao Phraya begitu dicintai masyarakat Bangkok walaupun saya yakin juga banyak pengujung mungkin berpikiran sama yang menyayangkan kawasan kumuh di tepiannya.

Malam harinya, setelah bergumul dengan peluh di Subway dariHualamphong lalu berganti MRT diSilom, kami pun dipertemukan  dengan dermaga menuju Asiatique the Riverfront.  Darisini tersedia kapal gratis menuju Asiatique. Sebuah keberuntungan bagi kami bisa menjelajah sungai Chao Phraya di malam hari. Ogah berjejal di MRT lagi, pulangnya kami berencana menggunakan tuktuk saja darisini.

Banyak penumpang,  turis-turis yang datang berpasangan, seakan tidak ingin melewatkan menikmati malam romantis di Chao Phraya. Kontras dengan suasana di siang hari, tidak ada aktivitas rutin yang sibuk, tidak juga terlihat deretan rumah kumuh yang berjejal, yang ada hanya  gemerlap lampu dari gedung pencakar langit yang mewah dan remang lampu kapal dinner cruise yang lalu lalang, menambah suasana menjadi heartwarming dan  sedikit romantically.

Saya berdiri di tepian kapal menjauh dari teman-teman saya, memperhatikan riak air dan merasakan  semilir angin malam. Yang terdengar hanya suara mesin boat dan riak-riak air yang lantang bersuara. Sedalam apakah sungai ini, bagaimanakah perasaanya? Saya pun terhanyut  seakan ikut merasakan riak-riak yang bergejolak yang terpendam di kedalaman sana.

 

@BrahmaTanti

26.11.2018

Mengurai Labirin Kawasan Thamel

Kawasan Thamel merupakan area tumpleknya turis budget dan mid-range yang populer di Kathmandu, seperti kawasan Khaosan di Bangkok.  Thamel lebih merupakan sebuah kawasan daripada sebuah jalan. Walau didalamnya juga termasuk jalan Thamel namun juga termasuk jalan-jalan sekitarnya seperti Jyatha, Tridevi, JP road, Paryatan dan lainnya. Jalan yang sempit saling terhubung dengan gang dan persimpangan, membuat siapapun yang baru kesini akan mudah tersesat.

Tapi bukankah orang harus tersesat dulu sebelum menguasai arah? Jadi jangan terlalu khawatir tersesat, paling hanya beberapa saat…  sebelum kembali berputar-putar 😀 . Begitulah, tak jarang yang sudah pernah kesini pun kembali  kehilangan arah. Apalagi kalau blusukannya malam hari , semoga beruntung wkwkwk..

Cara terbaik mengurai labirin Thamel adalah seperti membuka buah durian, yaitu dengan mengenali urat-urat utamanya dalam hal ini batas luar dan persimpangan (chowk). Sekali urat-uratnya ditemukan kita akan menikmati manisnya Thamel seperti kelezatan buah durian. Batas Barat kawasan Thamel adalah jalan Paknajol, sebelah Timur adalah jalan Kantipah, sebelah Utara adalah jalan Leknak Sadakh, dan di Selatan adalah Durbar Square yang terkenal itu. Persimpangan-persimpangan utama didalamnya adalah Narsing chowk, Indra chowk, Chhetrapati chowk, Thahiti , Asan dan lainnya.

Thamel menjadi semacam melting point beragam bangsa dan budaya yang berbeda. Maka kulinernya pun beragam dari Eropa, Timur Tengah, Mexico, India, China, Tibet, Jepang, Korea,Thai, juga Vietnam tak ketinggalan. Namun tentu saja kuliner khas Newari yang wajib dicicipi kala disini seperti momo dan daal bhaat. Gerai minuman seperti teh, kopi dan alkohol juga banyak pilihan. Bila pecinta kafein jangan lewatkan untuk menyesap secangkir kopi di kafe Himalayan Java yang memiliki dua cabang di Thamel yaitu di Mandala dan Tridevi.

Menginap disini, hampir pasti merasakan sarapan di roof toop alias dak atap hotel. Bila datang antara Desember-Februari yang mana merupakan musim dingin, sedikit tips sebelum sarapan lebih baik jalan-jalan dulu untuk pemanasan supaya tidak terlalu kedinginan  kala sarapan di roof top. Namun suasana diatas tidak mengecewakan sebenarnya, sambil memandangi kawasan Thamel kita ditemani burung-burung gagak yang banyak terdapat disini.

Bila menggemari perlengkapan outdoor, maka disini seperti surganya atau surga tiruan tepatnya. Namun ditengah gigitan udara dingin, jaket down (bulu angsa) merk TNF yang jelas kw pun sulit ditampik daripada menggigil semalaman. Bila kita berniat melakukan trekking semisal ke Everest Base Camp, toko-toko outdoor disini juga siap menyewakan berbagai kelengkapannya. @districtonebdg