MENUJU ARANYAPRATHET,,,BERTEMAN LAMUNAN (2)

by Bayu “Baiz” Ismayudi

Pagi itu sekitar pukul 04.40 waktu setempat, pintu gerbang station Hua Lamphong Bangkok dibuka, setelah saya membeli ticket kereta jurusan Aranyaprathet seharga 48 baht saya langsung tergolek di kursi tunggu station, ingin memejamkan mata barang sekejap sambil menunggu keberangkatan kereta pukul 05.55.

Para pengunjung station sudah mulai ramai, baik itu yang menunggu keberangkatan maupun yang baru tiba dari luar kota Bangkok. Beberapa turis bule menyandang ransel penuh beban banyak berseliweran, kursi-kursi tunggu station pun sudah mulai penuh, ada yang sekedar duduk-duduk ada pula yang tertidur tergeletak karena semalaman begadang di luar station menunggu loket ticket buka seperti saya.

Sekitar 10 menit saya terpejam, badan sudah lumayan bugar, kemudian saya melangkah menuju toilet station ingin sekedar menyeka diri, membasuh muka yang kusut,,,tapi ternyata toilet belumlah buka. Di dekat toilet ada tulisan berisi “Tempat Sembahyang” bahasa melayu tentunya,,,”ini pasti maksudnya musholla” pikir saya,,,
Tapi setelah saya cari “Tempat Sembahyang” itu tak kunjung ditemukan,,,akhirnya saya bertanya kepada petugas station,,,” I am muslim, I am looking place for pray” ujar saya sambil menggerakan isyarat takbiratul ikhram,,,si petugas mengerti, beliau dengan senang hati dan antusias menunujukkan sebuah musholla yang terletak di antara dua rel kereta.

Sebuah musholla kecil tapi cukup apik berdiri anggun di sana, tapi sayangnya baru dibuka pukul 05.30…”owh bagaimana jika ada orang yang akan shalat subuh?” pikir saya,,,tapi bagian toilet musholla tidak dikunci, saya pun membasuh diri sejenak dan berwudhu,,, untuk selanjutnya shalat subuh sambil duduk di kursi dekat musholla…hmm,,,semakin terasa keinginan mendekat kepada Sang Maha Penguasa saat kita sendiri dan jauh dari rumah jauh dari keluarga atau teman,,,hehehe, manusia memang akan selalu teringat dengan Penciptanya apabila dalam kondisi terjepit, tertekan atau kesepian,,,fitrah manusia,,,

Rupanya di sini tidak ada istilah kereta terlambat,,,sesuai schedule pukul 05.55 kereta menuju Aranyaprathet mulai bergerak. Kereta ini mirip dengan kereta ekonomi kita, cukup bersih dan nyaman. Saya duduk di kursi yang posisinya berhadapan di depan seorang ibu-ibu setengah baya. Kereta pun melaju perlahan, bergerak melewati kota-kota hingga pedesaan yang dihiasi bentangan sawah yang menguning yang saya saksikan keindahannya melalui jendela kereta samping tempat duduk saya. Pada beberapa bentangan sawah, saya melihat banyak mobil jenis double cabin semisal Hilux atau Ford Ranger hilir mudik mengangkut hasil bumi,,,”Wow, di Bandung mobil double cabin seperti ini mungkin hanya sebagai alat transportasi mewah yg hilir mudik diperkotaan, tapi di sini,,,hmm, dijadikan alat angkut hasil bumi” Pikir saya,,,

Matahari semakin merangkak naik, perlahan,,,Kereta yang saya tumpangi semakin penuh sesak oleh penumpang yang naik di setiap station yg terlewati. Saya terbangun oleh sinar mentari yang membias dari jendela kereta,,,hmm,,semakin terasa ‘sepi’ di tengah kehiruk pikukan. Ibu paruh baya di depan saya terlihat sedang asyik ngemil penganan yang dia beli dari penjaja makanan yang hilir mudik dari gerbong ke gerbong. Suara orang berbincang mendengung di telinga seperti suara lebah dengan bahasa yang tidak saya mengerti, sesekali diselingi suara kokokkan ayam yang dibawa oleh penumpang menghiasi kehirukpikukkan. Tidak lama kondektur terlihat memeriksa ticket para penumpang, kondektur yang mirip Cak Lontong ini pun menghampiri saya dengan tatapan menyelidik dan meminta ticket untuk selanjutnya diperiksa dan ditandai.

Kembali setelah itu, saya ‘sendiri’. Pemandangan luar kereta kembali menemani, tentang para petani yang membajak sawah, mobil double cabin yang mengangkut hasil bumi, anak kecil yang berlari telanjang, sungai yang mengalir, langit yang biru, burung belibis yang terbang mengarak,,,Lamunan menerawang memberI lukisan abu-abu yang misterius tentang perjalanan yang akan ditempuh,,,tentang ke-paranoid-anku saat nanti akan melewati Poipet, kota perbatasan Kamboja yang menurut beberapa blog yang saya baca, penuh dengan scam atau aksi tipu-tipu para calo imigrasi,,,lamunan candaan rekan-rekan yang menakut-nakuti,,,”Jangan tidur bay, bisa kebablasan hahahaha” ujar Wanbar,,,”Tegang yeuuuh!!” canda Bobby,,,”Haligh siah” celetukan Barbar,,,hehehe tapi itu semua justru membuat saya tersenyum sendiri saat itu. Dan lamunan yang paling menghiburku sekaligus menyiksaku adalah senyuman lucu Sava gadis kecilku dan tawa renyah Fiqar anak lelakiku di rumah,,,semua bercampur aduk dalam benak menemani kesendirian hingga kereta tiba di Aranyaprathet pukul 11.50 sesuai schedule…

#DistrictOne
#Solobackpacker
#OverlandBackpacker
#CrossBorderThailandCambodiaVietnam
#Oleholehbackpackeran

MENANTI KERETA, MENGGELANDANG DI HUA LAMPHONG (1)

by Bayu “Baiz” Ismayudi

Pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta akhirnya landing di Don Mueang Bangkok sekitar pukul 20.00 atau 08.00Pm waktu setempat. Penumpang pun satu persatu turun untuk kemudian antri di pintu imigrasi Thailand.
Usai urusan per Imigrasian saya bergegas ke counter money changer untuk menukarkan sedikit USD yg saya punya. Tepatnya pukul 21.30 saya baru keluar bandara dan menuju Don Mueang Station untuk berkendara dengan kereta api, sesuai itinerary yang saya buat menuju Hua Lamphong, sebuah station besar di Bangkok yang merupakan gerbang pemberangkatan menuju pelosok Thailand.

“Train to Hua Lamphong it’s finished !!” sebuah pernyataan tegas dari petugas ticket station Don Mueang saat saya akan membeli ticket kereta menuju Hua Lamphong,,,”owh,so,, how I am to go to Hua Lamphong?” ujar saya agak kaget dan sedikit panik. Karena memang dalam itinerary saya tidak ada plan B untuk mengantisipasi hal seperti ini. Akhirnya si penjaga ticket memberi petunjuk kendaraan yang menuju Hua Lamphong,,,

Dengan berkendara menggunakan bus menuju Mochit lalu dilanjutkan menggunakan MRT dari station subway Bang Sue yang menyusuri beberapa station di bawah kota Bangkok hingga berujung di Hua Lamphong tepat pukul 22.30 waktu setempat.
Rencana awal perjalanan saya kali ini untuk hari pertama saya harus menuju Hua Lamphong, karena besoknya saya akan menuju Aranyaprathet daerah perbatasan Thailand dengan Kamboja untuk selanjutnya menyeberang ke Kamboja. Perlu diketahui, ini adalah perjalanan pertama saya tanpa teman alias solo backpacker.

Persiapan sudah saya lakukan dari sebulan sebelumnya, dari mulai menyusun itinerary, mencari informasi via blog-blog hingga penghitungan budget. Perjalanan ini sebenarnya lebih merupakan “tantangan” yang diajukan rekan saya Barbar untuk mencoba bersolo backpackeran…dan saya terima “tantangan” itu,,,Perjalanan yang akan saya tempuh ini merupakan perjalanan overland alias cross border antar tiga negara,,,Thailand, Kamboja dan berakhir di Vietnam.

Bagi sebagian orang, para backpacker perjalanan ini adalah perjalanan biasa,,,tapi bagi saya sebagai pemula sangat luar biasa hehehe,,,perjalanan kali ini lebih merupakan perjalanan spiritual yang menguras adrenalin bagi saya,,,

Malam memang sudah larut saat saya tiba di Hua Lamphong, saya sempat melihat jadwal keberangkatan kereta yang akan saya tumpangi menuju Aranyaprathet dan rupanya kereta tersebut berangkat pukul 05.55 esok pagi. Sambil berjalan melihat-lihat station, saya berfikir,,,apakah saya akan menginap di penginapan terdekat dengan resiko bangun kesiangan dan ketinggalan kereta atau tidur di emperan station seperti yang orang banyak lakukan, bergeletakan di teras station hingga lorong-lorongnya.

Tidak berapa lama beberapa petugas keamanan station menutup gerbang station yang menandakan bahwa station telah tutup.”can I sleep here?” Tanya saya kepada petugas seraya menunjuk kearah deretan kursi yang ada dalam station…”no, you sleep outside like them” jawab petugas seraya menunjuk ke teras station yg telah penuh dengan calon penumpang.

Dan saya pun ngeloyor pergi menyusuri pinggiran station, sambil menikmati kemegahan Hua Lamphong, sebuah station kereta yang besar dan apik. Di sisi lain saya menemukan jejeran café yang masih buka yang diisi oleh para turis bule dan saya pun memasuki salah satu café untuk memesan kopi hitam panas sambil tentu saja nebeng wifi hehehe,,,

Dari café seberang station ini saya bisa melihat Hua Lamphong yang dihiasi lampu warna warni yang membuat station itu terlihat gemerlap. Setelah menikmati secangkir kopi dan sebungkus roti, bekal saya yang saya bawa dalam backpack, saya kembali menyusuri jalanan sekitar yang mulai sepi…

Malam semakin larut, rasa letih selama perjalanan mulai terasa,,,dan akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat di salah sebuah lorong di sekitar station yang tidak begitu banyak orang. Saya memutuskan untuk tidur di emperan station karena saya takut tidur kebablasan jika saya tidur di dormitory atau hostel dan tentu saja bakal ketinggalan kereta menuju Aranyaprathet wilayah perbatasan Thailand & Kamboja.

Sekitar satu jam saya memejamkan mata,,,tiba-tiba saya mendengar langkah halus mendekat, saat mata saya picingkan,,,seorang lelaki kekar berdiri tidak begitu jauh dari tempat saya tidur,,,matanya merah dan tangan yang penuh dengan tattoo,,,Dia menatap tajam pada saya, saya pun segera bangkit “red alert” dalam diri saya memberi signal tanda siaga 1. Kami saling tatap untuk sesaat,,,mungkin melihat saya waspada, si lelaki bertatto itu tidak lama kemudian ngeloyor pergi…saya pun kembali terduduk sambil menghela nafas,,,”huh,,,gak lucu kan klo sampe dipalak atau dirampok di negara orang saat hari pertama perjalanan saya pula” gerutu saya dalam hati,,,Akhirnya saya pun sukses untuk melek terus hingga station buka kembali pukul 04.40,,,”daripada barang saya digondol preman saat saya tidur, mending saya melek dan tidur nanti di kereta” pikir saya,,,hmm,,,rupanya adrenalin saya sudah mulai diuji di hari pertama solo backpackeran saya,,,

#DistrictOne
#SoloBackpacker
#OverlandBackpacker
#CrossBorderThailandCambodiaVietnam
#Oleholehbackpackeran

Sushi Halal dari Sungai Mekong

Backpackingan mengeksplore Mekong dengan rute Luang Prabang – Chiang Khong menggunakan longboat menyisakan cerita yang sayang bila tidak dituliskan.
Kami berkenalan dengan Mr. Lin, yang kemudian kami menyebutnya Bapa Taiwan. Tampaknya dia ketua rombongan grup Taiwan. Hari pertama di longboat sama sekali tidak saling sapa, karena grup kami lebih banyak berbaur ngobrol dengan para remaja USA dan mojok di belakang perahu sambil memperhatikan si Italian Fotografer ganteng yang terus menerus menegak Lao Beer dan tidak pernah lepas dari kamera.
Hari ke-2 di longboat, para remaja Amerika itu lebih asik main kartu remi sambil mendengarkan lagu. Grup kami yang kebagian duduk di kursi depan, bersebelahan dengan grup Taiwan dan pasangan senior Jerman. Obrolan pertama dengan  Mr. Lin ketika ia menanyakan bekal makanan kami yang tergeletak di atas meja untuk satu hari di perahu.
 “Apakah ada resto halal di Pakbeng?” tanyanya sambil menunjuk bekal kami.
Teman saya jawab, “Ada, saya nemu 2. Kami membelinya di salah satunya”
“Good.” Ia mengangguk
Saat waktu makan siang  tiba, dia bersama istri dan  rombongan -mereka ber-6- mempersiapkan makanan siang.
“Istri saya belanja di pasar apapun yang terlihat”. (Pantesan tas logistiknya besar amat😅)
“Kami hanya membeli steaky rice dan roti di hotel terakhir, lalu kami mengolahnya sendiri. Walaupun ada banyak resto halal saat ini di segala penjuru, tapi untuk perjalanan seperti ini, menyusuri roadless travel, akan sulit bila kita tidak mengusahakan sendiri.”
Dia berbicara terus sambil memberikan saya beberapa gulungan sushi yang telah dibuat istrinya.
“Apakah anda moslem?” Saya bertanya, baru nyadar…
“Ya, kami sekeluarga moslem Taiwan, bagi moslem segalanya akan jadi masalah bila kita tidak mengupayakan sendiri. Tapi bila dinikmati, sebenarnya segala upaya ini malah menjadi bagian dari petualangan itu sendiri.”
Diam-diam saya merasa kagum. Selalu ada pelajaran dari setiap perjalanan. Lalu topik beralih menjadi kota yang akan kami kunjungi. Ternyata tujuan mereka sama, ke Chiang Rai lalu ke Mae Sai dan berharap bisa bertemu kami kembali.
Kami masih bersama sampai imigrasi di Chiang Khong. Kemudian berpisah. Kami tidak bertemu di Mae Sai, tapi dia sempat mengirimkan beberapa foto resto halal di Chiang Mai, mesjid di Mae Sai dan Chiang Mai, termasuk foto selfi kami di perahu.😊
Satu kalimat yang saya ingat darinya. ‘Sebuah prinsip itu memang harus diupayakan.’
Selamat mencontoh 💚
@BrahmaTanti
17.11.19

Melanjutkan Rute Laos : Luang Prabang ke Hanoi

Salah satu rute backpacker di Laos yang masih membuat penasaran adalah rute Utara menuju Hanoi, ibukota Vietnam. Sejak pertama kali mengunjungi Laos tahun 2011, lalu 2015 dan 2017 maka rute Northeast ini belum dicoba. Biasanya rute ini dimulai dari Luang Prabang sebagai destinasi wisata UNESCO heritage di Laos. Ada dua jalur menuju Hanoi dari Luang Prabang  yaitu via Oudomxay dan Ponsavan. Tadinya dipikir semua rute itu akan melewati Dien Bien Phu, namun hanya jalur Oudomxay yang menuju kota itu.

Bila memesan tiket bis menuju Hanoi, maka hampir bisa dipastikan akan memakai rute Ponsavan yang lebih pendek,. Namun karena memilih singgah di Dien Bien Phu, saya membeli tiket bis menuju Dien Bien Phu saja yang berarti melewati Oudomxay. Kota ini pernah terlewati tahun 2015 kala datang dari arah Luang Namtha.

 

Bis kecil menuju Dien Bien Phu  dikatakan berangkat jam 6 pagi dari terminal Naluang. Walau skeptis berangkat tepat waktu, terpaksalah tetap bergerak pagi-pagi sekali dari hotel, berjalan kaki ditengah hujan yang mengguyur sejak subuh. Bukan hari keberuntungan tampaknya, padahal sejak datang dikota ini cuacanya panas ngajeos. Karena tak membawa rain coat, terpaksalah ngingkig memakai sarung melindungi guyuran air dari langit. Ya sarung amat berguna… jangan pergi tanpa membawa sarung.

 

Kala melewatinya tahun 2015 sedang dilakukan perbaikan jalan di kawasan ini sehingga sesuai prediksi jalan menuju Oudomxay sangat mulus. Jalur menuju utara ini melipir pegunungan, tampak sungai  jernih disebelah kanan selalu menyertai. Singgah untuk makan siang di Oudomxay, perjalanan dilanjutkan ke Muang Khua -kota terakhir sebelum perbatasan.  Kota kecil di pegunungan ini sekilas tampak cukup menyenangkan, tampak sebuah hotel yang cukup representatif juga. Beberapa pejalan menyarankan transit disini bila ingin menghindari perjalanan 12 jam Luang Prabang – Dien Bien Phu yang membuat panas bujur.

Pos imigrasi Tay Trang terletak di pegunungan, tak banyak yang melintas saat tiba sekitar jam 4 sore disini. Seperti biasa, petugas mengutip “biaya stempel”. Hal yang kerap dijumpai di Laos dan Kamboja, wajar…negara kismin. Tak perlu banyak argumentasi, toh cuma 10.000 kip, sekitar 16 ribu rupian. Seorang backpacker Spanyol yang misuh-misuh “disetrap” oleh petugas imigrasi yang kesal.  Wong cuma sedolaran aja ribet, mungkin begitu pikir mereka.

Pos imigrasi Vietnam terletak sekitar lima kilometer dari pos imigrasi Laos, melewati jalan melipir pegunungan. Disini proses stempel berjalan lancar tak ada kutip mengutip, entah kalo si Spanyol karena naik bis paling akhir.  Darisini kota Dien Bien Phu hanya berjarak sejam perjalanan. Setiba di terminal bis, langsung dikerubuti supir taxi. “Xe om..xe om..,” ujar saya dengan lafaz Vietnam sefasih mungkin padahal cuma itu yang tahu hehe… xe om artinya ojek, merekapun membiarkan saya melenggang dibonceng ojek ke hotel dengan tarif 20 ribu dong sekitar 13 ribu rupiah.

Esoknya, perjalanan malam ke Hanoi dilakukan dari terminal bis yang sama. Tak banyak yang bisa diceritakan karena tidur sepanjang perjalanan. Sleeper bus selalu menjadi favorit karena menghemat biaya hotel dan sebetulnya cukup nyaman untuk tidur. Sekitar pukul 6 pagi tiba di terminal bus Yen Nghia yang berada dekat stasiun MRT..waduh, Hanoi ternyata sudah lama punya MRT. Sementara Jakarta baru eforia sebulan lalu.

Di terminal seukuran Kampung Rambutan ini sempat celingukan mencari arah ke bandara dan tak mendapati tanda-tandanya. Mengandalkan kata kunci san bay No Bai akhirnya dapat juga arah menuju bandara No Bai diluar kota Hanoi yaitu memakai bis no 27, lalu dilanjutkan memakai bis no 7 disuatu tempat,entah dimana. Karcis bis di Vietnam cukup murah. kedua bis itu tarifnya 7000 dong. Sedikit tips di domestic departure bandara No Bai, ada resto cukup murah dengan wifi ngabret di lantai tiga. Saya memesan nasi goreng, kopi hitam dan segelas air putih dibandrol seharga 80.000 dong saja.

@districtonebdg

 

 

 

 

Terhanyut Riak Chao Phraya Diwaktu Malam

Bangkok memang kota yang beruntung memiliki sungai sekelas Chao Phraya. Keberadaanya merupakan nadi transportasi , ekonomi dan pariwisata bagi  masyarakat Bangkok. Dari saat saya masih di angkasa  hendak landing, sudah terlihat guratan sungai Chao Phraya berkelok kelok membelah kota Bangkok yang panjangnya sekitar 372 KM ini. Perkenalan pertama dengan sungai ini terjadi keesokan harinya, ketika hendak melakukan Bangkok City Tour , yaitu di  dermaga Ratchawong yang mengantarkan kami, grup Sadaya Geulis Hikers,  ke Wat Arun.

Lalu lintas air dengan tarif murah ini memang digandrungi  masyarakat Bangkok, terbukti dengan selalu penuhnya kapal-kapal yang berisi muatan penumpang. Aktivitas rutin masyarakat yang hilir mudik berbaur dengan para wisatawan yang selalu membawa kamera sangatlah terlihat kontras. Tapi memang inilah yang membuat unik.

Perjalanan dengan boat di Chao Phraya  menuju Wat Arun ini seperti memandangi wajah tua kota Bangkok di sisi lain.  Rumah-rumah kumuh padat berjejal sepanjang tepian sungai, sempat terlintas di pikiran  apakah penduduknya juga membuang limbah rumah tangganya ke sungai ini? Lalu apa yang terjadi setelahnya?

Saat di dermaga saya sempat memperhatikan air sungai yang beriak di sekitar perahu, ikan- ikan besar berebut makanan yang ditaburkan oleh salah seorang masyarakat yang kemudian berdoa  di depan ikan-ikan tersebut. Saya yakin Chao Phraya begitu dicintai masyarakat Bangkok walaupun saya yakin juga banyak pengujung mungkin berpikiran sama yang menyayangkan kawasan kumuh di tepiannya.

Malam harinya, setelah bergumul dengan peluh di Subway dariHualamphong lalu berganti MRT diSilom, kami pun dipertemukan  dengan dermaga menuju Asiatique the Riverfront.  Darisini tersedia kapal gratis menuju Asiatique. Sebuah keberuntungan bagi kami bisa menjelajah sungai Chao Phraya di malam hari. Ogah berjejal di MRT lagi, pulangnya kami berencana menggunakan tuktuk saja darisini.

Banyak penumpang,  turis-turis yang datang berpasangan, seakan tidak ingin melewatkan menikmati malam romantis di Chao Phraya. Kontras dengan suasana di siang hari, tidak ada aktivitas rutin yang sibuk, tidak juga terlihat deretan rumah kumuh yang berjejal, yang ada hanya  gemerlap lampu dari gedung pencakar langit yang mewah dan remang lampu kapal dinner cruise yang lalu lalang, menambah suasana menjadi heartwarming dan  sedikit romantically.

Saya berdiri di tepian kapal menjauh dari teman-teman saya, memperhatikan riak air dan merasakan  semilir angin malam. Yang terdengar hanya suara mesin boat dan riak-riak air yang lantang bersuara. Sedalam apakah sungai ini, bagaimanakah perasaanya? Saya pun terhanyut  seakan ikut merasakan riak-riak yang bergejolak yang terpendam di kedalaman sana.

 

@BrahmaTanti

26.11.2018

Serunya Naik Tuk Tuk di Thailand dan Kamboja

Beberapa tempat biasanya memiliki kendaraan khas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, atau kendaraan yang menjadi ikon tempat tersebut. Misalnya London dengan doubledecker-nya, atau Venezia dengan gondola-nya. Kendaraan-kendaraan tersebut biasanya menjadi kewajiban bagi wisatawan untuk mencobanya. Seperti saat kami melakukan trip 3 negara ke Thailand, Cambodia, dan Viet Nam.

Thailand dan Cambodia ternyata sama-sama memiliki kendaraan khas yang bernama tuktuk atau tuk tuk. Sebagai pejalan yang memilih cara backpacker, maka kendaraan umum yang satu ini menjadi wajib bagi kami, terutama di Cambodia.  Di Cambodia, kendaraan ini adalah kendaraan yang siap antar kapan pun karena ada di mana-mana dengan harga cukup terjangkau.

Walaupun memiliki nama yang sama, ternyata tuk tuk di Bangkok dan di Siem Reap memiliki perbedaan. Di Bangkok, pengemudi tuk tuk berada di dalam tuk tuk, seperti bajaj di Jakarta, hanya lebih panjang, lebar, dan lebih terbuka. Tuk tuk di Bangkok banyak yang dihias. Lebih meriah. Tetapi tempatnya lebih sempit dibandingkan tuk tuk di Siem Reap-Cambodia.

 

Tuk tuk Siem Reap bentuknya lebih menyerupai gabungan sepeda motor dan delman. Jadi, pengemudinya naik motor yang disambungkan dengan tempat penumpangnya di bagian belakangnya. Tuk tuk di sini lebih luas, bisa memuat kami berempat ditambah ransel/carrier kami.

Pengalaman menggunakan kendaraan ini kami mulai di Bangkok saat akan mengunjungi Wat Arun, sebuah candi agama Budha yang memiliki nilai seni tinggi. Berangkat dari tempat kami menginap di daerah Hua Lamphong, kami memesan tuk tuk menuju Pier Ratchawong (pelabuhan feri) untuk menuju ke Wat Arun. Setelah tawar-menawar harga, akhirnya disepakati tarif 100 baht untuk satu tuk tuk atau sekitar 45 ribu rupiah. Satu tuk tuk hanya bisa diisi maksimum 4 orang dewasa. Karena kami berdelapan, maka kami memesan dua tuk tuk.

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Udara masih segar. Petualangan naik tuk tuk dimulai. Saya sudah bersiap dgn pengalaman seru menaikinya karena pernah menonton iklan yang diperankan oleh Pierce Brosnan, si Bintang James Bond, yang naik kendaraan ini. Dan benarlah adanya, pengemudi langsung starter begitu kami semua naik dan duduk manis. Dengan gaya gas yang dikeraskan beberapa kali di awal, pak sopir mengawali pameran keahlian mengemudinya. Kami diajak ber-zigzag beberapa kali melewati barisan mobil yang mulai ramai pagi itu. Wow! Orango banget deh raaanya. Badan kami berayun ke kanan dan ke kiri. Beberapa kali kaki kami sampai terjulur keluar dari badan tuk tuk untuk mengimbangi tubuh kami agar tidak jatuh terjengkang. Jangan berharap untuk duduk cantik dan anggun. Kami semua sampai tertawa menyadari keadaan kami. Untung tidak sampai diajak menembus tenda-tenda pedagang di pasar seperti di iklan Om James Bond tadi.

Berbeda dengan pengalaman pertama di Bangkok, kami sepakat bahwa naik tuk tuk di Cambodia lebih kalem, lebih santai. Kita bahkan bisa terkantuk-kantuk diayunnya. Trip 3 negara dengan teman-teman SGH memang menyisakan banyak cerita seru. Semoga bisa bergabung lagi di perjalanan backpacker mereka berikutnya.

 

Penulis : Augustina Mochamad Sirad

Mengagumi Dragon Bridge di Da Nang

Setiba di Da Nang bisa dibilang cukup suprise juga melihat kotanya. Terbiasa dengan suasana hiruk pikuk kota Saigon, maka Da Nang bagai antitesisnya. Tata kotanya yang asri dengan lalu lintas yang bisa dibilang lengang, tampaknya kota ini belum lama “dibangun” sehingga tata kotanya cukup apik. Sayangnya dari airport tampak tak ada transportasi umum seperti yang mudah didapat di Saigon dan Hanoi. Namun kita bisa dengan mudah mendapatkan taxi atau memesan Grab.

Tak perlu waktu lama untuk melintasi pusat kota menuju hotel yang berjarak sepelemparan batu dari pantai My Khe. Untuk ukuran “kota besar”, pantainya bisa dibilang lengang dengan pasir putih yang siap memanjakan. Sekilas saja tampaknya akan betah dikota ini.

“Cocok yeuh keur pensiun,” ujar Dunga langsung merasa nyaman dengan suasana kota.

Setelah menikmati sunset di pantai, malam hari dilewatkan dengan orientasi medan ke kota. Hiburan yang murah dimalam hari adalah bersantai di tepi sungai sambil mengagumi Dragon Bridge yang ikonik. Malam hari jembatan ini lebih semarak karena cahaya emasnya lebih mencolok bahkan katanya kadang ada atraksi mengeluarkan api pula! Beberapa jembatan lain juga tampak megah, namun menurut saya Dragon Bridge lebih ikonik.

Esoknya ormed dilanjutkan lebih jauh ke Linh Ung Pagoda di Son Tra Peninsula. Sebetulnya ada banyak destinasi yang layak dituju sekitar Da Nang  antara lain Merble mountain, Ba Na Hills, Hoi An dan Hue city. Namun karena jarak-jaraknya cukup jauh bersanding dengan waktu yang mepet jadi tak keburu karena malamnya harus melanjutkan ke Nha Trang.

Keberangkatan sleeper bus sekitar jam 8 malam, tiba di Cam Ranh esok paginya. Namun ternyata ada kesalahpahaman karena kota Nha Trang sendiri sudah terlewat. Cam Ranh adalah tempat airport berada, berjarak sekitar 20 menit dari Nha Trang, sehingga kami balik arah. Beruntung awak bis memahami tujuan kami ke Nha Trang sehingga berbaik hati menitipkan kami ke bis tujuan Nha Trang. Kami diturunkan di pom bensin lalu mencegat taxi untuk menuju Nha Trang.

@districtonebdg

“The Power of Emak-Emak” Edisi Perjalanan Tiga Negara

Awalnya hanya obrolan biasa ibu-ibu saat berkumpul. Ingin berlibur tapi dengan suasana seperti hiking rutin kami. Muncullah ide untuk mencoba backpacking tiga negara. Sangat berbeda situasinya jika ibu-ibu bersiap backpacking, dibanding dengan teman-teman petualang lain, apalagi petualang berstatus masih pelajar. Bagi kami semua harus disiapkan lebih jauh hari: cuti bagi yang bekerja, jadwal sekolah dan kegiatan anak waktu ditinggal harus saat longgar, penyesuaian dengan jadwal suami, dll.

Maka ketika akhirnya tiba waktunya kami pergi ditanggal 1 November 2018, diawali dengan perjalanan kereta api dari Bandung ke Gambir, jadilah kami rombongan ibu-ibu senang (maksudnya senang hatinya). Rasanya semua sudah diantisipasi, walau dengan arahan Kang Bayu Bhar kami bersiap juga untuk segala dinamika selama perjalanan.

Tiba jam lima sore di Don Mueang Airport, kami langsung menuju ke stasiun kereta Don Muang, tepat di seberang bandara. Sambil menunggu kereta ke Hua Lamphong tiba, kami makan di street vendors di sekitar stasiun. Kalau di Bandung setara nyemil ayam D’Chicks dan rujak potong. Kereta tiba, langsung menuju ke tempat hostel kami berada, di sisi lain Bangkok, di Hua Lamphong.

Sekitar 40 menit perjalanan, tibalah di stasiun kereta api besar Bangkok. Surprise dan terkesan melihat stasiun ini, besar sekali dan gedungnya sangat antik, gedung tua bergaya Italian Neo-Renaissance (menurut mbah Wiki). Bagus sebagai trademark kota, bagus untuk obyek foto. Jalan sedikit dari stasiun ini, tibalah kami di hostel, benar-benar hostel gaya backpack. Satu kamar tipe dorm untuk sepuluh orang itu kami sewa untuk kami perempuan bertujuh. Menginap di area Hua Lamphong dipilih untuk efisiensi, karena setelah satu hari keliling seputar Bangkok, hari berikutnya kami akan harus kembali lagi ke stasiun ini untuk menyeberang ke Kamboja dengan kereta.

Sebagai turis, tidak banyak yang berkesan khusus di Bangkok. Thailand sejak lama sudah cukup familiar bagi turis-turis Indonesia. Jadi begitu tiba waktu kami bergerak ke Kamboja lewat Aranyaprathet dan lalu menyeberang ke Poipet, semua bersemangat, terbayang Angkor Wat yang fenomenal. Pengalaman berkesan justru banyak kami alami di Kamboja ini. Sebelum pergi, kami memang paling banyak di-brief soal Kamboja. Tentang banyaknya scam di sana, sampai karakter khas para pedagang atau orang-orang yang berhubungan langsung dengan turis. Dan sejak datang hingga kami meninggalkan Kamboja, semua peringatan itu terbukti.

Diawali dengan pungutan “sukarela” di imigrasi Poipet, keramahan extra manis semanis madu berujung penipuan oleh penjual kartu internet nan cantik jelita yang kami juluki Miss Border, bule pemilik hotel yang seenaknya melempar penginapan ke lain tempat, perjalanan tengah malam 6.5 jam dari Siem Reap ke Phnom Penh tanpa AC dibumbui pengalaman pipis dalam gelap di semak-semak (buat ibu-ibu berhijab, ini masalah pelik), hingga keributan di sleeper bus di Phom Penh gara2 tiket yang entah hilang atau dihilangkan. Dibanding dua negara lain yg dikunjungi, Kamboja memang nampak sekali masih developing, dari segi kehidupan sosial warganya hingga penegakan hukumnya. Tapi positifnya tetap banyak. Makanan Khmer luar biasa enak, saya dan teman-teman sepakat ini lebih enak daripada Thai food. Driver-driver tuktuk yang kami sewa di Siem Reap untuk antar jemput juga sangat helpful, semua on-time, no ngaret. Orang Kamboja yang berinteraksi dengan turis juga rata-rata berbahasa Inggris lebih baik daripada di Thailand. Dan kompleks Angkor-nya luar biasa indah serta well-managed.

Phnom Penh jadi pitstop terakhir sebelum menuju kota perbatasan Bavet dan menyeberang ke Moc Bai, kota perbatasan di wilayah Vietnam. Ibu kota Kamboja ini cukup berwajah metropolitan (termasuk ciri khas Senin pagi yang macet), dengan sungai Mekong yang besar melintas kota. Sungainya sendiri cukup bersih, walau pinggirannya tetap agak kotor. Tapi tetap jauh sih kalau dibandingkan dengan kotornya Citarum. Dengan segala catatan itu, tetap berminatkah suatu saat kembali lagi ke Kamboja? Sangat. Anggap saja niat bersilaturahmi dengan si cantik Miss Border.

Perbatasan Kamboja-Vietnam dilewati tanpa drama kali ini, baik di imigrasi Bavet di sisi Kamboja maupun Moc Bai di sisi Vietnam. Yang menarik, kantor imigrasi di Bavet sangat bagus dan besar, berbanding terbalik dengan sejawatnya, kantor Poipet di perbatasan Thailand kemarin yg lebih mirip tempat jual karcis bus AKAP di terminal Cicaheum dan sama sekali tanpa pemeriksaan badan serta barang bawaan. Padahal Poipet sepertinya disetting sebagai kota judi, karena begitu keluar imigrasi, di sekeliling banyak casino besar terlihat. Kenapa retribusi yang ditarik dari casino-casino ini tidak dipakai untuk membangun kantor lokal yg lebih layak, ya? Hhmm…

Dari Moc Bai, lanjut tiga jam perjalanan lagi dengan bis ke tujuan kami selanjutnya, Ho Chi Minh City aka Saigon. Begitu masuk Saigon,keriuhan lalu lintasnya yang terkenal seantero dunia langsung menyambut. Tidak banyak kota dunia yang menawarkan “menyeberang jalan” sebagai pengalaman unik dan khas yang harus dicoba, jadi kami beruntung (walaupun seram) bisa mengalaminya di Saigon. Di Saigon tema kunjungannya heritage walk (belanja walk juga sih), keliling kota melihat uniknya Saigon sebagai kota yang, di luar dugaan, ternyata sangat cantik. Perpaduan klasik dan modern-nya pas, dan dimanfaatkan dengan baik untuk dijual sebagai wisata kota. Suatu hari sangat ingin kembali ke sana untuk eksplor lebih jauh, mungkin harus lanjut ke Vietnam Utara. Tidak terbayang sama sekali sebelumnya, bahwa Vietnam ternyata cukup membuat penasaran dan merindu.

***

Satu catatan khusus bagi kami adalah bahwa selama perjalanan, dan sepanjang perjumpaan serta pengamatan sesama turis berbagai penjuru dunia kemarin, spesies kami terbilang langka di kategori turis asing di ketiga negara tersebut. Backpacker? Banyak. Backpacker muda? Banyak sekali. Backpacker muda bule? Paling banyak. Backpacker muda Asia? Ada beberapa. Backpacker muda golongan bangsa Melayu atau asal Indonesia? Tidak ada. Backpacker paruh baya? Ada jumpa beberapa bule di stasiun. Backpacker paruh baya Asia? Tidak ada. Backpacker paruh baya Melayu? Tidak ada. Backpacker ibu-ibu paruh baya segala bangsa? Tidak ada. Backpacker berhijab? Tidak jumpa. Backpacker ibu-ibu paruh baya berhijab golongan bangsa Melayu asal Indonesia? Ada. Itulah kami, spesies yang mungkin harus dilestarikan (mungkin juga tidak haha).Mudah-mudahan jika Ia mengizinkan, kami masih diberi kesempatan untuk bisa bertemu spesies-spesies langka lain, di lain waktu, dan di lain petualangan

 

Penulis : Lia Kamellia Benny.

Sejenak Relax di Don Muaeng Railway Station

Don Mueang Railway Station bisa dikatakan spot pertama kami  dari Sadaya Geulis Hikers, saat  melakukan trip 3 negara Thailand – Campodia – Vietnam bersama District One pada tanggal 1-7 November 2018 yang lalu.

Tidak sulit menemukan Railway Station ini karena lokasinya yang berseberangan dengan Bandara Don Mueang tempat pesawat kami dari Cengkareng mendarat.  Ada jalan khusus untuk tembus menuju tempat ini dari Bandara sehingga kami tidak perlu repot menyebrangi jalan.

Mungkin ada yang aneh dengan kata ‘relax’ pada judul di atas. Kok bisa sebuah stasiun KA yang identik dengan keramaian dan hiruk pikuk manusia, apalagi ini di Thailand  yang penduduknya lumayan padat, bisa dibilang ‘santai’.

Jangan salah, kami memang merasakan ambience yang ringan. Bisa jadi ini pengaruh setelah  agak dag dig dug melakukan perjalanan panjang dari Bandung menuju Gambir  yang kemudian diteruskan dengan Damri menuju Cengkareng yang saat itu terkena macet. Sehingga perkiraan tiba di Cengakreng dalam waktu satu jam, kenyataanya tiba dalam waktu 2 jam.  Belum lagi menghadapi petugas Bandara di Don Muaeng yang menurut kami lumayan ‘galak’ dan sempat marah dengan cara menunjuk –nunjuk ke teman kami, Iing Irma karena belum lengkap mengisi data visitor.

Dengan tiba di stasiun ini membuat kami agak bisa menarik nafas lega setelah drama-drama tersebut, dan juga euphoria menyadarai sebenarnya  petualangan kami dimulai di sini. Calon penumpang yang duduk  menunggu KA relatif sedikit. Loket pun sepi. Entah rush hour -nya sudah lewat  atau karena kebetulan Don Muaeng ini sebenarnya berada agak jauh dari pusat Kota Bangkok.  Entah. Yang jelas ketika kami menunggu jadwal KA ke Hua Lamphong terasa santai dan relaks.

Setelah kami membeli tiket menuju stasiun Hua Lamphong  Bangkok seharga sekitar 5 Baht ( setara Rp. 2.250,-), kami pun duduk-duduk di kursi peron dengan  leluasa, bersantai melihat sekeliling.

“ Serasa di Jakarta ya, itu tadi lorong terusan Bandara – Stasiunnya mirip di Stasiun  KA Tanah Abang”, Nonon berkomentar diikuti tawa semuanya.

Stasiun KA Don Mueang areanya terbuka  sekali, pedagang kaki lima bisa bebas berjualan. Sambil menunggu di kursi peron, kami bisa dengan bebas membeli aneka street food karena hampir tidak ada pagar pembatas antara stasiun dengan jalan raya.  Makan sore ala-ala nasi plus ayam fried chicken kami beli seharga 20 baht saja, plus sebotol juice nenas  seharga 10 baht, buah jambu 10 baht. Total jajan saat itu 40 baht (setara  sekitar 17.500,-). Nikmat menyehatkan pula.

 

Tapi ada hal yang paling berbeda di Thailand ini kami tidak melihat orang lain merokok di public area.  Ada tanda “No Smoking” tersebar, tapi adapula  beberapa spot yang sudah hilang tandanya. Tapi jangan heran, tanpa tanda pun masyarakat sudah dibiasakan tidak merokok di public area, sehingga ada dan tidak ada tanda larangan pun kebiasaan sudah terbentuk untuk tidak merokok sembarangan. Jadi ingat di Indonesia ada masyarakat  malah yang merokok di depan tanda larangan merokok. Inilah positifnya backpackingan ke Negara lain, sering membandingkan kegelian yang terjadi.

Hal unik juga dimana masih banyaknya telepon koin lama yang masih difungsikan. Rupanya pemerintah Thailand termasuk yang tidak tergesa-gesa menghapus teknologi lama. Telepon koin walau  termasuk teknologi lama tidak ada salahnya memang untuk tetap digunakan jika masih berfungsi dengan baik. Bandingkan, telepon koin di Indonesia telah punah sejak beberapa tahun lalu walau mungkin sebenarnya masih bisa berfungsi. Kami pun sejenak menjadi ahli banding. Membandingkan  perbedaan dan kesamaan Thailand dan Indonesia.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 19.00, kami pun bersiap-siap menyambut KA yang akan membawa kami ke stasiun Hua Lamphong.  

@BrahmaTanti

Senja yang Magis di Angkor

Saat merencanakan trip 3 negara Sadaya Geulis Hikers beberapa waktu yang lalu, saya tertegun pada salah satu spot destination yaitu Angkor Wat yang berada di Siem Reap, Cambodia. Angkor Wat adalah nama yang sudah sering terdengar, mulai dari setting film Tomb Rider yang terkenal dengan pemeran utamanya Angelina Jolie, sampai fakta sejarah akan kemegahan Candi yang awalnya bernuasa Hindu beralih menjadi Candi Budha di abad 12.

Tapi tunggu, saya lebih tertegun dengan harga tiketnya yang seharga 37 USD (setara dengan Rp.570.000,-). Menurut informasi yang didapat, pembelian tiket harus sepagi mungkin dan harus rela antri karena pengunjung satu persatu harus difoto terlebih dahulu. Sempat terheran-heran kenapa harus difoto sih? Kayak mau lewat Imigrasi saja. Tapi benar faktanya, jangan komen dulu sebelum terlibat di lapangan.

Rasa penasaran semakin tinggi, maka pukul 5 pagi kami sudah berada di tuktuk menuju komplek Angkor Wat dan kami pun menjadi bagian dari turis – turis lain yang berbondong-bondong berburu sunrise. Ada yang sekalian jogging, bersepeda, dan mengendari tuktuk seperti kami. Rasa penasaran yang besar semakin tinggi ketika kami rela mengantri tiket bersama turis asing lainnya, jenis one day day ticket pass kami pilih, tiket seharian penuh menelusuri Komplek Angkor sampai terbenam matahari. Konon sunset di Cambodia memang terkenal indah dan istimewa.

Misteri pengambilan foto pun terjawab ketika kami menerima tiket dengan foto masing-masing tercetakdi atasnya. Ketika tiba di gerbang utama Angkor Wat, petugas mengecek tiket kami sambil menyamakanwajah dan foto yang tertera di tiket. Tepian danau yang terbentang di depan kuil rupanya menjadi spot favorite pemandangan sunrise, dimana komplek angkor mulai tampak terlihat dan membayang di atas air danau.

Sayang sunrise nya terhalang awan, masih kurang greget, tapi saya berhasil mengabadikan gambar yang cukup indah. Setelah menjelajahi Angkor Wat, kami exploring kuil Bayon dan terakhir Ta Prom. Setiap memasuki kuil petugas selalu ada memeriksa tiket dan lagi-lagi menyamakan wajah dengan foto yang ada di tiket. Kami hanya berkelakar, mungkin petugas takut kita ‘moncor’ lewat hutan.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan saatnya makan siang. Karena kelelahan kami memutuskan kembali ke hostel kemudian berembuk, tak ingin menyia-nyiakan uang 37 USD yang telah keluar, kamipun bertekad memburu sunset kembali ke Angkor Wat.

Sunset area rupanya berada di sebuah bukit (baru tahu kemudian), dalam bayangan kami sunset spot di Angkor berada di tempat yang sama tapi berlawanan, ternyata lebih jauh dari itu. Kami diharuskan
hiking menuju bukit selama 30 menit. Keputusan telah dibuat, resiko apapun yang terjadi harus dihadapi, termasuk hiking ke bukit yang tidak kami sangka sebelumnya.

Setelah mencapai bukit kami lihat para wisatwan telah berkumpul mengantri untuk menaiki Candi Pre Rup, konon katanya dari candi inilah spot terbaik untuk menyaksikan sunset. Setelah masuk ikut antrian, petugas mendekati kami kemudian menjelaskan bahwa jumlah wisatawan untuk menaiki Candi Pre Rup dibatasi hanya 300 org, di atas sana sudah ada 300 orang, dan antrian disini bisa naik ke atas bergantung jumlah wisatwan yang turun. Rata rata wisatawan tidak akan turun sebelum matahari benar-benar tenggelam.

“Tapi bukit ini luas, silakan anda explore untuk mendapatkan spot terbaik,” ujar penjaga. Dengan sedih kami pun mundur. Tak terbayang bila kami hanya menghabiskan waktu untuk mengantri tanpa mendapatkan spot indah. Lalu kami menyebar, menikmati
senja diantara rimbun pepohonan.

Saya berdiri di belakang kerumunan yang ingin mengambil foto. Tapi ada satu pasangan tepat di depan saya berdiri, mereka seperti khusyu menikmati senja tanpa gadget. Saya pun tergerak melakukan hal yang sama. Hanya memandangi senja. Senja yang indah dan mahal di Cambodia. Seperti layaknya senja dimanapun, ia selalu berusaha memukau mengakhiri hari dengan indah. Datang tepat waktu, menepati janji pada bumi untuk menggenapkan waktu, tak peduli warna langit seperti apa. Mungkin ibarat seseorang yang berusaha datang menepati janji pada tambatanhatinya walau langit tampak mendung dan hujan akan menghadang.

@TB