Cepat dan Nyaman Naik Kereta Malam Kunming – Lijiang

Tantangan backpackeran di negara yang tak berbahasa latin layaknya China, seperti disebutkan oleh sekian referensi, adalah masalah informasi dan komunikasi. Yang pertama minimnya papan informasi berbahasa latin dan kedua jarang yang bisa bahasa Inggris. Hal ini tak akan terlalu menjadi masalah bila akan berbelanja, karena Yuan (RMB) dan kalkulator bisa menggantikan kamus 🙂 namun bila traveling menjadi lain sama sekali. Saya merasakannya  empat tahun lalu kala datang ke stasiun Guangzhou, antrian mengular dan hanya mendapati bahasa Mandarin di peron tanpa ada yang bisa ditanya. Kala itu saya membatalkan niat mencoba perjalanan kereta api. Mungkin bukan saatnya, pikiran waktu itu.

Kini karena  keharusan memakai kereta menuju Lijiang, terpaksalah mempelajari sistem perkereta-apian negara Tirai Bambu. Bila dulu sistem booking online belum marak, kini untunglah sudah ada beberapa agen yang bisa melakukan. Namun tetap saja tak bisa menerima pembayaran kartu kredit non-China. Memang ada agen diluar China yang bisa melakukannya antara lain agen tiket kereta di Inggris dan Singapura, tapi heloow.. katanya mau belajar.. ya harus pakai sistem yang di China dong.

Salah satu agen tiket kereta online adalah web travelguidechina.com yang tampak cukup otoritatif dalam perkeretaapian ini. Seluruh jadwal dan rute kereta di China cukup update, dengan metoda pembayaran kartu kredit via Paypal.  Mereka mengutip fee USD 5 ditambah fee Paypal, kalo dirupiahkan sekitar Rp 75.000,-. cukup mahal tapi daripada melongo lagi di stasiun kereta,  saya pun memilih booking online  tiket kereta malam Kunming-Lijiang one way saja. Rencananya untuk tiket kembali akan membeli di stasiun Lijiang saja, setelah mengamati dulu tata cara pembelian tiketnya di Kunming.

Walau dibanyak kota besar China sudah ada bullet train, rupanya provinsi Yunan agak tertinggal perkembangannya hingga paling banter adalah jenis kereta cepat. Tiket yang dipesan ..ehem..adalah kelas paling dangkal yaitu hard sleeper seharga 152 yuan ( Rp 300.000).  Difasilitasi kasur cukup empuk dan selimut tebal, sebenarnya cukup murah  dibanding tiket duduk Argo Wilis Bandung-Surabaya yang bisa mencapai Rp 460.000. Sedikit tips, jangan lupa download dan print juga dialog dalam bahasa China yang banyak digunakan selama memakai kereta, semisal ‘mana bis ke stasiun kereta’ ,  ‘dimana menukar print email’ dan semacamnya.

Setelah menerima  softcopy tiket via email, saat tiba di peron print email ini ditukar dengan tiket sesungguhnya. Namun sebelum bisa memasuki stasiun, seluruh tas bawaan akan diperiksa scan x-ray dulu layaknya masuk bandara. Dengan tiket asli ini barulah bisa masuk kedalam stasiun. Disini carilah ruang tunggu yang tepat, karena terdapat banyak ruang tunggu untuk bermacam keberangkatan. Sekitar 15 menit sebelum keberangkatan penumpang baru bisa boarding ke gerbong. Salah satu yang menyenangkan di ruang tunggu ini adalah tersedia air panas -benar-benar panas- yang melimpah. Ini bisa dimanfaatkan untuk menyeduh mie instant dan kopi sachet.

Berangkat dari Kunming jam 21:30 pada pukul 4 pagi tiba di stasiun Dali, berhubung banyak penumpang yang turun sempat sedikit panik juga karena tak tahu ini stasiun apa. Tapi karena menurut jadwal tiba pukul 7 pagi, saya pun kembali beringsut ke kasur. Stasiun Lijiang ternyata adalah perhentian terakhir, dan semua penumpang turun hingga tanpa keraguan saya pun ikut turun. Salah satu yang membuat terkesan di  stasiun kereta Lijiang yang modern ini adalah suasana tamannya yang asri. Saya bersumpah mencium harum aroma bunga sesaat setelah keluar dari pintu exit nya. @districtonebdg

 

 

 

In The Shadow of Kawa Karpo

Pegunungan salju Kawa Karpo (Meili Xueshan) di  kawasan perbatasan Tibet – Yunnan adalah gunung suci bagi pemeluk Budhisme Tibet. Puncak tertingginya yang dinamai Kagebo (6.740 mdpl) hingga kini belum tersentuh jejak manusia dimana sejak tahun 1902 berbagai ekspedisi telah mencoba namun selalu gagal. Ekspedisi  Sino-Japan di tahun 1991 bahkan berakhir fatal. Keseluruhan tim berjumlah 17 orang hilang di kakinya dan baru ditemukan tujuh tahun kemudian. Hal ini semakin memperkuat kepercayaan lokal bahwa gunung Kawa Karpo adalah sakral, mereka yang mencoba mendakinya akan berujung kematian. Disisi lain, sulitnya pendakian gunung ini bisa jadi karena medan saljunya yang rawan longsor sehingga amat berbahaya.

Ketinggian yang masih aman untuk dicapai adalah 4.385 meter dpl, yaitu sebuah danau es terletak sedikit diatas base camp ekspedisi Sino-Japan. Menuju kesini adalah melalui desa terakhir Yubeng (3.100 meter dpl) yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki selama 5-6 jam. Yubeng sendiri desa yang indah sebagai destinasi, beberapa orang meyakini inilah Shangri La sebenarnya. Dari Yubeng terdapat beberapa pilihan untuk trekking selain ke danau es, yaitu sacred waterfalls (3.650 meter dpl), Nazongla Pass (3.680 meter dpl)  dan tentu saja ritual Kawa Karpo kora yaitu sebuah perjalanan spiritual untuk mengelilingi gunung yang memakan waktu setidaknya dua minggu.

Perjalanan panjang menuju desa Yubeng dimulai dari Kunming, China Selatan. Menuju ibukota provinsi Yunnan ini terdapat penerbangan langsung AirAsia dari Kuala Lumpur atau bisa juga melalui jalur darat dari Thailand/Laos memakai bis. Dari Kunming ambil sleeper train menuju Lijiang lalu lanjutkan dengan bis ke kota Shangri La (Zongdiyan). Patut dipertimbangkan menginap semalam di Shangri La sebelum melanjutkan perjalanan bis selanjutnya ke Deqin, lalu Feila Shi dan terus ke Xidang. Darisinilah trek panjang menuju desa Yubeng dimulai.

Bila  penasaran dengan adrenalin trekking di pegunungan bersalju namun hanya menganggarkan dana terbatas maka salju abadi di pegunungan Kawa Karpo bisa menjadi pilihan.  Anda mungkin terkejut, namun bila berangkat dari Jakarta maka pegunungan salju di China Selatan  pencapaiannya jauh lebih terjangkau daripada gugusan gunung salju di kawasan lainnya seperti Nepal, Myanmar atau Papua. @districtonebdg

 

Terperangkap Waktu di Old Town Lijiang

Lijiang merupakan kota tujuan wisata yang populer di Propinsi Yunnan bahkan diseantero China, diperkirakan lebih dari delapan juta orang turis mengalir kesini tiap tahunnya -sebagian besar turis domestik. Bayangkan padatnya tempat-tempat wisata disini bila gelombang tsunami turis datang. Namun dengan mempelajari tren kedatangan turis, kita tetap bisa melakoni perjalanan wisata yang nyaman di Lijiang.

Dibanding kebanyakan kota lainnya di China, Lijiang cukup terpencil dimana rel kereta sejak puluhan tahun terhenti disini. Walau kini sedang dibangun rel lanjutan ke Shangri La, itu baru akan selesai beberapa tahun kedepan. Kota yang dikelilingi perbukitan ini berudara segar, memiliki sungai yang jernih, dan pegunungan bersalju menjulang dikejauhan. Seperti di kebanyakan wilayah China Selatan, Lijiang memiliki keuntungan berupa iklim sepanjang tahun yang sejuk.

Penduduk asli Lijiang adalah suku Naxi, yaitu satu dari 55 kelompok etnis minoritas di China.  Sejarah kota tua ini terekam sejak periode peperangan antar negara (476 SM-221 SM). Baru pada Dinasti Tang (618-907), ekonomi berkembang dan mencapai puncaknya dengan terbentuknya the Ancient Tea-Horse Road  -sebuah jalur perdagangan kuno yang kurang populer dibanding Silk Road di Utara. Jalur perdagangan ini memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi dan budaya antara Tibet, Sichuan dan Yunnan. Bagi penggila sejarah, jalur kuno ini terlalu menarik bila dilewatkan begitu saja.

Sebagai atraksi utama kota, Old Town Lijiang terawat dengan baik dan merupakan situs World Cultural Heritages UNESCO pada tahun 1997. Menuju kesini tak sulit, bila naik kereta dari Kunming maka dari stasiun tinggal menumpang bis. Ada tiga trayek bis dari stasiun kereta menuju kota Lijiang, yang melewati Old Town adalah bis berwarna biru no 18 dengan tiket seharga 1 yuan.

Old Town ini dulunya merupakan pusat kota dan terus mempertahankan arsitektur  khas dan budaya lokal Naxi. Kesinilah arus utama turis mengalir deras, dimana pada puncaknya jalan-jalan berbatu dijejali turis dari berbagai pelosok negara China. Namun jangan salah, Lijiang tetaplah sebuah kota modern alih-alih kota yang terdiri dari bangunan kayu dan jalan berbatu. Jalan-jalan aspal yang lebar dengan mall dan pertokoan lah sebenarnya yang mendominasi  suasana kota dan beragam wisata yang dilengkapi cable car siap memanjakan yuan didompet para turis.

Seperti juga di wilayah China lainnya, tiket masuk ke berbagai kawasan wisata populer di kota Lijiang cukup tinggi yaitu antara lain Old Town (80 CNY ), Looking at the Past Pavilion (50 CNY), Mu Family Mansion (60 CNY). Sementara tempat wisata agak diluar kota antara lain Jade Dragon Mountain (185 CNY), Tiger Leaping Gorge (65 CNY), Jade Peak Monastery (30 CNY)…watch out wahai para backpacker.. namun beberapa lokasi tetap bisa ditelusuri dengan gratis seperti taman, museum, pasar dan tentu saja yang selalu gratis adalah interaksi budayanya.

Salah satu yang membuat terkesan kala pertama menginjak kota ini justru adalah stasiun keretanya yang terletak dipinggir kota. Setelah melewati perjalanan malam dengan sleeper train dari Kunming, saya tak bisa tak mengagumi stasiun yang apik ini. Bangunan modern bercorak etnik ini terletak di atas bukit dengan hutan dibelakangnya dan taman yang asri di depan. Saya bersumpah mencium harum aroma bunga sesaat setelah keluar dari pintu exit nya, yang membuat ingin berlama-lama disini. @districtonebdg

 

Treking Melipir Jurang di Tiger Leaping Gorge

Tiger Leaping Gorge merupakan kawasan ngarai yang diukir oleh sungai Yang Tze Kiang dengan kedalaman yang bisa mencapai 4 km pada titik palng ekstrimnya. Melakukan hiking di ngarai ini sangat cocok bagi penyuka hiking dan memerlukan waktu 2-3 hari untuk nyaman mengeksplorasinya. Tak banyak manfaatnya bila ingin bergegas menyelesaikan jalur yang indah ini dengan tergesa-gesa melewatinya, karena akan banyak kehilangan suasana pegunungannya yang khas.

Menuju ke kawasan Tiger Leaping Gorge dimulai dari Lijiang dengan bis menuju kota kecil Qiaotou. Bis-bis rute Lijiang – Shangri La akan melewati kota pertambangan yang berdebu ini. Mungkin mirip dengan kawasan tambang kapur di Padalarang, dekat Bandung. Setelah turun dari bis  berjalan sekitar 300 meter akan sampai di pos dimana tiket untuk masuk adalah 65 CNY (sekitar Rp 130.000 ). Cukup mahal, memang kawasan wisata di China dikenal dengan harga tiketnya yang mencekik, bahkan menurut warganya sendiri.

Tak jauh dari pos, terdapat beberapa guesthouse dimana kita bisa menginap atau menitipkan bawaan bila hendak ditinggalkan saat melakukan treking. Salah satunya Jane Guesthouse yang dengan senang hati akan menawarkan jasa left luggage ini dengan mengutip biaya 5 yuan. Jalur treking sendiri dimulai tak jauh setelah melewati guesthouse ini.

Sebuah perjalanan selama 4-5 jam melipir jurang akan dilewatkan sambil menikmati pemandangan ngarai yang ekstrim namun indah. Perlu diantisipasi cuaca yang terik di musim panas dan angin yang membeku di musim dingin. Jalur treking melewati beberapa guesthouse diatas gunung, sehingga bila ingin menikmati suasana pegunungan dengan lebih dalam maka bermalam diatas gunung pun is not a bad idea. Kapan lagi toh akan kesini?

Ujung rute treking ini adalah jalur menurun ke jalan aspal, tepat ke hotel Tina’s Guest House yang letaknya sangat strategis sebagai penutup treking  etape pertama. Kita bisa bermalam disini sambil recovery untuk perjalanan besok atau kembali ke Qiaotou. Di  Tina’s atau guesthouse lain yang dilewati selama treking, turis bisa memesan tiket bis menuju Lijiang atau Shangri La. Bahkan bila sejak awal tak berniat treking bisa memakai bis pagi yang langsung ke Tina’s dari Old Town Lijiang.

Etape dua dimulai dari Tina’s menuju middle gorge, dengan jarak tempuh yang tak selama etape satu. Dikawasan ini juga tersedia guesthouse yang menawan seperti Walnut Garden atau Woody’s dengan pemandangan ngarai yang tak kalah mempesona. Direkomendasikan melewatkan malam disini untuk meresapi suasana pegunungan bersalju disekitar guesthouse. Esok paginya kita bisa memesan tiket bis untuk pulang atau meneruskan perjalanan selanjutnya dari hotel tempat menginap. Tertarik mencoba? @districtonebdg

 

Romantisme Sisa-sisa Kota Tua di Shangri La

Shangri La  adalah sebuah kota di provinsi Yunnan, China Selatan yang berada diketinggian 3200 meter dpl (kurang lebih setinggi gunung Lawu), cukup untuk membuat sedikit pusing bagi mereka yang tak terbiasa ketinggian. Menuju kesini rute paling efisien adalah memakai pesawat ke Kunming lalu dilanjutkan dengan kereta api ke Lijiang kemudian lanjut lagi dengan bis. Maskapai budget seperti AirAsia terkadang membandrol tiket promo untuk rute Kuala Lumpur (KUL) – Kunming (KMG) sekitar 1,3 juta pp.

Kota kecil diatas awan ini awalnya bernama Zongdian atau Gyalthang dalam Bahasa Tibet. Sebuah novel karya James Hilton tahun 1933 berjudul Lost Horison, menjadi inspirasi untuk membuat kota itu berganti nama menjadi Shangri La. Entah benar tempat itu yang dimaksud oleh penulisnya atau bukan, Shangri La menjadi magnet para turis karena kekhasan kota tuanya. Namun kota tua dengan bangunan kayu yang berdempetan ini dilanda bencana di tahun 2014 ketika kebakaran hebat menghanguskan sebagian besar bangunannya. Sedikit saja bagian dari kota tua yang tersisa dari malapetaka itu, dan kini sebagian wajah Shangri La tak beda jauh dengan kota-kota yang berkembang secara modern.

Masih ada secuil kota tua yang tersisa, dan kini dilestarikan sebagai heritage dari Shangri La. Berkunjung kesini akan seperti kembali ke kehidupan masa lalu dimana jalanan dari batu dan bangunan dari kayu seakan membuat waktu tak bergerak sejak berabad lampau.  Sisi kota yang modern, sebaliknya sangat identik kota-kota yang dibangun di China yang mengedepankan efisiensi ketimbang nilai artistik dimana jalan-jalan yang lebar berkombinasi dengan bangunan kotak-kotak dengan model yang sama.

Beberapa bangunan tampak lebih mencolok dibanding lainnya, seperti terminal bis yang tampak megah di ujung Utara jalan Changzeng Road. Sebuah proyek besar juga sedang dalam pengerjaan di selatan kota yaitu stasiun kereta yang akan menghubungkan Shangri La dengan Lijiang. Proyek yang direncanakan selesai sebelum 2020 ini akan membuat Shangri La semakin mudah diakses turis. Hingga kini hanya lewat udara dan jalan aspal yang mulus yang membawa turis ke Shangri La. Tiket bis dari Lijiang ke Shangri La adalah sebesar 63 CNY.

Bila berkunjung ke Shangri la setidaknya dua tempat yang dipromosikan secara popular adalah kota tua (Old Town) di sebelah Selatan dan Songzanlin Monestry yang terletak di Utara. Memasuki Old Town tak dipungut biaya, sebaliknya memasuki area biara akan dikutip tiket cukup mahal yaitu 115 NY (sekitar Rp 230.000,-). Kedua tempat ini cukup mudah untuk diakses yaitu dengan memakai bis no 3 yang menghubungkan keduanya. Bagi para backpacker yang memiliki anggaran ketat, mengunjungi biara ini akan cukup memerlukan pertimbangan. Walau merupakan ikon kota Shangri La, beberapa biara Budhis yang indah lainnya bisa dikunjungi dengan biaya minimum, baik didalam maupun diluar kota.

Sebenarnya hal menarik lainnya dari kota yang sejuk ini adalah budayanya dimana akulturasi etnis mewarnai setiap aspek kota. Rumah makan halal tak sulit dijumpai di Shangrila, biasanya ditandai dengan tengkorak kepala Yak didepan toko. Terkadang ada lebih dari tiga rumah makan halal di sebuah jalan. Perpaduan etnis Tibet dan Han, agama Budha dan Islam membuat atmosfer kota yang unik. Dipercaya bahwa kota ini adalah jalur perdagangan kuno yang menghubungkan China dengan Asia Tengah.

Shangri La berada dalam bayang-bayang pegunungan bersalju disekitarnya. Maka tak heran suhu disini sejuk –beku bila dimusim dingin-  dimana bahkan di musim panas pun kasur-kasur di hotel menggunakan lapisan penghangat. Di musim dingin, mutlak perlu membawa baju hangat bila berkunjung kesini. Rumah-rumah makan dilengkapi dengan penghangat ruangan karena suhu dimalam hari bisa sangat turun walau dimusim panas.  Beberapa kuliner tampak berbasis ternak sapi Yak, seperti butter tea milk dan aneka olahan daging Yak. Rasa susu Yak  ini bagi saya tak terlalu jauh beda dengan susu sapi, justru yang memberi kesan adalah yoghurt merk Dali Ranch yang banyak dijual di toko. Botol berukuran 243 ml seharga 6 yuan ini wajib dicoba penggemar yoghurt. @districtonebdg

 

Mengintip Tibet dari provinsi Yunnan, China Selatan

Menjadikan daratan China sebagai tujuan backpackeran sudah dilakukan sejak 2013 dengan tujuan Guangzhou, lalu Hongkong dan Shenzhen. Namun impian menjadikan China sebagai region yang regular dikunjungi seperti halnya Indochina, harus buyar. Bukan hantaman badai Haiyan yang menghentikan terus bergerak, melainkan hantaman kurs dollar. Walau masih diliputi rasa penasaran, dengan berat hati tour China  itu harus shutdown. Salah satu kepenasaran kala itu ialah belum mencoba rute sleeper train antar kota di negara itu.

Beberapa tahun berlalu, momentum untuk kembali ke China muncul di 2017 ini  ketika maskapai AirAsia promo rute Kuala Lumpur – Kunming seharga 1,3 juta pp.  Rute backpackeran di provinsi Yunnan pun disusun termasuk mencoba perjalanan malam dengan  sleeper train dari ibukotanya, Kunming. Perjalanan malam seperti ini menjadi favorit karena sangat efektif untuk menghemat waktu dan ongkos menginap hehe..

Kunming adalah ibukota provinsi Yunnan di China bagian Selatan yang berbagi perbatasan darat dengan negara Laos dan Myanmar. Provinsi yang berbagi perbatasan darat dengan negara-negara Indochina tak hanya Yunnan, provinsi lainnya adalah Guangxi. Bila Yunnan bisa dimasuki lewat jalan darat dari Laos dan Vietnam, Guangxi bisa dimasuki cuma dari Vietnam. Namun kali ini hanya Yunnan yang menjadi tujuan, terutama karena satu hal : provinsi ini berbatasan langsung dengan Tibet, sehingga darisini kita sudah akan bertemu dengan ekor Himalaya berupa pegunungan-pegunungan salju yang menjulang. Perjalanan  ini memang bukan untuk melakukan pendakian, namun pegunungan salju selalu menyenangkan untuk didekati.

Trip kali ini bertujuan mengunjungi kota pegunungan yang oleh sebagian orang sering disebut sebagai “Little Tibet” yaitu Shangri La yang terletak sekitar 640 km ke arah Barat Laut dari Kunming dengan melewati kota Dali dan Lijiang. Obyek wisata yang bisa dikunjungi dijalur ini adalah Tiger Leaping Gorge di Qiaotou, yaitu ngarai yang diukir oleh sungai Yang Tze Kiang dengan kedalaman yang bisa mencapai 4 km. Melakukan hiking di ngarai ini sangat cocok bagi penyukai hiking dan memerlukan waktu dua hari untuk mengeksplorasinya.

Lijiang merupakan kota terakhir yang bisa dicapai oleh kereta -selebihnya masih dalam kontruksi-  sehingga untuk terus ke arah Barat Laut menuju Shangri La atau kota-kota lain yang lebih jauh seperti Deqin harus memakai bis atau van. Jalan darat ini sebetulnya bila diteruskan akan menyambung ke Lhasa, ibukota Tibet, sayangnya jalur darat ke Tibet ini masih tertutup untuk turis. Namun kita tidak tahu beberapa waktu ke depan. Bila rute kereta Kunming – Shangri La yang direncanakan bisa operasional sebelum 2020, maka bukan tidak mungkin rute ke Lhasa pun semakin terbuka. Bila demikian, ini akan menjadi rute darat terpendek menuju Tibet dari Asia Tenggara. @districtonebdg

 

Kecantikan Bunga Sakura di Gunung Yoshino, Nara

Gunung Yoshino (吉野山, Yoshinoyama), adalah gunung di kota Yoshino, Distrik Yoshino, Prefektur Nara, Jepang. Sejak dahulu terkenal sebagai situs Sakura terbaik di Jepang. Bahkan ada yang bilang, pohon Sakura pertama ditempat ini, ditanam lebih dari 1300 tahun yang lalu. Gunung Yoshino terdaftar sebagai warisan dunia UNESCO. Kita dapat mengunjungi berbagai bangunan warisan dunia termasuk Kuil Yoshino Mikumari, Kuil Kinpu, Kuil Kinpusenji dan Kuil Yoshimizu.

Sakura di Gunung Yoshino mencakup jalan sepanjang 8 km dari ujung Utara hingga selatan pegunungan Omine Renzan. Gunung Yoshino memiliki Pohon Sakura sekitar 30.000 pohon, dengan berbagai varietas, termasuk juga varietas Yamazakura.

Gunung Yoshino dibagi menjadi 4 daerah berdasarkan ketinggiannya, yaitu Shimo Senbon (rendah), Naka Senbon (tengah), Kami Senbon (atas), dan Oku Senbon (dalam). Masing-masing daerah ini dipenuhi dengan pohon Sakura, sehingga sering terdengar ungkapan “Hitome-senbon” (Kecantikan seribu pohon sakura dalam sekilas pandang). Sejak zaman dulu, banyak orang telah berkunjung ke sini.

Setiap tahun dari awal April hingga akhir April, bunga-bunga Sakura secara bertahap mulai mekar dimulai dari Shimo Senbon hingga seluruh gunung diselimuti merah muda bunga Sakura. Disarankan untuk berkunjung pada malam hari karena pepohonan Sakura di sini telah diterangi dengan lampu-lampu yang menyala.

Waktu terbaik untuk berkunjung kesana adalah sesuai dengan musim mekar bunga Sakura di Gunung Yoshino (26 Maret – 8 Mei), ada bus yang akan melayani perjalanan dari Stasiun Yoshino hingga Naka Senbon dekat dengan Kuil Chikurin-in (2-4 kali/jam, 360 Yen sekali jalan). Dari Naka Senbon kamu bisa melanjutkan perjalanan hingga ke Oku Senbon menggunakan bus mini selama 15 menit perjalanan (1-2 bus/jam, 400 Yen sekali jalan)

Selain menyaksikan kecantikan bunga Sakura, di sini kita juga bisa menikmati indahnya bunga Hortensia yang bermekaran saat musim panas, eloknya perubahan warna dedaunan saat musim gugur, serta lapisan salju putih bersih saat musim dingin dan jatuhnya dedaunan pohon Sakura yang menjadi daya tarik populer. (Arief Hidayat)

 

Koloni Little Africa yang Unik di Guangzhou

“Aya naon kitu di Guangzhou?” tanya Dunga pertama ketika diajak ke kota itu.
“Aya Afrika hideung,” jawab Bar sekenanya.

Salah satu yang menarik perhatian milisi budget ini pada kota Guangzhou di China, adalah keberadaan koloni Afrika dalam jumlah yang cukup besar disini, sehingga kawasan tempat mereka tinggal pun sering disebut Little Afrika. Maka jangan heran bila di pertokoan kota Guangzhou terutama kawasan Xiaobei, akan mudah ditemui orang-orang Afrika yang hitam legam. Bukan bermaksud rasis, hanya untuk membedakan dengan ras Afrika lain di Utara yang lebih Arabik. Mereka berkoloni disini untuk mengirimkan barang ke negerinya seperti Nigeria, Kenya dan lainnya. Cina adalah partner utama Afrika dalam perdagangan, yang satu kelebihan barang produksi yang satu haus akan barang. Klop.

Suasana benua hitam langsung terasa ketika keduanya -seperti biasa- nyasar, lalu dalam keadaan terhuyung lapar masuk ke sebuah rumah makan. Disekeliling tampak warga berkulit hitam sedang menikmati makan siang.

“Asa di Zimbabwe..,” gumam Bar sambil melihat berkeliling,” bener kitu ieu teh di China?”
Dunga tak mempedulikan, ia sedang mencoba menyumpit makanannya ,”Daging naon ieu teh?” gumamnya mengernyit.

“Daging onta,” ujar Bar singkat sambil terus menyuap.

Kota terbesar ketiga di China ini memang memiliki histori sebagai jalur perdagangan sejak dulu. Mungkin juga sejak era jalur sutera jaman dahulu, entahlah. Namun koloni Afrika disini sudah lama ada terutama sejak reformasi China oleh Deng Xiaoping  tahun 90-an, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kota metropolitan ini. Tahun 2012 dianggap sebagai puncaknya dimana terdapat sekitar 100.000 warga Afrika disini, menjadikannya koloni Afrika terbesar di Asia. Di tahun-tahun berikutnya angka ini perlahan surut karena berbagai alasan, namun tetap merupakan konsentrasi Afrika yang besar diluar benuanya. Di bandara Baiyun, Guangzhou kita akan terbiasa melihat calon penumpang tujuan Afrika membawa bagasi seperti akan pindah rumah. Tampaknya sebuah kelaziman bagi penumpang tujuan Afrika untuk membawa bagasi yang membumbung.

Walaupun sudah turun temurun dan banyak terjadi perkawinan campur dengan warga lokal, keberadaan koloni Afrika kerap menghadapi permasalahan, terutama isu imigrasi. Sebagian warga Afrika menganggap pemerintah China tak serius menerima mereka sebagai warga kota, mempersulit bisnis dan imigrasi hingga terkesan ingin mengusir keberadaan mereka. Terkadang protes dan perselisihan dengan otoritas bisa pecah menjadi kerusuhan. Hal seperti ini tentu terjadi dimana-mana, hanya saja bila di negara lain kebanyakan menimpa pekerja migran maka disini adalah pedagang migran. Namun Guangzhou adalah kota metropolitan yang multirasial, tak hanya warga Afrika yang hilir mudik disini. Warga Arab,  Turki, Melayu juga kerap dijumpai. Sebenarnya kondisi multikultural ini juga menjadi salah satu daya tarik tersendiri dari kota Guangzhou. (2013)

@districtonebdg

Rute Pendakian di Gunung Fuji, Jepang

Gunung Fuji adalah sebuah gunung berapi yang terletak di perbatasan antara Prefektur Yamanashi dan Prefektur Shizuoka. Dengan ketinggian 3776 meter dari permukaan laut, puncak Gunung Fuji merupakan titik puncak tertinggi di Jepang.

Di tahun 2013, Gunung Fuji ditetapkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO dan status barunya ini menegaskan nilai kebudayaan Gunung Fuji di mata dunia. Selama musim panas, Gunung Fuji dikunjungi oleh para pendaki yang ingin menikmati keindahan pemandangan dari puncaknya, termasuk pemandangan saat matahari terbit.

Masa pendakian Gunung Fuji dibuka tanggal 1 Juli sampai 10 September setiap tahunnya. Jalur pendakian di Gunung Fuji ada 4 jalur pendakian yaitu Yoshida Trail, Subashiri Trail, Gotemba Trail dan Fujinomiya Trail.

  

Yoshida Trail (Fuji-Subaru Line 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Yamanashi, tepatnya di ketinggian 2300 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 6 jam naik, 4 jam turun.

Karakteristik jalur Yoshida Trail ini menyusuri sisi utara dari Gunung Fuji. Jalurnya lumayan datar hingga ke stasiun ke-7, zig zag, dan sedikit berbatu hingga sampai ke puncak. Merupakan jalur paling ramai dan paling disukai oleh wisatawan, sehingga akan sangat penuh saat musim pendakian resmi dibuka. Jalur untuk naik rutenya berbeda dengan jalur turun, dan di antara Stasiun ke-8 dengan puncak terdapat persinggungan dengan Subashiri Trail. Titik ini biasanya yang paling padat oleh wisatawan.

 

Subashiri Trail (Subashiri Trail 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Shizuoka, tepatnya di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 6 jam naik, 3 jam turun.

Karakteristik jalur Subashiri Trail cukup landai dan melewati hutan hingga hampir ke puncak gunung. Saat berada di hutan, jarak pandang akan terbatas khususnya saat turun kabut maupun malam hari. Jangan lupa membawa lampu kepala jika ingin lewat jalur ini.

Subashiri Trail ini menyusuri sisi timur dari Gunung Fuji. Begitu berhasil melewati hutan, pemandangan matahari terbit dan hamparan awan bisa langsung terlihat. Merupakan satu-satunya jalur yang tidak mengarah langsung ke puncak Gunung Fuji.

Di Stasiun ke-8 akan ada pertemuan dengan Yoshida Trail dan selanjutnya bergabung dengan Yoshida Trail. Jalur untuk naik rutenya berbeda dengan jalur turun. Sebetulnya jalur ini relatif sepi oleh pendaki, dan baru ramai saat pertemuan dengan Yoshida Trail.

 

Gotemba Trail (Gotemba Trail New 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Shizuoka, tepatnya di ketinggian 1450 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 7 jam naik, 3 jam turun.

Karakteristik jalur Gotemba Trail cukup landai dan melewati track dengan batuan vulkanik di dekat stasiun ke-8. Gotemba Trail ini menyusuri sisi tenggara Gunung Fuji. Jalur untuk naik rutenya berbeda dengan jalur turun. Karena titik awalnya berada di ketinggian 1450 meter, jalur ini menjadi jalur hiking terpanjang dengan waktu tempuh terlama. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa jalur ini paling sepi oleh pendaki.

Disarankan hanya pendaki yang kuat menempuh perjalanan jauh saja yang mengambil rute ini. Petunjuk arah terbilang minim, sehingga ada kemungkinan pendaki dapat kehilangan arah saat kabut tiba atau saat malam hari.

 

Fujinomiya Trail (Fujinomiya Trail 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Shizuoka, tepatnya di ketinggian 2400 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 5 jam naik, 3 jam turun.

Karakteristik jalur Fujinomiya Trail ini menyusuri sisi selatan dari Gunung Fuji. Secara keseluruhan, jalurnya sangat berbatu dan curam. Merupakan jalur paling ramai kedua yang disukai oleh wisatawan. Itu karena Stasiun Fujinomiya 5th merupakan stasiun tertinggi dan memiliki jarak terdekat dengan puncak gunung.

Jalur untuk naik rutenya sama dengan jalur turun, sehingga pendaki tidak akan salah mengambil jalur. Namun karena hal itu juga pendaki harus memperhatikan keadaan sekelilingnya. Jangan sampai menghalangi jalan, dan harus mengalah pada pendaki yang akan naik.

 

kontributor : Arief Hidayat

Catatan Perjalanan ke Jepang

osaka

text & photo by Luthfi Rantaprasaja

Perjalanan ke Jepang bagi kami sekeluarga adalah perjalanan yang lama tertunda. Setelah akhir tahun lalu kami sudah berkunjung ke Korea Selatan, rencananya jadwal untuk berkunjung ke Jepang adalah awal tahun berikutnya. Namun karena satu dan lain hal, ditambah juga ada perubahan jadwal yang tiba-tiba dari pihak airlines, maka kami baru bisa berangkat di akhir tahun ini. Persis di tanggal yang sama ketika kami berkunjung ke Korea Selatan. Kalo soal perubahan jadwal sepihak sampe harus ganti airlines bisa diceritakan di kesempatan lain, karena lumayan juga prosesnya. Walaupun hikmahnya jadi malah bisa pake maskapai yang jauh lebih baik service-nya 😉

 

Singkat cerita, berbeda dengan motivasi yang menggebu, terutama dari istri yang terkena kuatnya pengaruh K-Culture, ketika memutuskan untuk berkunjung ke Korea Selatan. Perjalanan ke Jepang ini seperti menuntaskan keinginan berwisata sekeluarga keliling negara-negara di benua Asia semata. Tidak terlalu antusias sampe ke level obsesif tetapi cukup bergairah lah, namanya juga mau jalan-jalan. Dasar pemikirannya ‘kagok edan, ka Jepang we sakalian’ begitu mungkin di benak kami.

 

Dahulu ketika saya masih kecil, negara Jepang adalah salah satu idaman tempat untuk dikunjungi. Sebuah paradoks sebenarnya, terlepas dari gambaran yang dibaca di buku-buku sejarah sekolah tentang kebringasan kekejaman dan juga luka sejarah akibat penjajahan dan eksploitasi Jepang terhadap tanah air bangsa Indonesia. Saya takjub luar biasa dengan citra kehebatan bangsa Jepang yang bisa bangkit dari keterpurukan kekalahan dalam perang dunia terakhir, menjadi bangsa pemenang yang diperhitungkan dunia.

 

Bagaimana mereka yang menjadi bulan-bulanan dan luluh-lantak oleh bom atom, kemudian bisa muncul menjadi jawara ekonomi dunia dalam waktu yang relatif singkat. Produk-produk Jepang membanjiri negara kita, begitupun Jepang menjadi donor utama negara kita bahkan hingga saat ini. Tanpa sadar sejatinya kita kembali dijajah secara ekonomi, kali ini dengan ‘senang hati’. Dengan masuknya produk dan jasa serta ‘bantuan’ Jepang yang bertubi2 ini, masuk juga pengaruh yg sangat kuat dari kepentingan bisnis dan negara itu yang kemudian menentukan hajat hidup rakyat Indonesia. Tahukah anda, menurut BBC World Service Poll 2014, ada 70% orang Indonesia memandang pengaruh Jepang ini positif, dan hanya 14% diantaranya yang memandang negatif. Membuat Indonesia sebagai negara yang paling pro-Jepang di dunia!

 

Sebagaimana seseorang saudara yang lebih kuat secara status sosial dan ekonomi dalam sebuah keluarga, secara kultur ketimuran tentu akan dituakan, ditinggikan, diseniorkan karena senioritas adalah penghargaan tertinggi, sehingga dihormati. Begitupun sepertinya dengan Jepang bagi kita yang pada awal interaksi dalam episode perang dunia, datang dengan propaganda sebagai saudara tua Asia yang membebaskan negara-negara Asia lain dari imperialisme Barat. Walaupun pada akhirnya, itu hanya kedok untuk melemahkan perlawanan, namun dengan posisi tawarnya yang masih lebih tinggi sampai saat ini persepsi Saudara Tua tetap terpatri dan itu sah-sah saja disematkan.

 

Oleh karena itu, ketika merencanakan perjalanan ke Jepang. Apalagi sadar dengan kondisi ekonomi yang sedang melesu, dimana mata uang Indonesia sedang meriang, kurs Rupiah dengan Yen sempat menyentuh batas termahalnya di Rp 120/Yen. Sebagai self proclaimed ‘tour leader’ dan sole provider ‘tour fund’, saya cukup pusing memilih paket akomodasi, konsumsi dan transportasi yang masuk akal. Apalagi sering dengar dan baca bahwa biaya hidup di negara ini termasuk yang termahal di dunia. Sehingga menyeimbangkan agar kenyamanan perjalanan dengan biaya/harga tetap terjaga adalah sebuah tantangan. Sebuah seni perjalanan yang dilakukan secara mandiri yang lumayan memakan waktu namun prosesnya mengasyikan. Maka mbah google pun menjadi sasaran riset, begitupun sekali-kali mengintip sharing grup2 travel/backpacker di facebook dan baca tulisan-tulisan di blog-blog orang… dari semuanya yang cukup recommended sebagai entry point adalah www.japan-guide.com dan www.travel-japan.jp . Kebetulan juga ada teman/kenalan juga yang memang mukim di Jepang, sehingga korespondensi mengenai beberapa informasi pun berlanjut di media sosial.

 

Jepang menawarkan berbagai destinasi wisata yang sejatinya bisa memuaskan apapun yang menjadi minat kita. Diantaranya yang harus kita tentukan saat merencanakan perjalanan wisata adalah, apakah akan melakukan wisata sejarah, budaya & seni; wisata yang terkait dengan wisata alam/petualangan; atau wisata makan, belanja dan hiburan.

Berhubung perjalanan kami adalah wisata keluarga, tentunya tujuan wisata lebih banyak didominasi keinginan anak dan istri. Maka itinerary pun menyesuaikan, destinasi utama yang menjadi sasaran adalah dua taman bermain di Jepang, Universal Studios di Osaka dan Disneyland di Tokyo… termasuk pusat manga dan anime di Akihabara, Tokyo. Kemudian buat istri yang terinspirasi film ‘Memoirs of Geisha’ maka tempat-tempat yang menjadi lokasi syuting film tersebut di Osaka maupun Kyoto menjadi sasaran utama berikutnya… Begitupun minat shopping istri tersalurkan, terutama di kota megapolitan Tokyo dengan mengalokasikan cukup waktu mengunjungi Harajuku, terutama di daerah fashion Omotesando sampai ke Ginza.

Sementara tempat-tempat wisata kultural mainstream yang biasa penuh sesak dengan turis seperti kuil, candi, kastil hingga taman menjadi destinasi sekunder yang juga kami kunjungi sepanjang searah dengan destinasi utama. Adapun tujuan wisata alam yang tadinya juga sudah diagendakan jadi terpaksa dihapuskan karena untuk tipe wisata seperti ini perlu alokasi waktu khusus yang tidak bisa terpenuhi pada perjalanan singkat kami ini.

 

Bagi saya pribadi, prinsipnya bukan destinasi/tujuan yang utama melainkan perjalanannya. Toh selama perjalanan yang sangat singkat ini, sedikit banyak saya bisa melihat, mendengar dan merasakan bagaimana sih sebenarnya orang Jepang ini, sang saudara tua di negaranya sendiri. Bagaimana sih gambaran kemajuan dan kehebatan negara mereka serta keluhuran budi masyarakatnya? Penasaran juga kenapa bangsa dan negara kita tidak bisa semaju mereka? Apa yang sih mereka punya yang tidak kita miliki? Padahal modal dasar kita sebagai bangsa dan negara tidak kalah lho, kalau tidak mau disebut sebenarnya lebih baik. Bukan cuman masalah sumber daya yang melimpah tapi ternyata sejarah kita pun tertulis lebih awal daripada mereka. Kalau sudah demikian, siapa sebenarnya yang patut disebut sebagai saudara tua ya?

Keterangan foto –Harry Potter and the Forbidden Journey, Universal Studios Osaka