Batu Ringgit Tempat Petani Menghitung Hasil Panen

 

Menurut hikayat, dahulu petani dari daerah Cibeusi dan sekitarnya, setelah menjual hasil panen ke Bandung atau Lembang sejenak akan beristirahat disini. Tempat ini mereka gunakan untuk menghitung uang hasil  jerih payah mereka. Dahulu salah satu sebutan untuk nominal uang adalah ringgit, jadilah area batu besar tempat ini disebut Batu Ringgit.  Mungkin  jalur ini dipilih sebagai jalur yang singkat menuju Cibeusi dari Lembang, atau bisa juga jalur yang aman karena tak banyak orang tahu.

Sekitar pukul sebelas siang, kami bertujuh memulai perjalanan dari Cikole dengan diringi cuaca cerah. Namun jangan  terbuai dengan cuaca cerah di Cikole, terlalu sering matahari tiba-tiba saja ngumpet ke balik awan tebal di daerah ini. Jalur menuju curug via batu Ringgit bukan jalur paling popular untuk dilewati, demikian pula bukan jalur yang jelas bila belum terbiasa berjalan di hutan. Rutenya cukup curam menuju sungai dibawah, namun masih aman untuk dilalui. Malah jalur seperti inilah yang menjadi jalur kesukaan kami, sebuah jalur shortcut di hutan.

batu ringgit1

Satu jam berjalan sampailah ke tepi sungai di bawah. Aliran sungai ini tampaknya akan berujung menjadi curug Cibareubeuy. Airnya amat jernih, menggoda pelintas untuk beristirahat di tepinya. Saat beristirahat, saya baru menyadari rasa panas yang mengiris-iris di kaki. Olala..rupanya sahabat karib kita daun pulus juga ada terdapat disekitar sini. Bagi yang memakai celana pendek saat berjalan melewati jalur ini, bersiap-siaplah dielus manja daun ini.

Mau tidak mau , sungai setinggi lutut ini harus diseberangi basah-basahan dengan konsekwensi sepatu basah. Bila tak mau basah-basahan, bisa tiru cara yang saya lakukan : buka saja sepatu kala menyeberangi sungai hehe.. Suasana basah bisa membuat kurang nyaman perjalanan, lagipula hei..ini bukan perjalanan yang terburu-buru kok..jadi santai saja, manjakan kaki selagi bisa.

12829454_10205874912968975_8092339770692979993_o

Menyeberangi sungai adalah pertanda bahwa kampung Senyum tak lama lagi akan sampai. Mudah-mudahan Pak Rosyid cs ada disana, sehingga bisa memesan nasi liwet untuk mengisi perut. Walau..ehem..sudah dua bungkus nasi Padang kami buka sepanjang jalan tadi. Kami tiba di kampung Senyum tepat pada waktunya, yaitu kala hujan semakin lebat. Disini protap pun dijalankan,  memesan nasi liwet dan kopi lahang.

Setelah beristirahat di kampung Senyum, misi berikut jalan-jalan kali ini adalah mencari jalur tembus ke sekitar tempat wisata air panas Gracia. Sekitar pukul tiga sore kami meninggalkan kampung Senyum, kembali menaiki bukit menuju Cibeusi. Ada tiga jalur umum menuju ke Cibeusi dari kampong Senyum yaitu jalur sawah, jalur naik bukit dan melipir bukit melewati saluran air.  Bila melewati sawah, konsekwensinya persimpangan ke Gracia tak akan terlewati, hingga jalur bukit yang dipilih. Walau juga menuju persimpangan dimaksud, jalur melipir bukit sepanjang aliran air tentu bukan pilihan terbaik kala hujan begini, bisa-bisa berjalan diatas selokan terus dengan resiko lama-lama sepatu calangap (tau maksudnya?).

Kelihatanya cuaca tahu bila kami dalam mode survey, hingga tak segan-segan menumpahkan air dari awan. Mode survey tentu berbeda dengan mode jalan-jalan selfie, tiap orang sudah siap dengan kondisi terburuk. Raincoat dikeluarkan, pakaian kering untuk baju salin dilindungi rapat-rapat. Sedikit tips, selalu bawa baju salin untuk ganti sebaik apapun raincoat yang dibawa. Kalau raincoat saya memang sudah udzur, jadi selalu bawa baju salin. Namun karena  merknya The North Face tetap dibawa-bawa, lumayan kan buat terpajang di medsos hehe..

Hujan terus mengiringi perjalanan dengan setia. Bila tak terlindungi atap hutan, tentu hujan akan seperti air bah dari angkasa rasanya. Pepohonan hutan yang perkasa dengan lembut melindungi kami dari hujan petir dengan dedaunan lebatnya. Namun tak pelak air yang tumpah dari hujan membuat jalan setapak hampir tak dikenali.

Setelah beberapa kali salah jalan dan hari mulai gelap, kelihatannya meretas jalur ke Gracia mulai tampak terlalu ambisius. Satu jam berjalan, kami menarik diri ke jalur normal setelah mengamati ciri-ciri jalur ini sebagai bekal untuk melanjutkan survey dilain waktu. Gracia.. you are next!

@districtonebdg

 

Hell Pass Menuju Tebing Keraton

12745616_10209095848579929_2440956600450580721_n12744019_10209095847659906_1001352384693519172_n

Siapa tak kenal Tebing Keraton sebagai salah satu wisata paling kekinian di kota Bandung. Tentunya sudah kurang menarik bila mengulas tempat wisata ini untuk kesekian kalinya. Namun kami masih menyimpan rasa penasaran, bukan pada tebing Keratonnya namun pada jalur hiking menuju kesini. Bila berjalan kaki di jalan aspal tentu gampang sekali tinggal mengikuti saja jalan yang ada atau memakai ojek dengan biaya Rp 30,000,- sekali jalan. Ah, tapi tentu bukan perjalanan seperti itu yang kami cari,melainkan sebuah perjalanan yang akan sedikit memeras adrenalin.

Berawal dari sebuah perjalanan terdahulu ke Maribaya, walau tak terlalu dekat darisana tampak jelas Tebing Keraton di seberangnya . Hingga terpikir kala itu pasti ada jalur setapak menuju kesana. Bila dari Maribaya mungkin agak sulit karena harus menyeberang sungai Cikapundung yang curam,lalu mengapa tidak dicari dari desa Sekejolang yang terletak di ujung Tahura.

Sekian lama setelah perenungan itu, usai survey jalur di Tahura tiba-tiba saja terbersit untuk mencari jalur dimaksud. Dari desa Sekejolang Bar, Bobby, Arman dan Tanti melanjutkan perjalanan dengan mengambil setapak yang mengarah ke atas bukit. Tiba di bukit, pemandangan desa Sekejolang dan kehijauan Tahura di bawah tampak memanjakan mata. Namun ini barulah start, kami lalu menerobos ke belukar dan menemukan jalur pipa air.

IMG-20160224-03132

Rupanya sepanjang jalur pipa air ini adalah jalur setapak yang rimbun, maklum hanya dilalui untuk pemeliharaan pipa saja tampaknya. Di beberapa lokasi setapak ini cukup lebar, sehingga menggoda siapapun untuk mengira ini sebuah jalur setapak sejati. Namun segera jalur menjadi rimbun kembali oleh semak, bahkan di beberapa tempat kami kehilangan tempat untuk berpijak. Hanya sebuah tebing curam yang menganga ke bawah. Untunglah ada kawat baja untuk berpegang, hanya ini yang menjaga kami untuk tak hilang keseimbangan lalu tergelincir ke jurang. Bahkan tali webbing yang dibawa pun tak bisa banyak membantu dalam situasi begini. Saat melihat jurang dibawah, maka seakan jurang itupun menatap balik. If you gaze long into an abyss, the abyss will gaze back into you. Sejenak merinding mengingat kalimat Nietzsche itu.

Setelah melewati jurang, jalur tetap rapat dengan batu-batu licin. Sedikit lengah saja, setiap orang berjumpalitan di antara belukar rapat. Beberapa kali, karena berniat mengabadikan foto jalur malah ponsel yang dibawa terlempar karena tergelincir. Benar-benar harus ekstra berhati-hati. Niat untuk mengabadikan jalur pun batal dilakukan.

Setelah berjalan, jongkok, merangkak dan merayap sayup-sayup terdengar suara air bergemuruh di bawah. Semak terlalu lebat untuk melihat secara jelas ke arah suara air. Terlalu miris untuk membayangkan air terjun yang siap menelan dibawah,kamipun melanjutkan perjalanan dengan sedikit cemas. Hujan mulai turun, entah jalur seperti apa yang menunggu didepan.

Syukurlah hujan turun tak lebat, hanya mengirim basah ke sekujur tubuh. Dengan posisi gerak yang tak bebas, sudah malas untuk memakai jas hujan yang terlipat rapi di tas pinggang. Ah, lebih baik hujan-hujanan saja biar nanti ganti baju seusai hiking gila ini. Di depan, Bobby sebagai leader dengan cermat berusaha mencari jalur yang paling aman. Bisa dikatakan dibeberapa tempat tak ditemukan adanya jalur, satu-satunya cara adalah kembali mencari jalur pipa.

Setelah kembali menyusuri jalur pipa, sebuah jalan setapak menuju ke atas nampak cukup terbuka. Semua lega, karena bongkahan batu-batu besar yang menurut kami adalah penanda Tebing Keraton mulai dilewati. Jalur melipir ini tak memakan waktu lama untuk semakin menuju ke atas, menuju dataran terbuka. Tampak hutan pinus menyambut di depan, semua menghembuskan nafas lega. Saat keluar dari semak-semak, rupanya kami berada di camping area Tebing Keraton.

479711_10209089776268125_1040447001110063402_n

What a hike… jaraknya tak terlalu jauh hanya 2,5 kilometer saja namun cukup menguras tenaga dan memompa adrenalin. Usai hiking tak seorang pun cukup antusias untuk melihat panorama indah dari tebing yang terkenal ini. Peluh yang deras dan denyut adrenalin nyatanya lebih memberi kepuasan daripada sekedar pemandangan indah. Namun kami harus jujur mengatakan, ini bukanlah jalur setapak yang aman dan direkomendasikan. Bila tak punya pengalaman hiking sebelumnya, sebaiknya tak mencoba jalur ini. @districtonebdg

Hiking Ringan Menyegarkan Mata ke Cikareumbi, Lembang

IMG-20160113-02833IMG-20160113-02842IMG-20160113-02853

Kawasan hutan di sekitar  kampung Cikareumbi desa Cikidang, Lembang  dulunya merupakan tempat berburu. Lokasi tanahnya  subur dengan rerumputan hijau dimana-mana menarik hewan-hewan pemakan rumput. Disini banyak  tumbuh pohon kareumbi dengan sumber mata air yang berlimpah di berbagai tempat. Beragam hewan hidup serta berkembang. Hewan yang paling banyak ditemukan di daerah tersebut adalah Kidang (Mencek). Lama kelamaan daerah tersebut sering didatangi pemburu hingga akhirnya wilayah yang masih kosong itu dihuni menjadi tempat tinggal. Sekarang  kawasan itu dikenal dengan sebutan Kampung Cikareumbi.  Nama Desa Cikidang sendiri yang didirikan tahun 1854, yang diambil dari nama hewan itu yang senang hidup di sumber mata air.

Kami memulai hiking dari buper Cikole pukul sepuluh pagi, udara segar berbalut angin dingin yang mengelus kulit mengiringi langkah-langkah pertama dari parkiran mobil. Bila sebelumnya kami lebih sering hiking kearah Cibeusi, kali ini memantapkan diri untuk menuju Cikareumbi.  Baik menuju Cibeusi, Subang maupun Cikareumbi, Lembang jalur setapak akan banyak menemui turunan downhill.

Jalur yang dilewati sama dengan jalur menuju gunung Lingkung, namun di pertengahan jalan saat ada persimpangan maka kita mengambil arah yang ke kanan. Vegetasi sekitar jalur setapak disini didominasi hutan lebat dimana kita sebenarnya sedang berjalan di punggungan bukit, sehingga akan selalu melihat lembah dibawahnya. Bagi yang menyukai hiking di kelebatan hutan, maka jalur setapak disini merupakan salah satu yang terbaik.

Persimpangan ke kanan kondisinya tak berbeda jauh dengan “jalan raya” yaitu didominasi pohon besar dan semak yang lebat. Setelah menuruni lembah,kombinasi pinus mulai muncul hingga kemudian dominan hingga batas akhir hutan. Ditengah hutan sebuah sungai dengan air yang jernih mengalir menyejukkan irama perjalanan yang mulai berpeluh. Diantara kesejukan aliran sungai ini merupakan tempat yang ideal untuk mengaso sejenak.

IMG-20160113-02847IMG-20160113-02857IMG-20160113-02854

Setelah hutan pinus habis, landscape Lembang tampak terekspose secara menyegarkan. Beragam kebun sayuran mendominasi bebukitan hingga batas ladang. Dari tempat yang terbuka ini kita sudah bisa menilai posisi geografis kita, hingga jalan menuju kampung terdekat sudah dalam jangkauan.

Setelah berjalan beberapa lama diantara kebun sayuran kami tiba di sebuah pos pengumpul sayur. Tampak didalamnya timbunan tomat yang menggunung siap didistribusikan beberapa mobil bak terbuka. Salah satu ritual tahunan di Cikareumbi  adalah perang tomat, yaitu acara syukuran turun temurun untuk hasil panen yang melimpah. Tak heran tomat tampak menggunung disini.

Sebuah warung disamping posko sayur segera menjadi tempat bersanding setelah perjalanan hiking selama dua jam. Tentu saja untuk memesan kopi yang dinikmati dengan gorengan.

“Teu aya cengek na Bu?” tanya seorang teman celingukan. Kurang afdol rasanya menyantap gorengan gehu tanpa cabe rawit.

“Kantun metik we eta cengekna di kebon,” jawab si ibu tersenyum sambil menunjuk kebun cengek (cabe rawit)  disebelah warung. Ah betapa menyegarkan.

Curug Antani yang Tersembunyi di Barubeureum

12523976_10208918011731393_726998420770939378_n 12885994_10209407045719663_5372241274919264035_o

Di kaki gunung Manglayang terdapat beberapa air terjun, antara lain Curug Antani dan Curug Cigedogan yang terletak di kawasan Barubeureum, Jatinangor. Curug Antani dengan ketinggian sekitar delapan meter terletak di ujung aliran sungai kecil, kita harus berjalan menyusuri aliran air ke hulu untuk menuju curug. Sementara curug Cigedogan lebih mirip pancuran dibanding curug, terletak di jalur yang berlawan arah.

Curug Antani bisa disebut cukup mungil dibanding curug lainnya di kaki gunung, dengan ruang hamparan yang tak terlalu luas. Namun tempatnya yang tersembunyi, justru menjadi daya tarik pecinta hiking. Bila curug ini terpapar di lokasi yang mudah dilihat, malah mungkin menurunkan daya tariknya. Tersembunyi di dalam semak hutan, kita seperti mendapati inner beauty.

Untuk menuju Curug Antani dari warung Mak Ipah di Baru beureum, cukup berjalan santai sekitar 30 menit. Tak lama setelah warung kita akan disambut oleh tanjakan, berjalanlah santai karena tujuan tidaklah jauh. Lebih baik menikmati tanjakan hijau diantara pohon pinus ini seraya menikmati pemandangan sekitar. Darisini tanjakan ke puncak bayangan Manglayang tampak curam di seberang, dengan jalan setapak tanah merah yang terlihat jelas.
Setelah bertemu batu besar di puncakan, jalur akan terus menurun. Lalu akan bertemu jalan mendatar, dari sini sudah terdengar suara gemericik air. Turunlah ke sungai kecil disebelah kanan kita, darisitu tinggal telusuri alirannya hingga ke hulu dan kita akan mendapati sebuah curug.

Meninggalkan curug, kami sarankan ambillah jalan yang berbeda karena kita belum hiking terlalu lama, masih banyak energi di tubuh. Dari batu besar yang menjadi petunjuk jalan tadi teruslah lurus, tidak ke bawah menuju warung. Jalur ini akan memberi kita view lain untuk dijelajahi. Setelah berjalan tak terlalu lama kita akan menjumpai pertigaan jalan setapak, bila ambil ke kanan segera menuju jalan koral dan bila lurus akan hiking semakin jauh mendapati hutan bambu. Pilih jalur dengan bijak sesuai waktu dan tenaga yang anda punya.

Bila membawa mobil, saran kami titipkan saja di sebuah rumah makan tak jauh dari gerbang Barubeureum. Kita bisa memesan menu untuk makan siang setelah nanti selesai hiking, darisini berjalan sepanjang jalan koral menuju warung. Pemandangan hijau sepanjang jalankoral cukup indah, seraya membiasakan kaki untuk berjalan. Bila ada waktu, setiba di warung sosialisasilah dulu sambil ngopi-ngopi sejenak, maka kita akan mendapatkan informasi berharga di kawasan sekitar.

Perjalanan hiking akan lebih bernilai bila kita tak hanya mengejar lokasi tujuan, namun meleburkan diri dalam lingkungan. Bersosialisasi dengan penduduk, menikmati pemandangan, merasakan otot-otot tubuh yang mengerang girang meyusuri setapak, suasana sepanjang perjalanan seringkali  lebih berkesan dibanding lokasi tujuan dari hiking itu sendiri. @districtonebdg

Mencari Curug Cilengkrang di Ujungberung

 

1Perburuan curug (air terjun) kembali dilakukan, kali ini target kami adalah Curug Cilengkrang yang terletak di wilayah Ujung Berung, Bandung. Walau bukan curug yang indah atau populer, mencari sebuah curug di dalam hutan atau di kaki gunung selalu merupakan perburuan yang menarik. Kala menemukannya serasa berada di sebuah klimaks cerita, bahkan bila curug itu tak seindah yang dibayangkan. Adrenalin yang menjalar sepanjang pencarian itu telah lebih dari cukup untuk menjamin suatu kepuasan ber-hiking ria.

 

Menuju lokasi curug Cilengkrang tak sulit, dari arah alun-alun Ujungberung ke Cileunyi nanti akan menjumpai jalan Cilengkrang I di sebelah kiri. Perjalanan menanjak sepanjang empat kilometer, awasilah petunjuk jalan maka kita akan sampai di loket masuk ke curug, tak jauh dari arena outbond Manglayang Camp. Tiket masuknya 6.000 rupiah, sudah termasuk parkir  (2015).

2Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam dari gerbang wisata perkemahan curug Cilengkrang dengan menyusuri hutan pinus dan merayapi punggungan bukit yang meliuk-liuk. Curug Cilengkrang ini berupa rangkaian air terjun dalam rentang dua kilometer di sepanjang aliran Sungai Cihampelas. Bila akan menuju puncak Manglayang, jalur setapaknya sebaiknya ambil dari luar kawasan wisata curug, yaitu melalui dua jalan koral yang mengapit kawasan wisata curug Cilengrang ini.

Sungai ini mengikuti alur lembah Gunung Manglayang dari utara ke selatan. Di kawasan ini setidaknya enam air terjun kecil. Oleh warga setempat, air terjun itu pun diberi nama (berurutan dari hilir), yaitu Curug Batupeti, Curug Papak, Curug Panganten, Curug Kacapi, Curug Dampit dan Curug Leknan. Bagi kami sebagian lebih berupa aliran sungai yang menurun dibanding curug.

Setelah melintasi aliran sungai kecil berbatu, akhirnya kami tiba di sebuah curug  yang ternyata tengah mengering. Bayangan kami tentang gemuruh dan cipratan air sebuah air terjun tidak kami dapatkan. Curug Dampit yang terdapat di ujung jalan   setapak tak lain adalah dua air terjun berdempetan, mengalir di dinding batu, sayang airnya sedang surut saat kemi berkunjung.Yang kami temui hanyalah batu lumut bekas aliran air terjun yang mengering. Area sekitar jatuhan air sudah tertutup tumbuhan air pertanda sudah lama spot ini ditelantarkan.

8Sebagian orang akan kecewa bila berharap mendapati curug besar yang indah namun yang didapati hanya rembesan air di tebing. Namun bagi kami berada di sebuah blank spot teramat sepi di tengah hutan ini seperti melongok nirwana.

 

ANTARA CIKOLE, GN. LINGKUNG DAN CURUG CIBAREUBEUY

IMG-20151125-02434By. Bayu Ismayudi

Masih tentang Curug Cibareubeuy, masih tentang wilayah Gn. Lingkung, masih tentang air terjun, memang tidak membosankan.

Pepatah mengatakan “Banyak jalan menuju Roma”. Kami pun mengungkapkan “Banyak jalan menuju Curug Cibareubeuy”. Setelah dua minggu yang lalu kami gagal menemukan jalur menuju Curug Cibareubeuy dari arah Bumi Perkemahan Cikole, maka pada hari Rabu 25 November kemarin, kami mencoba kembali mengeksplore jalur tersebut.

Kami bertiga, saya, Bayu Bharuna dan Arman Norval berbekal serpihan info seadanya, mengandalkan insting dan GBS (Global Bacot System) yang saya kira lebih efektif untuk menjelajahi jalur yang ternyata jarang dijamah orang, kami mencoba memuaskan kepenasaranan untuk menguak jalur menuju Curug Cibareubeuy yang konon lebih eksotis daripada jalur Wates itu.

Sesaat sebelum memulai pergerakan, usai memarkirkan kendaraan, kami mencoba berbasa basi dengan seorang Polhut & petugas parkir di Bumi Perkemahan Cikole. “Wah, rada sesah jalanna kang ti dieu mah, seueur jalur anu matak nyasabkeun, jalur nu ka curug jarang kaliwatan”. Ujar sang Polhut saat mengetahui kami akan menuju Curug Cibarebeuy. “Akang pan tiluan, ngke pas di leuweung tong asa-asa we mun mendakan jalur, malah sok nyasab mun kitu” lanjutnya. Hmmm…kembali mitos-mitos seputar Gn. Lingkung diungkapkan…

Tapi apapun itu, tekad kami sudah bulat untuk terus menyusuri jalur yang membuat kami semakin penasaran. Tak ada petunjuk jelas selama di perjalanan yang menunjukkan arah menuju curug selain rambu-rambu pesepeda menuju Ds, Cibeusi.

Beberapa kali kami berhenti untuk mencoba orientasi medan, meraba jalur. Hingga akhirnya kami berpapasan dengan para mountain biker…”Kang, pami ka cibareubeuy ka palih dieu?” teriak saya pada seorang leadernya…”Sanes kang, kalangkung…uih deui kang, ku abdi diantosan di pas belokkanna”. Sahutnya. Kami pun berbalik arah hingga bertemu dengan sang leader mountai biker yang sedang menunggu. Dan ternyata belokan itulah tempat kami berhenti sebelumnya, saat mengira-ngira kalau itu jalur kita cari. Setelah diberi petunjuk oleh sang leader, kami pun mulai meniti jalur.

Rupanya jalur yang dilalui ini memang jarang dijamah oleh para 16ee9a0c-d32e-49a4-a491-61f4b90f229chiker, semak dan alang-alang hampir menutup rapat jalan setapak walaupun di beberapa tempat kami menemukan bivak alam yang sepertinya bekas kegiatan pelatihan kepecintalaman.

Jalur yang kecil dengan turunan curam kami lalui, hingga kami menemukan sebuah sungai di sebuah lembah yang membelah dua punggungan bukit. Setelah kami membasuh tubuh dengan kesegaran sungai yang jernih itu, kami pun melanjutkan perjalanan melintasi sungai menuju jalur yang menanjak hingga tiba di sebuah tempat yang beratap batu, layaknya batu gantung, orang sekitar menyebutnya batu ringgit. Dan tempat inilah yang menurut beberapa info merupakan patokan sudah dekatnya tujuan kami menuju curug.

Usai melawati batu ringgit, kembali kami melahap turunan curam yang tersaji hingga akhirnya kami tiba tepat di warung Pak Rosyid sang kuncen Kampung Senyum, Curug Cibareubey yang langsung menyambut kami dengan hangat, sehangat kopi lahang pak Aceng & Liwet ikan asin yang merupakan santapan wajib saat kami tiba di kampung senyum.

Kunjungan kami yang kesekian kalinya ke Curug Cibareubeuy kali ini kami gunakan untuk mengeksplore curug Cibareubeuy 2, atau dikenal dengan nama curug Cinta Wedana atau Curug Wayang yang terletak sekitar satu kilometer dari Kampung Senyum.

IMG-20151125-02448Curug Cinta Wedana atau curug Wayang ini terdiri dari lima undakan air terjun, cukup indah tapi masih dalam tahap relokasi sebagai kampung wisata kedua setelah curug Cibareubeuy.

Usai menyantap hidangan liwet khas Pak Rosyid dan minuman kopi lahang khas pak Aceng yang juga merupakan kuncen kampung senyum, kami pun melanjutkan perjalanan pulang dengan melalui area pesawahan desa Cimulya menuju desa Cibeusi, Ciater.

Perjalanan dengan medan yang variatif ini diakhiri dengan hujan lebat saat kami berada dalam Elf menuju Cikole tempat kami memarkirkan kendaraan…

Dalam benak kami rencana untuk mengeksplore jalur lain di wilayah Cikole, Gn. Lingkung dan Wates sudah terplanning malah sebelum kami menuntas perjalanan pulang…hmmm, memang bertualang adalah hal yang mengasyikan, selalu ada saja alasan untuk kembali berburu udara segar….

Trek Hutan yang Indah di Gunung Lingkung

Sanes ka dieu jalan ka Cibeusi mah, ieu mah ka Cikidang atanapi Cikareumbi,” ujar salah seorang pencari kayu yang ditemui di perjalanan.

Rupanya kami salah ambil jalan dari buper Cikole padahal tadi sudah bertanya juga, beruntung rombongan pencari kayu berbaik hati mengantar sampai ke rute yang benar. Rupanya jalur yang benar adalah di sekitar lahan penelitian Perhutani yang ditanami pohon Meranti dan Lamo. Kedua jenis pohon ini tampak mendominasi jalur untuk beberapa saat.

Tak lama kemudian terdapat persimpangan antara ke kiri menuju Wates dan kanan ke Cibeusi. Persimpangan ini jelas sekali karena merupakan petunjuk rute sepeda MTB menuju Cibeusi, darisini tinggal mengikuti petunjuk yang tersebar sepanjang jalur gowes. Jalur hutan yang dilalui sangat indah, dengan jalan yang cukup lebar, pepohonan rimbun, dan karena merupakan punggungan sesekali tampak view lembah yang indah.

Tak lama kemudian jalur mulai menanjak, namun tak terlalu curam seperti di gunung hanya saja beberapa pohon tumbang menghalangi jalan. Setelah habis tanjakan sampailah di puncak yang cukup luas. Kelihatannya inilah puncak dari punggungan yang kami naiki sejak tadi. Jikalau demikian barangkali inilah yang dinamakan Gunung Lingkung. Sebuah gunung berbentuk segitiga tampak di kejauhan, mungkin gunung Palasari.

Sebuah saung sederhana seakan menyambut kedatangan kami untuk mengaso sejenak. Di depan saung tampak lembah dengan pemandangan yang indah. Area ini tampaknya merupakan tempat yang juga diperuntukan untuk mengaso rombongan MTB yang akan menuju Cibeusi.

IMG-20151114-02241Sejenak beristirahat di puncak, lalu perjalanan dilanjutkan dengan trek menurun. Seringkali treknya merupakan tanah gembur yang baru digali supaya tak terlalu curam bagi jalur downhill sepeda. Beberapa tempat memang cukup curam bagi sepeda, sehingga ada anjuran untuk dituntun saja.

Setelah sejam berjalan tampak sebuah warung di pinggir jalur setapak. Setiap rombongan yang melewati jalur ini pasti akan berhenti di warung milik Pa Entoy, tak lain untuk menikmati minuman lahang yang segar karena baru diambil dari pohon kawung (nira). Sungguh menyegarkan mereguk minuman hutan ini setelah perjalanan naik turun di hutan selama dua jam.

Palih dieu oge aya curug di tengah leuweung mun tacan dibuka kangge umum,” ujar Pa Entoy sambil menunjuk ke sebuah punggungan bukit di belakangnya. Menarik juga, nanti kalau sudah dibuka tentu jalur ini akan kembali kami survey.

IMG-20151114-02244Menuju desa Cibeusi, perjalanan tak sampai sejam lagi melewati jalanan melipir bukit dengan pemandangan hamparan sawah yang indah. Kampung sudah terlihat dari sini. Sesampai di Cibeusi, kami menuju warung langganan sekedar berbasa-basi. Minggu lalu saat sedang berteduh di warung, kilat menyambar tak jauh dari warung sehingga TV disini rusak. Lalu perjalanan pulang diteruskan memakai ojek ke jalan raya Subang. Darisitu tinggal menunggu elf jurusan Bandung yang sering melintas.

Jalur Cikole-Cibeusi via Gunung Lingkung ini harus diakui merupakan jalur hiking yang indah, walau kita tak akan menemukan atraksi air terjun atau desa wisata seperti jalur Cikole ke curug Cibareubeuy. Bagi yang menyukai trek yang indah dan sepi di dalam hutan, rute hiking selama tiga jam ini layak dicoba.

Berjalan di Antara Jurang di Gunung Kerenceng

10157184_10207813927769984_6273434715288264312_nIMG-20151028-02064

Gunung Kerenceng (1.712 mdpl), sebuah gunung yang belum begitu dikenal  yang terletak di perbatasan antara Bandung dan Sumedang wilayah Rancaekek-Cipacing, tepatnya di Desa Tegal Panggung Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang.

Ketidakpopuleran gunung ini membangkitkan keingintahuan team District One untuk mencoba mengeksplorenya. Hingga akhirnya pada hari Rabu 28 Oktober 2015 pukul 08.30 saya dan Bayu Bhar bersama empat orang rekan mulai menyusuri jalan setapak yang melintasi ladang penduduk menuju puncak Gunung Kerenceng.

Panas  menyengat yang merupakan karakteristik medan pendakian di wilayah Bandung Timur ditambah dengan efek kemarau yang panjang mengiringi perjalanan kami. Selepas melintasi ladang, kami mulai memasuki hutan alang-alang yang cukup luas. Setelah sekitar satu setengah jam menembus hutan alang-alang diselingi beberapa kali istirahat, akhirnya kami memasuki hutan sekunder yang lumayan teduh.

Jalur yang menanjak disertai iklim khas Bandung Timur dan vegetasi alam yang kebanyakan tidak tertutup rimbunnya pohon cukup membuat kami banyak menguras tenaga, air minum yang biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan, kali ini terasa kurang….

“Boros cai nginum di dieu mah…” keluh Bhar sambil membuka botol kedua air mineral ukuran 330 ml. “Enya, basa ka gunung Burangrang asa teu kieu-kieu teuing panas na” balas saya, yang memang saya rasakan perjalanan belum setengahnya tapi air minum sudah terkuras setengah botol hehehehe.

Setelah memasuki hutan sekunder yang cukup meneduhkan walaupun luasnya hanya ‘sepelemparan batu’. Kami kembali memasuki padang ilalalang yang dari situ kami dapat melihat puncak dua Gunung Krenceng.

“Itu puncaknya kang?” tanya Imam pada seorang rekan yang sekaligus guide bagi kami dalam perjalanan ini. “Bukan Mam, di balik itu puncak utamanya, itu puncak dua” jawab sang rekan.

Glek! jadi kami harus melewati puncak itu dulu sebelum puncak utama dan jalur yang kami lalui adalah sebuah tanjakan tegak yang orang menyebutnya ‘Tanjakan Baeud’. Baeud artinya cemberut…ya orang yang melalui tanjakan ini akan sibuk mengatur nafas dan langkah kaki dinaungi sengatan matahari dan setapak berdebu yang membuat orang sedikit baeud hehehe.

Usai melalui tanjakan itu, kami kembali beristirahat sambil membuka bekal cemilan yang kami bawa, seorang rekan membentangkan hammock yang ditautkan di antara pepohonan yang ada di sekitar area tersebut. “Mana puncakna kang?” tanya saya, “Itu kang” jawab seorang rekan sambil menunjuk sebuah bukaan menonjol mirip tumpeng.

Bayu deKalderaSavaIMG-20151028-02072

Antara puncak dua dan puncak utama dihubungkan oleh lampingan jalur yang tipis, mirip puncak Gn. Rakutak di daerah Majalaya. Cuma jalur lampingan ini agak lebih panjang tracknya dan terasa lebih menyengat suhunya karena jarang adanya pepohonan. “Angin na oge haneut di dieu mah” gumam Bhar tersenyum kepanasan.

Sepanjang penyusuran lampingan itu kami dapat melihat view gunung-gunung di sekitar yaitu gunung Kareumbi dan Buleud yang paling dekat. Sementara gunung Geulis dan Manglayang tampak di belakang. Terlihat beberapa titik asap dari hutan yang terbakar dalam perjalanan ke puncak. Begitu pula saat kami tiba di puncak utama yang gundul terlihat jelas beberapa titik hutan yang terbakar….hmm kemarau yang panjang ditambah iklim khas yang panas merupakan perpaduan yang bisa memicu terbakarnya hutan.

Kami tiba di puncak utama sekitar pukul 11:30, setelah istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kembali turun dengan semangat menyeruput minuman dingin di warung penduduk…hauuus bro!

Mendaki Puncak Bayangan Manglayang

puncak bayangan

Sekitar pukul delapan pagi kami tiba di  sebuah wilayah di kaki gunung Manglayang tepatnya di daerah Baru Beureum. Wilayah ini merupakan salah satu jalur pendakian menuju puncak bayangan Manglayang. Mobil kami parkir di dekat warung yang belum lagi buka.Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami segera menyusuri jalur pendakian. Harum tanah basah dan cipratan embun pagi segera menyambut kami.

Tanjakan terjal langsung memberi ucapan selamat datang, rombongan mulai menapaki jalur terjal ini, banyak medan yang mengharuskan kami melaluinya dengan merayap.

Gunung Manglayang di wilayah Bandung Timur Jawa Barat walaupun tidak sepopuler gunung-gunung di Jawa Barat lainnya seperti Gn Gede atau Ciremai tapi Manglayang mempunyai medan yang cukup terjal yang cocok untuk para pendaki pemula atau yang baru memulai kembali sekedar untuk melatih otot kaki dan nafas.

Satu hal yang membuat saya kagum adalah Daniel, seorang anak berusia 11 tahun dalam rombongan kami. Dia begitu tangguh menyusuri medan. “Tengsin atuh urang mun katingali ngaplek mah.” Pikir saya hehehehe. Daniel adalah salah seorang dari rombongan yang kami pandu dalam rangka ecoturism yg diselenggarakan District One.

Setelah dua jam kami menyusuri medan yg terjal & licin akibat hujan malam sebelumnya, akhirnya kami tiba di puncak bayangan Manglayang. View kota Bandung dari puncak ini seolah menyambut kami. Sejenak kami istirahat, membuka perbekalan sambil menikmati pemandangan yg menyejukkan mata, panas & aroma kopi hitam menemani kami bercengkrama bersama anggota rombongan. Saya hirup udara di sekeliling sedalam dalamnya…sudah lama rupanya paru-paru ini tidak merasakan pure oksigen.

Akhirnya sebelum matahari tertutup mendung, kami bersiap untuk segera turun ke Baru Beureum. Kami harus turun untuk menghindari hujan, karena jalur yg kami lalui akan bertambah licin saat hujan.Setiba di baru Beureum aroma masakan yg dimasak dari tungku kayu bakar dari warung tradisional menyambut kami, sungguh aroma yg khas pedesaan.

 

Reruntuhan Benteng Misterius di Pasir Ipis

IMG-20151021-02030Sebuah desas-desus tentang keberadaan reruntuhan benteng di sekitar Lembang membangkitkan insting untuk mencarinya. Selama ini kami hanya mengetahui sebuah bunker tua di daerah Gunung Putri, yang biasa dilalui jalur offroad trayek Sukawana-Gn Putri. Keberadaan benteng ini tentu mengusik rasa penasaran.

Pada tanggal 21 Oktober 2015, tim survey Bar, Bais, Imam dan Oscar pun meluncur ke Lembang menuju rumah kenalan baru kami yaitu Warid di kampung Cisarani, desa Cikahuripan. Jalan menuju rumahnya diwarnai dengan tanjakan yang tajam dengan jalan yang tak terlalu lebar. Mungkin akan lebih baik bila memakai motor, pikir kami.

Pukul 10:15 hiking dimulai dari belakang rumahnya, melewati ladang dan kebun. Musim kemarau tampak jelas membuat petani disini kesulitan. Beberapa bak penampung air tampak sudah lama kering, banyak lahan dibiarkan tak ditanami karena sulit air. Selain pertanian disini juga tampak beberapa kandang sapi perah. Mereka menyetorkan susu sapi ke koperasi susu di Lembang.

IMG-20151021-02010Selepas ladang, jalur hiking mendaki bukit menuju hutan pinus. Belum lama berjalan di antara pepohonan pinus tiba-tiba Warid menunjuk tangannya ke atas. Sebuah elang besar tampak terbang tak terlalu tinggi dari pohon pinus. Waah..bukan main, sudah lama tak melihat elang besar terbang begitu dekat diatas kepala. Kalau tak salah dua tahun lalu kala hiking di gunung Geulis, Jatinangor.

Jalan setapak di antara pepohonan pinus menghantarkan kami ke perbatasan dengan hutan primer, yang disebut daerah Leuweung Poek. Dari perbatasan dengan hutan ini, reruntuhan benteng tak jauh lagi. Sebuah ajakan dalam basa Sunda untuk melestarikan hutan tertulis di papan triplek yang sederhana, terpaku pada batang pohon pinus.

“Duluh Galuh Pakuan Pajajaran. Salemah sabasa sabudaya. Sacai satradisi saturunan Eyang Siliwangi. Hayu urang jaga riksa jeung mumule leuweung sareng lemah cai na. Mugia janten ibadah.”

Warid menunjukkan sebuah tembok yang memanjang, sudah berlumut dan sebagian terkubur didalam tanah. Ia sendiri kurang tahu sejarah benteng ini. Namun tebakan kami, reruntuhan ini merupakan bagian dari sistem perbentengan yang terintegrasi dengan bunker Belanda di Gunung Putri, dibangun untuk melindungi kota Bandung bila diserang dari arah Subang.

Hanya satu jam perjalanan untuk sampai kesini, kami tak berniat meneruskan lebih jauh lagi karena tujuan utama hanya sampai benteng. Dari segi kewilayahan, kemungkinan termasuk ke dalam kampung Pasir Ipis, desa Jayagiri.

Di teras benteng yang tak terlalu luas, pemandang hutan Leuweung Poek terbentang di depan. Sebuah view yang pantas untuk menikmati bekal yang dibawa. Warid membongkar backpacknya, mengeluarkan kompor Trangia dan kopi.

Ieu kopi meser di Cibareubeuy,” ujarnya,” teras ku abdi disangray dina katel taneuh nganggo suluh. Disangray dugi aroma na kaluar, teras ditumbuk nyalira. Abdi mah hoyong rasa kopi nu alami.

Wah, tentu rasanya mantap. Ia lalu mengeluarkan gula merah, dari pohon aren. “Raosan nganggo gula aren batan gula bodas,” lanjutnya.

IMG-20151021-02016Benar saja, kopi yang diroasting tradisional, gula aren dan air mendidih membuat rasanya juara. Belum lagi view yang menakjubkan dan hawa segar pegunungan. Setelah beberapa kali sesapan, setiap orang tenggelam dalam sensasi rasa kopinya. Mabuk pada pesona alam, enggan untuk mengingat mereka harus kembali ke kota. Seperti meneguk anggur kehidupan.

Wow..pedo kieu kopi na,” gumam Bar takjub.
Enya..lekoh pisan..” jawab Bais.

Sayang waktu kami tak banyak, setelah sepeminuman kopi rombongan pun bergerak mengevakuasi diri. Masih terdapat beberapa spot menarik di sekitar sini bila melanjutkan perjalanan 1-2 jam lagi, misalnya air terjun ke arah Sukawana, perkemahan Jayagiri atau bunker gunung Putri.