“Sanes ka dieu jalan ka Cibeusi mah, ieu mah ka Cikidang atanapi Cikareumbi,” ujar salah seorang pencari kayu yang ditemui di perjalanan.
Rupanya kami salah ambil jalan dari buper Cikole padahal tadi sudah bertanya juga, beruntung rombongan pencari kayu berbaik hati mengantar sampai ke rute yang benar. Rupanya jalur yang benar adalah di sekitar lahan penelitian Perhutani yang ditanami pohon Meranti dan Lamo. Kedua jenis pohon ini tampak mendominasi jalur untuk beberapa saat.
Tak lama kemudian terdapat persimpangan antara ke kiri menuju Wates dan kanan ke Cibeusi. Persimpangan ini jelas sekali karena merupakan petunjuk rute sepeda MTB menuju Cibeusi, darisini tinggal mengikuti petunjuk yang tersebar sepanjang jalur gowes. Jalur hutan yang dilalui sangat indah, dengan jalan yang cukup lebar, pepohonan rimbun, dan karena merupakan punggungan sesekali tampak view lembah yang indah.
Tak lama kemudian jalur mulai menanjak, namun tak terlalu curam seperti di gunung hanya saja beberapa pohon tumbang menghalangi jalan. Setelah habis tanjakan sampailah di puncak yang cukup luas. Kelihatannya inilah puncak dari punggungan yang kami naiki sejak tadi. Jikalau demikian barangkali inilah yang dinamakan Gunung Lingkung. Sebuah gunung berbentuk segitiga tampak di kejauhan, mungkin gunung Palasari.
Sebuah saung sederhana seakan menyambut kedatangan kami untuk mengaso sejenak. Di depan saung tampak lembah dengan pemandangan yang indah. Area ini tampaknya merupakan tempat yang juga diperuntukan untuk mengaso rombongan MTB yang akan menuju Cibeusi.
Sejenak beristirahat di puncak, lalu perjalanan dilanjutkan dengan trek menurun. Seringkali treknya merupakan tanah gembur yang baru digali supaya tak terlalu curam bagi jalur downhill sepeda. Beberapa tempat memang cukup curam bagi sepeda, sehingga ada anjuran untuk dituntun saja.
Setelah sejam berjalan tampak sebuah warung di pinggir jalur setapak. Setiap rombongan yang melewati jalur ini pasti akan berhenti di warung milik Pa Entoy, tak lain untuk menikmati minuman lahang yang segar karena baru diambil dari pohon kawung (nira). Sungguh menyegarkan mereguk minuman hutan ini setelah perjalanan naik turun di hutan selama dua jam.
“Palih dieu oge aya curug di tengah leuweung mun tacan dibuka kangge umum,” ujar Pa Entoy sambil menunjuk ke sebuah punggungan bukit di belakangnya. Menarik juga, nanti kalau sudah dibuka tentu jalur ini akan kembali kami survey.
Menuju desa Cibeusi, perjalanan tak sampai sejam lagi melewati jalanan melipir bukit dengan pemandangan hamparan sawah yang indah. Kampung sudah terlihat dari sini. Sesampai di Cibeusi, kami menuju warung langganan sekedar berbasa-basi. Minggu lalu saat sedang berteduh di warung, kilat menyambar tak jauh dari warung sehingga TV disini rusak. Lalu perjalanan pulang diteruskan memakai ojek ke jalan raya Subang. Darisitu tinggal menunggu elf jurusan Bandung yang sering melintas.
Jalur Cikole-Cibeusi via Gunung Lingkung ini harus diakui merupakan jalur hiking yang indah, walau kita tak akan menemukan atraksi air terjun atau desa wisata seperti jalur Cikole ke curug Cibareubeuy. Bagi yang menyukai trek yang indah dan sepi di dalam hutan, rute hiking selama tiga jam ini layak dicoba.