by Tanti Brahmawati
Pada hari Kamis tanggal 10 Maret 2016 yang lalu, saya bergabung dengan Tim District One untuk menjelajah alam kembali. Tujuan utama saat itu Curug Cibareubeuy yang berada di Kawasan Gunung Lingkung Subang, dengan starting point Cikole Lembang dan berencana berakhir di Desa Cibeusi Subang. Ini partisipasi ke-2 saya setelah hell pass Tebing Keraton ( lihat Hell Pass Menuju Tebing Keraton ), jujur ada rasa takut medan yang akan dilalui sama seperti hiking pertama, yang menguras energi dan mental tiada tara. Tetapi teman-teman dari District One meyakinkan bahwa medannya sudah sering mereka jejaki, bahkan Tim Leader-nya, Baiz sudah sering membawa beberapa kelompok, perkumpulan, maupun perorangan yang menyukai olahraga alam ke wilayah ini.
Diantara kami bertujuh Baiz, Bar, Arman, dan Asnur sudah sering menjajal rute ini, dan kali pertama buat saya, Rizki, dan Ihsan.
Kegiatan hiking dimulai pukul 10.30 bertempat di Treetop Cikole Lembang. Pemanasannya lumayan menguras keringat, tanjakan yang tiada henti, dan harus berhenti sebentar-sebentar untuk menarik nafas. But It’s okay, the view helped me much. Loving the green forest. Jalan setapak yang kami lalui kemudian sedikit datar, so we could speed up the beat.
Pemandangan hutan heterogen yang eksotis memanjakan kami. Tak bosan-bosan saya mengambil beberapa foto untuk diabadikan. Salah satunya pohon Sauravia Cauliflora, orang Sunda menyebutnya ‘Ki Leho’ yang ternyata merupakan sepesies endemik pulau Jawa dan termasuk ke dalam daftar spesies tanaman yang terancam punah.
Ternyata banyak rute menuju Curug Cibareubeuy, tapi kami kali ini memilih via Batu Ringgit. Sedikit menantang, jalanan cukup licin mungkin karena musim penghujan. Cukup sering saya tergelincir dan jatuh. Setapak berganti curam dan menurun, harus ekstra hati hati dan menjaga keseimbangan. Bersyukur banyak pohon-pohon kuat dan kokoh menjadi pegangan. Sungai yang mengalirkan air jernih memanjakan mata, rasa lelah terobati ketika menyentuh air sungai yang jernih dan segar. Tiba di singkapan bebatuan Batu Ringgit sekitar jam 12.00, hujan menyambut kami. Kami beristirahat sebentar dan memakai jas hujan untuk perjalanan berikutnya dimana kami harus menyebrang sungai beberapa kali yang di musim penghujan debit airnya meningkat.
Akhirnya tibalah kami di Curug Cibareubeuy yang berada di dalam Kampung Senyum. Rasanya ingin berlama-lama dekat air terjun yang airnya super jernih dan cipratannya memberikan sensasi sendiri seperti halnya orchestra alam nan syahdu. What a peaceful music rhytm. Kampung Senyum membuat saya membayangkan pada suasana kampung Hobbit dalam cerita Lord of the Ring. Bukan bentuk bangunannya, lebih ke suasana tentramnya. A village where the wanderer take a rest and forget to continue the wandering. Such a very simple life.. Di sini kami berisitirahat, dimanjakan Nasi Liwet penawar lapar dan Kopi Lahang yang rasanya aneh tapi nikmat.
Sudah cukup lama kami beristirahat di Kampung Senyum dan saatnya kami meneruskan perjalanan pulang. Bar melontarkan keinginannya menjajal rute pulang baru, yaitu keluar dari Gracia. Karena ikut rombongan, tentu saya menurut saja, mau bagaimana lagi, sambil khawatir medan seperti apakah yang akan kami hadapi ke depan. Ah sepertinya hiking ceria ini akan berubah menjadi hiking gila lagi, pikirku.
Setelah sekitar 1 jam berjalan menyusuri rute yang dianggap sepertinya menuju Gracia, tibalah di area persawahan yang luas, kami kira sudah mendekati Gracia, ketika bertanya pada petani di sana, ternyata rute yang kami ambil salah, sehingga harus menaiki punggungan gunung kembali, mencari rute lain. Langit semakin gelap, hujan semakin deras, kabut gelap mulai menyelimuti dan mengaburkan jarak pandang. Pukul empat sore seperti akan beranjak malam saja. Dari kejauhan terdengar suara petir. Salah satu anggota tim District One, Arman menyarankan agar kembali saja ke shelter batu prasasti, lalu pulang mengambil jalur biasa ke desa Cibeusi, dimana keamanan rutenya sudah terkuasai.
Mengingat petir, waktu yang semakin sore dan gelap, tidak ada satu pun yang membawa tali webbing, dan hanya 2 org saja yang membawa senter,ditambah juga tidak satu pun dari kami pernah menembus jalur keluar via Gracia. Belajar dari pengalaman sebelumnya, tentu kami tidak mau melakukan kesalahan konyol. Akhirnya kami berbalik arah, butuh 30 menit untuk kembali ke shelter. Waktu sudah menunjukkan pukul 4.30. Benar saja baru 2 menit berkumpul di shelter, petir besar menggelegar tepat di atas langit kami berada. Sehingga kita memutuskan untuk berdiam sejenak menunggu langit tenang.
Ya, kita menjajal alam liar memang bukan bermaksud menaklukkan alam, tetapi justru sebenarnya lebih ke menurunkan ego diri untuk mendengar suara alam, mengerti akan tanda-tanda alam. Knowing the borders and realizing our limits.
Dari shelter masih dibutuhkan sekitar 45 menit lagi untuk tiba menuju desa Cibeusi. Kami pun meneruskan perjalanan dengan khidmat. Hari semakin gelap, rasanya sangat lega ketika suara ‘lodong’ petasan tradisional masyarakat Sunda, terdengar bersahutan, menandakan perkampungan sudah dekat. Waktu menunjukkan pukul 5.30 sore ketika kami tiba di Desa Cibeusi dan kemudian meneruskan perjalanan dengan mobil menuju Cikole Lembang.
Sepanjang jalan saya melihat pemandangan Gunung Lingkung yang semakin menjauh, rasanya tidak percaya beberapa jam yang lalu kami berada di tengah belantaranya.
foto : Tanti Brahmawati, Asnur