Gunung Kerenceng (1.712 mdpl), sebuah gunung yang belum begitu dikenal yang terletak di perbatasan antara Bandung dan Sumedang wilayah Rancaekek-Cipacing, tepatnya di Desa Tegal Panggung Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang.
Ketidakpopuleran gunung ini membangkitkan keingintahuan team District One untuk mencoba mengeksplorenya. Hingga akhirnya pada hari Rabu 28 Oktober 2015 pukul 08.30 saya dan Bayu Bhar bersama empat orang rekan mulai menyusuri jalan setapak yang melintasi ladang penduduk menuju puncak Gunung Kerenceng.
Panas menyengat yang merupakan karakteristik medan pendakian di wilayah Bandung Timur ditambah dengan efek kemarau yang panjang mengiringi perjalanan kami. Selepas melintasi ladang, kami mulai memasuki hutan alang-alang yang cukup luas. Setelah sekitar satu setengah jam menembus hutan alang-alang diselingi beberapa kali istirahat, akhirnya kami memasuki hutan sekunder yang lumayan teduh.
Jalur yang menanjak disertai iklim khas Bandung Timur dan vegetasi alam yang kebanyakan tidak tertutup rimbunnya pohon cukup membuat kami banyak menguras tenaga, air minum yang biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan, kali ini terasa kurang….
“Boros cai nginum di dieu mah…” keluh Bhar sambil membuka botol kedua air mineral ukuran 330 ml. “Enya, basa ka gunung Burangrang asa teu kieu-kieu teuing panas na” balas saya, yang memang saya rasakan perjalanan belum setengahnya tapi air minum sudah terkuras setengah botol hehehehe.
Setelah memasuki hutan sekunder yang cukup meneduhkan walaupun luasnya hanya ‘sepelemparan batu’. Kami kembali memasuki padang ilalalang yang dari situ kami dapat melihat puncak dua Gunung Krenceng.
“Itu puncaknya kang?” tanya Imam pada seorang rekan yang sekaligus guide bagi kami dalam perjalanan ini. “Bukan Mam, di balik itu puncak utamanya, itu puncak dua” jawab sang rekan.
Glek! jadi kami harus melewati puncak itu dulu sebelum puncak utama dan jalur yang kami lalui adalah sebuah tanjakan tegak yang orang menyebutnya ‘Tanjakan Baeud’. Baeud artinya cemberut…ya orang yang melalui tanjakan ini akan sibuk mengatur nafas dan langkah kaki dinaungi sengatan matahari dan setapak berdebu yang membuat orang sedikit baeud hehehe.
Usai melalui tanjakan itu, kami kembali beristirahat sambil membuka bekal cemilan yang kami bawa, seorang rekan membentangkan hammock yang ditautkan di antara pepohonan yang ada di sekitar area tersebut. “Mana puncakna kang?” tanya saya, “Itu kang” jawab seorang rekan sambil menunjuk sebuah bukaan menonjol mirip tumpeng.
Antara puncak dua dan puncak utama dihubungkan oleh lampingan jalur yang tipis, mirip puncak Gn. Rakutak di daerah Majalaya. Cuma jalur lampingan ini agak lebih panjang tracknya dan terasa lebih menyengat suhunya karena jarang adanya pepohonan. “Angin na oge haneut di dieu mah” gumam Bhar tersenyum kepanasan.
Sepanjang penyusuran lampingan itu kami dapat melihat view gunung-gunung di sekitar yaitu gunung Kareumbi dan Buleud yang paling dekat. Sementara gunung Geulis dan Manglayang tampak di belakang. Terlihat beberapa titik asap dari hutan yang terbakar dalam perjalanan ke puncak. Begitu pula saat kami tiba di puncak utama yang gundul terlihat jelas beberapa titik hutan yang terbakar….hmm kemarau yang panjang ditambah iklim khas yang panas merupakan perpaduan yang bisa memicu terbakarnya hutan.
Kami tiba di puncak utama sekitar pukul 11:30, setelah istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kembali turun dengan semangat menyeruput minuman dingin di warung penduduk…hauuus bro!