Berburu  Curug di Sekitar Perkebunan Teh Sukawana

Kebun teh Pangheotan di Sukawana terletak di Kampung Kancah Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Bandung Barat. Kebun Pangheotan didirikan pada 1908 oleh Perusahaan Hindia Belanda, dan sampai dengan periode 1957, berada di bawah penguasan HIL Tiedeman & Van Kerchem, yang berkedudukan di Bandung. Tercatat dua administratur Belanda yang bertugas di kebun itu, yakni Jan Willem Ruyssenaers (1927 – 1941) dan Albert Johan Ruyssenaers (1941 – 1957). Pada 1958, kebun itu dinasionalisasi menjadi milik Pemerintah RI.

Sejatinya kawasan Pangheotan ini seluas mata memandang adalah perkebunan teh, namun dibalik bukit-bukit teh yang hijau menyejukkan mata bila kita telusuri lebih jauh begitu banyak mutiara tersembunyi lainnya. Terletak dikaki gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu,  gunung-gunung itu seolah melambai dengan penuh rasa rindu. Siapa yang tak terpesona oleh kerinduan tulus dari ibu pertiwi yang ingin memeluk anak-anaknya. Dengan sedikit tekad, kita bisa mencapai puncak-puncak gunung itu dalam waktu yang tak terlalu lama sekitar 3-4 jam.

Selain gunung yang menjulang, sungai yang  jernih mengalir dilembah ini. Sungai-sungai yang berhulu di pegunungan ini membentuk banyak air terjun yang indah sepanjang alirannya antara lain curug Layung, curug Tilu dan lainnya. Kami telah lama mendengar perihal curug-curug (air terjun) yang ada disekitar Sukawana, namun hanya setahun yang lalu benar-benar berniat mencarinya. Maklum saja, walau setiap hari Sabtu bergerilya dengan program #SaturdayOutdoor , begitu banyak tempat di sekitar kota Bandung yang harus dijejaki. Satu lokasi, kadang memerlukan lebih dari satu kali survey.

Dalam hiking di Sukawana kali ini sungai di sebelah Barat perkebunan teh menjadi target utama, karena letaknya tak terlalu jauh.  Dialiran sungai ini terdapat banyak curug yang telah dikuasai berbagai resort outbond disekitar kawasan ini. Walaupun kita bisa masuk dari pintu resor melalui jalan aspal dibawah, akses setapak dari perkebunan teh adalah jalur terbaik bila anda menyukai hiking. Jalur belakang ini akan langsung menuju curug-curug yang telah dikomersialisasi akes masuknya ini. Curug Bubrug, curug Tilu dan Curug Layung adalah astraksi wisata alam yang indah di sepanjang aliran sungai yang berhulu di kaki gunung Burangrang.

Untuk menuju curug Layung, bila membawa kendaraan, bisa diparkirkan di lapangan depan Villa Merah atau lebih jauh di lapangan desa. Ikuti jalan koral utama sampai melewati desa, setelah warung paling ujung yang terletak dikiri jalan ada jalur setapak yang cukup lebar masuk ke kebun teh. Ikuti setapak ini hingga bertemu dengan pertigaan antara ke kiri (CIC – Ciwangun Indah Camp) dan kanan (curug Layung). Ikuti arah setapak yang ke curug Layung ini dengan seksama, nantinya akan mengarah kekiri. Seharusnya dari pertigaan itu curug tak terlalu jauh lagi. @districtonebdg

 

Trekking for Life : Mari Berjalan Kaki Lebih Jauh Lagi

tiff infomation

tiff infomation

Bila teman-teman mendambakan program one day trekking  dengan target 10km-12 km dengan tingkat kesulitan skala ringan, boleh mencoba rute hiking menuju Gunung Pangparang ini.  Setidaknya menurut saya, rute trekking ini terbilang landai, tidak perlu berwebbing ria dan tidak ada pula  drama-drama ekstrim lainnya.

Hari Kamis yang cerah, Saya, Lia, dan teman-teman dari District One yaitu  Bar, Baiz, dan Gatot melakukan hiking dengan rute Gunung Pangparang ini. Dengan meeting point dari alun-alun Ujung berung,  kami bersama-sama bergerak dengan mobil melewati jalan Cigending ke atas sampai tiba di wilayah Palintang, dan berhenti di area lapangan Kasur sebagai starting point pendakian.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami mulai menjejaki setapak menuju wilayah bukit-bukit hijau. Suasananya hening sekali, hanya semilir angin yang berhembus menyapa  ilalang-ilalang liar dan sesekali terdengar kicauan burung.

WhatsApp-Image-20160506

Setelah bertanya pada GPS alias penduduk setempat, kami diarahkan untuk berjalan melewati punggungan bukit-bukit yang sedikit menanjak dan membentuk ular. Mata kami dimanjakan dengan suasana hamparan bukit hijau yang membentang, dari jauh terlihat  bukit Tunggul dengan hamparan pohon Eucalyptus berjajar rapih. Suasana syahdu dan udara yang tidak terlalu panas, menambah aura positif Gunung Pangparang yang seakan – akan menarik diri kami untuk berkontemplasi. Membebaskan imaji berkeliaran tanpa batas.

Setapak panjang  dilalui seperti ingin mengajak bercengkrama  dengan diri untuk hanya sekedar melakukan refleksi, berkomunikasi dengan semesta alam, mengucap syukur akan karunia Nya yang tak terhingga.

Beberapa kali kami beristirahat, bersenda gurau dengan teman seperjalanan, bahkan mendengarkan lagu-lagu lawas kesayangan untuk dinikmati bersama. Rasa lelah selalu terobati  dengan rasa kebersamaan kami yang telah mengikat.

 

_20160409_133322Setelah mencapai puncak, kami beristirahat sejenak lalu mengambil jalan pulang dengan rute yang sama. Rute sekitar  10 kilometer pulang pergi itu pun tak disadari telah kami lewati.  Kabut dan gerimis kami nikmati saja sebagai bagian perjalanan yang manis sambil membayangkan suasana rumah dengan kasur empuk  berselimut hangat, hidangan teh panas dan mie  rebus yang selalu menggoda, sebab katanya ‘rindu’ memang harus sengaja diciptakan walau tak selalu harus dikabarkan.

Sampai akhirnya kami tiba kembali di shelter tenda biru dan bersiap-siap kembali pulang ke rumah, beristirahat, berbagi peggalaman, dan menikmati secangkir kopi pahit.

Selamat mencoba.

“Rindu tak harus dikabarkan, dia mencari jalannya sendiri, sesepi apapun, ingatan akan merawatnya.” -NV-

 

Tanti B

Hiking For Theraphy and Detox Believer

 

Ladang Tembakau Menghijaukan Bukit Kiarapayung

IMG-20160416-03339

Tembakau (Nicotiana tabacum) merupakan salah satu komoditi tanaman yang banyak ditanam oleh petani di Indonesia. Tanaman tembakau tersebar di seluruh Nusantara dan mempunyai kegunaan yang beragam antara lain sebagai biopestisida dan insektisida, pengawet, pembersih luka dan terutama sebagai bahan baku pembuatan rokok. Sentra tembakau yang utama di Indonesia adalah Deli, Temanggung, Pamekasan, Lombok dan Jember.

 

Tembakau mengandung alkaloid nikotin yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia juga sangat beracun bagi serangga sehingga nikotin dapat dimanfaatkan sebagi insektisida. Namun beberapa penelitian justru menunjukkan manfaat tembakau dalam mengobati berbagai macam penyakit, diantaranya memiliki kandungan protein anti kanker serta menurunkan resiko penyakit Parkinson.

 

Tanaman tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan para petani dan mampu memberi kesejahteraan yang luar biasa pada saat panen raya musim tembakau. Peran tembakau bagi masyarakat cukup besar, hal ini disebabkan aktivitas produksi dan pemasarannya yang melibatkan berbagai tingkatan masyarakat. Di Indonesia, tanaman tembakau diperkirakan menghidupi sekitar 18 juta orang. Industri rokok merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia dan berkontribusi besar bagi ekonomi negara sebagai salahsatu penyumbang cukai terbesar dimana pemerintah meraup dana sekitar 50 triliun setiap tahunnya.

Badan pemerintah yang memiliki mandat untuk meneliti tanaman tembakau adalah Balittas (Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat) di bawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Balai ini mempunyai tugas pokok melaksanakan penelitian tanaman tembakau, serat buah, serat batang dan daun, dan minyak industri .

Ladang tembakau merupakan salah satu view yang sering dilalui saat kami menjelajahi jalur hiking di seputar Kiarapayung dan Barubeureum. Ladang-ladang tembakau ini terletak dibelakang bumi perkemahan Pramuka Kiarapayung. Daun-daun tembakau yang lebar dan hijau membuat sejuk mata memandang. Walau kawasan ini bukanlah sentra tembakau yang utama di Indonesia, namun berbukit-bukit ladang tembakau selalu tampak menghijau. Sesekali kami bertemu dengan petani yang sedang memanen daunnya, dengan ramah menyapa dan menjadikan perjalanan menjadi lebih berkesan lagi. Bila ingin hiking diantara kehijauan ladang tembakau, maka bukit-bukit di kawasan Kiarapayung ini haruslah anda datangi. @districtonebdg

 

IMG-20150528-01106

 

 

 

El Condor Pasa di Puncak Bukit Hijau

IMG-20151021-02010Di sebuah puncak bukit Kiarapayung di kawasan Jatinangor, kami beristirahat. Punggungan yang mengarah ke puncak semu Manglayang ini amat sepi, karena bukan jalur yang populer seperti dari Barubeureum atau Batukuda. Namun suasana jalur yang sepi ini justru yang menjadi daya tarik. Hiking yang biasa dilakukan ini bagi kami bukan lagi sebuah perjalanan mengejar tempat paling tinggi, melainkan mengakrabkan diri ke jalur-jalur setapak disekitarnya.

 

Kala menikmati view yang menakjubkan dari puncak bukit, seekor elang tampak mengangkasa dengan anggunnya. El condor pasa.. seperti sebuah lagu yang dipopulerkan Simon & Garfunkel.  The eagle passes by. Semua terpaku memandangnya. Ia terbang tak terburu-buru seperti tahu semua memandanginya, membiarkan dirinya dikagumi oleh setiap orang  di puncak bukit. Terpaku pada pesona.

Di kawasan Jatinangor ini memang masih dapat terlihat elang yang terbang tinggi di angkasa dengan anggunnya. Mereka datang arah pegunungan disekitar kota yang bertumbuh pesat ini seolah menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan gedung-gedung tak menjadikan mereka menjadi kehilangan wilayah angkasanya. Semasa kuliah dulu tahun 90-an beragam jenis elang masih dapat terlihat di Jatinangor seperti elang alap-alap Cina (accipiter soloensis), alap-alap Nipon (accipiter gularis), alap-alap sapi (falco moluccensis), elang tikus (elanus caeruleus), elang hitam (ictinaetus malayensis) atau elang ular (spilornis cheela). Kurang tahu juga jenis elang apa yang hari itu kami lihat. Yang jelas, melihat elang terbang tinggi di angkasa selalu membuat terpesona.

 

1458451_10205846852720255_6801566318843996341_nBerdiri di puncak bukit, dengan pandangan yang bebas lepas ke arah lembah seperti kembali ke suatu masa lalu. Ada masanya kala tak ada yang dapat menghalangi jiwa-jiwa yang resah itu pergi menjelajah. Hanya didorong oleh insting liar yang menggelora tak tertahankan.  Tidak cuaca yang buruk, pegunungan tinggi, rasa sakit mendera bahkan romantisme cinta. Lalu  setiap orang merasakan betapa insting itu perlahan memudar kala memasuki kehidupan nyata. The eagle has landed. Tetapi  kerangkeng dari besi atau sangkar dari emas tak pernah bisa mengubah rajawali menjadi burung nuri. Insting itu tetap ada dan sewaktu-waktu meronta ingin kembali mengangkasa.

Beberapa dari sisa-sisa laskar tahun 90-an itu kembali bertemu dan bernostalgia. Kini bukan pegunungan tinggi membekukan yang dituju. Puncak tak lagi tempat yang demikian sakral seperti dulu, matahari terbit tak lagi membutakan seperti masa lalu. Kini sekedar menjalani perjalanan yang tenang, bercengkerama tak hanya dengan alam sekitar namun juga dengan masa lalu yang seperti bayang-bayang dibelakang.

Ada persahabatan baru, banyak tempat baru, juga meluap kenangan masa lalu yang kerap membuat terharu biru. Kini yang mencoba digali kembali adalah akar darimana mereka berasal. Setelah dua puluh tahun meninggalkan Jatinangor, seorang demi seorang kembali kesana, menatap bukit-bukit yang dulu tandus kini lebih hijau untuk dipandang. Namun semua tahu, kini tempat yang dulu begitu lekat dihati itu bukanlah sarang mereka lagi. Mereka hanya kembali untuk melihat sang elang yang melayang tinggi.

El Cóndor Pasa  sendiri adalah lagu yang ditulis oleh komposer PeruDaniel Alomía Robles pada tahun 1913, pertama dinyanyikannya di depan umum di Teatro Mazzi, Lima. Lagu yang bernada musik rakyat Andes ini menjadi populer di seluruh dunia setelah dinyanyikan ulang oleh Simon & Garfunkel pada tahun 1970. Bagi sebagian rakyat Peru, lagu ini telah dianggap sebagai lagu kebangsaan mereka yang kedua setelah lagu kebangsaan resmi, Himno Nacional del Peru. @districtonebdg

1463298_10205846816239343_1386457812957449018_n

 

Senandung Rindu di Pangparang

IMG-20160407-03296Apa kiranya yang menarik di gunung Pangparang, sebuah pertanyaan yang menggelayut kala akan memulai perjalanan. Kawasan perkebunan kina PTPN VIII di Bukittunggul telah sejak lama menjadi playing ground kami, namun gunung ini tak pernah menjadi prioritas karena memang letaknya agak terpencil. Mungkin begitu mendalam kecemburuan sang gunung kala melihat kami lewat melaluinya hanya untuk bercumbu dengan gunung dan bukit di sekitarnya seperti Sanggara, Palasari dan Bukittunggul.

Setelah bertahun-tahun bisikan rindu itu akhirnya terasa pula, maka rencana melakukan hiking ceria ke gunung Pangparang pun dikemas. Perjalanan dimulai dari alun-alun Ujungberung, setelah melewati desa Palintang mobil diparkir di area lapangan Gunung Kasur. Sebuah warung menjadi cek point untuk memulai protap (prosedur tetap) sebelum mendaki, yaitu minum kopi dan sosped (sosialisasi pedesaan) untuk menggali informasi. Setelah mendapat informasi jalan menuju puncak di warung itu, hiking pun dimulai. Dari lapangan kami mengambil jalan pintas lewat kebun yang tembus ke jalur motor. Jalan setapak yang tak terlalu lebar ini kemudian bertemu dengan jalan koral di sebuah persimpangan , setidaknya ada lima jalur yang bertemu disini. Di persimpangan ini terdapat shelter sederhana beratapkan terpal plastic berwarna biru. Mudahnya, kita sebut saja shelter tenda biru.

Dari shelter tenda biru, puncak Pangparang sudah tampak didepan, terhalang kabut yang datang dan pergi. Cuaca pendakian hari ini memang sendu, gerimis dan kabut tampaknya sedang bercumbu melepas rindu. Namun cuaca muram seperti  ini lebih mengasyikan sebenarnya, dibanding mandi peluh bergelimang terik surya.

Awalnya kami berencana meretas jalan setapak ke puncak melewati perbukitan, namun godaan itu harus ditepis karena kami perlu tahu juga kondisi jalan koralnya. Siapa tahu kelak bisa ongkang-ongkang kaki diatas jip Landrover menuju puncak. Maka dari shelter tenda biru, perjalanan dilanjutkan dengan konturing melipir bukit di jalanan koral yang tampak sekali jarang dilalui. Tampaknya jalan ini hanya dilalui bila panen tiba, untuk mengangkut hasil  panen dari puncak gunung. Sesekali jalanan tertutup oleh semak hingga harus ditebas, kerap batu-batunya begitu berlumut hingga licin kala dijejak sepatu. Rumput tumbuh liar bahkan menjadi semak disepanjang jalur ini. Namun untuk dilalui kendaraan off-road jalur ini masih layak.

IMG-20160407-03285

Perjalanan melipir  bukit sesekali disambangi gerimis yang menari dialunkan angin, serinainya berlenggak-lenggok  sembari genit mengusapkan basah ke wajah. Seakan rindu pada sahabat lama yang dipendam secara rahasia tersingkap secara perlahan. Rindu terpendam yang tak tertahankan menjadi bulir-bulir air mata, entah sendu atau bahagia. Air mata dan hujan adalah basah yang sama, menetes dari ketulusan yang bermakna.

Berasal dari generasi yang tak lagi muda, sesekali lagu dari masa lalu ikut meramu irama hiking kali ini. Sayup-sayup mengalun lagu  A Whiter Shade of Pale, sebuah tembang klasik dari masa lalu yang terasa masih hangat di telinga. Lagu yang ditembangkan oleh Procol Harum tahun 1967 ini ikut mengantar Andreas Kummert menjadi jawara di Voice of Germany tahun 2013. Seakan jarak empatpuluh enam tahun itu hanya jeda tak terasa. Lalu ada tembang apik dari Joan Baez tahun 1975, Diamond and Rust, yang bercerita tentang cinta tersembunyi yang saling merindu namun tak mungkin bersua.  Sebait liriknya  “..you burst on the scene already a legend / the unwashed phenomenon, the original vagabond…” terasa mengisahkan Bob Dylan bukan suaminya, David Harris.

Bebukitan hijau Pangparang seperti maphum pada semua kegalauan, dengan arif memeluk semua hati dan menenangkannya.  Rasa sejuk membasuh, melarutkan karat-karat pedih dari masa lalu. Begitulah kebijakan sang gunung, menampung segala resah dan kemudian memberi kecerahan kala para pendaki meninggalkannya. Akulah si telaga, gumamnya mengutip sajak Sapardi Djoko Damono, berlayarlah diatasnya..

@districtonebdg

 

 

 

Daun Pulus Mengintai di Trek Tahura Batu Garok

pulus

Pulus (Laportea stimulans) adalah tanaman pohonan yang banyak ditemukan di daerah hutan hujan tropis dataran rendah di sebagian Indonesia. Pulus (wood nettle, stinging nettle) berkerabat dekat dengan tanaman Jelatang (Girardina palmata). Walaupun secara fisik sebetulnya tanaman ini berbeda karena Jelatang memiliki daun berbentuk menjari seperti daun pepaya, berbentuk perdu dan memiliki duri di sekujur tubuhnya sampai ke batang.

Pulus memiliki daun berwarna hijau terang. Memiliki tulang dan urat daun yang tampak jelas. Pinggir daun mudanya berbentuk gerigi dengan jarak gerigi tidak terlalu rapat. Semakin tua, gerigi semakin menghilang. Bagian atas dan pinggir daun ditumbuhi bulu-bulu halus yang hanya nampak bila dilihat dari jarak sangat dekat. Bila bulu-bulu ini tersentuh bagian kulit kita yang halus dan sensitif seperti punggung tangan, lengan, paha atau betis dapat menimbulkan rasa gatal, perih dan panas yang cukup menyengat.

Dengan tampilan yang low-profile, daun pulus memang tidak terlalu kentara di tengah rerimbunan pohon lain. Karena menyenangi daerah lembab dan ternaungi, Pulus seringkali ditemukan di pinggir-pinggir jalan setapak. Pada akhir musim hujan, banyak ditemui seedlings atau anakan pulus yang tingginya tidak lebih dari 40cm. Hal ini membuat pulus semakin tidak kentara dan mudah tersentuh bagian tubuh terutama kaki. Bila apes terkena belaian daun pulus, terima saja sebagai pengalaman yang mendewasakan perjalanan kita. If you irritated by every rub, how will you be polished?

Racun yang terdapat dalam bulu sengat Pulus ini adalah formic acid dan beberapa jenis asam lainnya. Kandungan yang mirip juga ditemukan pada sengat lebah dan sengat semut sehingga asam formic ini juga disebut asam semut. Apabila seseorang terkena sengatan pulus sebaiknya jangan langsung dicuci. Penangkal yang biasa dilakukan adalah menggosok daerah sengatan dengan tanah gembur yang kering.Literatur lain menyebutkan bahwa gosokan daun Pacing Merah pada daerah sengatan berkhasiat untuk menyembuhan luka sengatan Pulus. Sedangkan yang lain menuliskan bahwa air yang dihasilkan dari remasan tanaman Alocasia macrorrhiza (Talas Gajah) dapat menghilangkan rasa sakit sengatan Pulus. (Wikipedia)

IMG-20141022-00122pacing merah

Sengatan pulus pada kulit tubuh biasanya baru akan hilang setelah beberapa hari bila tanpa penanganan. Di hari pertama kita akan merasakan sengatan panas sekujur permukaan kulit yang terkena bulu halus, bila terkena air seperti menyayat-nyayat kulit. Hal ini akan membuat tak bisa tidur nyenyak, dimana kita akan terbangun oleh sengatan. Di hari kedua panas masih terasa namun tusukan seperti jarum mulai berkurang, dan di hari ketiga sudah tak terasa panas namun bila permukaan kulit yang terkena pulus diraba maka rasa tersengat itu masih sedikit terasa. Bila memeriksakan diri ke dokter biasanya pasien akan diberi obat anti alergi dan penahan sakit.

Rute  hiking patahan Lembang di Dago Pakar merupakan jalur setapak yang banyak terdapat daun pulus ini, terutama setelah turun dari shelter menuju lembah. Disinilah bulu-bulu halus daun ini mengintai pejalan yang kurang waspada untuk menyengat secara tiba-tiba. Melalui rute ini disarankan memakai celana panjang dan sepatu, walau terkadang bulu-bulu halus ini tetap dapat menembus celana. Namun jangan khawatir karena di sepanjang jalur ini pun tersebar penawarnya yaitu tanaman Talas Gajah dan Pacing Merah. Alam selalu menempatkan penawar racun tak jauh dari racunnya. Manusialah yang harus membuka diri untuk banyak belajar dari kearifan alam. @districtonebdg

 

A Simple Joy of Life : Ikut Berburu Celeng di Curug Antani

IMG-20160326-WA002912523976_10208918011731393_726998420770939378_n12885994_10209407045719663_5372241274919264035_o

Saturday Outdoor yang diadakan District One Sabtu kemarin mengambil rute Hiking Barubeureum – Curug Antani.  Saya, Bobby,Teti dan putrinya Abil, Rany, Yussa, dan tentu saja tim leader Baiz rasanya sudah tidak sabar untuk menjelajah.

Dalam rangkaian ‘waterfall  hunting’ yang diadakan oleh District One, Curug Antani adalah destinasi  favorit  saya setelah Curug Cibareubeuy / Kampung Senyum (lihat  Hiking for Theraphy : Menuju Kampung Hobbit).

Trekking menuju Curug ini dimulai dari Desa Barubeureum di kaki gunung Manglayang. Pemanasan dimulai dengan jalanan berbatu yang cukup lebar dan sedikit menanjak, kemudian tersambung dengan setapak memasuki kawasan hutan. Cuaca cerah, langit biru menyambut kami.  Awalnya saya menyangka akan mendapatkan  suasana hening dengan semilir angin, ternyata salah duga.  Ketika memasuki hutan, terdengar riuh suara berbagai hewan, terutama suara burung-burung yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan.  Ramai sekali, membayangkan mereka seakan akan sedang berpesta lepas bebas tanpa gangguan. Ah, semoga saja kedatangan kami tidak mengganggu kenyamanan mereka.

Setelah  kurang lebih 1,5 jam berjalan dan beristirahat, sampai juga kami di Curug Antani. Rasa penasaran pun terjawab, terlihat  tebing  tinggi menjulang dan Curug Antani tampak terlihat mungil namun anggun, airnya mengalir kecil, perlahan tapi pasti, seakan akan telah berjanji mengaliri kehidupan yang bergerak  terus ke muara-muara tak berjarak. Bagaikan sebuah bintang  jauh yang selalu datang tepat waktu, cahaya kecilnya tak pernah ingkar  berkilau  hangat ke ujung terjauh waktu.

Lama kami beristirahat di sini. Berfoto, bermain air, membuka bekal, dan bercengkrama sampai Baiz mengintruksikan untuk kembali pulang tetapi dengan rute yang berbeda. Kami pun berkemas dan bersiap pulang.

tiff infomationtiff infomation

Pada saat perjalanan pulang, kami mendengar suara teriakan-teriakan 2 orang pria saling bersahutan, diikuti gonggongan segerombolan anjing. Rasa penasaran terjawab ketika kami memasuki setapak yang rimbun oleh pohon-pohon kerdil yang rapat. Kami bertemu seorang pria dan segerombolan anjing pemburu celeng. Rupanya rute pulang yang kami ambil merupakan habitat celeng di wilayah hutan ini. Baiz pun bercakap sebentar meminta ijin memasuki jalur setapak rimbun di depan kami. Pria tersebut  tak banyak bicara, dari gerakan badannya ia mengintruksikan kami untuk mengikutinya. Tak kami sangka kami pun terlibat dalam perburuan kecil tersebut. Dari kiri kanan setapak rimbun yang dilalui terdengar suara celeng mendengus, sepertinya lebih dari 2 ekor, tak lama diikuti suara anjing pemburu dan teriakan 2 orang pria yang saling bersahutan dari arah yang berbeda. Oh, rupanya begitulah cara mereka berburu celeng. Rasa deg-degan dan penasaran bercampur aduk, ada rasa takut kami diserbu anjing atau malah tertubruk celeng yang sedang diburu.  Kami pun berjalan tergesa-gesa sambil saling dorong dan tertawa-tawa juga saling mengingatkan jangan terlalu ribut ataupun takut.  Ya, ini pengalaman pertama saya menyaksikan perburuan celeng. Sungguh menggelikan. What a simple joy of life.

Rasa lega  datang ketika akhirnya  kami keluar dari jalur celeng, semacam lahan terbuka dengan pemandangan indah.  Di sini kami menghabiskan waktu berfoto ria dan  bercengkrama. Ah sepertinya enggan sekali untuk beranjak dari sini. Suasananya sangat mengasikkan.
Saya mengakui ini adalah rute hiking yang sangat cantik, recommended  untuk dijadikan hiking favorit lintas usia, mulai anak sampai lansia. Walaupun termasuk rute yang aman, minim cedera ataupun terjatuh, sebaiknya bila ingin menjajal alam ke wilayah ini tetap harus didampingi oleh guide/tour leader yang handal dan menguasai medan seperti kawan-kawan kami dari District One. Selamat Mencoba.

12719457_10209407048879742_2858907544901189938_o

Blowing wind, chirping birds, bluest sky.

I long for yesterday.

Once more.

-QA-

 

 

Penulis

Tanti B

Hiking for Theraphy and Detox Believer

 

 

Mengajak Anak-anak ke Gua Pawon dan Stone Garden

IMG-20140624-01261 (1)

by Bayu Ismayudi

Jeritan girang anak2 kecil terdengar ketika kami tiba di Gua Pawon, sebuah tempat wisata alam yang cukup unik di daerah padalarang Bandung. Sengaja kami mengajak Fiqar & Ghina nama anak yang tergabung dalam kelompok kami ke tempat ini dalam rangka mengisi liburan sekolah mereka, kami ingin memperkenalkan kepada mereka tentang alam & lingkungannya.

Seperti yg kita tahu, anak-anak saat ini sibuk dengan gadget & wahana permainan yg modern dan mahal di perkotaan. Mereka kurang mengetahui bahwa di sekitar kita ada pegunungan, hutan, gua, dll yang cukup mengasyikan untuk dijadikan arena bermain, sebuah wahana yang sehat, mendidik & murah.

Setelah membayar biaya retribusi, kami bersiap untuk memulai petualangan kecil. Kami mulai meniti jalan menanjak & berbatu khas kawasan kars sebelum mencapai mulut gua Pawon. Di jalan yg kami lalui di atas pohon terlihat beberapa ekor monyet bergelantungan.

Tidak lama berselang, kami mulai memasuki mulut gua, bau khas kotoran kelelawar atau guano menyambut kami, kami pun menutup hidung kami dengan menggunakan scarf atau buff yg sudah dipersiapkan sebelumnya.

Anak-anak yg bersama kami begitu antusias mengeksplore gua, bagi mereka ini merupakan hal yang baru, mereka begitu bersemangat menelusuri gua sambil menghujani kami dengan pertanyaan2 polos khas anak2 tentang alam yg baru pertama kali mereka kenali ini.
Gua Pawon adalah sebuah gua yang tidak begitu besar yang terbentuk dari bebatuan kars, tidak sulit untuk menelusuri gua ini, tapi bagi seorang anak kecil hal ini menakjubkan, dari gua ini kita disuguhi view yang indah di bawahnya.

@gua pawon naik gunung

Setelah puas mengeksplorasi gua, kami pun kembali turun. Kali ini kami mengajak anak2 untuk mengunjungi sebuah area berbatu di atas bukit yg dikenal dengan nama “Stone Garden”. Untuk mencapai area itu, kami harus menyusuri medan yang menanjak yang dipenuhi ilalang. Fiqar & ghina begitu bersemangat mengarungi medan menanjak ini, sambil berjalan mereka tidak lepas dari candaan2 khas anak sambil ketawa ketiwi, rupanya rasa ingin tahu mengalahkan rasa lelah mereka.

Sekitar satu jam kami mendaki, tibalah di sebuah area yg dipenuhi tonjolan batu kars dengan ukuran yang beragam. Anak-anak menampakkan rasa puas & senang diwajahnya, mungkin bagi mereka ini adalah sebuah wahana permainan yang baru.

Alam banyak menyajikan keindahan yang kita tidak sadari & alangkah mengasyikannya jika kita mengeksplore alam ini bersama anak2 kita. Kita kenalkan kepada mereka lingkungan sekitar, tentang gunung, hutan, gua, dll. Kita bisa menjadikan alam ini sebagai wahana bermain yang mengasyikan & mendidik selain wahana hiburan di perkotaan yang bersifat konsumtif. Kita bisa ajak mereka bergaul dengan penduduk sekitar, makan & minum di warung2 tradisional sebagai bentuk pendidikan sosial yang mungkin tidak mereka dapat di sekolah- sekolah. (2014)

 

Hiking for Theraphy : Self Reflection di Jalur Roller Coaster

by Tanti Brahmawati

IMG_20160319_180024 IMG_20160319_180229

 Berawal dari chat di BBM dengan Bar yang memberitahukan Majlis Hiking Kamisan Ceria akan melakukan survey Hiking Batukuda-Barubeureum di kaki gunung Manglayang.

Kurang lebih begini chat-nya

“Rute datar Batukuda – Barubeureum , melipir punggungan Manglayang”

“Waktu p.p ?”

“4 jam- lah”

Jawab saya pendek  “ Siap ”

Saya pikir entenglah hiking 4 jam, tidak perlu bawa perlengkapan yang banyak, but wait , yang namanya gunung mana ada sih rute datar. Ah, ini pasti ‘heureuy’ ala Bar yang hormone serotine nya akan meningkat kalo ia berhasil mengelabui  track yang kami lewati.  Sudah kebiasaan sebelum melakukan perjalanan, saya tidak pernah ‘googling’ terlebih dahulu, seringkali dibiarkan semuanya berjalan saja, mengalir dan berlalu menjadi pengalaman baru.

 D- day pun tiba, pagi-pagi saya ganti ransel yang biasa dipakai hiking ceria dengan ransel yang lebih besar.  Saya masukkan stock makanan dan minuman yang agak banyak,  dan pakaian ganti in case I got wet. Ya, belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, setiap bermain alam dengan tim District One selalu saja ada perlengkapan yang kurang saya bawa.

Beranggotakan 8 orang dengan starting poin perjalanan dari  Batukuda, kami mulai melakukan pemanasan terlebih dahulu. Jujur saja saat itu tubuh saya kurang fit and  I was really not in a good vibe.  Baru saja berjalan  menanjak sedikit sudah tergopoh-gopoh, sehingga saya cukup tertinggal di belakang dibanding peserta lain, parahnya segerombolan anjing penjaga ladang menghadang dan tiba-tiba menyerbu  saya dan Bobby kala akan memasuki hutan bambu.., so scary that worsened  my mood.

IMG_20160319_174459IMG_20160318_080803

Mood saya terbantu membaik setelah melewati hutan bambu dan berhenti di sungai jernih yang mengalir  kecil, kami menyebutnya  Rest Area KM 1,45 Batukuda-Manglayang, dimana kami membuka perbekalan dan berfoto ceria, menyetubuhi air dan talking with the hiking buddies.

Perjalanan dilanjutkan dan rute terlihat sudah mulai ‘mencurigakan’ untuk berwebbing ria.  Tanjakan yang terjal dan licin membuat saya mengihklaskan tubuh ini terperosok dan terjerembab menciumi  bumi,  I felt earthing.

Tiba-tiba kepala saya mulai pening, lalu terdiam sebentar sambil memeluk pohon kecil di samping setapak , dari depan terdengar tim leader kita, Baiz berteriak, “ Tanti, are you oray? (maksudnya alright). You looked got mountain sickness”. Saya jawab singkat, “ I’m  okay, kang”. Mungkin trip ini adalah trip dengan frekuensi  terjatuh, terjerembab, terperosok yang paling banyak yang saya alami dibanding trip sebelumnya ditambah kondisi badan yang kurang fit, lemas rasanya. Beberapa kali Baiz berteriak, “ Are you alright?” “I’m OK”, ujar saya lirih.

Dari belakang Bar menyemangati, “ Ayo semangat semuanya, cuman sedikit lagi kok, ayo pake webbing aja”. Kalimat cuman sedikit lagi rasanya sudah tak bisa saya percayai. Hampir seperempat perjalanan saya menggunakan webbing, cukup membantu, tapi  hati saya tidak dapat berbohong ketika melihat pandangan Baiz yang seperti  kecapaian dan worried  .  Perasaan merepotkan banyak orang mulai menghinggapi berubah menjadi kecemasan. Bar dengan santai berkata, “Tenang aja ada Bobby di belakang”.  Bobby menyahut santai, “Kaleeeuuumm.”  Arman pun melemparkan tali webbing, “Naiknya pelan pelan saja ya”.  Saya pun menguatkan diri untuk terus melaju.

Akhirnya  sedikit demi sedikit saya sampai di puncak 1, sebuah area terbuka  yang sempit.  Pemandangannya sungguh indah, tapi rasanya enggan sekali untuk berfoto, lebih suka duduk dan membuka perbekalan makanan. Saya lemas karena kurang energi, sepertinya begitu.

Gatot yang lebih awal sampai di puncak cukup menyegarkan suasana dengan jokes yang menghibur. Juga ada Teti dan Hesti yang meramaikan obrolan candaan-candaan Gatot. After my energy  having got chargedthen I took some pictures.  Lucky us, the sky was so blue. It’s  worth. Tidak sia-sia mendaki dan masih bisa menyempatkan diri berfoto sebelum mendung datang.

Kemudian Baiz memberi intruksi, “Ayo kita balik, jangan kelamaan di sini, takut keburu ada petir.” Diam-diam saya mengagumi Baiz sebagi tour leader dengan passion yang kuat dan menguasai medan serta tingkat kesabaran yang tinggi menghadapi peserta.

Sepanjang perjalanan pulang saya lebih berenergi dan mulai terhibur dengan acara sliding menuruni setapak menurun, selebihnya saya lebih banyak berjalan sendiri saja, melakukan refleksi terhadap diri sendiri. Enjoying every ups and down in completing the trip.

Sejauh apapun kamu telah melangkah, sebanyak apapun  beban yang kamu pikul, janganlah kamu melemparkan  beban-beban tersebut dan menyebarkan kecemasan pada orang-orang di sekitarmu. Mendapatkan pertolangan dari orang lain memang sangat dibutuhkan, tetapi pertolongan terbesarmu adalah dari dirimu sendiri. Kamu sendiri yang tahu kelemahanmu, maka kamu sendiri pulalah yang menguatkannya.”

Kurang lebih seperti itulah komunikasi dalam diri ini. Mendadak saya menjadi  begitu melow. And I forgave myself for it…hey.. it’s hiking for theraphy, isn’t it? It’s  good time for doing self reflection.

Sambil berjalan pulang menuruni bukit, terlihat ‘savana’ yang sepertinya asik untuk kita tiduri. Good vibe flows. Saya dan Teti berbaring melepas lelah, ditemani kudapan sisa bekal dan diiringi lagu Pink Floyd.

Then you will realize just how good it is to be you,

Cause despite everything,  you yourself is your number one best friend. (QA)

IMG_20160317_172423

Tanti B. ,Hiking for theraphy and Detox believer

foto : Armand Norval

Hiking for Therapy : Menuju Kampung Hobbit

by Tanti Brahmawati

Pada hari Kamis tanggal 10 Maret 2016 yang lalu, saya bergabung dengan Tim District One untuk menjelajah alam kembali. Tujuan utama saat itu Curug Cibareubeuy yang berada di Kawasan Gunung Lingkung Subang, dengan starting point Cikole Lembang dan berencana berakhir di Desa Cibeusi Subang. Ini partisipasi ke-2 saya setelah hell pass Tebing Keraton ( lihat Hell Pass Menuju Tebing Keraton ), jujur ada rasa takut medan yang akan dilalui sama seperti hiking pertama, yang menguras energi dan mental tiada tara. Tetapi teman-teman dari District One meyakinkan bahwa medannya sudah sering mereka jejaki, bahkan Tim Leader-nya, Baiz sudah sering membawa beberapa kelompok, perkumpulan, maupun perorangan yang menyukai olahraga alam ke wilayah ini.

 

Diantara kami bertujuh Baiz, Bar, Arman, dan Asnur sudah sering menjajal rute ini, dan kali pertama buat saya, Rizki, dan Ihsan.

Kegiatan hiking dimulai pukul 10.30 bertempat di Treetop Cikole Lembang. Pemanasannya lumayan menguras keringat, tanjakan yang tiada henti, dan harus berhenti sebentar-sebentar untuk menarik nafas. But It’s okay, the view helped me much. Loving the green forest. Jalan setapak yang kami lalui kemudian sedikit datar, so we could speed up the beat.

Pemandangan hutan heterogen yang eksotis memanjakan kami. Tak bosan-bosan saya mengambil beberapa foto untuk diabadikan. Salah satunya pohon Sauravia Cauliflora, orang Sunda menyebutnya ‘Ki Leho’ yang ternyata merupakan sepesies endemik pulau Jawa dan termasuk ke dalam daftar spesies tanaman yang terancam punah.

Ternyata banyak rute menuju Curug Cibareubeuy, tapi kami kali ini memilih via Batu Ringgit. Sedikit menantang, jalanan cukup licin mungkin karena musim penghujan. Cukup sering saya tergelincir dan jatuh. Setapak berganti curam dan menurun, harus ekstra hati hati dan menjaga keseimbangan. Bersyukur banyak pohon-pohon kuat dan kokoh menjadi pegangan. Sungai yang mengalirkan air jernih memanjakan mata, rasa lelah terobati ketika menyentuh air sungai yang jernih dan segar. Tiba di singkapan bebatuan Batu Ringgit sekitar jam 12.00, hujan menyambut kami. Kami beristirahat sebentar dan memakai jas hujan untuk perjalanan berikutnya dimana kami harus menyebrang sungai beberapa kali yang di musim penghujan debit airnya meningkat.

 

Akhirnya tibalah kami di Curug Cibareubeuy yang berada di dalam Kampung Senyum. Rasanya ingin berlama-lama dekat air terjun yang airnya super jernih dan cipratannya memberikan sensasi sendiri seperti halnya orchestra alam nan syahdu. What a peaceful music rhytm. Kampung Senyum membuat saya membayangkan pada suasana kampung Hobbit dalam cerita Lord of the Ring. Bukan bentuk bangunannya, lebih ke suasana tentramnya. A village where the wanderer take a rest and forget to continue the wandering. Such a very simple life.. Di sini kami berisitirahat, dimanjakan Nasi Liwet penawar lapar dan Kopi Lahang yang rasanya aneh tapi nikmat.

Sudah cukup lama kami beristirahat di Kampung Senyum dan saatnya kami meneruskan perjalanan pulang. Bar melontarkan keinginannya menjajal rute pulang baru, yaitu keluar dari Gracia. Karena ikut rombongan, tentu saya menurut saja, mau bagaimana lagi, sambil khawatir medan seperti apakah yang akan kami hadapi ke depan. Ah sepertinya hiking ceria ini akan berubah menjadi hiking gila lagi, pikirku.

Setelah sekitar 1 jam berjalan menyusuri rute yang dianggap sepertinya menuju Gracia, tibalah di area persawahan yang luas, kami kira sudah mendekati Gracia, ketika bertanya pada petani di sana, ternyata rute yang kami ambil salah, sehingga harus menaiki punggungan gunung kembali, mencari rute lain. Langit semakin gelap, hujan semakin deras, kabut gelap mulai menyelimuti dan mengaburkan jarak pandang. Pukul empat sore seperti akan beranjak malam saja. Dari kejauhan terdengar suara petir. Salah satu anggota tim District One, Arman menyarankan agar kembali saja ke shelter batu prasasti, lalu pulang mengambil jalur biasa ke desa Cibeusi, dimana keamanan rutenya sudah terkuasai.

Mengingat petir, waktu yang semakin sore dan gelap, tidak ada satu pun yang membawa tali webbing, dan hanya 2 org saja yang membawa senter,ditambah juga tidak satu pun dari kami pernah menembus jalur keluar via Gracia. Belajar dari pengalaman sebelumnya, tentu kami tidak mau melakukan kesalahan konyol. Akhirnya kami berbalik arah, butuh 30 menit untuk kembali ke shelter. Waktu sudah menunjukkan pukul 4.30. Benar saja baru 2 menit berkumpul di shelter, petir besar menggelegar tepat di atas langit kami berada. Sehingga kita memutuskan untuk berdiam sejenak menunggu langit tenang.

Ya, kita menjajal alam liar memang bukan bermaksud menaklukkan alam, tetapi justru sebenarnya lebih ke menurunkan ego diri untuk mendengar suara alam, mengerti akan tanda-tanda alam. Knowing the borders and realizing our limits.

Dari shelter masih dibutuhkan sekitar 45 menit lagi untuk tiba menuju desa Cibeusi. Kami pun meneruskan perjalanan dengan khidmat. Hari semakin gelap, rasanya sangat lega ketika suara ‘lodong’ petasan tradisional masyarakat Sunda, terdengar bersahutan, menandakan perkampungan sudah dekat. Waktu menunjukkan pukul 5.30 sore ketika kami tiba di Desa Cibeusi dan kemudian meneruskan perjalanan dengan mobil menuju Cikole Lembang.

Sepanjang jalan saya melihat pemandangan Gunung Lingkung yang semakin menjauh, rasanya tidak percaya beberapa jam yang lalu kami berada di tengah belantaranya.

1505057_10209257594623479_1844655493420817314_n

foto : Tanti Brahmawati, Asnur