Miniatur Air Terjun Niagara di Gunung Halu

13177311_1343177642365530_679079921881671506_nMembicarakan wisata air terjun di Bandung, maka semua akan mengakui Curug Malela Bandung sebagai  salah satu yang termegah. Namun ironisnya juga mungkin yang paling jarang dikunjungi karena letaknya yang terpencil. Curug ini karena keindahannya sering disebut sebagai surga tersembunyi mengingat lokasinya yang sangat terisolir dari ‘peradaban’. Jadilah tempat wisata di kabupaten Bandung Barat ini bagaikan sebuah harta karun keindahan bagi wisatawan. Mereka  yang pernah mengunjungi dan menikmati keindahannya kerap menobatkan air terjun ini sebagai miniatur Niagara, air terjun yang termahsyur sedunia itu.

Curug Malela terletak di Desa Cicadas, Rongga – Gununghalu. Tempat wisata alam di Cililin ini lokasinya memang cukup terpencil yaitu baru bisa dicapai setelah kurang lebih 3 jam berkendara dari pusat kota Bandung. Itupun belum sampai dilokasi curug karena jalannya rusak, alhasil perjalanan harus dilanjutkan berjalan kaki menuju lokasi selama 2-3 jam. Bila enggan berjalan kaki bisa memakai jasa ojek hingga pelataran parkir. Darisinipun lokasi curug belum kelihatan melainkan masih harus berjalan kaki menuruni tangga pavling blok selama 30 menit.  Di beberapa tempat pavling blok nya sudah hancur, menyisakan tanah merah yang licin bila hujan.

 

IMG-20160511-03488Curug Malela ini memiliki ketinggian sekitar 60 meter dengan lebar curug mencapai 70 meter, serta memiliki 5 buah jalur air terjun. Hulu sungainya berasal dari lereng utara Gunung Kendeng, gunung berapi yang telah mati, di sebelah barat Ciwidey.

Setelah rencana yang tertunda-tunda sejak tahun lalu, duaminggu sebelum bulan puasa 2016  kami memantapkan diri menuju curug Malela. Sejujurnya inipun tak murni sekedar menuju curug, karena sekalian mengantar salah seorang personil yaitu Tanti menyelesaikan pekerjaannya di Sindangkerta. Jauhnya perjalanan, itulah yang membuat semangat kami selalu maju-mundur.

” Tilu jam di jalan mah kawas ka Garut wae,” begitu celetukan bernada malas bila membicarakan curug Malela. Jauh memang.

Pada hari yang ditentukan disepakati cek poin pertemuan adalah cafe Farel yang terletak tepat didepan exit tol Bubahbatu. Bila akan masuk ke tol melalui gate Buahbatu, tempat ini sangat strategis sebagai cek point pertemuan.Keluar exit Padalarang, belok kiri menuju Batujajar, darisini kita akan beberapa kali melipir sisi danau Saguling. Warung-warung yang menyediakan ikan bakar seakan melambai-lambai.

Setelah selesai urusan di Sindangkerta, rombongan lanjut ke Gunung Halu dengan tambahan sebuah mobil yang bergabung untuk menjadi penunjuk jalan. Sepanjang perjalanan kita akan melihat pemandangan yang bervariasi dari perkampungan, kebun dan sawah, lalu menjelang Gunung Halu kita akan melewati perkebunan teh Montaya yang hijau menyegarkan mata.

Bagi anda yang berniat mengunjungi tempat wisata yang eksotis ini, berikut adalah rute jalan menuju kawasan wisata Curug Malela.

1.Menggunakan Kendaraan Pribadi

Cimahi -> Batujajar -> Cihampelas -> Cililin -> Sindang Kerta -> Gunung Halu -> Buni Jaya -> (jalan rusak) ->Curug Malela

2.Menggunakan Kendaraan Umum

Terminal Leuwipanjang -> naik angkot atau bis jurusan Cimahi/Cililin. Sampai di Cililin lanjutkan perjalanan dengan naik bus jurusan Gunung Halu/ Buni Jaya. Sesampainya di Terminal Buni jaya ganti ojek menuju desa Cicadas. Setelah sampai pelataran parkir di Cicadas, perjalanan ke lokasi Curug Malela dilanjutkan dengan berjalan kaki. @districtonebdg

Peta-Curug-Malela

Hiking For Theraphy : LESSEN YOUR EGO

IMG20160528130833

IMG20160528115857Setelah mengikuti program Hiking Ceria IKA SADAYA Unpad yang bekerjasama dengan District One tanggal 22 Mei yang lalu, terus terang kok saya merasa mulai addicted to hiking yah. Perjalanan itu ngebangunin saya dari hibernasi panjang setelah lama tak melakukan hiking, lama sekali. Maka, pada saat District One mengadakan weekly program- nya, yaitu Saturday Outdoor, saya pun dengan antusias menyambutnya.

Perjalanan menuju Curug Antani, Barubeureum, Kaki Gunung Manglayang tidak memakan waktu yang banyak. Rute ke Curug Antani ini sesuai tema Saturday Outdoor yang memang menjajal rute ‘cantik’, ‘ringan’, tapi tetap ‘antimainstream’, dalam artian tidak banyak orang yang mengunjungi tempat ini, alias sepi, suasana yang sengaja kami cari.

Matahari sudah tinggi pada saat mulai perjalanan. Saya, Baiz, Tanti dan putrinya,Freyja,memang datang terlambat, dikarenakan macet di bunderan Cibiru, ditambah dengan insiden mobil mogok ketika mampir di sebuah mini market. Saya melihat Baiz begitu cemas tapi dia berusaha tidak memperlihatkan pada kami bertiga. Syukurlah masalah dapat segera diatasi dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Jatinangor.

Setelah parkir di warung, ngecek perbekalan, kami mulai berjalan menyusuri jalan berbatu dan sedikit menanjak yang seakan-akan tidak ada ujungnya, mulai deh saya ‘ngedumel’ dalam hati. Rasa bosan dan udara yang panas menyengat kulit membuat saya cepat lelah tapi akhirnya jalan berbatu itu habis juga dan tibalah kami di tempat istirahat pertama kami.

Tiba-tiba Eya –panggilan Freyja- mengeluh pusing, kebetulan saya duduk didekatnya langsung saya peluk, saya panik waktu saya pegang badannya yang dingin. Setelah mendapat sentuhan dari tangan sakti seorang ibu juga sedikit jampi jampi Eya mulai pulih. Rupanya dikarenakan kekuranga tenaga, dia hanya sarapan roti, belum makan nasi. (duh…anak Indonesia banget yah)

IMG20160528111308

BeautyPlus_20160528120522_saveWalaupun kami  hanya berempat dan tidak seseru ke curug Cibareubeuy, tapi tetap kami berusaha seceria mungkin berjalan menikmati pemandangan. Jalan setapak yang dilalui juga tidak seindah jalur ke curug Cibareubeuy. Jalan setapaknya penuh semak semak yang terasa gatal di kulit tapi apapun itu perjalanan harus terus berlanjut walau lagi lagi saya merasa agak sedikit bosan juga ada rasa khawatir kulit menjadi hitam legam. (ngeluuh terusss)

Kami sempat berhenti beberapa kali untuk ‘ngarenghap’, di sini saya melihat Baiz sabar dengan sikap manja saya dan Eya, yang memang sangat manja …(hehehe….yah harap maklum namanya juga beginners).

Pada medan medan yang lumayan cukup sulit, Baiz selalu meyakinkan kami bahwa semuanya akan baik baik saja. Terimakasih tak terhingga kepada Baiz. You’re real man.

Dan akhirnya setelah melewati jalan batu yang merupakan aliran air dari Curug Antani,  tiba juga kami di tempat yang dituju. Curug antani adalah curug yang tidak besar dan tersembunyi di balik batu besar, orang-orang mungkin tidak menyangka dibalik batu besar itu tersimpan pesona alam yang indah. Walupun ukurannya kecil, tetap indah dengan airnya yang bersih dan menyejukan pikiran dari penat . Kami sempat bermain air, ngobrol sana sini, dan seperti biasa apalagi kalau bukan berfoto ria, hanya tidak terlalu berlama lama di sana karena saya melihat Baiz gelisah tapi dia tidak mengaku (belakangan saya tau apa alasannya). Tampaknya Eya enggan cepat-cepat pulang, dia sangat menikmati suasana curug dan meneliti ke sekitar, melontarkan pertanyaan “Om Baiz, kali aja di atas sana masih ada curug yang lain’.

Perjalanan pulang kami tempuh dengan medan yang sama dengan jalur awal karena kami ingin cepat sampai ke bawah. Sebenarnya ada beberapa jalan pulang yang katanya lebih seru untuk dilalui, tapi Baiz dan Tanti memutuskan memilih jalur yang sama dengan alasan rute lebih pendek dan khawatir Eya tidak begitu kuat. Pada perjalanan pulang Eya terlihat lebih bersemangat dan bertenaga, rupanya aura positif curug Antani memberikan energy besar baginya.

Ada sebuah makna yang bisa saya ambil dari perjalanan ini, saya  merasa bahwa kebesaran alam membuat diri saya yang selama ini dibebani oleh masalah dan rutinitas yang membosankan itu menjadi berbeda. Tentu saja karena selalu adanya kejutan, tantangan dan penantian selama perjalanan berlangsung, dan bagaimana kita memaknai kejutan-kejutan tersebut. Sama halnya dengan jalan hidup yang penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tetapi kita harus sadar bagaimana memaknai misteri tersebut.

THE IMPORTANT THING IS THE JOURNEY NOT THE DESTINATION

Alam juga terasa membuat saya menjadi manusia yang lebih bersyukur,membuat hati saya menjadi luluh dan mengurangi keegoisan saya. Berada di antara alam juga mempertemukan saya dengan teman teman yang baik. Tidak ada marah, persaingan, saling membenci dan menjelekan namun justru kami mempunyai satu harapan yang sama yaitu sampai di tujuan bersama sama  dengan selamat tanpa meninggalkan ataupun ditinggalkan, alam mengajarkan saya untuk saling menghargai dan membutuhkan satu sama lain

Demikian catatan perjalanan yang mungkin lebih kelihatan seperti catatan hati, tapi memang benar adanya bahwa hiking bisa untuk terapi dan self reflection. Terimakasih untuk kawan-kawan dari District One:  Baiz, the real tour leader, Bayu Bharuna, Mr. President,  Bobby Novarro dan Tanti Brahmawati , yang selalu mensupport saya. Juga untuk sahabat lama Kiky Buana dan Irma Yusanti, yang berhasil membujuk saya ikut Hiking, you’re damn real besties.

-family is not always blood-

IMG20160528092925

 

Penulis

Cila, tinggal di Bandung

 

Berburu  Curug di Sekitar Perkebunan Teh Sukawana

Kebun teh Pangheotan di Sukawana terletak di Kampung Kancah Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Bandung Barat. Kebun Pangheotan didirikan pada 1908 oleh Perusahaan Hindia Belanda, dan sampai dengan periode 1957, berada di bawah penguasan HIL Tiedeman & Van Kerchem, yang berkedudukan di Bandung. Tercatat dua administratur Belanda yang bertugas di kebun itu, yakni Jan Willem Ruyssenaers (1927 – 1941) dan Albert Johan Ruyssenaers (1941 – 1957). Pada 1958, kebun itu dinasionalisasi menjadi milik Pemerintah RI.

Sejatinya kawasan Pangheotan ini seluas mata memandang adalah perkebunan teh, namun dibalik bukit-bukit teh yang hijau menyejukkan mata bila kita telusuri lebih jauh begitu banyak mutiara tersembunyi lainnya. Terletak dikaki gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu,  gunung-gunung itu seolah melambai dengan penuh rasa rindu. Siapa yang tak terpesona oleh kerinduan tulus dari ibu pertiwi yang ingin memeluk anak-anaknya. Dengan sedikit tekad, kita bisa mencapai puncak-puncak gunung itu dalam waktu yang tak terlalu lama sekitar 3-4 jam.

Selain gunung yang menjulang, sungai yang  jernih mengalir dilembah ini. Sungai-sungai yang berhulu di pegunungan ini membentuk banyak air terjun yang indah sepanjang alirannya antara lain curug Layung, curug Tilu dan lainnya. Kami telah lama mendengar perihal curug-curug (air terjun) yang ada disekitar Sukawana, namun hanya setahun yang lalu benar-benar berniat mencarinya. Maklum saja, walau setiap hari Sabtu bergerilya dengan program #SaturdayOutdoor , begitu banyak tempat di sekitar kota Bandung yang harus dijejaki. Satu lokasi, kadang memerlukan lebih dari satu kali survey.

Dalam hiking di Sukawana kali ini sungai di sebelah Barat perkebunan teh menjadi target utama, karena letaknya tak terlalu jauh.  Dialiran sungai ini terdapat banyak curug yang telah dikuasai berbagai resort outbond disekitar kawasan ini. Walaupun kita bisa masuk dari pintu resor melalui jalan aspal dibawah, akses setapak dari perkebunan teh adalah jalur terbaik bila anda menyukai hiking. Jalur belakang ini akan langsung menuju curug-curug yang telah dikomersialisasi akes masuknya ini. Curug Bubrug, curug Tilu dan Curug Layung adalah astraksi wisata alam yang indah di sepanjang aliran sungai yang berhulu di kaki gunung Burangrang.

Untuk menuju curug Layung, bila membawa kendaraan, bisa diparkirkan di lapangan depan Villa Merah atau lebih jauh di lapangan desa. Ikuti jalan koral utama sampai melewati desa, setelah warung paling ujung yang terletak dikiri jalan ada jalur setapak yang cukup lebar masuk ke kebun teh. Ikuti setapak ini hingga bertemu dengan pertigaan antara ke kiri (CIC – Ciwangun Indah Camp) dan kanan (curug Layung). Ikuti arah setapak yang ke curug Layung ini dengan seksama, nantinya akan mengarah kekiri. Seharusnya dari pertigaan itu curug tak terlalu jauh lagi. @districtonebdg

 

Trekking for Life : Mari Berjalan Kaki Lebih Jauh Lagi

tiff infomation

tiff infomation

Bila teman-teman mendambakan program one day trekking  dengan target 10km-12 km dengan tingkat kesulitan skala ringan, boleh mencoba rute hiking menuju Gunung Pangparang ini.  Setidaknya menurut saya, rute trekking ini terbilang landai, tidak perlu berwebbing ria dan tidak ada pula  drama-drama ekstrim lainnya.

Hari Kamis yang cerah, Saya, Lia, dan teman-teman dari District One yaitu  Bar, Baiz, dan Gatot melakukan hiking dengan rute Gunung Pangparang ini. Dengan meeting point dari alun-alun Ujung berung,  kami bersama-sama bergerak dengan mobil melewati jalan Cigending ke atas sampai tiba di wilayah Palintang, dan berhenti di area lapangan Kasur sebagai starting point pendakian.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami mulai menjejaki setapak menuju wilayah bukit-bukit hijau. Suasananya hening sekali, hanya semilir angin yang berhembus menyapa  ilalang-ilalang liar dan sesekali terdengar kicauan burung.

WhatsApp-Image-20160506

Setelah bertanya pada GPS alias penduduk setempat, kami diarahkan untuk berjalan melewati punggungan bukit-bukit yang sedikit menanjak dan membentuk ular. Mata kami dimanjakan dengan suasana hamparan bukit hijau yang membentang, dari jauh terlihat  bukit Tunggul dengan hamparan pohon Eucalyptus berjajar rapih. Suasana syahdu dan udara yang tidak terlalu panas, menambah aura positif Gunung Pangparang yang seakan – akan menarik diri kami untuk berkontemplasi. Membebaskan imaji berkeliaran tanpa batas.

Setapak panjang  dilalui seperti ingin mengajak bercengkrama  dengan diri untuk hanya sekedar melakukan refleksi, berkomunikasi dengan semesta alam, mengucap syukur akan karunia Nya yang tak terhingga.

Beberapa kali kami beristirahat, bersenda gurau dengan teman seperjalanan, bahkan mendengarkan lagu-lagu lawas kesayangan untuk dinikmati bersama. Rasa lelah selalu terobati  dengan rasa kebersamaan kami yang telah mengikat.

 

_20160409_133322Setelah mencapai puncak, kami beristirahat sejenak lalu mengambil jalan pulang dengan rute yang sama. Rute sekitar  10 kilometer pulang pergi itu pun tak disadari telah kami lewati.  Kabut dan gerimis kami nikmati saja sebagai bagian perjalanan yang manis sambil membayangkan suasana rumah dengan kasur empuk  berselimut hangat, hidangan teh panas dan mie  rebus yang selalu menggoda, sebab katanya ‘rindu’ memang harus sengaja diciptakan walau tak selalu harus dikabarkan.

Sampai akhirnya kami tiba kembali di shelter tenda biru dan bersiap-siap kembali pulang ke rumah, beristirahat, berbagi peggalaman, dan menikmati secangkir kopi pahit.

Selamat mencoba.

“Rindu tak harus dikabarkan, dia mencari jalannya sendiri, sesepi apapun, ingatan akan merawatnya.” -NV-

 

Tanti B

Hiking For Theraphy and Detox Believer

 

Ladang Tembakau Menghijaukan Bukit Kiarapayung

IMG-20160416-03339

Tembakau (Nicotiana tabacum) merupakan salah satu komoditi tanaman yang banyak ditanam oleh petani di Indonesia. Tanaman tembakau tersebar di seluruh Nusantara dan mempunyai kegunaan yang beragam antara lain sebagai biopestisida dan insektisida, pengawet, pembersih luka dan terutama sebagai bahan baku pembuatan rokok. Sentra tembakau yang utama di Indonesia adalah Deli, Temanggung, Pamekasan, Lombok dan Jember.

 

Tembakau mengandung alkaloid nikotin yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia juga sangat beracun bagi serangga sehingga nikotin dapat dimanfaatkan sebagi insektisida. Namun beberapa penelitian justru menunjukkan manfaat tembakau dalam mengobati berbagai macam penyakit, diantaranya memiliki kandungan protein anti kanker serta menurunkan resiko penyakit Parkinson.

 

Tanaman tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan para petani dan mampu memberi kesejahteraan yang luar biasa pada saat panen raya musim tembakau. Peran tembakau bagi masyarakat cukup besar, hal ini disebabkan aktivitas produksi dan pemasarannya yang melibatkan berbagai tingkatan masyarakat. Di Indonesia, tanaman tembakau diperkirakan menghidupi sekitar 18 juta orang. Industri rokok merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia dan berkontribusi besar bagi ekonomi negara sebagai salahsatu penyumbang cukai terbesar dimana pemerintah meraup dana sekitar 50 triliun setiap tahunnya.

Badan pemerintah yang memiliki mandat untuk meneliti tanaman tembakau adalah Balittas (Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat) di bawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Balai ini mempunyai tugas pokok melaksanakan penelitian tanaman tembakau, serat buah, serat batang dan daun, dan minyak industri .

Ladang tembakau merupakan salah satu view yang sering dilalui saat kami menjelajahi jalur hiking di seputar Kiarapayung dan Barubeureum. Ladang-ladang tembakau ini terletak dibelakang bumi perkemahan Pramuka Kiarapayung. Daun-daun tembakau yang lebar dan hijau membuat sejuk mata memandang. Walau kawasan ini bukanlah sentra tembakau yang utama di Indonesia, namun berbukit-bukit ladang tembakau selalu tampak menghijau. Sesekali kami bertemu dengan petani yang sedang memanen daunnya, dengan ramah menyapa dan menjadikan perjalanan menjadi lebih berkesan lagi. Bila ingin hiking diantara kehijauan ladang tembakau, maka bukit-bukit di kawasan Kiarapayung ini haruslah anda datangi. @districtonebdg

 

IMG-20150528-01106

 

 

 

El Condor Pasa di Puncak Bukit Hijau

IMG-20151021-02010Di sebuah puncak bukit Kiarapayung di kawasan Jatinangor, kami beristirahat. Punggungan yang mengarah ke puncak semu Manglayang ini amat sepi, karena bukan jalur yang populer seperti dari Barubeureum atau Batukuda. Namun suasana jalur yang sepi ini justru yang menjadi daya tarik. Hiking yang biasa dilakukan ini bagi kami bukan lagi sebuah perjalanan mengejar tempat paling tinggi, melainkan mengakrabkan diri ke jalur-jalur setapak disekitarnya.

 

Kala menikmati view yang menakjubkan dari puncak bukit, seekor elang tampak mengangkasa dengan anggunnya. El condor pasa.. seperti sebuah lagu yang dipopulerkan Simon & Garfunkel.  The eagle passes by. Semua terpaku memandangnya. Ia terbang tak terburu-buru seperti tahu semua memandanginya, membiarkan dirinya dikagumi oleh setiap orang  di puncak bukit. Terpaku pada pesona.

Di kawasan Jatinangor ini memang masih dapat terlihat elang yang terbang tinggi di angkasa dengan anggunnya. Mereka datang arah pegunungan disekitar kota yang bertumbuh pesat ini seolah menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan gedung-gedung tak menjadikan mereka menjadi kehilangan wilayah angkasanya. Semasa kuliah dulu tahun 90-an beragam jenis elang masih dapat terlihat di Jatinangor seperti elang alap-alap Cina (accipiter soloensis), alap-alap Nipon (accipiter gularis), alap-alap sapi (falco moluccensis), elang tikus (elanus caeruleus), elang hitam (ictinaetus malayensis) atau elang ular (spilornis cheela). Kurang tahu juga jenis elang apa yang hari itu kami lihat. Yang jelas, melihat elang terbang tinggi di angkasa selalu membuat terpesona.

 

1458451_10205846852720255_6801566318843996341_nBerdiri di puncak bukit, dengan pandangan yang bebas lepas ke arah lembah seperti kembali ke suatu masa lalu. Ada masanya kala tak ada yang dapat menghalangi jiwa-jiwa yang resah itu pergi menjelajah. Hanya didorong oleh insting liar yang menggelora tak tertahankan.  Tidak cuaca yang buruk, pegunungan tinggi, rasa sakit mendera bahkan romantisme cinta. Lalu  setiap orang merasakan betapa insting itu perlahan memudar kala memasuki kehidupan nyata. The eagle has landed. Tetapi  kerangkeng dari besi atau sangkar dari emas tak pernah bisa mengubah rajawali menjadi burung nuri. Insting itu tetap ada dan sewaktu-waktu meronta ingin kembali mengangkasa.

Beberapa dari sisa-sisa laskar tahun 90-an itu kembali bertemu dan bernostalgia. Kini bukan pegunungan tinggi membekukan yang dituju. Puncak tak lagi tempat yang demikian sakral seperti dulu, matahari terbit tak lagi membutakan seperti masa lalu. Kini sekedar menjalani perjalanan yang tenang, bercengkerama tak hanya dengan alam sekitar namun juga dengan masa lalu yang seperti bayang-bayang dibelakang.

Ada persahabatan baru, banyak tempat baru, juga meluap kenangan masa lalu yang kerap membuat terharu biru. Kini yang mencoba digali kembali adalah akar darimana mereka berasal. Setelah dua puluh tahun meninggalkan Jatinangor, seorang demi seorang kembali kesana, menatap bukit-bukit yang dulu tandus kini lebih hijau untuk dipandang. Namun semua tahu, kini tempat yang dulu begitu lekat dihati itu bukanlah sarang mereka lagi. Mereka hanya kembali untuk melihat sang elang yang melayang tinggi.

El Cóndor Pasa  sendiri adalah lagu yang ditulis oleh komposer PeruDaniel Alomía Robles pada tahun 1913, pertama dinyanyikannya di depan umum di Teatro Mazzi, Lima. Lagu yang bernada musik rakyat Andes ini menjadi populer di seluruh dunia setelah dinyanyikan ulang oleh Simon & Garfunkel pada tahun 1970. Bagi sebagian rakyat Peru, lagu ini telah dianggap sebagai lagu kebangsaan mereka yang kedua setelah lagu kebangsaan resmi, Himno Nacional del Peru. @districtonebdg

1463298_10205846816239343_1386457812957449018_n

 

Senandung Rindu di Pangparang

IMG-20160407-03296Apa kiranya yang menarik di gunung Pangparang, sebuah pertanyaan yang menggelayut kala akan memulai perjalanan. Kawasan perkebunan kina PTPN VIII di Bukittunggul telah sejak lama menjadi playing ground kami, namun gunung ini tak pernah menjadi prioritas karena memang letaknya agak terpencil. Mungkin begitu mendalam kecemburuan sang gunung kala melihat kami lewat melaluinya hanya untuk bercumbu dengan gunung dan bukit di sekitarnya seperti Sanggara, Palasari dan Bukittunggul.

Setelah bertahun-tahun bisikan rindu itu akhirnya terasa pula, maka rencana melakukan hiking ceria ke gunung Pangparang pun dikemas. Perjalanan dimulai dari alun-alun Ujungberung, setelah melewati desa Palintang mobil diparkir di area lapangan Gunung Kasur. Sebuah warung menjadi cek point untuk memulai protap (prosedur tetap) sebelum mendaki, yaitu minum kopi dan sosped (sosialisasi pedesaan) untuk menggali informasi. Setelah mendapat informasi jalan menuju puncak di warung itu, hiking pun dimulai. Dari lapangan kami mengambil jalan pintas lewat kebun yang tembus ke jalur motor. Jalan setapak yang tak terlalu lebar ini kemudian bertemu dengan jalan koral di sebuah persimpangan , setidaknya ada lima jalur yang bertemu disini. Di persimpangan ini terdapat shelter sederhana beratapkan terpal plastic berwarna biru. Mudahnya, kita sebut saja shelter tenda biru.

Dari shelter tenda biru, puncak Pangparang sudah tampak didepan, terhalang kabut yang datang dan pergi. Cuaca pendakian hari ini memang sendu, gerimis dan kabut tampaknya sedang bercumbu melepas rindu. Namun cuaca muram seperti  ini lebih mengasyikan sebenarnya, dibanding mandi peluh bergelimang terik surya.

Awalnya kami berencana meretas jalan setapak ke puncak melewati perbukitan, namun godaan itu harus ditepis karena kami perlu tahu juga kondisi jalan koralnya. Siapa tahu kelak bisa ongkang-ongkang kaki diatas jip Landrover menuju puncak. Maka dari shelter tenda biru, perjalanan dilanjutkan dengan konturing melipir bukit di jalanan koral yang tampak sekali jarang dilalui. Tampaknya jalan ini hanya dilalui bila panen tiba, untuk mengangkut hasil  panen dari puncak gunung. Sesekali jalanan tertutup oleh semak hingga harus ditebas, kerap batu-batunya begitu berlumut hingga licin kala dijejak sepatu. Rumput tumbuh liar bahkan menjadi semak disepanjang jalur ini. Namun untuk dilalui kendaraan off-road jalur ini masih layak.

IMG-20160407-03285

Perjalanan melipir  bukit sesekali disambangi gerimis yang menari dialunkan angin, serinainya berlenggak-lenggok  sembari genit mengusapkan basah ke wajah. Seakan rindu pada sahabat lama yang dipendam secara rahasia tersingkap secara perlahan. Rindu terpendam yang tak tertahankan menjadi bulir-bulir air mata, entah sendu atau bahagia. Air mata dan hujan adalah basah yang sama, menetes dari ketulusan yang bermakna.

Berasal dari generasi yang tak lagi muda, sesekali lagu dari masa lalu ikut meramu irama hiking kali ini. Sayup-sayup mengalun lagu  A Whiter Shade of Pale, sebuah tembang klasik dari masa lalu yang terasa masih hangat di telinga. Lagu yang ditembangkan oleh Procol Harum tahun 1967 ini ikut mengantar Andreas Kummert menjadi jawara di Voice of Germany tahun 2013. Seakan jarak empatpuluh enam tahun itu hanya jeda tak terasa. Lalu ada tembang apik dari Joan Baez tahun 1975, Diamond and Rust, yang bercerita tentang cinta tersembunyi yang saling merindu namun tak mungkin bersua.  Sebait liriknya  “..you burst on the scene already a legend / the unwashed phenomenon, the original vagabond…” terasa mengisahkan Bob Dylan bukan suaminya, David Harris.

Bebukitan hijau Pangparang seperti maphum pada semua kegalauan, dengan arif memeluk semua hati dan menenangkannya.  Rasa sejuk membasuh, melarutkan karat-karat pedih dari masa lalu. Begitulah kebijakan sang gunung, menampung segala resah dan kemudian memberi kecerahan kala para pendaki meninggalkannya. Akulah si telaga, gumamnya mengutip sajak Sapardi Djoko Damono, berlayarlah diatasnya..

@districtonebdg

 

 

 

Daun Pulus Mengintai di Trek Tahura Batu Garok

pulus

Pulus (Laportea stimulans) adalah tanaman pohonan yang banyak ditemukan di daerah hutan hujan tropis dataran rendah di sebagian Indonesia. Pulus (wood nettle, stinging nettle) berkerabat dekat dengan tanaman Jelatang (Girardina palmata). Walaupun secara fisik sebetulnya tanaman ini berbeda karena Jelatang memiliki daun berbentuk menjari seperti daun pepaya, berbentuk perdu dan memiliki duri di sekujur tubuhnya sampai ke batang.

Pulus memiliki daun berwarna hijau terang. Memiliki tulang dan urat daun yang tampak jelas. Pinggir daun mudanya berbentuk gerigi dengan jarak gerigi tidak terlalu rapat. Semakin tua, gerigi semakin menghilang. Bagian atas dan pinggir daun ditumbuhi bulu-bulu halus yang hanya nampak bila dilihat dari jarak sangat dekat. Bila bulu-bulu ini tersentuh bagian kulit kita yang halus dan sensitif seperti punggung tangan, lengan, paha atau betis dapat menimbulkan rasa gatal, perih dan panas yang cukup menyengat.

Dengan tampilan yang low-profile, daun pulus memang tidak terlalu kentara di tengah rerimbunan pohon lain. Karena menyenangi daerah lembab dan ternaungi, Pulus seringkali ditemukan di pinggir-pinggir jalan setapak. Pada akhir musim hujan, banyak ditemui seedlings atau anakan pulus yang tingginya tidak lebih dari 40cm. Hal ini membuat pulus semakin tidak kentara dan mudah tersentuh bagian tubuh terutama kaki. Bila apes terkena belaian daun pulus, terima saja sebagai pengalaman yang mendewasakan perjalanan kita. If you irritated by every rub, how will you be polished?

Racun yang terdapat dalam bulu sengat Pulus ini adalah formic acid dan beberapa jenis asam lainnya. Kandungan yang mirip juga ditemukan pada sengat lebah dan sengat semut sehingga asam formic ini juga disebut asam semut. Apabila seseorang terkena sengatan pulus sebaiknya jangan langsung dicuci. Penangkal yang biasa dilakukan adalah menggosok daerah sengatan dengan tanah gembur yang kering.Literatur lain menyebutkan bahwa gosokan daun Pacing Merah pada daerah sengatan berkhasiat untuk menyembuhan luka sengatan Pulus. Sedangkan yang lain menuliskan bahwa air yang dihasilkan dari remasan tanaman Alocasia macrorrhiza (Talas Gajah) dapat menghilangkan rasa sakit sengatan Pulus. (Wikipedia)

IMG-20141022-00122pacing merah

Sengatan pulus pada kulit tubuh biasanya baru akan hilang setelah beberapa hari bila tanpa penanganan. Di hari pertama kita akan merasakan sengatan panas sekujur permukaan kulit yang terkena bulu halus, bila terkena air seperti menyayat-nyayat kulit. Hal ini akan membuat tak bisa tidur nyenyak, dimana kita akan terbangun oleh sengatan. Di hari kedua panas masih terasa namun tusukan seperti jarum mulai berkurang, dan di hari ketiga sudah tak terasa panas namun bila permukaan kulit yang terkena pulus diraba maka rasa tersengat itu masih sedikit terasa. Bila memeriksakan diri ke dokter biasanya pasien akan diberi obat anti alergi dan penahan sakit.

Rute  hiking patahan Lembang di Dago Pakar merupakan jalur setapak yang banyak terdapat daun pulus ini, terutama setelah turun dari shelter menuju lembah. Disinilah bulu-bulu halus daun ini mengintai pejalan yang kurang waspada untuk menyengat secara tiba-tiba. Melalui rute ini disarankan memakai celana panjang dan sepatu, walau terkadang bulu-bulu halus ini tetap dapat menembus celana. Namun jangan khawatir karena di sepanjang jalur ini pun tersebar penawarnya yaitu tanaman Talas Gajah dan Pacing Merah. Alam selalu menempatkan penawar racun tak jauh dari racunnya. Manusialah yang harus membuka diri untuk banyak belajar dari kearifan alam. @districtonebdg

 

A Simple Joy of Life : Ikut Berburu Celeng di Curug Antani

IMG-20160326-WA002912523976_10208918011731393_726998420770939378_n12885994_10209407045719663_5372241274919264035_o

Saturday Outdoor yang diadakan District One Sabtu kemarin mengambil rute Hiking Barubeureum – Curug Antani.  Saya, Bobby,Teti dan putrinya Abil, Rany, Yussa, dan tentu saja tim leader Baiz rasanya sudah tidak sabar untuk menjelajah.

Dalam rangkaian ‘waterfall  hunting’ yang diadakan oleh District One, Curug Antani adalah destinasi  favorit  saya setelah Curug Cibareubeuy / Kampung Senyum (lihat  Hiking for Theraphy : Menuju Kampung Hobbit).

Trekking menuju Curug ini dimulai dari Desa Barubeureum di kaki gunung Manglayang. Pemanasan dimulai dengan jalanan berbatu yang cukup lebar dan sedikit menanjak, kemudian tersambung dengan setapak memasuki kawasan hutan. Cuaca cerah, langit biru menyambut kami.  Awalnya saya menyangka akan mendapatkan  suasana hening dengan semilir angin, ternyata salah duga.  Ketika memasuki hutan, terdengar riuh suara berbagai hewan, terutama suara burung-burung yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan.  Ramai sekali, membayangkan mereka seakan akan sedang berpesta lepas bebas tanpa gangguan. Ah, semoga saja kedatangan kami tidak mengganggu kenyamanan mereka.

Setelah  kurang lebih 1,5 jam berjalan dan beristirahat, sampai juga kami di Curug Antani. Rasa penasaran pun terjawab, terlihat  tebing  tinggi menjulang dan Curug Antani tampak terlihat mungil namun anggun, airnya mengalir kecil, perlahan tapi pasti, seakan akan telah berjanji mengaliri kehidupan yang bergerak  terus ke muara-muara tak berjarak. Bagaikan sebuah bintang  jauh yang selalu datang tepat waktu, cahaya kecilnya tak pernah ingkar  berkilau  hangat ke ujung terjauh waktu.

Lama kami beristirahat di sini. Berfoto, bermain air, membuka bekal, dan bercengkrama sampai Baiz mengintruksikan untuk kembali pulang tetapi dengan rute yang berbeda. Kami pun berkemas dan bersiap pulang.

tiff infomationtiff infomation

Pada saat perjalanan pulang, kami mendengar suara teriakan-teriakan 2 orang pria saling bersahutan, diikuti gonggongan segerombolan anjing. Rasa penasaran terjawab ketika kami memasuki setapak yang rimbun oleh pohon-pohon kerdil yang rapat. Kami bertemu seorang pria dan segerombolan anjing pemburu celeng. Rupanya rute pulang yang kami ambil merupakan habitat celeng di wilayah hutan ini. Baiz pun bercakap sebentar meminta ijin memasuki jalur setapak rimbun di depan kami. Pria tersebut  tak banyak bicara, dari gerakan badannya ia mengintruksikan kami untuk mengikutinya. Tak kami sangka kami pun terlibat dalam perburuan kecil tersebut. Dari kiri kanan setapak rimbun yang dilalui terdengar suara celeng mendengus, sepertinya lebih dari 2 ekor, tak lama diikuti suara anjing pemburu dan teriakan 2 orang pria yang saling bersahutan dari arah yang berbeda. Oh, rupanya begitulah cara mereka berburu celeng. Rasa deg-degan dan penasaran bercampur aduk, ada rasa takut kami diserbu anjing atau malah tertubruk celeng yang sedang diburu.  Kami pun berjalan tergesa-gesa sambil saling dorong dan tertawa-tawa juga saling mengingatkan jangan terlalu ribut ataupun takut.  Ya, ini pengalaman pertama saya menyaksikan perburuan celeng. Sungguh menggelikan. What a simple joy of life.

Rasa lega  datang ketika akhirnya  kami keluar dari jalur celeng, semacam lahan terbuka dengan pemandangan indah.  Di sini kami menghabiskan waktu berfoto ria dan  bercengkrama. Ah sepertinya enggan sekali untuk beranjak dari sini. Suasananya sangat mengasikkan.
Saya mengakui ini adalah rute hiking yang sangat cantik, recommended  untuk dijadikan hiking favorit lintas usia, mulai anak sampai lansia. Walaupun termasuk rute yang aman, minim cedera ataupun terjatuh, sebaiknya bila ingin menjajal alam ke wilayah ini tetap harus didampingi oleh guide/tour leader yang handal dan menguasai medan seperti kawan-kawan kami dari District One. Selamat Mencoba.

12719457_10209407048879742_2858907544901189938_o

Blowing wind, chirping birds, bluest sky.

I long for yesterday.

Once more.

-QA-

 

 

Penulis

Tanti B

Hiking for Theraphy and Detox Believer

 

 

Mengajak Anak-anak ke Gua Pawon dan Stone Garden

IMG-20140624-01261 (1)

by Bayu Ismayudi

Jeritan girang anak2 kecil terdengar ketika kami tiba di Gua Pawon, sebuah tempat wisata alam yang cukup unik di daerah padalarang Bandung. Sengaja kami mengajak Fiqar & Ghina nama anak yang tergabung dalam kelompok kami ke tempat ini dalam rangka mengisi liburan sekolah mereka, kami ingin memperkenalkan kepada mereka tentang alam & lingkungannya.

Seperti yg kita tahu, anak-anak saat ini sibuk dengan gadget & wahana permainan yg modern dan mahal di perkotaan. Mereka kurang mengetahui bahwa di sekitar kita ada pegunungan, hutan, gua, dll yang cukup mengasyikan untuk dijadikan arena bermain, sebuah wahana yang sehat, mendidik & murah.

Setelah membayar biaya retribusi, kami bersiap untuk memulai petualangan kecil. Kami mulai meniti jalan menanjak & berbatu khas kawasan kars sebelum mencapai mulut gua Pawon. Di jalan yg kami lalui di atas pohon terlihat beberapa ekor monyet bergelantungan.

Tidak lama berselang, kami mulai memasuki mulut gua, bau khas kotoran kelelawar atau guano menyambut kami, kami pun menutup hidung kami dengan menggunakan scarf atau buff yg sudah dipersiapkan sebelumnya.

Anak-anak yg bersama kami begitu antusias mengeksplore gua, bagi mereka ini merupakan hal yang baru, mereka begitu bersemangat menelusuri gua sambil menghujani kami dengan pertanyaan2 polos khas anak2 tentang alam yg baru pertama kali mereka kenali ini.
Gua Pawon adalah sebuah gua yang tidak begitu besar yang terbentuk dari bebatuan kars, tidak sulit untuk menelusuri gua ini, tapi bagi seorang anak kecil hal ini menakjubkan, dari gua ini kita disuguhi view yang indah di bawahnya.

@gua pawon naik gunung

Setelah puas mengeksplorasi gua, kami pun kembali turun. Kali ini kami mengajak anak2 untuk mengunjungi sebuah area berbatu di atas bukit yg dikenal dengan nama “Stone Garden”. Untuk mencapai area itu, kami harus menyusuri medan yang menanjak yang dipenuhi ilalang. Fiqar & ghina begitu bersemangat mengarungi medan menanjak ini, sambil berjalan mereka tidak lepas dari candaan2 khas anak sambil ketawa ketiwi, rupanya rasa ingin tahu mengalahkan rasa lelah mereka.

Sekitar satu jam kami mendaki, tibalah di sebuah area yg dipenuhi tonjolan batu kars dengan ukuran yang beragam. Anak-anak menampakkan rasa puas & senang diwajahnya, mungkin bagi mereka ini adalah sebuah wahana permainan yang baru.

Alam banyak menyajikan keindahan yang kita tidak sadari & alangkah mengasyikannya jika kita mengeksplore alam ini bersama anak2 kita. Kita kenalkan kepada mereka lingkungan sekitar, tentang gunung, hutan, gua, dll. Kita bisa menjadikan alam ini sebagai wahana bermain yang mengasyikan & mendidik selain wahana hiburan di perkotaan yang bersifat konsumtif. Kita bisa ajak mereka bergaul dengan penduduk sekitar, makan & minum di warung2 tradisional sebagai bentuk pendidikan sosial yang mungkin tidak mereka dapat di sekolah- sekolah. (2014)