Apa kiranya yang menarik di gunung Pangparang, sebuah pertanyaan yang menggelayut kala akan memulai perjalanan. Kawasan perkebunan kina PTPN VIII di Bukittunggul telah sejak lama menjadi playing ground kami, namun gunung ini tak pernah menjadi prioritas karena memang letaknya agak terpencil. Mungkin begitu mendalam kecemburuan sang gunung kala melihat kami lewat melaluinya hanya untuk bercumbu dengan gunung dan bukit di sekitarnya seperti Sanggara, Palasari dan Bukittunggul.
Setelah bertahun-tahun bisikan rindu itu akhirnya terasa pula, maka rencana melakukan hiking ceria ke gunung Pangparang pun dikemas. Perjalanan dimulai dari alun-alun Ujungberung, setelah melewati desa Palintang mobil diparkir di area lapangan Gunung Kasur. Sebuah warung menjadi cek point untuk memulai protap (prosedur tetap) sebelum mendaki, yaitu minum kopi dan sosped (sosialisasi pedesaan) untuk menggali informasi. Setelah mendapat informasi jalan menuju puncak di warung itu, hiking pun dimulai. Dari lapangan kami mengambil jalan pintas lewat kebun yang tembus ke jalur motor. Jalan setapak yang tak terlalu lebar ini kemudian bertemu dengan jalan koral di sebuah persimpangan , setidaknya ada lima jalur yang bertemu disini. Di persimpangan ini terdapat shelter sederhana beratapkan terpal plastic berwarna biru. Mudahnya, kita sebut saja shelter tenda biru.
Dari shelter tenda biru, puncak Pangparang sudah tampak didepan, terhalang kabut yang datang dan pergi. Cuaca pendakian hari ini memang sendu, gerimis dan kabut tampaknya sedang bercumbu melepas rindu. Namun cuaca muram seperti ini lebih mengasyikan sebenarnya, dibanding mandi peluh bergelimang terik surya.
Awalnya kami berencana meretas jalan setapak ke puncak melewati perbukitan, namun godaan itu harus ditepis karena kami perlu tahu juga kondisi jalan koralnya. Siapa tahu kelak bisa ongkang-ongkang kaki diatas jip Landrover menuju puncak. Maka dari shelter tenda biru, perjalanan dilanjutkan dengan konturing melipir bukit di jalanan koral yang tampak sekali jarang dilalui. Tampaknya jalan ini hanya dilalui bila panen tiba, untuk mengangkut hasil panen dari puncak gunung. Sesekali jalanan tertutup oleh semak hingga harus ditebas, kerap batu-batunya begitu berlumut hingga licin kala dijejak sepatu. Rumput tumbuh liar bahkan menjadi semak disepanjang jalur ini. Namun untuk dilalui kendaraan off-road jalur ini masih layak.
Perjalanan melipir bukit sesekali disambangi gerimis yang menari dialunkan angin, serinainya berlenggak-lenggok sembari genit mengusapkan basah ke wajah. Seakan rindu pada sahabat lama yang dipendam secara rahasia tersingkap secara perlahan. Rindu terpendam yang tak tertahankan menjadi bulir-bulir air mata, entah sendu atau bahagia. Air mata dan hujan adalah basah yang sama, menetes dari ketulusan yang bermakna.
Berasal dari generasi yang tak lagi muda, sesekali lagu dari masa lalu ikut meramu irama hiking kali ini. Sayup-sayup mengalun lagu A Whiter Shade of Pale, sebuah tembang klasik dari masa lalu yang terasa masih hangat di telinga. Lagu yang ditembangkan oleh Procol Harum tahun 1967 ini ikut mengantar Andreas Kummert menjadi jawara di Voice of Germany tahun 2013. Seakan jarak empatpuluh enam tahun itu hanya jeda tak terasa. Lalu ada tembang apik dari Joan Baez tahun 1975, Diamond and Rust, yang bercerita tentang cinta tersembunyi yang saling merindu namun tak mungkin bersua. Sebait liriknya “..you burst on the scene already a legend / the unwashed phenomenon, the original vagabond…” terasa mengisahkan Bob Dylan bukan suaminya, David Harris.
Bebukitan hijau Pangparang seperti maphum pada semua kegalauan, dengan arif memeluk semua hati dan menenangkannya. Rasa sejuk membasuh, melarutkan karat-karat pedih dari masa lalu. Begitulah kebijakan sang gunung, menampung segala resah dan kemudian memberi kecerahan kala para pendaki meninggalkannya. Akulah si telaga, gumamnya mengutip sajak Sapardi Djoko Damono, berlayarlah diatasnya..
@districtonebdg