Di sebuah puncak bukit Kiarapayung di kawasan Jatinangor, kami beristirahat. Punggungan yang mengarah ke puncak semu Manglayang ini amat sepi, karena bukan jalur yang populer seperti dari Barubeureum atau Batukuda. Namun suasana jalur yang sepi ini justru yang menjadi daya tarik. Hiking yang biasa dilakukan ini bagi kami bukan lagi sebuah perjalanan mengejar tempat paling tinggi, melainkan mengakrabkan diri ke jalur-jalur setapak disekitarnya.
Kala menikmati view yang menakjubkan dari puncak bukit, seekor elang tampak mengangkasa dengan anggunnya. El condor pasa.. seperti sebuah lagu yang dipopulerkan Simon & Garfunkel. The eagle passes by. Semua terpaku memandangnya. Ia terbang tak terburu-buru seperti tahu semua memandanginya, membiarkan dirinya dikagumi oleh setiap orang di puncak bukit. Terpaku pada pesona.
Di kawasan Jatinangor ini memang masih dapat terlihat elang yang terbang tinggi di angkasa dengan anggunnya. Mereka datang arah pegunungan disekitar kota yang bertumbuh pesat ini seolah menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan gedung-gedung tak menjadikan mereka menjadi kehilangan wilayah angkasanya. Semasa kuliah dulu tahun 90-an beragam jenis elang masih dapat terlihat di Jatinangor seperti elang alap-alap Cina (accipiter soloensis), alap-alap Nipon (accipiter gularis), alap-alap sapi (falco moluccensis), elang tikus (elanus caeruleus), elang hitam (ictinaetus malayensis) atau elang ular (spilornis cheela). Kurang tahu juga jenis elang apa yang hari itu kami lihat. Yang jelas, melihat elang terbang tinggi di angkasa selalu membuat terpesona.
Berdiri di puncak bukit, dengan pandangan yang bebas lepas ke arah lembah seperti kembali ke suatu masa lalu. Ada masanya kala tak ada yang dapat menghalangi jiwa-jiwa yang resah itu pergi menjelajah. Hanya didorong oleh insting liar yang menggelora tak tertahankan. Tidak cuaca yang buruk, pegunungan tinggi, rasa sakit mendera bahkan romantisme cinta. Lalu setiap orang merasakan betapa insting itu perlahan memudar kala memasuki kehidupan nyata. The eagle has landed. Tetapi kerangkeng dari besi atau sangkar dari emas tak pernah bisa mengubah rajawali menjadi burung nuri. Insting itu tetap ada dan sewaktu-waktu meronta ingin kembali mengangkasa.
Beberapa dari sisa-sisa laskar tahun 90-an itu kembali bertemu dan bernostalgia. Kini bukan pegunungan tinggi membekukan yang dituju. Puncak tak lagi tempat yang demikian sakral seperti dulu, matahari terbit tak lagi membutakan seperti masa lalu. Kini sekedar menjalani perjalanan yang tenang, bercengkerama tak hanya dengan alam sekitar namun juga dengan masa lalu yang seperti bayang-bayang dibelakang.
Ada persahabatan baru, banyak tempat baru, juga meluap kenangan masa lalu yang kerap membuat terharu biru. Kini yang mencoba digali kembali adalah akar darimana mereka berasal. Setelah dua puluh tahun meninggalkan Jatinangor, seorang demi seorang kembali kesana, menatap bukit-bukit yang dulu tandus kini lebih hijau untuk dipandang. Namun semua tahu, kini tempat yang dulu begitu lekat dihati itu bukanlah sarang mereka lagi. Mereka hanya kembali untuk melihat sang elang yang melayang tinggi.
El Cóndor Pasa sendiri adalah lagu yang ditulis oleh komposer Peru, Daniel Alomía Robles pada tahun 1913, pertama dinyanyikannya di depan umum di Teatro Mazzi, Lima. Lagu yang bernada musik rakyat Andes ini menjadi populer di seluruh dunia setelah dinyanyikan ulang oleh Simon & Garfunkel pada tahun 1970. Bagi sebagian rakyat Peru, lagu ini telah dianggap sebagai lagu kebangsaan mereka yang kedua setelah lagu kebangsaan resmi, Himno Nacional del Peru. @districtonebdg