Loop Trail Cantik Mengelilingi Gunung Manglayang

Tak semua orang memandang puncak sebagai tujuan utama dalam hiking di pegunungan. Berbagai jalur hiking terkenal di dunia seperti Inca trail di Peru, Grand Canyon di Amerika atau Tiger Leaping Gorge di China hanya melipir saja di pegunungan melakukan perjalanan konturing. Perjalanan seperti ini bukannya tak menemui medan naik turun, hanya saja puncak bukan bukan tujuan melainkan sebuah perjalanan endurance  -yang bagi tak terbiasa- melelahkan fisik dan mental. Namun justru itulah yang dicari para endurance seeker, bukan cuma sebuah klimaks sejenak di puncak.

Salah satu hiking trail terbaik di Bandung adalah sekitar gunung Manglayang dan menurut kami jalur loop ini adalah best kept secret  yang sepi peminat. Lupakan sejenak puncak-puncaknya namun telusurilah jalan setapak di punggungannya. Bisa jadi sebuah pengalaman tersendiri, bahkan dapat menjadi ajang latihan sebuah perjalanan endurance.

Banyak tempat untuk memulai namun menurut kami start dari Barubeureum adalah pilihan yang baik. Bila membawa kendaraan bisa dititip di homestay, dan disini bisa bersih-bersih sepulangnya.  Mulailah sepagi mungkin karena jalur mengelilingi gunung Manglayang ini cukup panjang apalagi bila diselingi istirahat di berbagai tempat yang tampaknya tak akan terhindarkan mengingat banyak spot indah terlalui.

Loop trail ini  aman untuk dilalui, banyak pondok pekebun dan jalur evakuasi bila diperlukan. Demikian juga warung setiap lima kilometer dipastikan ada bila memerlukan infus kalori hehe.. Arah nya juga cukup mudah, jaga agar gunung Manglayang tetap berada di kiri terus atau kanan terus, tergantung kita bergerak searah atau berlawanan arah dengan jarum jam.  Ingat, jangan tergoda naik ke puncak melainkan terus melipir di punggungan.

Jalurnya sendiri kurang lebih Barubeureum (bukan camping groundnya loh) – hutan bambu – bertemu jalur dari Palintang – ambil arah menuju curug Cilengkrang – buper Batu Kuda – Kiarapayung – Barubeureum. Jarak tempuhnya  20 km lebih jadi cocok juga bagi yang ingin berlatih trail running kategori  half marathon. Ajaklah teman yang familiar dengan kontur Manglayang bila belum pernah kesini atau ditemani guide berpengalaman. @districtonebdg

 

Melipir Bukit Dari Cilengkrang ke Batu Kuda

Sejak mengenal jalur Cilengkrang, telah timbul  rasa penasaran untuk mencari jalur ke buper Batu Kuda. Bukan menuju jalur pendakian Manglayang yang datang dari arah Batu Kuda, tapi jalur shortcut menuju bumi perkemahannya. Dari sisi ketinggian rasanya kawasan pinus curug Cilengkrang dan buper Batu Kuda ini tak jauh berbeda, sehingga kami menerka jalurnya akan landai melipir bukit.

Maka suatu hari kami pun menuntaskan kepenasaran mencari jalur melipir ini. Sebuah warung yang biasa menjadi chek point favorit disini kembali jadi lokasi start untuk memulai. Warung ini berlokasi tepat setelah tanjakan terahir  menuju curug Cilengkrang. Setelah menitipkan motor, jalur setapak yang berada disebelah kiri warung menuntun  sebuah perjalanan konturing.

Konturing di perbukitan bukanlah navigasi medan yang rumit, lebih mirip belok kiri dan kanan bila berkendara di jalan bila sudah tahu tempat yang dituju. Tinggal mengarah  ke tujuan dengan memelihara posisi ketinggian.  Mudah bukan? Tentu akan rumit jadinya bila kita tak tahu posisi sedang dimana dan tujuan kita kemana. Problem semacam itu memerlukan kalkulasi kecil sudut kompas di peta  yang disebut resection dan intersection yang saya pun sudah lupa caranya 😀

Maka dari chek point warung kami pun mengunci arah Batu Kuda. Posisinya berada di sebelah Timur dari Cilengkrang, jadi tinggal menuju kesana melewati jalur melipir bukit. Menuju arah Batu Kuda, untuk gampangnya dari warung lurus saja terus hingga menemukan jalur setapak sebuah puncak punggungan. Ikuti terus jalur setapak ini dengan terus menuju posisi Batu Kuda di sebelah Timur, jangan terlalu naik ke punggungan atau turun ke lembah. Ikuti dengan santai jalur landai di perbukitan dan nikmati pemandangannya.

Chek point utamanya adalah sebuah villa yang terletak di punggungan bukit. Usahakan menemukan villa yang terletak setelah kebun kopi ini, maka dibaliknya adalah jalur setapak yang mengarah ke Batu Kuda. Darisini tak sampai setengah jam lagi akan sampai di bumi perkemahan.

Menuju lokasi curug Cilengkrang sendiri, dari  alun-alun Ujungberung kearah Cileunyi nanti akan menjumpai jalan Cilengkrang I di sebelah kiri. Perjalanan menanjak sepanjang empat kilometer, awasilah petunjuk jalan maka kita akan sampai di arena outbond Manglayang Camp. Ikuti terus jalan menanjak ini, maka akan sampai di warung yang disebutkan tadi. Sedikit tips, bila suka lalapan segar maka lotek disini rasanya juara dengan porsi nasi yang tak pelit. Cocok untuk memulihkan tenaga usai melipir perbukitan. @districtonebdg

Jalur Menuju Gunung Lingkung dari Puncak Eurad

Baru bergerak dari  Metro jam 9 pagi lebih, saya maklum pasti telat hingga meeting point di Puncak Eurad. Namun melewati jalur Ujungberung ke Lembang, rasanya enggan memacu motor. Pemandangan sepanjang jalur terlalu cantik untuk dilewati begitu saja, maka saya pun membawa motor berlenggang kangkung saja seraya menikmati hawa sejuk dan pemandangan indah disini. Terkadang berhenti sejenak mengabadikan suasana hehe. Seperti sudah diduga, kala sampai di Puncak Eurad, ternyata sudah ditinggal 😀 .

Atos arangkat,” kata teteh penjaga warung.

Aya saparapat jam kalangkung?” tanya saya memastikan. “Muhun,” ujarnya melihat jam sekarang 10:45.

Ah baru 15 menit di depan, tak terlalu mengkhawatirkan hehe. Saya pun duduk-duduk dulu di warung sambil memesan minuman bandrek. Sebetulnya sedari perjalanan sudah terbayang akan memesan roti bakar, namun… “Teu acan balanja,” ujar si teteh meredupkan harapan.

Setelah menikmati bandrek panas dan sos-ped sebentar, saya pun permisi mengejar rombongan ke gunung Lingkung. Menurut kalkulasi, jalur setapak ke gunung Lingkung tak akan sampai sejam. Bila sambil nyasar mencari-cari jalur paling lama dua jam. Jadi kemungkinan akan berpapasan dihutan.. atau tidak bertemu sama sekali haha.. maka saya pun menitip pesan, “Teh pami rombongan tos dugi deui ka warung, saurkeun we sina aruih. Teu kedah ngantosan.”

Bagi yang belum tahu, Puncak Eurad berada “dibelakang” Cikole  yaitu dengan melewati jalan Cicalung/Pasar Ahad yang menuju Cikendung. Menuju Cicalung, dari jalan raya Bandung-Subang belok ke arah Timur (jalan Pasar Ahad/Cikareumbi) atau bila dari arah Lembang/Maribaya ambil jalan menanjak ke Utara (jalan Ciputri/Cicalung). Puncak Eurad kini menjadi tempat yang ideal untuk dilewati berbagai aktifitas outdoor. Kegiatan hiking, gowes, trail running sering melewati kawasan ini dengan tujuan berbagai arah antara lain menuju Cikole, gunung Lingkung atau bahkan jalan Cagak.

Dari Puncak Eurad menuju Gunung Lingkung jalurnya mengikuti setapak yang melipir ke arah hutan, tepat disamping warung. Sebuah rebahan pohon jatuh menutup jalan, terpaksa beringsut jalan jongkok. Tak berapa lama kemudian sampai di pertigaan, bila ke kiri akan menuju ke Cikole maka ambil ke kanan. Ikuti terus jalur di punggungan ini, nanti akan ada beberapa jalur yang tampak serupa. Namun jangan tergoda untuk mengambil ke kiri karena secara kontur gunung Lingkung pasti akan berada disebelah kanan. Bila merasa kurang yakin, cari dan ikuti beberapa petunjuk jalur sepeda MTB yang masih tampak jelas di pepohonan.

Berawal dari keinginan untuk bergerak efisien, dalam sebuah survey pergerakan rombongan besar terasa lamban. Maka pergerakan 1-3 orang dirasa lebih maksimal. Berjalan sendiri di hutan, sebetulnya cukup menyenangkan. Seolah ada bagian komunikasi tak kentara antara suasana hutan dengan jiwa yang menentramkan hati. Namun kalau malam-malam ogah juga sepertinya.

Perjalanan sedikit menanjak, maklum namanya juga menuju gunung (walau sebenarnya bukit).  Jalurnya rimbun dan sepi, dengan lembah di kiri dan kanannya. Artinya kita sedang berjalan di punggungan, ini pertanda yang baik menuju puncak. Saat sedang berjalan celingukan menyusuri jalur, tiba-tiba tampak Bobby di depan dan Bais di belakangnyan. Ah rupanya mereka sudah kembali dari gunung Lingkung.

Paling 10 menit deui ti dieu,” ujar Bobby. Jalur setapak menuju gunung Lingkung ini akan bertemu dengan jalur setapak dari Cikole tepat dibawah puncakan. Bila akan ke lapangan datar di puncaknya, tinggal naik sedikit. Namun karena sudah terbayang, jalurnya sayapun tak meneruskan perjalanan melainkan ikut turun bersama kembali ke warung. Buat apa repot-repot toh. @districtonebdg

 

 

 

Meraba Jalan di Gunung Kramat

Cek point terbaik untuk memulai hiking menuju curug Cibareubeuy menurut kami adalah jalan akses masuk ke Gracia resort. Tentu saja bukan di resortnya ^_^  melainkan di warung-warung bersahaja di perkebunan teh sekitarnya. Pemandangan kebun teh yang hijau menyejukkan mata, warung yang menyediakan tempat lesehan dan parkir yang luas. Kalau makanan sih sebenarnya biasa saja, namun suasananya lebih tentram memberi nilai lebih.

Karena bukan jalan utama suasananya jauh lebih sepi dibanding starting point lain di Cibeusi, Wates ataupun Treetop Cikole. Bila terlalu lama di warung ada kalanya terbersit godaan untuk lebih berlama-lama lagi disini hehe.. Lagipula tak ada tiket masuk disini karena bukan tempat wisata, melainkan parkir seikhlasnya. Bahkan kalau jajannya tak pelit, empunya warung akan tampak mengabaikannya.

Hiking kali ini memang tak berniat menuju curug melainkan hit and run menelusuri jalan setapak sekitar perkebunan teh ini. Hanya mengalokasikan waktu 2-3 jam kami realistis saja tak akan terlalu jauh berjalan. Lagipula tak terhitung banyak jalur yang berseliweran disini, namun kami lebih tertarik jalan setapak yang langsung menuju hutan.  Two roads diverged in a wood, and I- I took the one less traveled by and that has made all difference.

Cuaca yang suram menjadikan bukit-bukit berhutan lebat didepan tampak misterius. Kabut tampak datang dan pergi di puncaknya dan hanya tinggal waktu hujan tampak akan turun. Walau ingin berlama-lama di warung, tanpa terasa tiba-tiba saja kami bertiga sudah sampai di perbatasan hutan ( hebat, kan heheh..). Berbekal sepotong info tak jelas dari pekebun ” pilari we Kaliandra, teras aya kebon kopi lebet we ka leuweung”.  Itu bahasa Spanyol, kalau Indonesianya kurang lebih cari pohon Kaliandra, nanti ada kebun kopi masuk aja ke hutan. Yah, dalam suatu survey, informasi paling tak jelas pun patut disyukuri.

“Nu kumaha tangkal Kaliandra teh?” tanya Bar. Memang na uing teh dosen Biologi, pikirnya. “Teuing atuh,” Bais dan Panji juga geleng-geleng.

Namun akhirnya sampai juga di kebun kopi, yang berbatasan langsung dengan hutan. Tanpa map, aplikasi GPS bahkan kompas ketiganya pede saja masuk ke hutan. Lieur lah GPS sagala barenage, ujar Bar yang lebih mengandalkan pendekatan old school. Konturing we, katanya. Bukan Conjuring lho.

Jalan setapak yang berlawanan arah membuat bimbang, akhirnya dipilihlah jalur yang menuju ke bukit. Perjalanan menanjak pun dilewati lebih dari setengah jam. Bagi yang tak terbiasa, jalur-jalur ini akan tampak sama dan memang serupa. Disarankan berhati-hati.

Hampir satu jam berjalan push tanpa henti kami tiba di semacam arena datar, mungkin puncakan kecil karena medan mulai landai.  Ini cukup melegakan, sampai tiba-tiba dalam suasana berkabut ini hujan turun. Suasana hutan menjadi lebih misterius. Kamipun bersitirahat di puncakan sambil menilai situasi. Melongok bukit dan jurang sekitar, mempertimbangkan lokasi berada.

 

Bila diteruskan, tampaknya jalur setapak ini akan bertemu dengan jalur dari Wates yang menuju curug Cibareubeuy. Bila demikian sangat mungkin akan ada semacam pertigaan beberapa waktu ke depan. Dan posisi kami tampaknya berada di sekitar gunung Kramat. Merasa puas dengan penilaian ini, kami memutuskan balik kanan mengingat tenggat waktu dua jam pun sudah terlampaui. Tinggal waktu satu jam untuk turun. Walau masih dibalut rasa penasaran kami pun kembai ke warung di kebun teh, sambil berjanji suatu hari akan menuntaskan jalur ini.

Dua hari kemudian, kami bertemu Bobby yang baru menyelesaikan survei jalur di sekitar itu. Ia melewati jalur dari Cibeusi menuju curug, namun berbelok kanan di kawasan hutan Batu Tapak lalu mengikuti jalur menanjak hingga gunung Kramat lalu keluar di kawasan Wates. Artinya penilaian kami tak terlalu salah, bila diteruskan memang kedua jalur itu bertemu di gunung Kramat. Tentu saja, asumsi ini harus diverifikasi dengan survey yang sebenarnya suatu hari nanti. @districtonebdg

CBET, Sosped dan Cek Point Warung

Community Based Eco-Tourism (CBET) merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada peran aktif masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan dalam manajemen dan pembangunan pariwista, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegitan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata (Suansri ,2003).

Melibatkan penduduk lokal pada dunia kepariwisataan sangatlah penting, jangan sampai masyarakat sekitar hanya menjadi ‘penonton’ atau bahkan ‘korban’ dari sebuah kegiatan wisata dalam wilayahnya. Saling berinteraksi, berbaur antara wisatawan dan masyarakat lokal selayaknya haruslah terjadi karena dengan demikian akan membuat sebuah ikatan emosional yang saling menguntungkan.

Konsep ini merupakan pendukung bagi tipe kegiatan wisata adventure travel, dimana para turis atau wisatawan biasanya mengunjungi pedesaan atau perkampungan sederhana. Para turis yang biasanya merupakan penduduk perkotaan seyogyanya tidaklah berlaku sebagai ‘pendatang kaku’ yang berperilaku hanya sebagai ‘penikmat’ atau pengeksplore sebuah pedesaaan atau perkampungan. Akan tetapi selayaknya para wisatawan di sini memposisikan diri sebagai sebagai seorang sahabat terhadap penduduk lokal yang dapat memberikan ‘keuntungan’ baik secara material maunpun immaterial.

dok 2021

Dalam setiap kunjungan pertamanya saat mengunjungi sebuah pedesaan atau perkampungan, team District One selalu melakukan pendekatan personal terhadap penduduk lokal yang diistilahkan sebagai ‘sosped’ atau sosial-pedesaan dengan berinteraksi di warung-warung sekitar. Perbincangan sepeminuman kopi di sebuah warung lokal seringkali memberi kesan tersendiri baik bagi kami maupun penduduk sekitar. Dari sini kita dapat saling memberi keuntungan, kami mendapat informasi mengenai sebuah destinasi dan mereka mendapat keuntungan secara ekonomi.

Seringkali dengan konsep seperti ini, kami  mendapat sahabat baru sehingga memudahkan untuk mendapat tempat singgah yang layak untuk tamu-tamu yang dibawa. Dengan berbekal konsep ini, membuat kami bisa menjalin silaturahim secara alami dan tidak ‘kaku’.

Bagi kami keramahan warung lokal lebih mengena di hati dibanding keramahan Alfamart, Indomart atau mart-mart yang lain… karena keramahan sebuah penduduk pedesaan tidak bertendensi apapun selain sebuah transaksi jual beli sederhana dan persahabatan. (Bayu Ismayudi/DO)

CURUG CIPALASARI, SURGA TERSEMBUNYI DI LERENG BURANGRANG

Bila kita melakukan pendakian Gn. Burangrang dari arah barat melalui desa Nyalindung, kita akan menemukan dua jalur terpisah dengan petunjuk yang berbeda.

Jalur yang satu menunjukkan arah menuju puncak Burangrang, sedangkan jalur lainnya menunjukkan arah menuju air terjun Cipalasari atau Curug Cipalasari.

Curug Cipalasari ini kurang begitu populer dibandingkan dengan puncak Burangrang yang merupakan tujuan prestisius bagi para penggiat alam bebas walaupun bagi kami itu merupakan destinasi yang mainstream. Kali ini kami, team District One mencoba mengunjungi curug Cipalasari ini yang bagi kami sebuah destinasi yang tidak mainstream.

Mengingat jalan dan lahan parkir yang sempit, sebaiknya kesini memakai motor saja.  Maka usai memarkirkan motor di pos utama gn. Burangrang yang terletak di desa Nyalindung, kami mulai bergerak menyusuri ladang sayuran. Setelah melewati gapura gerbang Curug Cipalasari, kami mulai memasuki jalan setapak kawasan hutan sekunder. Cuaca yang sejuk menemani selama perjalanan, beberapa kali para pencari kayu bakar dan rumput berpapasan dengan kami yang disambut sedikit sapaan hangat.

Sepanjang perjalan terdapat tiga shelter peristirahatan bagi para pelancong, satu shelter dikelilingi pepohonan yang menyejukkan yang terletak di area bawah dan dua shelter berikutnya terletak di area atas yang dari situ kita dapat menikmati view yang memanjakan mata. Puncak Burangrang yang berkabut bisa dinikmati di area itu sementara di seberangnya terhampar pemandangan kota bernaung awan.

Selepas dari area itu, kita memasuki jalur berbatu yang berlumut dan sedikit curam, jalur ini dikelilingi hutan semak yang mengharuskan kami berjalan agak merunduk.

Tidak lama setelah menyeberangi sungai kecil yang menghadang, trek berbatu mulai menanjak, sebelum akhirnya kita disuguhi penampakkan air terjun yang tinggi… Curug Cipalasari. Air terjun yang lumayan indah dan tidak begitu sering terjamah, saat itu kami serasa memasuki area privasi karena memang tidak ada pengunjung lain selain kami. Air terjun yang jernih dan dikelilingi rerimbunan pohon seolah surga tersembunyi di lereng Burangrang.

Dan akhirnya ritual memasak dan sepeminuman kopi panas di pinggiran air terjun mengakhiri perjalan kami saat itu. (Bayu Ismayudi/DO)

Waterfall Trail Panaruban : Curug Mandala ke Curug Sadim

Di balik hamparan perkebunan teh di wilayah PTPN Nusantara VIII, Ciater, Kab. Subang ternyata menyimpan keindahan tersembunyi berupa air terjun yang mempesona, selain aliran sungainya yang jernih serta pemandangan menawan sejauh mata memandang.

Jika kita memasuki gerbang gapura PTPN Nusantara VIII, kurang lebih 100m dari situ kita akan menjumpai pabrik teh dan cafe Tea Huisse, dari balkon cafe ini kita bisa langsung memandang lepas ke hamparan perkebunan teh. Di bawah balkon itu terdapat jalur koral yang membelah perkebunan teh dan berujung di air terjun Mandala atau curug Mandala.

Sepanjang perjalanan kita bisa menyaksikan para ibu pemetik teh tengah melakukan aktifitasnya, selain tentu saja bisa berdialog langsung dengan mereka sebagai bentuk Community based eccoturism (CBET). Sebuah konsep turism yang menekankan pada pendekatan terhadap masyarakat lokal, berbaur bersama mereka, bertransaksi di warung-warung mereka, bahkan pada kondisi tertentu mungkin menginap di rumah-rumah mereka.

Jika kita telah tiba di Curug Mandala, yang merupakan ujung dari perkebunan teh tersebut, kita akan disuguhi aliran sungai yang jernih dan menyejukan. Di seberang sungai itu terdapat dua jalur bercabang, yang satu mengarah ke bawah menuju curug Mandala dan yang satu lagi setelah kami telusuri ternyata tembus di Curug Sadim yang berjarak kurang lebih 2 km menyusuri hutan sekunder.

Kondisi kedua curug ini sangat berbeda, curug Mandala suasananya cenderung sepi, jarang dikunjungi karena mungkin aksesnya berupa koral dan sedikit terjal. Sedangkan akses ke curug Sadim relatif mudah karena bisa melalui jalanan aspal mulus Panaruban. (Bayu Ismayudi/DO)

 

Menuju Curug Cibareubeuy via Jalur Gracia

Ada pepatah mengatakan…”Banyak jalan menuju Roma”…dan bagi kami team District One mempunyai pepatah sendiri … “Banyak jalan menuju curug Cibareubeuy”.

Sejak tahun 2015 lalu, team District One telah memanuver Curug Cibareubeuy dan Kampung Senyumnya dari jalur Wates (seberang gate Tangkuban Parahu), Cikole Treetop, Batu Ringgit, Gunung Lingkung dan tentu saja Desa Cibeusi (jalur mainstream). Kali ini pada awal 2017, kami bermanuver lewat jalur perkebunan teh resort Gracia. Curug Cibareubeuy adalah sebuah destinasi wisata air terjun  di kawasan Ciater, kabupaten Subang.

Sebenarnya jalur Gracia ini sudah sejak lama menjadi incaran, namun baru kali ini berkesempatan menyelesaikannya. Kami memulai hiking dari warung terakhir yang terletak di pinggir lapangan bola, setelah sebelumnya seperti biasa mengeluarkan jurus sos-ped terlebih dahulu supaya nyaman menitipkan kendaraan disini.

Hamparan perkebunan teh yang hijau mengawali langkah kami sebelum akhirnya konturing di perbukitan lebat. Setelah memasuki hutan  view yang kami lalui  hijau dan rimbun memanjakan mata. Perjalanan melipir bukit sesekali bertemu aliran sungai kecil yang hampir kering, hingga akhirnya tiba pada vegetasi hutan khas wilayah utara kota Bandung, hijau dan berlumut dengan pohon-pohon yang tinggi dan rimbun.

Dalam perjalanan kami menemukan rumpun pohon bambu yang tumbang akibat angin besar yang menutupi jalur setapak sehingga mengharuskan kami untuk sedikit melambung untuk bisa kembali menyusuri trek.

Dua jam kami berjalan hingga akhirnya kami menemukan jalur persimpangan antara Curug Cibareubeuy dan desa Cibeusi yang sudah kami kenali yatu  sebuah shelter permanen dan pos terbengkalai bercat merah. Disini juga terdapat batu keramat yang oleh warga setempat disebut Batu Tapak. Darisini kemudian  perjalanan dilanjutkan menuju curug Cibihak atau Pandawa sebuah destinasi wisata yang terletak berdampingan dengan curug Cibareubeuy. (Bayu Ismayudi/DO)

dok 2020

 

Curug Sirah Cibodas Tersamarkan Hutan Pinus dan Kebun Kopi

Kawasan Cibodas, Lembang sebenarnya sudah tak asing karena disini terdapat sebuah rumah tempat dulu kami sering berkumpul. Rumah peristirahatan yang kami sebut Villa Putih ini merupakan property seorang kawan senior sehingga kala itu sering menjadi basecamp kala menjelajah ke kawasan Bukittunggul. Namun itu hampir sepuluh tahun lalu, dan kala itu jalan-jalannya lebih banyak mengarah ke kebun kina bukan disekitar kawasan villa. Padahal dari obrolan dengan warga, telah diketahui ada curug tak terlalu jauh dari villa. Lalu masa-masa berkumpul di Cibodas pun berlalu, saking seringnya berpindah-pindah lokasi favorit berkumpul.

Tahun 2016 kami kembali ke kawasan Cibodas dan sontak teringat pada keberadan curug. Maka survey pun segera mengarah kesana, menuju sebuah déjà vu. Tak susah menuju kesini, bila dari Maribaya mengarah ke Cibodas akan sampai didesa Sunten Jaya dimana terdapat dua tower pemancar, maka disitulah tempatnya. Setelah mendapati alfamart, ada jalan belok kiri. Dulu jalannya koral, kini sudah beton. Ikuti jalur utama beton, nanti akan melewati Villa Putih  teruskan saja hingga batas hutan pinus. Sayangnya disekitar sini jalan sempit hanya cukup untuk satu mobil, sehingga lebih baik memakai motor bila kesini.

Kawasan curug Sirah Cibodas baru-baru ini saja dikelola oleh kelompok petani kopi, sehingga bila berkunjung akan tampak sedang ditata disana-sini. Tampaknya ada keadaran baru untuk menjaga kelestarian alam dengan mengelolanya sebagai kawasan wisata. Curug ini cukup tersembunyi, dari parkiran motor di perbatasan pinus memerlukan waktu setengah jam sampai ke lokasi curug. Menurut Pak Iwan seorang petani kopi, warga di sekitar Cibodas pun banyak yang belum tahu keberadaannya. Menurut kami, lokasi yang terpencil ini justru adalah daya tariknya.

Curug Sirah Cibodas seperti sebuah tembok raksasa yang terdiri dari bongkahan-bongkahan batu besar. Sungai kecil mengalir dari hulunya di Bukittunggul jatuh menjadi curug yang indah. Bila penasaran dengan paparan batu yang membentuk curug, ada jalur setapak untuk naik ke atas curug. Beberapa kolam kecil dan dangkal bisa menjadi lokasi favorit untuk berendam, sambil mengarahkan pandangan ke lembah yang hijau oleh hutan pinus.

Curug yang tersembunyi di dalam hutan pinus dan kebon kopi ini cukup manjur untuk membasuh jiwa  yang penat oleh rutinitas dan  memberi kesegaran baru untuk memulai hari-hari kedepan. Namun bila hiking kesini dirasa kurang berkeringat, jauh didalam hutan ada curug lain yang lebih besar menunggu untuk disibakkan. Curug yang enggan menampakkan diri ini berjarak sejam berjalan kaki, yaitu curug Luhur, dinamakan demikian mungkin karena ketinggiannya. @districtonebdg

dok 2019

 

 

 

Jalur Palintang yang Sepi Pendaki

Kepopuleran gunung Manglayang selalu mengundang para pencari udara pegunungan untuk meniti resiko di jalurnya. Dibanding gunung-gunung lainnya di Bandung, gunung Manglayang termasuk yang paling ramai disambangi pendaki. Selain aksesnya yang mudah, juga terdapat banyak  tempat wisata alam dikakinya seperti wisata alam Batukuda, curug Cilengkrang, buper Kiarapayung, taman Keanekaragaman Hayati dan banyak lagi. Banyaknya pendaki pemula yang naik gunung Manglayang merupakan hal yang positif. Anak-anak muda yang meluangkan waktu untuk mendaki gunung adalah generasi yang menjanjikan. Namun disisi lain beberapa orang lebih suka jalur pendakian yang sepi.

Setelah mencoba berbagai jalur di gunung Manglayang, menurut kami yang paling sunyi adalah jalur Palintang. Sebuah jalur klasik yang telah sejak tahun 90an kerap dilewati untuk menuju Jatinangor dari Bandung Utara. Ketika jalur-jalur lainnya dirasa sudah ramai, kami mulai melirik kembali jalur el clasico ini.

Dulu jalan menuju Palintang benar-benar rusak, namun kini kondisinya sudah jauh berbeda. Bila membawa motor bisa dititip di warung di desa, atau pakai ojek saja dari alun-alun Ujungberung. Dari desa tinggal berjalan selama dua jam untuk menuju puncak Manglayang. Jalur Palintang melewati jalan tanah yang lebar dengan kondisi rusak, sehingga mobil offroad pun belum tentu bisa melaluinya. Jalur yang lebar dan rimbun oleh semak ini akan menuju Tanjungsari bila diteruskan.

Pemandangan yang indah memanjakan mata kearah Bandung tampak disisi kanan. Setelah kurang dari satu jam berjalan melipir bukit akan bertemu ‘persimpangan’ untuk menuju puncak, Tanjungsari atau ke bebukitan. Ambil jalan ke kanan menuju puncak, dengan waktu perjalanan sekitar satu jam.

Bila bosan dengan jalur yang ramai pendaki, jalur ini menawarkan nuansa sunyi yang berbeda. Namun hati-hati dengan banyaknya persimpangan jalur, untuk amannya ikuti saja tanda-tanda stringline bekas event Manglayang Trail Running (MTR) –bila masih ada. @districtonebdg