Bila kita melakukan pendakian Gn. Burangrang dari arah barat melalui desa Nyalindung, kita akan menemukan dua jalur terpisah dengan petunjuk yang berbeda.
Jalur yang satu menunjukkan arah menuju puncak Burangrang, sedangkan jalur lainnya menunjukkan arah menuju air terjun Cipalasari atau Curug Cipalasari.
Curug Cipalasari ini kurang begitu populer dibandingkan dengan puncak Burangrang yang merupakan tujuan prestisius bagi para penggiat alam bebas walaupun bagi kami itu merupakan destinasi yang mainstream. Kali ini kami, team District One mencoba mengunjungi curug Cipalasari ini yang bagi kami sebuah destinasi yang tidak mainstream.
Mengingat jalan dan lahan parkir yang sempit, sebaiknya kesini memakai motor saja. Maka usai memarkirkan motor di pos utama gn. Burangrang yang terletak di desa Nyalindung, kami mulai bergerak menyusuri ladang sayuran. Setelah melewati gapura gerbang Curug Cipalasari, kami mulai memasuki jalan setapak kawasan hutan sekunder. Cuaca yang sejuk menemani selama perjalanan, beberapa kali para pencari kayu bakar dan rumput berpapasan dengan kami yang disambut sedikit sapaan hangat.
Sepanjang perjalan terdapat tiga shelter peristirahatan bagi para pelancong, satu shelter dikelilingi pepohonan yang menyejukkan yang terletak di area bawah dan dua shelter berikutnya terletak di area atas yang dari situ kita dapat menikmati view yang memanjakan mata. Puncak Burangrang yang berkabut bisa dinikmati di area itu sementara di seberangnya terhampar pemandangan kota bernaung awan.
Selepas dari area itu, kita memasuki jalur berbatu yang berlumut dan sedikit curam, jalur ini dikelilingi hutan semak yang mengharuskan kami berjalan agak merunduk.
Tidak lama setelah menyeberangi sungai kecil yang menghadang, trek berbatu mulai menanjak, sebelum akhirnya kita disuguhi penampakkan air terjun yang tinggi… Curug Cipalasari. Air terjun yang lumayan indah dan tidak begitu sering terjamah, saat itu kami serasa memasuki area privasi karena memang tidak ada pengunjung lain selain kami. Air terjun yang jernih dan dikelilingi rerimbunan pohon seolah surga tersembunyi di lereng Burangrang.
Dan akhirnya ritual memasak dan sepeminuman kopi panas di pinggiran air terjun mengakhiri perjalan kami saat itu. (Bayu Ismayudi/DO)