Paket 6D5N Climbing Mount Fuji

Jadwal Keberangkatan: BULAN JULI 2017

 

 

 

 

 

 

 

Hari 01: Jakarta – Narita Airport

Hari ini berkumpul di Bandara Soekarno Hatta, 3 jam sebelum keberangkatan sudah hadir untuk memulai perjalanan menuju negeri Sakura, Anda transit bermalam dan tiba keesokkan harinya.

 

Hari 02: Tiba di Narita Airport – Kawaguchiko

Tiba di Narita Airport, Anda menuju tempat penginapan di Kawaguchiko Station. Kawaguchiko adalah danau  tercantik yang ada di Prefektur Yamanashi, Jepang. Disini terdapat banyak tempat-tempat wisata yang dapat dikunjungi serta dapat melihat pemandangan Gunung Fuji yang sangat menawan.

 

Hari 03: Kawaguchiko – Fuji Subaru 5th Station

Setelah makan pagi, perjalanan dilanjutkan dengan naik bis menuju Stasiun Ke-5 Fuji Subaru di Prefektur Yamanashi, memiliki ketinggian di atas 2.300 meter. Jam 10 pagi mulai mendaki gunung dan jam 5 sore bermalam di Goraikoukan atau Mountain Lodge di station ke 8.

 

Hari 04: Puncak gunung Fuji – Fuji Subaru 5th Station

Berangkat lagi pada jam 2 pagi sehingga puncak dapat dicapai dalam waktu matahari terbit. Jam 5 pagi tiba di puncak gunung Fuji untuk melihat matahari terbit dan jalan-jalan di zona puncak. Jam 9 pagi turun gunung diperkirakan sampai di Stasiun Ke-5 Fuji Subaru pada jam 1 siang. Perjalanan dilanjutkan ke Kawaguchiko dan dilanjutkan naik kereta ke Tokyo.

 

Hari 05: Tokyo

Recovery setelah pendakian dan acara bebas yang dapat Anda gunakan untuk jalan-jalan disekitar Tokyo

 

Hari 06: Narita Airport – Jakarta

Hari ini Anda diantar ke bandara Narita untuk penerbangan kembali ke Jakarta. Sampai jumpa di acara tour lainnya, terima kasih atas partisipasi Anda

 

Total biaya IDR 6.000.000,-/per orang selama di Jepang

Minimal peserta 5 orang

Exclude international flight

Mendaki Gunung Kongo, Osaka di Musim Dingin

Gunung Kongo (金剛山/Kongō-san) merupakan puncak tertinggi dari barisan pegunungan Kongo-Katsuragi yang memotong Prefektur Osaka dan Prefektur Nara. Gunung ini memiliki tinggi sekitar 1.125 mdpl dan termasuk di dalam Taman Nasional Kongo-Ikoma-Kisen. Terdapat sekitar 10 rute pendakian umum yang dapat dinikmati dari mulai pendaki pemula sampai pendaki ahli.

Gunung ini menjadi salah satu objek wisata alam paling menarik bagi mereka yang suka mendaki. Pengunjungnya tak hanya warga Jepang tetapi menjadi destinasi juga bagi turis atau wisatawan asing. Akses menuju lokasi tidak terlalu sulit. Dari pusat kota Osaka, kita tinggal naik kereta dan bus sekitar 2 jam.

Naik bis Nankai tujuan “Kongosan Ropeway Mae” dari “Kawachi Nagano Eki” (Stasiun Kawachi Nagano) jalur Nankai Rinkan Sunline (Nankai Rinkan Sanrain-sen), turun di halte terakhir. Naik bis Kongo tujuan “Chihaya Ropeway  Mae” dari “Tondabayashi Eki” (Stasiun Tondabayashi) jalur Kintetsu Nagano (Kintetsu Nagano-sen), turun di halte terakhir; sekitar 10 menit berjalan kaki dari halte.

Setibanya di lokasi, wisatawan tinggal memilih cara untuk menuju puncak, ingin mendaki dengan berjalan kaki kurang lebih 2-4 jam atau menuju ke puncak dengan menggunakan kereta gantung (ropeway).

Keindahan alam dengan pepohonan yang terbungkus salju putih itu bisa dinikmati pada musim dingin. Periode ini biasanya terjadi pada Desember hingga Maret. Pada periode itulah puncak Gunung Kongo diselimuti salju.

Namun pada musim-musim lainnya, seperti musim panas atau musim semi, para pendaki, wisatawan akan dibuat takjub dengan keindahan alam pegunungan yang eksotis khas alam Negeri Matahari Terbit ini.

Sesampainya di puncak gunung, wisatawan juga bisa memilih beristirahat sambil menikmati keindahan alam gunung Kongo. Di puncak gunung Kongo juga terdapat tempat berendam air hangat (onsen).

 

 

 

 

 

 

 

kontributor : Arief Hidayat

Mendaki Gunung Tambora via Jalur Doroncanga

Perjalanan ini kami lakukan pada tanggal 3 November 2014. Doroncanga merupakan titik awal pendakian dan merupakan Pos I, Doro berarti Gunung, Ncanga berarti Cagak. Jarak tempuh dari kota Dompu ke Doroncanga sekitar kurang lebih 3 jam.

Dengan kendaraan 4×4 Toyota Hardtop Kanvas tahun 1974 kami berempat memulai perjalanan dari kota Bima menuju kota Dompu jarak tempuh kurang lebih 1 jam, berhenti di Pasar Wodi daerah Woja untuk membeli logistik basah dan kering, 30 menit kemudian berhenti lagi di kecamatan Mangga Lewa membeli lauk dan nasi, selanjutnya berhenti lagi di Pasar Soro kecamatan Kempo membeli ikan kering, 1 jam kemudian sampailah kami di kota kecamatan Pekat.

Satu jam lebih kemudian sampailah kami di Pos II,  beristirahat sebentar menyantap lauk pauk dan nasi yang tadi dibeli. Kami  duduk di Beruga, semacam pondok terbuka untuk rehat hanya dipayungi atap seng. Hawa mulai terasa sejuk dan pepohonan semakin hijau dan rapat.

Perjalanan dilanjutkan menuju Pos III, jalanan mulai menanjak dan turun naik melewati batu-batu besar, mobil dan isinya seperti mau tumpah dan badan kita terguncang dengan hebat. Kami harus kuat pegangan, offroad sudah dimulai dan hanya driver berpengalaman yang bisa melewati jalur extreme ini. Menuju pos III, sayup-sayup puncak Tambora terlihat begitu gagah walaupun kabut mulai turun. Semuanya sangat indah.

Saat Matahari hampir tenggelam sampailah kami di Pos III, jarak tempuh dari Pos II sampai Pos III (1.800 m dpl) sekitar 1,5 jam. Kami pun turun dan mengosongkan mobil menuju Beruga dan mulai memasak air hangat karena udara sudah mulai dingin dan angin di Pos III lumayan kencang. Semakin malam angin semakin keras dan kencang, sehingga saat jam 3 dini hari saat kami bangun untuk sunrise, tidak ada tanda-tanda angin berhenti. Pemandu bilang kalau angin masih keras kami tidak bisa naik ke puncak.

Jam 9 pagi kami baru bisa memulai pendakian. Jalur langsung menanjak, semakin naik semakin terjal dan cuaca makin panas karena pepohonan yang tumbuh hanya perdu ilalang edelweiss dan sedikit pohon cemara, langit sangat biru. Pemandu sangat diperlukan karena jalur tampak sama, kalau tidak ada pemandu kemungkinan besar kita bisa mengambil jalur yang salah yang akan mengakibatkan semakin lama sampai di puncak.

Setelah mendaki hampir 2 jam lebih kami beristirahat agak lama, sambil melihat pemandangan lepas dan luas ke bawah.Sekitar jam 12  siang sampailah di puncak Tambora. Saya begitu takjub menyaksikan kaldera yang sangat luas dan besar, selama belasan tahun perjalanan mendaki gunung, inilah kaldera terbesar yang pernah saya lihat. Sangat spektakuler.

kontributor : Nurlaela Ramli

 

Mendaki Gunung Kinabalu Tak Mudah dan Tak Murah

Sekitar pukul setengah enam pagi, angin dingin dengan kencang menerpa setiap pendaki  di zona puncak gunung Kinabalu. Berselimutkan polar yang dilapisi jaket windbreaker setapak demi setapak kami berjuang mengatasi trek yang menanjak dan cuaca yang membekukan. Entah tinggal berapa kalori yang tersisa untuk push menuju puncak. Satu-satunya motivasi adalah, puncak sudah didepan mata.

Setelah berjalan tiga jam dari pondok Laban Rata,  akhirnya tiba juga di puncak tertinggi pulau Kalimantan (4.095 mdpl) dengan disambut cahaya mentari yang malu-malu. Kawasan puncak gunung Kinabalu merupakan batuan granit yang kokoh, seakan dataran masif bebatuan itu memang tercipta untuk menahan irisan-irisan tajam dan dingin dari angin yang mendera sejak ketinggian 3.000-an meter. Itulah pengalaman tak terlupakan saat mendaki gunung Kinabalu tujuh tahun lalu.

 

Taman Nasional Kinabalu

Gunung Kinabalu terletak di dalam Taman Nasional Kinabalu yang merupakan obyek wisata andalan Sabah. Taman Nasional ini meliputi kawasan seluas 754 kilometer persegi. Menurut sejarah pembentukannya gunung yang perkasa ini berasal dari pengerasan bebatuan di bawah permukaan bumi lalu kemudian timbul sebagai batuan granit sekitar 1.500 tahun lalu.  Pendakian dimulai dari ketinggian 1.829 meter dpl yaitu dari Timpohon Gate. Dari sini pendakian selama tujuh jam menunggu hingga mencapai pondok penginapan di Laban Rata pada ketinggian 3.272meter dpl. Disini terdapat beberapa pondok penginapan yaitu Layang-layang, Gunting Lagadan dan Laban Rata Resthouse sebagai yang terbesar. Dini hari kita akan dibangunkan untuk bersiap summit attack, lalu turun ke Timpohon Gate hari itu juga.

Bila telah terbiasa mendaki gunung-gunung tinggi di nusantara, memuncaki gunung kebanggaan Malaysia ini,  -walau bukan pendakian yang mudah- sebenarnya tak seberat yang dibayangkan.  Hanya saja  biaya pendakiannya cukup mahal bila dibandingkan pendakian di negeri sendiri dan peraturan pendakiannya amat ketat.

Lama naik turun pendakian gunung Kinabalu adalah 2D1N dengan bermalam di lodge pendakian Laban Rata. Di hari pertama, pendakian dimulai dari Timpohon Gate hingga Laban Rata (6 jam), hari kedua Laban Rata-puncak (3 jam), lalu dilanjutkan turun kembali ke Timpohon Gate.

Syarat utama mendaki gunung ini, seperti juga pendakian dimanapun, utamanya kita harus dalam kondisi bugar karena kurang fit sedikit saja maka akan menjadi bulan-bulanan di pegunungan tinggi. Setiap pendaki di gunung Kinabalu cukup membawa daypack saja karena di Laban Rata sudah tersedia berbagai akomodasi yang nyaman dan makanan yang memadai.

Biaya-biaya pendakian via Timpohon Gate (2013) adalah :

  • transport ke TN Kinabalu; expres bus RM25/van RM15
  • park entrance fee RM 15
  • climbing permit RM 100
  • insurance RM 27
  • guide fee RM 100
  • akomodasi Laban Rata RM 415
  • optional extra fees ; taxi ke Timpohon gate, climbing certificate, porter etc

Selain jalur Timpohon, pendakian juga bisa melalui jalur Mesilau  yang lebih panjang dengan tambahan biaya guide RM10-15.

Bisa dipastikan bahwa kini biaya pendakian sudah lebih mahal karena hampir tiap tahun ada kenaikan. Anda disarankan membaca informasi terakhir perihal biaya pendakian gunung Kinabalu.

Selamat mendaki.

@districtonebdg

 

Rute Pendakian di Gunung Fuji, Jepang

Gunung Fuji adalah sebuah gunung berapi yang terletak di perbatasan antara Prefektur Yamanashi dan Prefektur Shizuoka. Dengan ketinggian 3776 meter dari permukaan laut, puncak Gunung Fuji merupakan titik puncak tertinggi di Jepang.

Di tahun 2013, Gunung Fuji ditetapkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO dan status barunya ini menegaskan nilai kebudayaan Gunung Fuji di mata dunia. Selama musim panas, Gunung Fuji dikunjungi oleh para pendaki yang ingin menikmati keindahan pemandangan dari puncaknya, termasuk pemandangan saat matahari terbit.

Masa pendakian Gunung Fuji dibuka tanggal 1 Juli sampai 10 September setiap tahunnya. Jalur pendakian di Gunung Fuji ada 4 jalur pendakian yaitu Yoshida Trail, Subashiri Trail, Gotemba Trail dan Fujinomiya Trail.

  

Yoshida Trail (Fuji-Subaru Line 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Yamanashi, tepatnya di ketinggian 2300 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 6 jam naik, 4 jam turun.

Karakteristik jalur Yoshida Trail ini menyusuri sisi utara dari Gunung Fuji. Jalurnya lumayan datar hingga ke stasiun ke-7, zig zag, dan sedikit berbatu hingga sampai ke puncak. Merupakan jalur paling ramai dan paling disukai oleh wisatawan, sehingga akan sangat penuh saat musim pendakian resmi dibuka. Jalur untuk naik rutenya berbeda dengan jalur turun, dan di antara Stasiun ke-8 dengan puncak terdapat persinggungan dengan Subashiri Trail. Titik ini biasanya yang paling padat oleh wisatawan.

 

Subashiri Trail (Subashiri Trail 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Shizuoka, tepatnya di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 6 jam naik, 3 jam turun.

Karakteristik jalur Subashiri Trail cukup landai dan melewati hutan hingga hampir ke puncak gunung. Saat berada di hutan, jarak pandang akan terbatas khususnya saat turun kabut maupun malam hari. Jangan lupa membawa lampu kepala jika ingin lewat jalur ini.

Subashiri Trail ini menyusuri sisi timur dari Gunung Fuji. Begitu berhasil melewati hutan, pemandangan matahari terbit dan hamparan awan bisa langsung terlihat. Merupakan satu-satunya jalur yang tidak mengarah langsung ke puncak Gunung Fuji.

Di Stasiun ke-8 akan ada pertemuan dengan Yoshida Trail dan selanjutnya bergabung dengan Yoshida Trail. Jalur untuk naik rutenya berbeda dengan jalur turun. Sebetulnya jalur ini relatif sepi oleh pendaki, dan baru ramai saat pertemuan dengan Yoshida Trail.

 

Gotemba Trail (Gotemba Trail New 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Shizuoka, tepatnya di ketinggian 1450 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 7 jam naik, 3 jam turun.

Karakteristik jalur Gotemba Trail cukup landai dan melewati track dengan batuan vulkanik di dekat stasiun ke-8. Gotemba Trail ini menyusuri sisi tenggara Gunung Fuji. Jalur untuk naik rutenya berbeda dengan jalur turun. Karena titik awalnya berada di ketinggian 1450 meter, jalur ini menjadi jalur hiking terpanjang dengan waktu tempuh terlama. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa jalur ini paling sepi oleh pendaki.

Disarankan hanya pendaki yang kuat menempuh perjalanan jauh saja yang mengambil rute ini. Petunjuk arah terbilang minim, sehingga ada kemungkinan pendaki dapat kehilangan arah saat kabut tiba atau saat malam hari.

 

Fujinomiya Trail (Fujinomiya Trail 5th Station)

Posisi stasiun di Prefektur Shizuoka, tepatnya di ketinggian 2400 meter di atas permukaan laut. Perkiraan waktu pendakian 5 jam naik, 3 jam turun.

Karakteristik jalur Fujinomiya Trail ini menyusuri sisi selatan dari Gunung Fuji. Secara keseluruhan, jalurnya sangat berbatu dan curam. Merupakan jalur paling ramai kedua yang disukai oleh wisatawan. Itu karena Stasiun Fujinomiya 5th merupakan stasiun tertinggi dan memiliki jarak terdekat dengan puncak gunung.

Jalur untuk naik rutenya sama dengan jalur turun, sehingga pendaki tidak akan salah mengambil jalur. Namun karena hal itu juga pendaki harus memperhatikan keadaan sekelilingnya. Jangan sampai menghalangi jalan, dan harus mengalah pada pendaki yang akan naik.

 

kontributor : Arief Hidayat

Happy New Year 2017 : Time to Explore

Tanpa terasa sudah enam tahun DistrictOne menjalani aktifitas backpackeran ke negara-negara tetangga. Bukan waktu yang sebentar, dan dengan puluhan sorti perjalanan rasanya sudah waktunya kami menjelajah lebih dalam diberagam kawasan. Lebih dalam, maksudnya selain tetap mengorganisir paket perjalanan seperti city tour, kini program berikutnya adalah perjalanan overland dan petualangan.

Perjalanan darat atau sungai akan menawarkan pengalaman yang lebih dalam dibanding mendarat dari pesawat di bandara internasional -selain itu juga lebih murah. Sisi ekonomis ini tentu dibarengi dengan waktu tempuh yang lebih lama –dan karenanya akan lebih menyentuh. Alih-alih hanya mengenal kabin pesawat anda akan diajak mengenali moda transport yang beragam. Kereta, bis, van, taxi, dan longboat merupakan moda transport public yang utama, lalu ada songthew, tuk-tuk, xeom (ojeg) hingga sampan. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, bandingkan dengan kabin pesawat yang seolah semua serupa. Cuma berbeda-beda nama maskapainya.

Dalam perjalanan overland kita akan mengandalkan semua moda transport itu untuk sampai ke tujuan. Bahkan bila tak ada lagi moda transport yang dapat melintasi, aktifitas  hiking berjam-jam lamanya akan dilakukan. Namun jangan khawatir, perjalanan ini tetap merupakan sebuah petualangan yang safety dengan leader yang sarat pengalaman.

Tentu saja, sebelum mendekati tempat-tempat yang terpencil itu kita akan selalu berkesempatan mengenal kota-kota besar yang dilalui. Bahkan merupakan hal yang penting untuk mengenal kota besarnya dulu sebelum menyasarkan diri ke lokasi antah berantah yang akan menjadi tujuan.

Tetap konsisten dengan playing field  konvensional di Indochina, kami mulai memperluas arena petualangan ke Borneo dan negara kita sendiri, Indonesia tercinta. Berbekal semangat untuk menjelajah, kita akan menuju tempat-tempat yang mungkin tak ada dalam radar tourist map. Maka kita akan menuju ke berbagai lokasi penjelajahan yang mendebarkan seperti gua raksasa di Sabah, puncak gunung di Vietnam, bebatu prehistoric di Thailand atau candi kuno yang terpencil di Kamboja. Atau menyusuri sunga Mekong yang legendaris di Laos? Itupun sangat mungkin dilakukan. Di Indonesia sendiri, bila anda suka atau ingin mencoba pendakian gunung kami dapat membawa ke puncak-puncak yang legendaris seperti Rinjani  dan Tambora, atau justru gunung yang misterius seperti Argopuro atau pegunungan Mueller. Medan petualangan lain tentu tak akan kalah menariknya.

Bila menggandrungi wisata popular, mungkin kami bukan pilihan yang paling sempurna. Namun bila ingin menceburkan diri kedalam petualangan yang tak mainstream bahkan sebuah ekspedisi, barangkali kita sedang membicarakan hal yang sama. @districtonebdg

 

Selamat Tahun Baru 2017

 

 

Regional Summits

Tak perlu melalui sebuah expedisi besar berbiaya aduhai, melainkan dengan pendakian hit and run ala backpacker.

 

Tak ada salahnya bila dalam melakukan pendakian gunung kita melebarkan minat pendakian ke kawasan lainnya. Tentunya akan banyak pengalaman baru karena akan menemukan karakter gunung yang berbeda-beda bila mendaki di kawasan yang berlainan. Sehingga akan didapatlah koleksi puncak-puncak kawasan yang akan lebih memperkaya wawasan pendakian. Pendakian gunung-gunung di kawasan ASEAN, misalnya, bukanlah sesuatu yang mustahil dicapai, bahkan oleh turis sekalipun. Tak perlu melalui sebuah expedisi besar berbiaya aduhai, melainkan dengan pendakian hit and run ala backpacker.

Dalam skala regional pendakian puncak gunung di negara lain pun bukanah hal yang terlampau ribet. Memilih puncak gunung yang potensial di negara-negara ASEAN anda tinggal  mengetik “highest mountain in ASEAN” pada Google. Anda akan menemukan gunung salju Hkakabo Razi di kawasan Himalaya Myanmar yang memiliki ketinggian 5.000 an meter, Kinabalu (4.095 mdpl) di Sabah-Malaysia, di Thailand (2.565 mdpl), di Laos (2.819 mdpl), Mt.Fansipan (3.143 ) di Vietnam dan Mt.Apo (2.954)) di Mindanao-Philipina dan tentu saja banyak gunung di Indonesia mulai dari Semeru (3.626 mdpl) hingga puncak Carstenz (4.884 mdpl).

Namun mendaki gunung Hkakabo Razi sepertinya akan terlalu njelimet dan kurang populer hingga pemuncakan pertamanya baru terjadi tahun 1997 oleh pendaki Jepang. Itupun ia mengakui enggan untuk kesana lagi karena selain waktu tempuhnya lama, perijinan sulit, biaya semahal mendaki Everest, juga tak terlalu prestisius sehingga diabaikan oleh para pendaki profesional.  Dengan biaya ekspedisi yang mencapai $ 65,000 kala itu, siapapun akan lebih baik mendaki beberapa puncak dari  seven summits saja sekalian. Namun anda bisa menggantinya dengan puncak-puncak lain di Myanmar yang lebih terjangkau biaya pendakiannya seperti Phonyin atau Phangran Razi yang berketinggian diatas 4.000-an meter juga. Kawasan pegunungan di Myanmar Utara ini merupakan bagian Timur dari pegunungan Himalaya, sehingga bila mendakinya seperti telah “menangkap” ekor dari pegunungan Himalaya yang legendaris itu.

Di  Singapura jelas tak ada gunung yang bisa didaki karena hutannya pun dari beton, bahkan mungkin gedung-gedung disana lebih tinggi dari gunung yang ada di daratannya. Demikian pula Brunei dan Timor Leste yang masih dapat dianggap menyatu dengan pulau-pulau besarnya. Kamboja pun selain masih belum bebas dari ranjau darat, tak memiliki puncak menawan diatas 3.000 an meter. Anda juga mungkin tak akan bersemangat melihat foto Doi Inthanon (2.565) puncak tertinggi  Thailand yang berupa tempat ziarah dan wisata, sementara puncak gunung Phou Bia (2.819) di Laos selain bekas medan konflik suku Hmong  juga merupakan daerah militer terlarang. Ada kesan ditutupi informasinya oleh pemerintah sehingga lebih baik jangan membahayakan diri sendiri.

Namun gunung Fansipan (3.143 mdpl)  di Vietnam akan tampak sulit untuk  dilewatkan begitu saja. Selain  tak terlalu mahal akomodasinya juga karena merupakan puncak tertinggi di Indochina. Sementara itu Mt. Apo (2.954) mdpl) di pulau Mindanao, Philipina juga perlu dipertimbangkan walau bisa disimpan dulu di urutan akhir karena biaya penerbangan ke kota terdekatnya, Davao, bisa lebih mahal daripada ke kota Kinabalu maupun Hanoi.

Setelah puncak-puncak ASEAN dilengkapi maka tak ada salahnya dilirik juga adalah puncak-puncak di bumi sebelah Selatan yaitu di Australia dan Selandia Baru. Gunung Kosciuzko bahkan merupakan sebuah puncak benua walau ketinggiannya hanya 2.228 meter diatas permukaan laut –kurang lebih setinggi gunung Bukittunggul di Bandung lalau ada juga Mount Cook (3.724 mdpl) di New Zealand. Bila anda pernah mendaki gunung manapun di Indonesia kelihatannya menggapai puncak Kosciuzko tak akan terlalu memberatkan. Ini tentu saja bila kita memiliki dana extra untuk jalan-jalan, karena perjalanan akan lebih mahal bila melancong kesana dan tak bebas visa seperti negara-negara ASEAN.

Mendaki puncak gunung manapun merupakan pilihan seseorang, tak ada yang memaksa harus mendaki sebuah gunung. Siapa pun bebas memilih pengkategoriannya masing-masing bahkan tak usah ada kategori sama sekali, karena mendaki gunung hanyalah sesederhana mendaki sebuah gunung. Seperti kata Mallory, because it is there. Namun dengan sedikit romantisme anda juga dapat membuatnya menjadi sebuah rangkaian pendakian yang agung dan indah, suatu tema petualangan yang bisa menginspirasi kehidupan. Sesuatu yang layak diperjuangkan.

Dalam skala lebih kecil pun kita bisa membagi nusantara ini ke dalam tujuh kawasan kepulauan besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali-Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Maka didapatlah tujuh puncak yang boleh-boleh saja kita katakan seven summits juga.

Ini mirip seven summits yang mendunia itu, namun  dengan skala lebih kecil yaitu nusantara. Maka kita akan mendapatkan Gunung Semeru di pulau Jawa (3.676 mdpl) , Gunung Kerinci (3.805 mdpl) di pulau Sumatera, Gunung Kinabalu (4.095 mdpl) di pulau Kalimantan, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di kepulauan Nusa Tenggara, pegunungan Latimojong (3.478 mdpl) di Sulawesi, Gunung Binaiya  (3.200 mdpl) di kepulauan Maluku, dan Pegunungan Jayawijaya (4.884 mdpl) di Papua.

@districtonebdg

Mekong, Mother of Rivers

10277581_10202941962462840_5961022317567852782_n

Matahari mulai meredup di Vinh Long, saat perahu yang kami tumpangi menepi ke sebuah pasar yang terletak di tepi sungai. Setelah seharian menyusuri delta sungai Mekong dari Cai Be, kini para penumpang perahu naik ke daratan. Kota Vinh Long merupakan salah satu dari sekian banyak kota kecil di tepi sungai di delta Mekong, Vietnam. Kota-kota lain adalah Cai Be, My Tho, Can Tho dan sebagainya.

Semakin mendekati tepian sungai legendaris ini, semakin kita akan merasakan aura kekuatannya. Sejenak dalam suasana temaram menjelang senja, di tepian sungai yang amat disanjung ini, siapapun akan merasakan sebuah koneksi yang samar ke para pionir terdahulu yang pernah menjelajahi sungai ini. Saya mencoba membayangkan sensasi serupa yang dirasakan oleh para anggota ekspedisi Lagrée-Garnie dari Prancis hampir 150 tahun sebelumnya kala melakukan penjelajahan sungai Mekong pertama kalinya.

Suasana yang mulai meremang memunculkan semacam dejavu.  Senja di sungai raksasa ini mengingatkan pada perjalanan beberapa bulan sebelumnya di Vientianne, ibukota Laos. Sensasi yang serupa juga dirasakan di tepian sungai ini kala menatap senja yang meluruh perlahan di kota Thakek, Laos. Kini di wilayah Selatan negara Vietnam, aliran sungai raksasa ini seakan kembali menghampiri.

Perjalanan darat di negara-negara Indochina seperti tak terlepaskan dari aliran sungai legendaris ini, riaknya seakan selalu berada disamping mengawasi kita. Kala menyeberang dari Nakhon Phanom (Thailand) menuju Thakek kita juga akan melewati sungai ini. Juga kala menyeberang dari Nong Khai (Thailand) ke Vientiane. Dalam perjalanan darat lintas negara antara Vietnam-Kamboja, yaitu dari Ho Chi Minh menuju Phnompenh bis akan terhenti sejenak di Neak Luong, Kamboja. Sejumlah kendaraan antri di tepi sungai menunggu giliran dimuat ke dalam kapal ferry untuk menyeberangi sungai Mekong.

Melihat dari dekat sungai Mekong dari kota-kota yang dilaluinya seperti Vientiane, Thakek, Phompenh hingga Vinh Long semakin membuat saya takjub pada skala dari sungai ini dan semakin menghormatinya. Aliran sungai besar yang terdekat dari kota tempat tinggal saya adalah sungai Citarum. Dibandingkan monster ini, sungai terbesar di Jawa Barat yang sanggup menghidupi listrik se-Jawa Bali itu ibarat sebuah parit.

“Aliran sungai Mekong kini sedang surut,” ujar Trung Van Thao, pemandu di Vietnam yang membawa kami di delta Mekong ini, “ bila sedang banjir kita hampir tak bisa melihat daratan.”

Mengunjungi Indochina, sepertinya kemanapun kita akan berjumpa dengan aliran sungai Mekong atau anak-anak sungainya. Detak kehidupan di negara-negara Indochina sangat dipengaruhi oleh denyut sungai legendaris ini, tak salah bila sungai Mekong menjadi merupakan ikon kawasan tersebut. Tak lengkap rasanya bila mengunjungi Indochina tanpa merasakan sensasi keberadaan sungai raksasa yang lebarnya bisa mencapai tiga kilometer ini.

“Bila sungai Mekong banjir, maka sungai-sungai lain seperti Tonle Sap pun ikut meninggi. Bisa beberapa meter, “ ujar pemandu perahu di Tonle Sap, Kamboja.

Nama sungai Mekong berasal dari rumpun bahasa Thai yaitu “Mae Nam Khong” yang bermakna ibu dari sungai-sungai. “Mae” berarti ibu, dan “nam” berarti air. Sungai raksasa ini mengalir melalui enam negara sebelum bermuara di Laut Cina Selatan. Sungai Mekong dengan panjang 4.909 km merupakan sungai terpanjang ke-12  di dunia dan terpanjang ketiga di Asia. Sebagai perbandingan sungai terpanjang di Indonesia adalah sungai Kapuas di Kalimantan Barat dengan panjang 998 km.

Hulu dari aliran sungai raksasa ini terletak di Dataran Tinggi Tibet, dari sanalah aliran air raksasa ini mengalir melalui China di provinsi Yunnan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam. Sungai adalah rute perdagangan utama menghubungkan provinsi China barat daya Yunnan ke Laut Cina Selatan melalui Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam, sehinga merupakan akses yang sangat berharga bagi kota-kota disekitarnya untuk mencapai laut dan perdagangan internasional.

“Tanpa sungai Mekong, negara kami akan benar-benar terisolasi,” jelas Mee seorang pemandu di Thakek, Laos menekankan pentingnya sungai ini bagi negaranya. Laos merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tak terhubung ke laut, sehingga peranan sungai Mekong sangat vital bagi negara ini.

Sungai Mekong sangat mempengaruhi denyut kehidupan dan perekonomian ketujuh negara yang dilaluinya. Sebuah perubahan dalam aliran sungainya di suatu negara akan berdampak besar di negara lain, bahkan bisa mempengaruhi iklim dunia. Inilah yang menjadi tantangan ke depan bagi ketujuh negara yang wilayahnya dilalui oleh sungai Mekong. @districtonebdg

Mendaki Gunung Fansipan “Roof of Indochina”

Fansipan 1“Betul nih mau mendaki gunung Fansipan?” selidik Andreas, seorang ekspatriat asal Indonesia yang bekerja di salah satu hotel Sa Pa, agak sangsi. Ia sendiri belum pernah mendaki ke gunung Fansipan selama tinggal di kota Sa Pa.

“Minggu lalu turun salju di Sa Pa, sesuatu yang sudah lama tidak terjadi disini. Kebayang kan dinginnya di atas sana, “ ia melanjutkan seraya menunjukan tangannya ke arah pengunungan Hong Lien. Waduh, terbayang dinginnya pikir kami mendengar penuturan itu. Memang hari pertama saat tiba di kota Sa Pa saja, udara dingin langsung terasa menggigiti permukaan kulit. Tapi sudah sampai disini, masak ga jadi?

Tempat yang menjadi tujuan kami pada hari pertama pendakian ini adalah Camp 2 yang merupakan tempat untuk bermalam sebelum esok paginya melanjutkan perjalanan ke puncak. Setelah sekitar enam jam perjalanan dari pintu masuk Tom Tram dengan melalui hutan tropis purba , pinus dan bambu serta dengan banyak melewati banyak sungai kecil,

Camp 2 berhasil dicapai saat hari menjelang sore. Ketinggian disini sekitar 2.800 meter diatas permukaan laut dan istirahat dilewatkan dalam sebuah pondok sederhana berupa bangunan semi permanen yang berlapiskan papan. Sekedar untuk tidur melewatkan malam, akomodasi sederhana ini bagi saya cukup memadai daripada harus menyiapkan tenda diluar.

Saat pagi tiba, kabut masih tebal diluaran sehingga sempat menggoda untuk melanjutkan kembali bergulung didalam sleeping bag. Walau tak mesti pergi terburu-buru pagi itu, kami harus bergegas sesuai jadwal untuk menempuh perjalanan selama empat jam menuju puncak Fansipan yang disebut sebagai roof of Indochina ini.

Perjalanan menuju puncak lebih terjal daripada rute kemarin, dan seringkali memipir bebatuan yang merupakan jalur sungai. Vegetasi yang dominan adalah hutan bambu kuning mirip seperti yang sering dikunyah panda. Dalam perjalanan ke puncak banyak terlihat rebahan pohon bambu sepanjang jalan, dikarenakan beban yang berat dari salju yang menumpuk.

Setelah berjalan selama empat jam, akhirnya kami berhasil mencapai atap Vietnam yang berketinggian 3.143 meter dpl. Kabut tebal menutupi pandangan dari puncak. Sangat disayangkan, padahal bila cuaca cerah kota Sa Pa akan bisa terlihat dari sini. Sekitar setengah jam kami mencoba menikmati suasana puncak seraya berharap matahari akan muncul dan pemandangan indah dari sekitar gunung dapat tersibak. Tak ada harapan, kamipun kembali turun menuju Camp 2 untuk bermalam.

Esoknya perjalanan turun melewati rute yang berbeda yaitu jalur SinChai yang lebih terjal namun dengan pemandangan lembah yang menawan. Jalur terjal berupa tanah merah ini diperparah dengan hujan yang turun sehingga amat licin. Setelah hutan terlewati, barulah tampak pemandangan lembah yang menakjubkan.

Fansipan 2 Dusun pertama yang ditemui adalah dusun tradisional yang dimukimi etnis Black Hmong. Sejenak kami beristirahat di sebuah bangunan sekolah yang sederhana di sini. Sambil memakan bekal siang, kami menikmati pemandangan indah yang terhampar dibawah. Rute turun yang terhampar dibawah seperti menjanjikan perjalanan yang menyenangkan untuk dilalui. (2011)

@districtonebdg

Mengintip Kehidupan Suku Akha di Thailand Utara

oleh : Retno Gita Erliana

10250136_10202879935472204_2719570983271228570_nPerjalanan di bis malam membuka petualangan kami, menuju utara Thailand. Sejak awal kami berencana, bertualang menembus hutan tropis Thailand di antara perkampungan hill tribe bagi kami terasa melebihi sensasi wisata city tour di Bangkok. Stasiun bis Mochit, tempat bis malam menuju Chiang Rai yang akan kami tuju, mudah dijangkau dari stasiun BTS dan MRT Mochit. Hanya 50 baht bila menggunakan taksi. Jadual keberangkatan dan harga tiket bis ke hampir seluruh propinsi Thailand pun relatif mudah diakses di 1stopbangkok.com. Begitu lah.. petualangan kami dimulai dengan menapaki Paholyothin Road ke utara menjelang malam hari itu.

Setelah 12 jam, sampai juga kami di terminal bus Chiang Rai. Pagi buta yang sunyi. Tujuan selanjutnya adalah Mae Sai. Kami putuskan untuk beristirahat dan sarapan di warung mie pojok terminal, sambil bertanya kendaraan menuju Mae Sai. Meski bekal petunjuk sudah kami kantongi, cukup sulit rasanya karena hambatan bahasa. Chiang Rai adalah ibu kota propinsi yang jauh berbeda dengan Bangkok. Setidaknya, gestur dan bahasa Inggris sederhana mudah dipahami penduduk Bangkok, jadi tak perlu khawatir bila kehilangan arah di ibukota Thailand tersebut.

Namun Chiang Rai bukan Bangkok, sampai tidak sengaja kami dipertemukan dengan seorang farang (bangsa kaukasoid dalam bahasa Thai) yang fasih berbahasa Thai, dan Inggris tentunya. Berkat bantuannya, kami segera menaiki songthew (angkot berbanjar dua mirip bemo) menuju stasiun bus lama yang akan membawa kami ke Mae Sai. Setibanya di sana, kami segera menaiki bus menuju Mae Sai. Saat itu sekitar pukul tujuh pagi, dan tak seorang pun dari kami yang mandi pagi, toh penumpang lain pun tak peduli.

Setiba di Mae Sai, kami menunggu songthew yang akan membawa kami menuju Pasang, terminal di pertigaan ke Mae Salong dan Thaton. Di sini saya baru menyadari, setiba di Chiang Rai, kami hanya tiga kali bertemu turis farang. Tidak seperti daerah wisata di Bangkok, Pataya, Phuket, atau bahkan Chiang Mai, turis kaukasoid mahal ditemui di Chiang Rai. Kota ini begitu senyap, sementara Bangkok amat metropolis dan futuristik. Bila Anda menyukai hiburan malam dan dentuman musik, nampaknya Chiang Rai bukan pilihan tepat.

Di tengah lamunan saya, tiba-tiba si supir mengisyaratkan kami untuk segera menaiki mobilnya, tanda akan segera berangkat. Oya, songthew hanya melaju bila isi penumpang sudah memenuhi baris kursi, atau sesuai dengan jumlah yang dikehendaki supirnya. Kami cukup beruntung pagi itu, meski hanya beberapa orang di kursi penumpang, penyupirnya bersedia mengantarkan kami, sepasang turis farang, dan tiga orang penduduk lokal menuju Pasang. Tiba di Pasang, segera kami mencari songthew ke arah Thaton, dan berhenti di Ban Lorcha, miniatur perkampungan Akha, salah satu kelompok etnis di utara Thailand.

Dengan tiket seharga 80 baht, kami diizinkan masuk wilayah perkampungan Akha dengan ditemani seorang guide. Beberapa jenis jerat untuk binatang buruan menjadi display pertama bagi pengunjung. Etnis Akha bersama dengan kelompok etnis minoritas lain seperti Karen, Lahu, Padhong, dan lainnya; mendiami dataran tinggi utara Thailand, Burma, Laos, dan Vietnam sejak ratusan tahun yang lalu. Etnis Akha dipercaya sebagai bermigrasi dari Tibet, memasuki Propinsi Yunan di selatan China, dan menyebar di wilayah Indocina.

Di wilayah Thai, sistem ekonomi ladang berpindah, berburu dan meramu yang menjadi ciri khas orang Akha, berubah seiring dengan kebijakan pemerintah Thai untuk melokalisasi pemukiman Akha dan pelarangan ladang opium yang membanjiri Thailand di sekitar tahun 70-80an, meskipun hill tribe di sini bertanam opium untuk kepentingan medis dan hanya digunakan dalam kelompoknya saja. Sejak saat itu, etnis Akha dan etnis minoritas lain di Thailand hanya bisa bercocok tanam sesuai dengan jenis tanaman yang diperbolehkan pemerintah Thai, seperti tanaman buah dan teh di daerah Mae Salong.

Setelah kami sempat dipertontonkan tentang cara kerja penjerat binatang buas, guide kami memandu kami menuju kumpulan ibu-ibu paruh baya dalam kemasan pakaian tradisional Akha yang siap menari setiap kali ada pengunjung yang hadir di sana. Sementara beberapa orang lelaki yang mengiringi musik tarian, berkaos t-shirt dan celana katun. Kecuali si guide kami yang masih memakai pakaian khas lelaki Akha, saya kemudian kembali berpikir akan nasib perempuan yang tereksploitasi demi keuntungan wisata. Selain tarian tradisional Akha, seorang perempuan yang masih berpakaian lengkap, duduk manis sambil menenun kain di rumah beratap dedaunan. Selintas tampak jelas ia beraksi dan siap tersenyum di hadapan jepretan kamera kami. Imitasi, karena di rumah seberang tampak motor bebek terparkir rapi.

Sehabis touring mengitari perkampungan Ban Lorcha, kami kembali ke gerbang utama. Bagi yang berniat membeli oleh-oleh untuk kembali pulang ke tanah air, pengunjung bisa membeli beragam buah tangan kerajinan Akha, seperti tas, gelang, manik, pakaian, kain tenun, dsb. Tapi jangan heran kalau harganya selangit. Sebagai bangsa yang sangat bergantung dengan wisata, semua bisa jadi komersil di negara ini.