Kawasan Bukittunggul Sarat dengan Legenda Sangkuriang

 

IMG-20140920-00042

Selama ini hanya gunung Tangkuban Perahu yang sangat dikenal oleh khalayak sebagai perwujudan dari mitos cerita Sangkuriang. Kita sudah tahu dari cerita Sangkuriang bahwa perahu  yang hampir selesai itu terhentikan pekerjaannya karena tentara jin mengira matahari sudah akan terbit.Sangkuriang pun marah karena proyeknya gagal, perahu yang hampir jadi ditendang sehingga terbalik lalu kemudian menjadi gunung Tangkuban Perahu.

Tak banyak warga Bandung yang mengetahui bahwa gunung Bukittunggul lekat sekali dengan legenda Sangkuriang. Sisa pangkal pohon yang ditebang berupa tunggul berubah menjadi gunung Bukittunggul. Ada juga tempat bernama gunung Tumpeng  di wilayah Bukanagara dan gunung Paisdage di Cipunagara yang diceritakan merupakan tempat  pembuatan makanan bagi para pekerja proyek Sangkuriang.

Kini di kawasan ini sudah ada pengembangan Agrowisata yang dapat dinikmati khalayak umum antara lain : Situ Sangkuriang, Curug Batu Sangkur, Area camping Ground, Penangkaran Binatang dll.

Di kawasan perkebunan Bukittunggul iklim menurut klasifikasi Scmidt & Ferguson termasuk type B, topografi berbukit dengan ketinggian tempat 1.200 – 1.650 meter dpl dan mayoritas jenis tanah tergolong tanah Andosol. Luas areal konsesi Kebun Kina di Bukittunggul adalah seluas 3.656,77 Ha tersebar di 5 Afdeling  yaitu Bukittunggul, Bungamelur, Cikembang, Puncak Gedeh, Cibitu. Tanaman pokok yang dikelola PTP VIII ini adalah komoditi Kina seluas 2.268,68 Ha namun pada beberapa lokasi ada juga komoditi Kayu Putih ( Eucalyptus da Jabon ). Menuju kawasan Bukittunggul  bisa melalui Palintang (dari arah Ujungberung) atau Cibodas (dari arah Maribaya). @districtonebdg

Portaging di Curug Dago

cikapundung2

 

Portaging adalah mengangkut perahu lewat darat dengan cara berjalan kaki dikarenakan aliran sungai tak mungkin dapat diarungi.  Dalam sebuah pengarungan sungai  portaging merupakan alternatif terakhir bila setelah dilakukan scouting aliran sungai dinilai terlalu berbahaya, dan medan sekitar tak memungkinkan untuk melakukan lining. Beberapa tempat bisa diperdebatkan apakah perlu portaging atau tidak, namun saya yakin anda tak perlu bertanya lagi kala sebuah air terjun menunggu di depan.

Kami melakukan start penyusuran sungai Cikapundung di tengah kota Bandung dengan tiga perahu karet di kawasan Dago Bengkok. Daerah ini berada ditempat yang lebih tinggi dari curug Dago sehingga nantinya ketiga crew perahu harus bersiap-siap untuk melakukan portaging di suatu tempat sebelum air terjun untuk menurunkan perahu karet melewati curug Dago via darat.

Lebih dari setengah jam yang melelahkan harus dilalui saat melakukan portaging melewati turunan yang curam dan rumpun bambu sepanjang curug. Beberapa kali crew harus menarik nafas karena kepala rasanya berkunang-kunang setelah beberapa lama perahu bertengger diatas kepala. Walaupun dilindungi oleh helm, tetap saja rasanya langit runtuh menimpa kepala.

Setelah dengan perjuangan berat dan cucuran keringat yang deras akhirnya ketiga perahu berhasil diangkut melewati curug Dago, namun tak pelak semua harus menarik nafas dulu di tepian sungai Cikapundung sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Gemuruh curug yang berdebam-debam di depan sungguh memiriskan hati andai perahu lebos terbawa oleh aliran sungai masuk ke curug ini. Kondisi curug sendiri sangat memprihatinkan dimana sampah yang terbawa oleh aliran sungai Cikapundung berkumpul di arus baliknya. Bila tak segera dibenahi lama kelamaan curug ini bisa menjadi tempat sampah raksasa, karena sampah yang tertahan di arus baliknya tak akan bisa teralirkan secara alami.

Dibandingkan pengarungannya sendiri, memanggul perahu melewati curug lebih melelahkan dan cukup membuat tegang. Setelah curug Dago memang masih ada sebuah waterfank setinggi dua meter dan penyempitan di Leuwi Beurit, namun keduanya relatif masih dapat dilalui. Susur sungai Cikapundung oleh perahu karet ini finish di Babakan Siliwangi. @districtonebdg

Priangan Si Jelita

 

“Tuhan menciptakan Tanah Priangan tatkala sedang tersenyum” (MAW Brouwer)

 

Tanah Priangan dikenal sebagai  bumi yang elok, serupa wajah feminin dan jelita dari gadis Priangan yang kerap dituangkan dalam lukisan naturalis. Priangan atau sering disebut juga Parahyangan berarti Tempat Para Dewa. Daerah ini mencakup kawasan bagian tengah Jawa Barat yang keadaan geografisnya bergunung-gunung dan banyak sungai mengalir sehingga menjadikannya daerah yang amat subur.

Wilayahnya sekarang ini kurang lebih meliputi Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Cianjur. Bentang alam yang elok ini semakin memabukkan ketika ditunjang oleh budaya yang halus dan penuh cita rasa. Tak heran hingga kini pun bumi Priangan selalu menjadi tujuan wisata bagi masyarakat daerah lain.

 

Sejarah Priangan

Pada masa silam letusan gigantik dari Gunung Tangkuban Perahu  telah membendung aliran sungai Citarum purba di daerah Padalarang sehingga genangannya membentuk Danau Bandung purba yang sangat luas yaitu sekitar 50 km x 30 km persegi. Setelah lama tergenang pada akhirnya aliran air Danau Purba di cekungan Bandung mendapatkan pelepasan melalui proses erosi di celah-celah hogback ( Sunda : pasir ipis ). Maka terciptalah lembah yang masif dan subur dari sisa-sisa genangan air danau tersebut

Penduduk Priangan terdiri atas asimilasi pribumi dan pendatang. Penduduk asli diperkirakan merupakan keturunan dari komunitas yang telah lama menetap sejak masa Danau Purba. Sementara arus migrasi pendatang memasuki wilayah Priangan dari wilayah di sekitarnya dimana tanah yang subur dan berlimpahnya air merupakan daya tarik utama selain kondisi politik yang terjadi pada masa kerajaan. Arus migrasi penduduk ke Priangan semakin tercatat sejak masa bertahtanya kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Sistem persawahan dan pertanian komoditas yang berkembang – antara lain akibat sistem Priangan Stelsel pada jaman VOC- telah menumbuhkan pusat kegiatan ekonomi sehingga pendatang yang berasal dari etnis Cina, Arab dan Eropa semakin banyak datang ke Priangan. Pada abad XIX pertumbuhan penduduk di Priangan lebih banyak disebabkan oleh arus migrasi dibandingkan pertumbuhan alami.

Sebagai wilayah sentral kawasan Priangan, kota Bandung mewarisi banyak tradisi dan peninggalan masa lalu dari tanah Para Dewa tersebut. Seperti di masa silam, hingga kini pun kota Bandung senantiasa sukacita menyambut kedatangan para wisatawan pemuja cita rasa. Dengan caranya sendiri kota yang dijuluki Paris van Java ini menginspirasi para tamunya. Maka tak heran ketika konotasi Priangan kini sering dialamatkan kepada gemulainya kota Bandung.

 

Menemukan kembali legenda

Namun siapa pun harus bersiap kecewa bila berharap merasakan getar legenda dewi-dewi Priangan di tengah-tengah konsumerisme dan kosmetika kota. Geliat metropolitan kota Bandung tak ada bedanya dengan hedonisme kota-kota besar lainnya. Tak akan banyak inspirasi hidup yang ditawarkan mall-mall yang menjamur di setiap sudut kota. Mengikuti gaya hidup metropolis bagaikan menegak air garam dikala haus, hanya membuat rasa kehausan itu semakin mencengkeram.

Bila ingin menemukan kembali keanggunan tanah Priangan maka yang harus dilakukan adalah menghindar dari hingar-bingar metropolisnya. Pergilah bercengkerama dengan alam dan masyarakat di sudut-sudut pedesaan dan pinggir hutan. Sewaktu-waktu Sang Dewi akan menyibakkan keindahan yang selama ini silap dirasa oleh indra. Bila anda beruntung mendapatkannya, momen itu akan merupakan salah satu inspirasi berharga dalam hidup.

 

Namun bila  tak sempat mencumbui keindahan alam Priangan yang perawan, ada cara yang mungkin membantu anda menggapai Sang Dewi. Saat berjalan-jalan berkeliling kota dan desa,  bukalah hati anda. Tersenyum saat berpapasan dengan orang yang tak anda kenal, mengalah, memberi kesempatan dan membagikan setitik rejeki anda pada para fakir. Dengan melakukannya, bukan hanya anda mendekat pada keanggunan para dewi, namun bahkan keindahan itu telah menitis. Siapapun yang bertemu dengan anda, akan merasakan kehangatan Sang Dewi dan keindahan masa keemasan  Priangan. Sebuah momen yang menghangatkan kehidupan dan tak akan berlalu begitu saja. @districtonebdg

Rafting Cikapundung : Dago Bengkok – Babakan Siliwangi

Scouting di area watervank Cilimus

Great river need to be respected, sick river need to be loved.

 

Agar  merasa enjoy melakukan rafting di sungai Cikapundung orang harus menyukai olahraga arung jeram atau ia memang orang yang sadar lingkungan sehingga ingin memelihara  kebersihan sungai atau warga yang penasaran asal muasal aliran sungai yang membelah kotanya. Dengan kondisi tersebut maka tak akan terlalu masalah dengan kondisi sungai yang memprihatinkan saat melakukan rafting. Jangan berharap menemui aliran yang jernih seperti di sungai Cikandang dengan pemandangan tepiannya yang indah, bahkan sungai Citarum yang terpolusi pun masih terlihat segar dibandingkan warna kecoklatan yang mendominasi aliran sungai Cikapundung. Maka bila hanya ingin berwisata menikmati keceriaan alam anda harus siap-siap kecewa dengan kondisi aliran sungai disini.

Jalur rafting sungai Cikapundung mulai dari Dago Bengkok hingga Babakan Siliwangi cukup aman untuk dilalui namun pada beberapa check point beresiko tinggi sehingga kalau tak terkendali akan fatal sekali akibatnya. Pada beberapa titik ada drop-an dan hidraulik yang lumayan, apalagi kalau debet airnya agak naik. Beberapa titik juga main stream nya berubah-ubah (acak) dalam jarak yg dekat, dan jalur nya hanya bisa masuk satu perahu jadi manuver harus sedikit cepat.

Ada saatnya kala sungai selalu memberi penghidupan dan perlindungan pada manusia antara lain dengan menampung luapan air supaya tidak banjir dan menyediakan air bagi keperluan penduduk. Namun kekuatan sang sungai pun memiliki batas. Suatu ketika ia takkan sanggup lagi menyenangkan segenap peduduk kota. Ia bagai  pekerja yang sudah menguras tenaganya selama 24 jam sehari tanpa istirahat namun beban kerjanya terus ditambah tanpa belas kasihan. Suatu hari sang sungai yang dulu perkasa, ramah dan ceria itu pun akan frustasi. Hanya tinggal waktu saja ia akan mengungkapkan kemarahannya. Berdoalah agar kita tak melihat amarah alam pada manusia.

Lihatlah sungai Ciliwung yang kerap memperlihatkan otot-otot kemarahannya dengan menenggelamkan sebagian Jakarta bila ia sudah terlalu muak dengan perilaku manusia yang tak tahu diri. Namun sungai Cikapundung belum pundung pada warga Bandung, ia masih mencoba melayani keperluan warga Bandung –walau didera keletihan. Awak perahu karet yang menyusuri aliran sungai dari PDAM Dago Bengkok hingga Babakan Siliwangi merasakan benar  rintihan sakitnya sungai ini.

Toh walaupun dengan kondisinya itu, sungai Cikapundung tetap memberikan atraksi yang memukau dengan jeram-jeramnya. Seakan ia gembira kami mengunjungi dan mengajaknya bermain bersama. Barangkali inilah yang ia nantikan selama ini, bukan mereka yang menumpukkan kotoran dan sampah ke alirannya namun sekelompok orang yang memang ingin bermain, berbagi keceriaan, dan mengerti keadaannya. Dengan kondisi debet air yang memadai, anda akan merasakan rafting yang cukup mengasyikan sepanjang alirannya.

Namun seraya bercengkerama dengan sang sungai mereka mengayuhkan dayung dengan masygul yang tak biasa, tak lepas seperti kala mengarungi sungai-sungai lainnya.  Terkadang samar-samar mereka bisa merasakan rintihan dari sang sungai, tempat mereka semua pernah dibesarkan  dan menuntut ilmu. Bagaimanakah perasaan anda kala ada orang tua yang sedang sakit namun masih bersemangat bermain dengan anak-anaknya, hanya untuk menyenangkan sang anak.  Ia masih memperlihatkan tenaga dan kecerian nya yang tersisa. Ada sakit terasa kala  menyadarinya, namun tak seorangpun memperbincangkan. Hanya kegelisahan yang tak tuntas. @districtonebdg

Menyibak Hutan Purba Gunung Sanggara

sanggara web

Hiking menuju puncak gunung Sanggara bukanlah perjalanan ongkang-ongkang kaki yang ringan bagi para jiwa resah yang rindu pada alam pegunungan. Tak lama sejak memasuki hutan segera saja kita sudah disambut oleh tanjakan yang terjal, sehingga terkadang harus menggunakan tangan untuk menjangkau akar dan batang pohon untuk membantu mendaki.  Hutan di kawasan Sanggara memang bukan taman yang manis seperti di Dago Pakar. Disini masih dapat dijumpai hutan purba dengan pepohonan yang berselimut lumut, pacet selalu siap menempel bila tak awas dan nyamuk hutan kerap mengerubuti kala beristirahat.

Puncak Sanggara sendiri berketinggian sekitar 1.900 meter dpl, terdapat sebuah nisan in memoriam di puncaknya yang menandakan pernah ada jiwa bebas yang dipanggil ke alam baka. Kawasan ini sering dijadikan arena latihan oleh para pecinta alam antara lain karena hutannya masih asri dan heterogen sehingga cukup representatif untuk materi survival.  Sehingga tak heran walau memang ada jalan di hutan namun bukanlah setapak untuk berlenggang kangkung karena hanya dilalui para pencari kayu, pemburu dan petualang.

“Lutung disini besar-besar hampir seukuran orang,” ujar seorang pencari burung yang sempat ditemui di bawah. Mungkin agak berlebihan, namun lutung yang kerap terlihat disini memang tidaklah kecil.

Selalu menjadi dilematis bila bertemu dengan wong cilik yang mencari pencaharian dengan berburu burung atau binatang lain di hutan. Disatu pihak itu mengganggu kelestarian alam namun dipihak lain perut mereka yang lapar tentu harus diisi, keluarganya di rumah perlu membeli beras dan anak-anak mereka perlu mendapat pendidikan yang tinggi agar kelak lebih pintar dari orangtuanya. Ah, semoga mereka berburu masih dalam batas kewajaran. Nature provides our meals as long as we contoll our appetite.

Pendakian cukup menguras energi, rasa lapar mulai menggeliat di perut kala sampai di puncak Sanggara. Namun tak ada makanan berat yang dibawa karena perkiraan kami tentang warung yang buka di desa terakhir meleset. Mungkin karena melewatinya terlalu pagi sehingga hanya ada coklat Silver Queen dan segepok roti yang gepeng untuk dibagi berempat. Toh itupun terasa nikmat setelah perjalanan di hutan yang menguras tenaga tadi.

Setelah beristirahat  beberapa lama kami berembuk sejenak apakah dari puncak Sanggara akan melanjutkan hiking ke Bukanagara atau turun kembali ke Cibodas. Dari perkebunan Bukanagara perjalanan bisa terus ke Cipunagara lalu kemudian Cikole, Lembang. Menurut cerita legenda Sangkuriang yang termahsyur itu, Bukanagara dan Cipunagara merupakan tempat para pekerja Sangkuriang beristirahat. Di wilayah Bukanagara terdapat sebuah tempat bernama gunung Tumpeng  dan di Cipunagara  terdapat tempat bernama gunung Paisdage yang diceritakan merupakan tempat  pembuatan makanan bagi para pekerja proyek Sangkuriang.

Akhirnya diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke arah Bukanagara namun hanya sampai disekitar kawasan pasir ipis, darisitu kembali ke Sanggara dan turun ke Cibodas. Waktu satu jam kedepan mereka hanya akan mencoba masuk semakin dalam ke hutan dan merasakan aura kelebatan gunung ini. Setelah itu mereka akan kembali turun melewati jalan yang sama yaitu menuju perkebunan kina Cibodas.

Betapa berat rasanya meninggalkan Sanggara kembali turun menuju ke Bandung. Seolah tangan-tangan alam telah mendekap erat hati untuk tertambat disana. Hanya berjarak satu jam dari kota yang sumpek oleh kabut putus asa, ternyata di pegunungan semua tampak indah dan berirama. Sebuah simponi kehidupan yang mungkin dilewatkan di kehidupan kota, dan ketika merasakannya ada keharuan tersendat ingin dikeluarkan. Dan alam seakan orang tua yang penuh kesabaran membelai ujung-ujung rambutnya, mendengar semua keluh kesah serta memeluk penuh kehangatan. Pegunungan seperti ingin menitiskan kekuatan maha yang dimilikinya kepada yang mengunjunginya. Ataukah memang selama ini memang itu yang ingin dibisikkan mulut yang bijak bahwa kita telah mewarisi kekuatan itu sejak masih bayi yang memerah? Hanya kita tak merasakannya saja karena terselimuti kabut putus asa yang datang dan pergi. @districtonebdg

Gawir Jontor Alias Tebing Keraton

Motor yang saya tunggangi pagi itu berjalan lamban, tenaganya banyak terkuras karena jalanan yang menanjak dan terjal berbatu, beberapa jalanan aspalnya banyak yg mengelupas. Saya pagi itu berencana mengunjungi sebuah obyek wisata alam yang “booming” di media sosial…Tebing Keraton. Saya yang penasaran karena ketenaran Tebing Keraton yg instant itu, memaksakan untuk tabah menyusuri jalan yg menanjak & rusak parah.

Sengaja saya ajak anak & istri saya untuk ikut dalam perjalanan ini, karena saya ingin mengajak mereka sekedar refreshing melepaskan diri dari rutinitas. Sekitar 15 menit kami berkendara dengan sangat hati2, sampai akhirnya kami menemukan warung untuk berhenti sesaat.

Sambil rehat & makan jajanan yg ada, kami ngobrol dengan  ibu pemilik warung, si ibu pemilik warung ini menganjurkan agar saya saja yg melanjutkan perjalanan sampai ke Tebing Keraton, karena khawatir dengan kondisi jalanan yg katanya semakin menanjak dan terjal.

Setelah sepakat, akhirnya saya sendiri melanjutkan perjalanan.  Jalanan memang semakin menanjak, tidak berapa lama saya melewati warung2 yang dipenuhi para Goweser atau penggiat olah raga sepeda…hmm ini Warban (Warung Bandrek) lokasi yang sudah tidak asing lagi bagi para Goweser Bandung.

Setelah melewati Warban, tidak berapa lama akhirnya saya tiba di lokasi Tebing Keraton…wow orang2 dari luar Bandung banyak yg berkunjung, rupanya mereka juga punya kepenasaran yg sama atas ketenaran obyek wisata ini.

Setelah membayar ticket masuk, saya langsung menuju sebuah bibir tebing yg menjorok keluar, hmm ini lah Tebing Keraton itu…Dinamakan Tebing Keraton  karena kondisi bibir jurang yg menjorok keluar seolah podium alam sehingga kita bisa melihat pemandangan dengan leluasa, kondisi ini beberapa org menganggap sebagai sebuah “kemewahan” yang oleh penemunya “kemewahan” ini dianalogikan sebagai “keraton”. Nama asli tempat ini sendiri adalah Gawir Jontor yang berarti bibir jurang yg jontor (menjorok keluar).

Banyak sekali orang2 berdesakkan di seputar tebih untuk sekedar berfoto2, dari bibir jurang ini pemandangan terlihat lepas. Penduduk setempat mengatakan, jika pagi bibir jurang ini tertutup kabut, sehingga kita seolah2 ada di puncak Bromo & katanya seolah2 kita berdiri di atas awan…

Bagi saya pribadi Tebing Keraton tidaklah begitu istimewa, tapi mungkin bagi orang lain ini adalah sebuah “ kemewahan”.  Daya tariknya yang tiba2 menjadi luar biasa membuat lokasi ini banyak dikunjungi, tapi sayangnya tidak didukung dengan akses jalan yg memadai.

1480659_10202925796898711_287437094117783424_n 10698587_10204699183823332_6894252231989324542_n IMG01122-20140907-1130 IMG01121-20140907-1128

Symphoni di Ketinggian Gunung Burangrang

burangrang web

 

Setelah bertahun-tahun tak sowan ke gunung Burangrang, akhirnya keinginan melepas rindu itu terlaksana juga.  Sudah terlalu lama rasanya tak bercengkerama dengan hembusan angin dan gemerisik daun di gunung ini. Hiking di gunung Burangrang bersama Diki Tresnawan, Olivia Damayanti, Asep Nurdin dan Wahyu Suprianto  seakan sebuah reuni para sejawat era petualang dulu. Sementara teman-teman baru yang juga ikut yaitu Rifiati Safariah, Yudha, Tanto dan Iman semakin menambah semarak hiking kali ini.  Tak ada perjalanan yang lebih menyenangkan dibanding hiking  dengan teman lama dan teman baru sekaligus.

Sebelum dan sesudah acara hiking kami mengunjungi pesantren alam yang dikelola oleh Iman. Pesantren yang menampung anak-anak ini memang diarahkan untuk mengakrabkan anak didiknya untuk selalu mengakrabi alam sekitarnya. Sebuah ide yang menarik, pikir saya.

Suasana pesantren anak-anak ini memberi warna tersendiri dalam hiking di gunung Burangrang kali ini. Didalam pesantren yang sederhana namun resik, terdapat beberapa rak buku yang berisi sumbangan buku-buku dari para donatur. Kebanyakan merupakan buku anak-anak, dan memang itulah yang lebih mereka harapkan kepada donatur yang ingin menyumbangkan kelebihan buku-bukunya. Sayang kami tak membawa sebuah bukupun untuk disumbangkan, karena tak mendapat informasi sebelumnya. Maklum saja, hiking ini merupakan acara dadakan –seperti biasa.

“Seringlah mampir kesini karena kami suka mengadakan pengajian Wiro Sableng,” seloroh Iman becanda.  Saya kurang paham maksudnya namun diam-diam kagum pada kerendahan hati teman satu ini dalam keluasan ilmu yang dimilikinya.

Selama bertahun-tahun saya selalu merasakan kecemburuan dari jalan setapak di punggungan gunung karena kami kerap bermain ke Situ Lembang yang terletak di lembah Burangrang tanpa pernah naik ke puncak gunung. Entahlah, mungkin saya sudah terlampau manja atau begitu sombong dengan mengabaikan bisikan Sang Gunung selama belasan tahun. Padahal di gunung inilah pertamakali saya belajar mengenal alam bebas.

Setidaknya ada tiga jalur yang dapat kita lalui bila ingin mencapai puncaknya, yaitu lewat Kertawangi (Pos Komando), Legok Haji dan Cisurupan. Gunung Burangrang (2.064 meter) memang tidak terlampau tinggi dan aman didaki pemula sekalipun, namun jangan pernah under-estimate pada sebuah gunung karena  terbukti dipuncaknya terdapat sebuah in memoriam yang menandakan pernah ada korban yang tetirah abadi disini.

Gunung yang imut inikerap mengingatkan pada lagu-lagu Iwan Abdulrahman, seorang sesepuh dunia petualangan yang juga pencipta lagu. Tahun 1964 di puncak gunung ini  Abah Iwan, demikian panggilannya, menciptakan lagu Balada Seorang Kelana untuk empat rekannya yang sedang tersesat di gunung itu.  Lagu itu ia dendangkan lewat radio untuk memberi dukungan moril bagi para pendaki yang tersesat yang mendengarkannya lewat radio.

“Ingat waktu dulu nge-SAR di sini,” ujar Diki.

“Ya.. rasanya baru seperti kemarin,” gumam Wahyu pelan, seperti teringat akan sesuatu. Sejenak saya ikut tertegun kembali mengingatnya.

Pikiran saya lalu menerawang ke bulan Desember tahun 1995 ketika melakukan hal yang sama di gunung ini. Tahun 1995 gunung Burangrang memang sudah tak selebat dulu, namun kala itu kami terlibat sebuah pencarian seorang siswa pendidikan yang tersesat.  Setelah semalaman seluruh personil di base camp dikerahkan menyisir punggungan, akhirnya siswa yang malang dapat ditemukan dalam keadaan lemas dan takut.

Saya selalu ingat pada rasa cemas itu. Sebuah kecemasan yang membuat adrenalin bergolak hingga akan melakukan apa saja untuk menemukannya bahkan bila harus bolak-balik kepuncaknya, sementara dilain pihak rasa khawatir akan keselamatan siswa itu menjalar disekujur tubuh. Saya tak ingin kehilangan seorang rekan disini.

Sebuah lagu dari Abah Iwan yang juga mengingatkan saya kala berada di ketinggian gunung Burangrang adalah sebuah lagu pujaaan yang kerap diperdengarkan di aula universitas. Dasar bukan mahasiswa teladan,  hingga bertahun-tahun kuliah di Unpad saya tak tahu yang namanya Hymne Universitas Padjadjaran. Saya lebih sering menyelinap keluar atau terkantuk-kantuk saat acara-acara resmi yang mengumandangkan lagu ini. Namun karena kerap mendaki gunung bersama teman-teman, tak banyak hiburan kecuali kaset dan tape yang dibawa.

Saya mulai menyimak lagu hymne ini karena ia berada diantara lagu-lagu Iwan Abdulrahman yang yang sering dibawa oleh teman. Di keheningan alam, walaupun berasal dari radio transistor butut milik Wawan, lagu hymne itu terasa lebih menyelinap di hati dibanding mendengarnya didalam aula kampus dan dibawakan dengan megah oleh paduan suara.

“Lagu ini ditulis tahun 1971 di suatu  ketinggian di gunung Burangrang bersama-sama  beberapa orangteman saya berkumpul; Remi Cahari, Hari Raspati, Bekti…mahasiswa kedokteran, mahasiswa ekonomi waktu itu..sekarang mereka sudah jadi dokter..Hymne Universitas Padjadjaran. Yang saya tulis waktu itu adalah harapan dan penghayatan kami terhadap universitas,” demikian ujarAbah Iwan disuatu kesempatan sebelum melantunkan lagu Hymne Universitas Padjadjaran.

Di ketinggian Burangrang sejenak saya merasa memahami perasaan cinta  itu. Suatu desir-desir halus yang kerap dirasakan saat bersusah payah membawa bendera berlambang almamater ke berbagai puncak tertinggi dan mengibarkannya disana. Jarak yang terpisah puluhan tahun terasa amat dekat, seakan berada disatu ruang dan waktu yang sama. (2011)

@districtonebdg

City Escape di Dago Pakar

PS IMG_6474_Snapseed rsz

Adventure is not outside man; it is within (George Eliot)

 

Semilir angin terasa dingin mengelus permukaan kulit. Udara sejuk semakin menusuk karena hujan turun sejak sore tadi di kawasan Dago Pakar tempat kami sedang berkumpul. Percakapan hangat yang ditemani gelas-gelas berisi kopi panas sedikit mengusir hawa dingin kala malam semakin beranjak. Hujan belum juga mau berhenti seakan ia ingin menghadirkan suasana masa lalu kala cuaca seperti ini seringkali menemani kami di alam liar.

 

Taman Hutan Raya Juanda

Lokasi Taman Hutan Raya Juanda yang terletak di tengah-tengah wilayah Bandung awalnya dikenal sebagai Kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari dan Taman Wisata Curug dago. Hutan ini  merupakan kawasan pelestarian alam  yang   berfungsi sebagai paru-paru kota Bandung. Jaraknya hanya lima km dari Gedung Sate sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat.

Taman Hutan Raya Juanda diresmikan pada tanggal 14 Januari 1985 bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Juanda berdasarkan Keputusan Presidan No. 3 Tahun 1985 dengan luas 590 Ha. Tahura Juanda secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Cicadas dan Kecamatan Lembang, pengelolaannya berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 192/Kpts-II/1985 diberikan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

Kawasan hutan ini memiliki daya tarik wisata alam yang cukup beragam seperti pemandangan alam, flora dan fauna serta keadaan udaranya yang sejuk dan nyaman.Di dalam kawasan Taman Hutan Raya terdapat berbagai obyek wisata yang cukup menarik seperti Monumen Ir. H. Juanda yang terletak pada suatu plaza, gua-gua buatan peninggalan jaman kolonial, Kolam Pakar yang merupakan kolam buatan seluas 1,15 Ha yang berfungsi sebagai tempat penampungan air yang berasal dari sungai Cikapundung. Serta terdapat 2 buah curug (air terjun) yaitu Curug Dago dan Curug Omas yang tingginya 35 m.

Di goa Goa Jepang terdapat empat lorong untuk masuk, dimana konon katanya lorong ke dua dan ketiga sebagai lorong jebakan. Hanya berjarak sekitar 500 meter dari Goa Jepang, terdapat Goa Belanda yang berumur lebih tua dari Goa Jepang, karena dibangun pada tahun 1918. Di goa ini masih terdapat bekas rel roli yang digunakan untuk segala macam pengangkutan.

 

Mengakrabi  Dago Pakar

Walau hanya “sepelemparan batu” dari kota, hanya beberapa kali saya menyempatkan diri menikmati keasrian hutan ini. Alasannya sederhana saja, saat masih kecil hutan ini terasa terlalu lebat dan menakutkan, sewaktu SMA saya melihatnya bagai laboratorium biologi yang membosankan dan ketika telah sering menjelajah saat menjadi mahasiswa saya menganggap hutan terlalu manis sehingga akan lebih heroik bila berjalan-jalan di kelebatan hutan alami di Situ Lembang atau Bukitunggul. Hingga suatu saat karena kepindahan kembali ke Bandung, maka saya lebih sering merasakan keasrian suasana hutan ini.

Di kawasan Dago Pakar kerinduan pada gunung dan hutan  itu sedikit terobati. Apakah kami akan kembali melakukan penjelajahan seperti dulu? Mungkin saja..entahlah…., biar insting saja yang nanti menjawabnya, bila getaran-getaran halus itu masih ada. @districtonebdg

 

 

Middle of Nowhere

 

 Adopt the pace of nature: her secret is patience. Ralph Waldo Emerson

 

Terkadang walau hanya sendirian di puncak gunung saya tak merasa terasing dari kehidupan walau secara fisik tak ada yang mendampingi di ketinggian ribuan meter. Barangkali   kala itu dunia petualangan sudah lebih menyatu dengan nafas  sehingga  penghayatan itu membantu jiwa melebur dengan alam disekeling. Seolah-olah alam liar itu adalah habitat kita.

To win a war, become a war, ujar Rambo dalam film First Blood. Sesuatu yang patut direnungi  pula dalam menjalani kegiatan petualangan.  Supaya tak merasa asing dengan alam liar manusia harus  menyatukan dirinya dengan irama alam sehingga kesendiriannya menjadi kebersamaan dengan alam. Manusia akan menyadari bahwa dirinya bukan sekedar individu dengan kepribadian yang terpisah, namun merupakan bagian yang menyatu dengan alam raya.

Lebih peka

Di keheningan itu, indra menjadi lebih tajam dan jernih. Kepekaan kian kuat memaknai kehidupan diri sendiri dan sekitarnya. Bahasa-bahasa dari dunia di luar manusia akan mulai terbaca. Udara yang bergerak, air mengalir, desir pepohonan dan aroma tanah basah,  semuanya memberi arti.

Maka pantas bila binatang liar mulai turun dari lereng gunung berapi beberapa saat sebelum gunung itu meletus. Mahluk yang hidup di tengah alam liar  memahami bahasa-bahasa alam yang tak terucapkan. Sebuah bahasa alam yang universal sebenarnya namun tak bisa kita terjemahkan karena manusia kerap merasa terasing dari alam.

Kapan terakhir anda merasa tak terasing kala berada disuatu mall yang sesak oleh pengunjung? Disaat masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri dan tak memperhatikan yang lain. Banyak orang lalu-lalang disekitar namun sebuah rasa sepi menyelinap di hati. Secara tidak sadar orang malah waspada pada lalu lalang dan mengawasi area privat berdiameter setengah meter di sekitarnya.

 

Middle of nowhere

Namun seringkali terasa tak jauh beda kala terdampar di sebuah tempat antah berantah dengan berada disebuah pinggiran kota.  Suasana hening, sunyi dan sendiri di suatu tempat yang jauh dari pemukiman. Anda tidak perlu mendaki salah satu puncak dari seven summits untuk merasakan sebuah kekosongan.

Di tengah perkebunan kina di Bandung Utara, suasana in the midle of nowhere pun dapat dirasakan.  Pada pertemuan kebun kina dengan hutan di lereng gunung Sanggara anda dapat pula merasakan suasana yang dramatis. Saat hujan gerimis, kabut tebal dan dingin mulai merayapi lereng hutan rasanya tak jauh beda seperti berada di puncak gunung.

Sebuah ruang kosong adalah inti dari apa yang dirasakan. Tempat kita bisa memandang luas dan jernih  ke arah manapun di cakrawala, dan yang lebih penting kedalam diri sendiri. Bukankah the most important journey is the journey inside. 

@districtonebdg

Gunung Palasari Menawan Hati

IMG-20160211-00682

Gunung Palasari (1.852 m dpl) memang tak terlalu populer  bahkan bagi warga Bandung, mungkin lebih terkenal nama jalan Palasari sebagai tempat penjualan buku diskon itu. Popularitas gunung ini kurang beken dibanding gunung lain sekitar Bandung seperti Tangkuban Parahu, Bukittunggul dan Manglayang. Salah satunya barangkali karena ukurannya yang lebih kecil dari gunung-gunung yang lain. Namun bila anda memandang ke arah Utara dari kota Bandung akan mudah terlihat sebuah gunung berbentuk segitiga yang sempurna. Itulah gunung Palasari, disebelah kiri belakangnya akan tampak gunung Bukittunggul dan disebelah kanannya adalah gunung Manglayang.

 

Saat pertama kali mendaki gunung Palasari pada tahun 1993  saya harus rela berjalan kaki dari daerah Patrol, desa Suntenjaya, tempat angkutan desa dari Lembang berakhir. Jalan koral yang berdebu itu amat sepi, hanya terik matahari yang menemani perjalanan sepanjang kebun kina itu. Selain jalanan batu yang rusak, jalan ini memang bukan jalur wisata hingga amat jarang dilewati kecuali untuk kepentingan perkebunan. Namun kini perjalanan bisa dilanjutkan dari Patrol dengan menyewa ojek yang selalu mangkal disana, bahkan bila kita membawa kendaraan sendiri maka tinggal meneruskan saja hingga ke kaki gunungnya karena jalan sudah beraspal. Alternatif lain yaitu datang dari arah Ujungberung menuju ke desa Palintang, lalu meneruskannya menuju kaki gunung Palasari. Dari sinipun jalan sudah beraspal hingga banyak kendaraan yang lalu lalang. Setiap hari libur jalur ini merupakan salah satu favorit untuk bersepeda.

IMG-20160211-03074

Bila dulu selalu melewati jalur ini dengan berjalan kaki, kini karena jalan sudah beraspal rasanya lucu juga bila memaksakan berjalan. Selama masih ada akses kendaraan, maka tenaga harus dihemat. Begitulah prinsip saya sekarang, sehingga jalur Cibodas – Palintang kini selalu dilewati dengan menumpang kendaraan. Tak memerlukan kendaraan 4×4 untuk sampai disini,  nanti bisa diparkir di sebuah lapangan luas di daerah yang dinamakan Gunung Kasur. Namun bila menggunakan kendaraan four wheel drive tetap saja kami akan  selalu berusaha menghindari jalan aspal melainkan mencari jalanan koral di sisi-sisi perkebunan yang lain. Setidaknya suasananya masih tak jauh berbeda dengan masa lalu, jadi bisa menikmati sedikit romantisme masa-masa young guns.

Jalan setapak menuju puncak gunung, merupakan sebuah “perempatan” antara jalan koral menuju Pangparang, jalan setapak menuju puncak Palasari dan jalan aspal kebun kina. Bila kita memarkirkan kendaraan di lapangan Gunung Kasur, berjalan kaki di jalan aspal menuju jalur setapak ini tak lama paling hanya lima menit. Dari awal jalur setapak menuju puncak pun tak memakan waktu lama sekitar satu setengah jam dengan perjalanan yang tak tergesa-gesa. Hanya saja karena jarang dilewati jalan setapak kadang kurang jelas dan semak berduri maupun robohan pohon kerap menutupi jalan.

Selain hutannya yang lebih homogen, tak ada yang aneh di gunung Palasari, sama saja dengan gunung-gunung lain disekitarnya. Dulu ada semacam undak-undak seperti kuburan di atasnya. Menurut cerita konon undak-undak itu merupakan peninggalan manusia prasejarah Bandung pada zaman batu besar (megalithik). Sehingga tak heran banyak cerita-cerita dari beberapa penduduk bahwa Palasari adalah gunung yang angker. Memang ditempat tersebut terkadang dijadikan tempat untuk berziarah dan memberikan sesaji. Namun ketika mengunjunginya kembali di tahun 2016 ini sulit menemukannya lagi, mungkin karena sudah terlalu lama juga.

Walau bukan gunung berapi dan  tampak mungil, gunung Palasari sebenarnya menyimpan kekuatan alam yang destruktif. Kawasan ini merupakan salah satu sesar aktif di pulau Jawa yang berhubungan dengan aktivitas gunung Sunda purba. Seperti diketahui setelah gunung Sunda purba meletus dengan dahsyat, disekitar kaki gunungnya tumbuh gunung-gunung parasit seperti Bukittunggul dan Palasari. Daerah ini merupakan ujung timur Sesar Lembang, terletak antara Gunung Manglayang dan Bukit Tunggul. Sesar aktif sepanjang 22 kilometer merupakan retakan di kerak bumi membelah daerah Maribaya hingga Cisarua, beberapa bagian sesar Lembang yang terangkat ini, antara lain adalah Gunung Palasari ( lihat Menonton Gunung Menangkap Awan di Patahan Lembang ) .

Dari arah perkebunan kina, yaitu disekitar daerah gunung Kasur, pemandangan ke arah gunung Palasari merupakan salah satu view paling indah di Bandung. Dari sini gunung Bukittunggul maupun Manglayang tak terlihat karena terhalang oleh bukit-bukit kina, sehingga gunung Palasari tampak megah didepan mata. Saya tak akan bosan-bosannya mengagumi view itu walau telah berkali-kali melewatinya, bahkan membuka bekal makan siang atau meliwet nasi di bedeng yang terletak disitu, sambil ditemani kesyahduan alam di sekitar. Saya memang harus merelakan untuk mengubur romantisme jalur klasik ini, namun setidaknya di beberapa spot tempat yang hanya segelintir orang saja yang tahu, sebuah keindahan masih dapat dinikmati dengan syahdu. Saya merasa termasuk yang beruntung. @districtonebdg