Restorasi Ekosistem Cikapundung Pada Hari Lingkungan Hidup

Restorasi ekosistem dapat mengambil banyak bentuk misal menanam pohon, menghijaukan kota, membangun kembali kebun, mengubah pola makan atau membersihkan sungai. Restorasi bertujuan membentuk generasi yang bisa berdamai dengan alam.

Tema hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2021 adalah Restorasi Ekosistem dimana Pakistan bertindak sebagai tuan rumah global pada tanggal 5 Juni. Pada hari Lingkungan Hidup Sedunia ini sidang umum PBB  meluncurkan deklarasi Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem.

Restorasi ekosistem dapat mengambil banyak bentuk misal menanam pohon, menghijaukan kota, membangun kembali kebun, mengubah pola makan atau membersihkan sungai. Restorasi bertujuan membentuk generasi yang bisa berdamai dengan alam.

Salahsatu cara keberpihakan kita pada lingkungan hidup adalah aktif pada kegiatan kesukarelawanan lingkungan. Siapa pun dapat menjadi sukarelawan. Kita bisa mengikuti kegiatan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan memunguti sampah atau pada acara-acara yang digelar di sekitar.

Pada hari Lingkungan Hidup Sedunia  kali ini, komunitas D1VA Adventure for Women dan Cika-Cika Cikapundung Cikalapa memperingatinya dengan kegiatan bantuan sembako dan bersih-bersih sungai Cikapundung di sekitar PLTA Dago. Kerjasama serupa juga dilakukan tiga bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 22 Maret saat memperingati Hari Air.

Dedengkot komunitas D1VA, Tanti,  mengatakan bahwa bantaran sungai merupakan ruang hijau, bukan tempatnya untuk menampung sampah. Hal ini diamini oleh Ety,  aktifis komunitas Cika-Cika yang mengajak warga sekitar Cikapundung untuk selalu menjaga kelestarian sungai. @districtonebdg

 

Menjelajah ke Cukang Rahong

Saat musim kemarau tiba beberapa bulan yang lalu, kami berkesempatan untuk mengunjungi Sanghyang Heuleut dan Sanghyang Poek. Minggu berikutnya lalu bergerak lebih ke atas lagi, yaitu ke Green Canyon Cikahuripan. Lokasinya sangat indah, namun karena dirasa “kurang berkeringat” dari sini kami bergerak lebih jauh lagi, yaitu ke Cukang Rahong dan Cukang Binbin.

Walau yakin dengan pengalaman tim, namun tidak demikian dengan abah pemilik warung. Beliau serta merta mengutus kakak beradik Kang Hendra dan Kang Budi menemani kami menuju Cukang Rahong.

” Bilih aya nanaon, ” pesannya. Kami manut saja. Sekitar satu jam kemudian dalam cuaca panas ngajeos, tim pun sampai ditujuan setelah meliuk-liuk melewati medan sungai kering dengan bebatuan “sagarede bangsat” kalo istilah para surveyor DO yang memang sering hiperbol.

Diantara tebing beralaskan dasar sungai, kamipun rehat membuka bekal berupa buah alpukat yang tadi dibeli di warung parkiran. Walau cuaca ngajeos, dalam keteduhan tebing sungai dan aliran jernih sisa kemarau ini, sebuah dahaga akan petualangan di Citarum Purba terpuaskan dengan penuh kesegaran.

Aliran sungai Citarum yang dibendung untuk keperluan power house telah membuat beberapa aliran sungai Citarum ini surut, sehingga yang dulunya Cukang (jembatan) kini sudah tidak ada tapi kita bisa melihat jejaknya dengan mengunjungi Grand Canyon Cikahuripan Rajamandala dimana ada beberapa Cukang di sini. Teman-teman tinggal menengadah ke atas sana, lihat tebing di sisi kiri kanannya, bayangkan pada tahun puluhan tahun lalu disana pernah terdapat jembatan yang menghubungkan tebing-tebing tinggi tersebut, sementara jalur setapak yang kita lalui adalah dasar sungainya.

Maka ketika mengunjungi tempat ini, imaji kita mungkin akan berkeliaran membayangkan masa Citarum purba, atau mungkin malah jadi teringat film Flinstone. (2019)

 

Penulis : TB

Citarum Journal : Trilogi Sanghyang Plus Curug Halimun

Dimulai dari kunjungan ke waduk Saguling beberapa tahun lalu. Saat itu mulai mendengar Sanghyang Heuleut yang kabarnya sudah bisa dijambangi dengan trekking 2 jam-an. Sayang, saat itu sedang musim hujan dan kondisi tidak memungkinkan.

Tahun 2019 saat musim kemarau mulai menghampiri, kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang tepat untuk mengunjungi Sanghyang Heuleut dan Sanghyang Poek. Setelah selesai, Minggu berikutnya bergerak lebih ke atas lagi, yaitu ke Green Canyon Cikahuripan. Dari sini kami bergerak lebih jauh lagi, yaitu ke Cukang Rahong dan Cukang Binbin.

The Sanghyang journey berlanjut saling melengkapi dengan explore Sanghyang Kenit, tidak lupa melirik sebentar ke arah Sanghyang Tikoro yang penuh misteri itu.

Lengkaplah sudah jelajah the Sanghyang, menyempurnakan Saguling Trilogy yang membiarkan imaji berkelana ke tahun-tahun dimana air deras mengalir berbaur dengan legenda petualangan arung jeram pada masanya, mengisi katel- katel air berselimut tebing, terbentang sepanjang aliran sungai Citarum yang saat ini dasarnya bisa kita injak dengan leluasa. Saguling Trilogy acomplished!

Lalu, apakah cerita Citarum ini berhenti sampai di sini? Tentu tidak.

*****

Rencana survey ke Curug Halimun sudah bergulir sejak dua bulan lalu sejak terdengar kabar kawasan ini sudah dibuka dan dikelola warga sekitar. Posisi curug ini terletak antara Cukang Rahong dan Sanghyang Heuleut.

Jadwal survey tertunda tatkala ada dari kami yamg harus menuntaskan dahulu proses menjadi relawan uji klinis vaksin covid 19.

Ketika ada event Kamis MODO (Mom’s Day Out-door) jadilah sekalian saja menuntaskan bonus dari Sanghyang Trilogy ini, sehingga akhirnya kami pun ikut melakukan survey ke curug Halimun. Kesimpulan dari trek dengan view yang luarbiasa ini adalah, singkat saja, pondok tapi nyugak.

 

Penulis : Tanti Brahmawati

Uniknya Favela Babakan Siliwangi di Cikapundung Trail

Favela adalah bahasa Portugis untuk daerah kumuh dan berkonotasi pada perumahan kumuh yang menempel di pebukitan kota-kota besar di Brasil terutama di Rio de Janeiro.  Warga yang hidup di kawasan favela berpenghasilan rendah sehingga hanya bisa menempati rumah-rumah yang sempit berdesakan. Meskipun demikian konturnya yang di pebukitan menjadikan favela sangat unik. Ekspose media juga telah menjadikang favela mendapat tempat yang khusus dalam aspek wisata kota di Ro de Janeiro. Turisme telah mempengaruhi kehidupan favela atau justru sebaliknya? Yang jelas semakin banyak kreatifitas seni dan budaya yang tumbuh dari kawasan kumuh ini, dan pada gilirannya memperkuat daya tarik favela sebagai lokasi tujuan wisata kota.

Kriminalitas berkembang dalam budaya favela yang kumuh, namun tata kota pemerintah Rio de Janeiro sudah tak bisa memungkiri keberadaannya. Daripada gusur menggusur yang akan membawa banyak masalah, pemerintah kota lebih memilih membangun berbagai fasilitas antara lain kereta gantung untuk memberi kehidupan lebih baik bagi warga favela. Kriminalitas yang berkembang tetap diperangi dengan program yang disebut pasifikasi.

Di beberapa kota di Indonesia seperti Malang dan Yogyakarta juga telah berkembang kreatifitas untuk mengubah kawasan kumuh menjadi destinasi wisata seperti di Kampung Pelangi, Yogyakarta dan Kampung Warna-warni, Malang. Pada dasarnya setiap kota pasti memiliki kawasan kumuh, namun kemudian tergantung kreatifitas warga dan pemerintah untuk membalikkan kekumuhan itu menjadi daya tarik wisata.

Kawasan Babakan Siliwangi  terletak di bantaran sungai Cikapundung, merupakan daerah yang padat penduduk sehingga rumah-rumah seperti bertumpuk. Kawasan ini terlewati dalam Cikapundung trail, sehingga entah sudah berapa kali kami lewat sini. Kala pertama melewatinya, yang teringat adalah favela-favela di Rio de Janeiro, Brasil yang malah menjadi ikon kota itu. Lalu ketika kota-kota seperti Yogyakarta dan Malang telah mulai merevitalisasi kampung-kampung kumuhnya menjadi lokasi wisata tanpa menggusur, menjadi tantangan warga kota Bandung untuk berbuat serupa. @districtonebdg

 

foto – Lia Budiman

Waterfall Trail di Parongpong : Jalur Eksotis dengan Deretan Curug nan Indah

IMG-20160624-WA000

Masih tentang Sukawana, sebuah wilayah di sekitar Parongpong Lembang. Setelah minggu lalu ngabuburit menuju Tower puncak Tangkuban Parahu (lihat Tower Tangkuban Parahu yang Bersejarah), maka pada hari Kamis tgl 23 Juni 2016 bertepatan mengakhiri sepuluh hari kedua bulan Ramadhan, kami melakukan penjelajahan Safari Ramadhan alias hiking ngabuburit dengan jalur melalui CIC (Ciwangun Indah Camp) mencari pertemuan jalur dengan trek Sukawana yang beberapa minggu sebelumnya sudah dijelajahi.

Disambut bayangan matahari sore yang mulai memanjang, yang menandakan siang mulai bergeser menuju sore hari, kami berempat mulai melangkahkan kaki meniti tangga batu yang menuju area outbond CIC. Tiket masuk per orang kesini Rp 10.000,- dan parkir mobil Rp 5.000,-.

Selang lima belas menit setelah menyusuri taman hutan buatan, kami mulai memasuki kawasan hutan semak dan beberapa batang pohon pinus.

Udara yang sejuk yang menjadi ciri khas wilayah utara kota Bandung sangat membantu kami menanggulangi keringnya tenggorokan akibat puasa yg sedang kami jalani, bahkan seorang rekan sejawat perjalanan sempat membayangkan nikmatnya berbuka nanti dengan kesejukan es campur di alam terbuka…glek..

Tidak berapa lama kami berjalan, titik pertemuan jalur yang kami cari pun ditemukan, namun karena perjalanan masih terasa tanggung, maka hiking pun dilanjutkan dengan tujuan jalur ‘Curug Tilu’ yang konon mempunyai trek tembusan menuju Curug Layung dan sekitarnya.

11242199_10205501783556451_62561912476079344_oCurug Tilu yang pada kesempatan sebelumnya sempat dikunjungi, merupakan air terjun yang terletak di cerukkan antara Curug Layung dan Sukawana. Lepas dari Curug Tilu kami langsung melanjutkan perjalanan dengan meniti jembatan kayu.

Selang beberapa menit kemudian, kami dibuat takjub dengan trek yang dilalui, sepanjang trek kita ditemani gemericik sungai yang mengalir di bawah kita, hingga beberapa air terjun atau curug menghiasi landscape perjalanan kami, yang menjadi pelipur lapar dan haus oleh pesona alam indah yang tersaji. Sehingga kami bisa katakan jika perjalanan kali ini adalah ‘Water Fall Trail’

 

penulis : Bayu Ismayudi

foto : Erwin Abdulrahman, Bobby Victorio Novaro

Miniatur Air Terjun Niagara di Gunung Halu

13177311_1343177642365530_679079921881671506_nMembicarakan wisata air terjun di Bandung, maka semua akan mengakui Curug Malela Bandung sebagai  salah satu yang termegah. Namun ironisnya juga mungkin yang paling jarang dikunjungi karena letaknya yang terpencil. Curug ini karena keindahannya sering disebut sebagai surga tersembunyi mengingat lokasinya yang sangat terisolir dari ‘peradaban’. Jadilah tempat wisata di kabupaten Bandung Barat ini bagaikan sebuah harta karun keindahan bagi wisatawan. Mereka  yang pernah mengunjungi dan menikmati keindahannya kerap menobatkan air terjun ini sebagai miniatur Niagara, air terjun yang termahsyur sedunia itu.

Curug Malela terletak di Desa Cicadas, Rongga – Gununghalu. Tempat wisata alam di Cililin ini lokasinya memang cukup terpencil yaitu baru bisa dicapai setelah kurang lebih 3 jam berkendara dari pusat kota Bandung. Itupun belum sampai dilokasi curug karena jalannya rusak, alhasil perjalanan harus dilanjutkan berjalan kaki menuju lokasi selama 2-3 jam. Bila enggan berjalan kaki bisa memakai jasa ojek hingga pelataran parkir. Darisinipun lokasi curug belum kelihatan melainkan masih harus berjalan kaki menuruni tangga pavling blok selama 30 menit.  Di beberapa tempat pavling blok nya sudah hancur, menyisakan tanah merah yang licin bila hujan.

 

IMG-20160511-03488Curug Malela ini memiliki ketinggian sekitar 60 meter dengan lebar curug mencapai 70 meter, serta memiliki 5 buah jalur air terjun. Hulu sungainya berasal dari lereng utara Gunung Kendeng, gunung berapi yang telah mati, di sebelah barat Ciwidey.

Setelah rencana yang tertunda-tunda sejak tahun lalu, duaminggu sebelum bulan puasa 2016  kami memantapkan diri menuju curug Malela. Sejujurnya inipun tak murni sekedar menuju curug, karena sekalian mengantar salah seorang personil yaitu Tanti menyelesaikan pekerjaannya di Sindangkerta. Jauhnya perjalanan, itulah yang membuat semangat kami selalu maju-mundur.

” Tilu jam di jalan mah kawas ka Garut wae,” begitu celetukan bernada malas bila membicarakan curug Malela. Jauh memang.

Pada hari yang ditentukan disepakati cek poin pertemuan adalah cafe Farel yang terletak tepat didepan exit tol Bubahbatu. Bila akan masuk ke tol melalui gate Buahbatu, tempat ini sangat strategis sebagai cek point pertemuan.Keluar exit Padalarang, belok kiri menuju Batujajar, darisini kita akan beberapa kali melipir sisi danau Saguling. Warung-warung yang menyediakan ikan bakar seakan melambai-lambai.

Setelah selesai urusan di Sindangkerta, rombongan lanjut ke Gunung Halu dengan tambahan sebuah mobil yang bergabung untuk menjadi penunjuk jalan. Sepanjang perjalanan kita akan melihat pemandangan yang bervariasi dari perkampungan, kebun dan sawah, lalu menjelang Gunung Halu kita akan melewati perkebunan teh Montaya yang hijau menyegarkan mata.

Bagi anda yang berniat mengunjungi tempat wisata yang eksotis ini, berikut adalah rute jalan menuju kawasan wisata Curug Malela.

1.Menggunakan Kendaraan Pribadi

Cimahi -> Batujajar -> Cihampelas -> Cililin -> Sindang Kerta -> Gunung Halu -> Buni Jaya -> (jalan rusak) ->Curug Malela

2.Menggunakan Kendaraan Umum

Terminal Leuwipanjang -> naik angkot atau bis jurusan Cimahi/Cililin. Sampai di Cililin lanjutkan perjalanan dengan naik bus jurusan Gunung Halu/ Buni Jaya. Sesampainya di Terminal Buni jaya ganti ojek menuju desa Cicadas. Setelah sampai pelataran parkir di Cicadas, perjalanan ke lokasi Curug Malela dilanjutkan dengan berjalan kaki. @districtonebdg

Peta-Curug-Malela

Mencari Curug Cilengkrang di Ujungberung

 

1Perburuan curug (air terjun) kembali dilakukan, kali ini target kami adalah Curug Cilengkrang yang terletak di wilayah Ujung Berung, Bandung. Walau bukan curug yang indah atau populer, mencari sebuah curug di dalam hutan atau di kaki gunung selalu merupakan perburuan yang menarik. Kala menemukannya serasa berada di sebuah klimaks cerita, bahkan bila curug itu tak seindah yang dibayangkan. Adrenalin yang menjalar sepanjang pencarian itu telah lebih dari cukup untuk menjamin suatu kepuasan ber-hiking ria.

 

Menuju lokasi curug Cilengkrang tak sulit, dari arah alun-alun Ujungberung ke Cileunyi nanti akan menjumpai jalan Cilengkrang I di sebelah kiri. Perjalanan menanjak sepanjang empat kilometer, awasilah petunjuk jalan maka kita akan sampai di loket masuk ke curug, tak jauh dari arena outbond Manglayang Camp. Tiket masuknya 6.000 rupiah, sudah termasuk parkir  (2015).

2Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam dari gerbang wisata perkemahan curug Cilengkrang dengan menyusuri hutan pinus dan merayapi punggungan bukit yang meliuk-liuk. Curug Cilengkrang ini berupa rangkaian air terjun dalam rentang dua kilometer di sepanjang aliran Sungai Cihampelas. Bila akan menuju puncak Manglayang, jalur setapaknya sebaiknya ambil dari luar kawasan wisata curug, yaitu melalui dua jalan koral yang mengapit kawasan wisata curug Cilengrang ini.

Sungai ini mengikuti alur lembah Gunung Manglayang dari utara ke selatan. Di kawasan ini setidaknya enam air terjun kecil. Oleh warga setempat, air terjun itu pun diberi nama (berurutan dari hilir), yaitu Curug Batupeti, Curug Papak, Curug Panganten, Curug Kacapi, Curug Dampit dan Curug Leknan. Bagi kami sebagian lebih berupa aliran sungai yang menurun dibanding curug.

Setelah melintasi aliran sungai kecil berbatu, akhirnya kami tiba di sebuah curug  yang ternyata tengah mengering. Bayangan kami tentang gemuruh dan cipratan air sebuah air terjun tidak kami dapatkan. Curug Dampit yang terdapat di ujung jalan   setapak tak lain adalah dua air terjun berdempetan, mengalir di dinding batu, sayang airnya sedang surut saat kemi berkunjung.Yang kami temui hanyalah batu lumut bekas aliran air terjun yang mengering. Area sekitar jatuhan air sudah tertutup tumbuhan air pertanda sudah lama spot ini ditelantarkan.

8Sebagian orang akan kecewa bila berharap mendapati curug besar yang indah namun yang didapati hanya rembesan air di tebing. Namun bagi kami berada di sebuah blank spot teramat sepi di tengah hutan ini seperti melongok nirwana.

 

The Expendables : In Search of the Waterfall

IMG-20150404-00882

Hiking kali ini sedikit berbeda dengan sebelum-sebelumnya, tidak ke gunung melainkan menuju lokasi curug (air terjun) yang tersembunyi di dalam hutan. Curug Siliwangi berada di dalam area wisata alam Gunung Puntang, Banjaran.  Terdapat beberapa curug didalam hutan gunung Puntang, namun yang mereka tuju adalah yang terjauh dengan  jarak dari bumi perkemahan sekitar 3,5 kilometer. Kali  para veteran yang bergabung dalam misi hiking adalah Erfan, Bais, Bar, Asnur, Boas, Nurlaela, dan Kang Ferry. Boas yang memiliki sanak family di Banjaran didaulat menjadi danop (komandan operasional) dari kegiatan hiking kali ini. Ia membawa serta dua saudara iparnya yaitu Dadan dan Candra.

Sejak awal yang dikhawatirkan dalam acara hiking di awal bulan April ini adalah curah hujan.  Karakter jalan setapak di gunung Puntang yang sering menyebrangi sungai-sungai kecil di dalam hutan akan semakin menantang bila curah hujan semakin tinggi. Namun walau intensitas hujan masih tinggi hingga bulan ini, semangat tak menjadi surut. Pukul 10.30 mereka memulai hiking, setelah sebelumnya berpesan kepada ibu penjaga warung untuk menyiapkan nasi liwet untuk dinikmati sepulang dari curug.

Dua jam berlalu di dalam hutan, sudah empat kali mereka menyeberangi sungai kecil dengan yang terdalam sepaha orang dewasa. Belum tampak ada tanda-tanda curug, namun gemuruh sudah berdentuman di langit tanda hujan besar akan segera mengguyur. Benar saja, tak lama kemudian hujan besar mengguyur deras. Rombongan berhenti sejenak untuk melindungi diri dengan raincoat. Kamera tv yang dibawa Erfan terpaksa diistirahatkan dan dibungkus dengan plastic untuk melindunginya dari air. Rimbunnya hutan masih menahan curahan debit air yang luar biasa dari langit, namun setapak di dalam hutan berubah menjadi selokan. Walau dilapis raincoat, basah tak akan terhindarkan.

Sejam kemudian barulah mereka tiba di Curug Siliwang yang sempurna tersembunyi di dalam hutan.  Boas segera mengeluarkan flysheet dan membuat tempat berteduh darurat, selain untuk sedikit menjinakkan guyuran hujan juga agar kamera tv bisa dioperasikan. Sayang sekali bila curug yang megah ini luput didokumentasikan karena cuaca buruk, karena factor cuaca sudah harus dipertimbangkan sejak awal. Peralatan masak pun dikeluarkan dan bahan-bahan masakan disiapkan. Tak berapa lama aroma indomie dan parafin tercium, mengingatkan semua orang pada aroma diklat. Kopi panas dan asupan makanan ini segera memberi tambahan semangat bagi rombongan yang sedang kedinginan.

Tak banyak yang dapat didokumentasikan dalam hujan deras, namun setidaknya beberapa footage terselamatkan. Tim segera packing untuk kembali ke warung. Kini yang dikhawatirkan adalah debit sungai yang airnya sedingin es, semoga arusnya tak terlalu deras untuk diseberangi.  Syukurlah dengan perjalanan ekstra hati-hati walau arus sungai semakin deras dapat dilalui dengan lancar. Perjalanan pulang ke pangkalan ini dilalui dengan jatuh bangun, setiap orang bergiliran jatuh merasakan licinnya jalur setapak yang luber oleh air hujan.

Pukul empat sore barulah rombongan sampai kembali di warung tempat mereka memulai hiking. Rupanya empunya warung sudah mempersiapkan nasi liwet pesanan satu panci besar. Goreng tahu, jengkol dan ikan asin yang masih panas tampak terhidang pula. Tak ketinggalan sambal dadakan dan lalab segar menyemarakkan suasana.  Setelah melewati perjalanan yang cukup menguras tenaga, sambutan ini benar-benar sebuah ending yang manis.

 

Cikapundung Trail di Kawasan Dago

 

Siapa yang tak mengenal kawasan Dago di kota Bandung? Sepanjang jalan yang menjadi ikon kota Bandung itu tiap hari selalu ramai oleh berbagai kesibukan. Pada hari biasa kawasan sepanjang jalan ini akan ramai oleh berbagai aktifitas  seperti factory outlet, kuliner, sekolah, kantor dan pertokoan. Pada hari Minggu akan semakin ramai dengan adanya car free day  dimana warga kota dan turis tumpah ruah meramaikan suasana Minggu pagi.

Namun tahukan anda tak jauh dari jalan Dago yang hiruk pikuk  masih ada jalur setapak yang asri dan hijau, tepatnya di sepanjang aliran sungai Cikapundung. Mereka yang ingin melakukan hiking namun enggan jauh-jauh dari kota sangat cocok untuk mencoba jalur yang dimulai dari Curug Dago dan berakhir di Babakan Siliwangi ini. Trek hiking sepanjang empat kilometer dengan waktu tempuh tak sampai dua jam ini akan cukup membuat badan berpeluh dan hati riang dengan  tanpa merogoh kocek besar.

Medan yang dilalui sepanjang perjalanan beragam mulai dari hutan bambu, semak, perkampungan, sawah dan juga kuburan.  Kontur berbukit-bukit akan membuat kita naik turun di sepanjang aliran sungai ini.  Kondisi aliran sungai sepajang perjalanan juga berubah-ubah dari aliran dangkal, jeram, bendungan kecil, dan air tenang yang sering dimanfaatkan untuk memancing. Supaya tak tersesat kala menyusuri jalur ini, tetaplah berada tak jauh dari tepian aliran sungai Cikapundung, jangan terlalu jauh berjalan melambung. Untuk mendapatkan jalur yang  lebih jelas, dari arah  Curug Dago sungai akan selalu berada di sebelah kiri kita.

Jalur jalan setapak ini berakhir di desa, dan setelah melewati desa kita akan sampai di sebuah dam atau sering disebut waterfank. Dari sini hingga taman Teras Cikapundung (Babakan Siliwangi) jalan setapak sudah ditata dengan baik memakai ubin  sehingga nyaman bagi pejalan kaki. @districtonebdg

Aroma Coklat di Citarum

kakao

Pada masanya sungai  Citarum merupakan monster alam dengan kekuatan tak terukur. Amuknya merupakan horor yang dapat melumatkan kehidupan di sekitar alirannya. Demikian pula aktivitas ekonomi terkait sungai terpanjang di Jawa Barat ini pun mencapai skala gigantic. Tak kurang tiga bendungan besar yaitu waduk Jatiluhur, Saguling dan Cirata dibangun untuk menjinakkan raungan monster alam ini.

Para rafter di Bandung tentunya sudah tak asing dengan sungai Citarum. Sebelum  dibendung oleh waduk Saguling, Citarum memiliki jeram-jeram yang disegani karena ganas dan berbahaya. Kini praktis tempat yang terbilang masih layak untuk latihan rafting hanyalah aliran sepanjang satu  kilometer di Bantar Caringin, desa Cisameang. Di tempat ini sudah ada operator rafting bagi wisatawan yang ingin mencoba aliran sungai Citarum. Dari jalan raya Rajamandala, peminat tinggal belok ke arah PLTA Saguling menuju Bantar Caringin. Beberapa kejuaraan rafting dan river boarding berskala nasional maupun  internasional juga pernah diselenggarakan disini

Pertama bersentuhan dengan aliran sungai Citarum saat mulai belajar rafting saya merasa  sangat tidak nyaman. Aliran sungai Citarum seolah  keluar dari balik gunung dengan debit air yang tiada habisnya untuk menerjang apapun yang ada di depannya. Hanya tebing-tebing dan bebatuan kokoh yang mampu menahan gerusan arusnya yang liar. Melihat kami yang gelisah, beberapa senior menenangkan dengan memberi buah coklat yang berwarna kuning kemerahan. Rasanya asam manis dengan daging buah yang putih yang mirip buah manggis. Kesejukan terasa menenangkan beberapa lama setelah melahap buah coklat, entah karena buah coklat itu atau karena merasa terlindungi oleh para senior yang sudah ahli.

Sejak itu kerap sebelum rafting di sungai Citarum kami kerap berhenti dulu  tengah jalan untuk mencari buah coklat yang jatuh ke tanah. Apabila tidak ada yang jatuh terkadang “terpaksa” memetik   buah coklat yang masih menempel di batang untuk bekal cemilan di sungai. Ada berhektar-hektar kebun coklat  di sepanjang jalan yang berliku-liku menuju tepi sungai. Tak apa toh hanya beberapa bulan sekali, kami pikir.

Percaya atau tidak, aroma coklat memang meningkatkan aktifitas gelombang alfa dan beta. Alfa paling umum muncul dalam keadaan santai tapi membangunkan orang dewasa, sementara beta tampak ketika orang melakukan sesuatu pekerjaan mental. Para sukarelawan yang diminta berpartisipasi dalam suatu penelitian di University of Middlesex, Inggris merasakan aroma coklat sebagai  menyejukkan, menyenangkan  dan mereka merasa sangat santai. Aroma coklat secara nyata menekan gelombang teta yang makin banyak hadir saat perintah semakin rumit. @districtonebdg