Lijiang merupakan kota tujuan wisata yang populer di Propinsi Yunnan bahkan diseantero China, diperkirakan lebih dari delapan juta orang turis mengalir kesini tiap tahunnya -sebagian besar turis domestik. Bayangkan padatnya tempat-tempat wisata disini bila gelombang tsunami turis datang. Namun dengan mempelajari tren kedatangan turis, kita tetap bisa melakoni perjalanan wisata yang nyaman di Lijiang.
Dibanding kebanyakan kota lainnya di China, Lijiang cukup terpencil dimana rel kereta sejak puluhan tahun terhenti disini. Walau kini sedang dibangun rel lanjutan ke Shangri La, itu baru akan selesai beberapa tahun kedepan. Kota yang dikelilingi perbukitan ini berudara segar, memiliki sungai yang jernih, dan pegunungan bersalju menjulang dikejauhan. Seperti di kebanyakan wilayah China Selatan, Lijiang memiliki keuntungan berupa iklim sepanjang tahun yang sejuk.
Penduduk asli Lijiang adalah suku Naxi, yaitu satu dari 55 kelompok etnis minoritas di China. Sejarah kota tua ini terekam sejak periode peperangan antar negara (476 SM-221 SM). Baru pada Dinasti Tang (618-907), ekonomi berkembang dan mencapai puncaknya dengan terbentuknya the Ancient Tea-Horse Road -sebuah jalur perdagangan kuno yang kurang populer dibanding Silk Road di Utara. Jalur perdagangan ini memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi dan budaya antara Tibet, Sichuan dan Yunnan. Bagi penggila sejarah, jalur kuno ini terlalu menarik bila dilewatkan begitu saja.
Sebagai atraksi utama kota, Old Town Lijiang terawat dengan baik dan merupakan situs World Cultural Heritages UNESCO pada tahun 1997. Menuju kesini tak sulit, bila naik kereta dari Kunming maka dari stasiun tinggal menumpang bis. Ada tiga trayek bis dari stasiun kereta menuju kota Lijiang, yang melewati Old Town adalah bis berwarna biru no 18 dengan tiket seharga 1 yuan.
Old Town ini dulunya merupakan pusat kota dan terus mempertahankan arsitektur khas dan budaya lokal Naxi. Kesinilah arus utama turis mengalir deras, dimana pada puncaknya jalan-jalan berbatu dijejali turis dari berbagai pelosok negara China. Namun jangan salah, Lijiang tetaplah sebuah kota modern alih-alih kota yang terdiri dari bangunan kayu dan jalan berbatu. Jalan-jalan aspal yang lebar dengan mall dan pertokoan lah sebenarnya yang mendominasi suasana kota dan beragam wisata yang dilengkapi cable car siap memanjakan yuan didompet para turis.
Seperti juga di wilayah China lainnya, tiket masuk ke berbagai kawasan wisata populer di kota Lijiang cukup tinggi yaitu antara lain Old Town (80 CNY ), Looking at the Past Pavilion (50 CNY), Mu Family Mansion (60 CNY). Sementara tempat wisata agak diluar kota antara lain Jade Dragon Mountain (185 CNY), Tiger Leaping Gorge (65 CNY), Jade Peak Monastery (30 CNY)…watch out wahai para backpacker.. namun beberapa lokasi tetap bisa ditelusuri dengan gratis seperti taman, museum, pasar dan tentu saja yang selalu gratis adalah interaksi budayanya.
Salah satu yang membuat terkesan kala pertama menginjak kota ini justru adalah stasiun keretanya yang terletak dipinggir kota. Setelah melewati perjalanan malam dengan sleeper train dari Kunming, saya tak bisa tak mengagumi stasiun yang apik ini. Bangunan modern bercorak etnik ini terletak di atas bukit dengan hutan dibelakangnya dan taman yang asri di depan. Saya bersumpah mencium harum aroma bunga sesaat setelah keluar dari pintu exit nya, yang membuat ingin berlama-lama disini. @districtonebdg
Shangri La adalah sebuah kota di provinsi Yunnan, China Selatan yang berada diketinggian 3200 meter dpl (kurang lebih setinggi gunung Lawu), cukup untuk membuat sedikit pusing bagi mereka yang tak terbiasa ketinggian. Menuju kesini rute paling efisien adalah memakai pesawat ke Kunming lalu dilanjutkan dengan kereta api ke Lijiang kemudian lanjut lagi dengan bis. Maskapai budget seperti AirAsia terkadang membandrol tiket promo untuk rute Kuala Lumpur (KUL) – Kunming (KMG) sekitar 1,3 juta pp.
Beberapa bangunan tampak lebih mencolok dibanding lainnya, seperti terminal bis yang tampak megah di ujung Utara jalan Changzeng Road. Sebuah proyek besar juga sedang dalam pengerjaan di selatan kota yaitu stasiun kereta yang akan menghubungkan Shangri La dengan Lijiang. Proyek yang direncanakan selesai sebelum 2020 ini akan membuat Shangri La semakin mudah diakses turis. Hingga kini hanya lewat udara dan jalan aspal yang mulus yang membawa turis ke Shangri La. Tiket bis dari Lijiang ke Shangri La adalah sebesar 63 CNY.
Menjadikan daratan China sebagai tujuan backpackeran sudah dilakukan sejak 2013 dengan tujuan Guangzhou, lalu Hongkong dan Shenzhen. Namun impian menjadikan China sebagai region yang regular dikunjungi seperti halnya Indochina, harus buyar. Bukan hantaman badai Haiyan yang menghentikan terus bergerak, melainkan hantaman kurs dollar. Walau masih diliputi rasa penasaran, dengan berat hati tour China itu harus shutdown. Salah satu kepenasaran kala itu ialah belum mencoba rute sleeper train antar kota di negara itu.

Kratie adalah kota kecil yang santai di tepi Mekong. Sungai raksasa ini mengalir dari Laos di utara menuju provinsi-provinsi selatan di Kamboja. Wilayah sungai Mekong disini merupakan habitat bagi lumba-lumba Irrawaddy (semacam pesut), beragam jenis ikan, dan burung. Pedesaan Kratie menawarkan pemandangan yang tipikal tepi sungai dengan desa, sawah hijau, dan sekali-kali tampak lumba-lumba sungai

“Bus to Snuol?” kening empunya penginapan sedikit berkerut kala kami menanyakan bus ke kota perbatasan itu. “ I’m not sure…,” lanjutnya, namun ia menjanjikan mencarikan tiket bisnya.
Jalan aspal yang lebar, mulus dan sepi sepanjang 15 kilometer mengantarkan kami menuju gerbang imigrasi Kamboja. Hanya truk yang melintas disini, dan mendekati pos imigrasi tampak antrian truk barang yang memanjang hingga satu kilometer di gerbang perbatasan. Pos imigrasi ini tampaknya hanya dilalui oleh truk-truk niaga. Jelas bukan jalur turis.
Rute darat kami kali ini (21/11/2016) adalah Bangkok-Siem Reap-Phnompenh-Ho Chi Minh, dengan tujuan utama mengunjungi kompleks candi angkor dan wisata kota di Siem Reap. Bila empat tahun lalu datang dari arah Ho Chi Minh, kali ini menjajagi dari arah Bangkok.
Siang hari kami tiba di Hue disambut oleh gerimis dan kabut, Vietnam memang sedang musim hujan saat itu. Bertambah satu lagi ‘kekecewaan’ kepada bus yang kami tumpangi dari Laos ini, karena perhentian terakhir bus ini bukan di bus station (terminal) melainkan di sebuah toko material!! Sesaat setelah menurunkan barang-barang, kami lalu langsung diserbu oleh banyak tukang ojek yang menawarkan jasa mereka. Gaya tukang ojek disini sama dengan tukang ojek di Indonesia : mencoba ‘membantu’ membawakan barang terlebih dahulu, tetapi mungkin karena berat bawaan kami yang diatas rata-rata mereka mencoba melanggar ‘protap’ ini dan langsung menawarkan jasanya dengan bahasa Vietnam yang tidak kami mengerti.
Thakhek merupakan sebuah kota kecil dengan bangunan-bangunan tua didalamnya. Suasana kota ini akan mengingatkan kita pada suasana kota kecil di Indonesia 20 puluh tahun lalu. Hanya saja kendaraan yang berseliweran lebih maju dari kota-kota di Indonesia dimana kendaraan double cabin seperi Isuzu D-Max dan Ford Ranger banyak ditemui. Salah satu ciri khas kota ini yaitu pada landmark bangunannya maupun dari segi kulinernya seperti roti Perancis yang dijajakan mulai dari restoran hingga kios-kios di pinggir jalan. Suhu disini cukup ramah walau matahari bersinar terik pun masih terasa ada sejuk yang menyelinap.