Terperangkap Waktu di Old Town Lijiang

Lijiang merupakan kota tujuan wisata yang populer di Propinsi Yunnan bahkan diseantero China, diperkirakan lebih dari delapan juta orang turis mengalir kesini tiap tahunnya -sebagian besar turis domestik. Bayangkan padatnya tempat-tempat wisata disini bila gelombang tsunami turis datang. Namun dengan mempelajari tren kedatangan turis, kita tetap bisa melakoni perjalanan wisata yang nyaman di Lijiang.

Dibanding kebanyakan kota lainnya di China, Lijiang cukup terpencil dimana rel kereta sejak puluhan tahun terhenti disini. Walau kini sedang dibangun rel lanjutan ke Shangri La, itu baru akan selesai beberapa tahun kedepan. Kota yang dikelilingi perbukitan ini berudara segar, memiliki sungai yang jernih, dan pegunungan bersalju menjulang dikejauhan. Seperti di kebanyakan wilayah China Selatan, Lijiang memiliki keuntungan berupa iklim sepanjang tahun yang sejuk.

Penduduk asli Lijiang adalah suku Naxi, yaitu satu dari 55 kelompok etnis minoritas di China.  Sejarah kota tua ini terekam sejak periode peperangan antar negara (476 SM-221 SM). Baru pada Dinasti Tang (618-907), ekonomi berkembang dan mencapai puncaknya dengan terbentuknya the Ancient Tea-Horse Road  -sebuah jalur perdagangan kuno yang kurang populer dibanding Silk Road di Utara. Jalur perdagangan ini memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi dan budaya antara Tibet, Sichuan dan Yunnan. Bagi penggila sejarah, jalur kuno ini terlalu menarik bila dilewatkan begitu saja.

Sebagai atraksi utama kota, Old Town Lijiang terawat dengan baik dan merupakan situs World Cultural Heritages UNESCO pada tahun 1997. Menuju kesini tak sulit, bila naik kereta dari Kunming maka dari stasiun tinggal menumpang bis. Ada tiga trayek bis dari stasiun kereta menuju kota Lijiang, yang melewati Old Town adalah bis berwarna biru no 18 dengan tiket seharga 1 yuan.

Old Town ini dulunya merupakan pusat kota dan terus mempertahankan arsitektur  khas dan budaya lokal Naxi. Kesinilah arus utama turis mengalir deras, dimana pada puncaknya jalan-jalan berbatu dijejali turis dari berbagai pelosok negara China. Namun jangan salah, Lijiang tetaplah sebuah kota modern alih-alih kota yang terdiri dari bangunan kayu dan jalan berbatu. Jalan-jalan aspal yang lebar dengan mall dan pertokoan lah sebenarnya yang mendominasi  suasana kota dan beragam wisata yang dilengkapi cable car siap memanjakan yuan didompet para turis.

Seperti juga di wilayah China lainnya, tiket masuk ke berbagai kawasan wisata populer di kota Lijiang cukup tinggi yaitu antara lain Old Town (80 CNY ), Looking at the Past Pavilion (50 CNY), Mu Family Mansion (60 CNY). Sementara tempat wisata agak diluar kota antara lain Jade Dragon Mountain (185 CNY), Tiger Leaping Gorge (65 CNY), Jade Peak Monastery (30 CNY)…watch out wahai para backpacker.. namun beberapa lokasi tetap bisa ditelusuri dengan gratis seperti taman, museum, pasar dan tentu saja yang selalu gratis adalah interaksi budayanya.

Salah satu yang membuat terkesan kala pertama menginjak kota ini justru adalah stasiun keretanya yang terletak dipinggir kota. Setelah melewati perjalanan malam dengan sleeper train dari Kunming, saya tak bisa tak mengagumi stasiun yang apik ini. Bangunan modern bercorak etnik ini terletak di atas bukit dengan hutan dibelakangnya dan taman yang asri di depan. Saya bersumpah mencium harum aroma bunga sesaat setelah keluar dari pintu exit nya, yang membuat ingin berlama-lama disini. @districtonebdg

 

Romantisme Sisa-sisa Kota Tua di Shangri La

Shangri La  adalah sebuah kota di provinsi Yunnan, China Selatan yang berada diketinggian 3200 meter dpl (kurang lebih setinggi gunung Lawu), cukup untuk membuat sedikit pusing bagi mereka yang tak terbiasa ketinggian. Menuju kesini rute paling efisien adalah memakai pesawat ke Kunming lalu dilanjutkan dengan kereta api ke Lijiang kemudian lanjut lagi dengan bis. Maskapai budget seperti AirAsia terkadang membandrol tiket promo untuk rute Kuala Lumpur (KUL) – Kunming (KMG) sekitar 1,3 juta pp.

Kota kecil diatas awan ini awalnya bernama Zongdian atau Gyalthang dalam Bahasa Tibet. Sebuah novel karya James Hilton tahun 1933 berjudul Lost Horison, menjadi inspirasi untuk membuat kota itu berganti nama menjadi Shangri La. Entah benar tempat itu yang dimaksud oleh penulisnya atau bukan, Shangri La menjadi magnet para turis karena kekhasan kota tuanya. Namun kota tua dengan bangunan kayu yang berdempetan ini dilanda bencana di tahun 2014 ketika kebakaran hebat menghanguskan sebagian besar bangunannya. Sedikit saja bagian dari kota tua yang tersisa dari malapetaka itu, dan kini sebagian wajah Shangri La tak beda jauh dengan kota-kota yang berkembang secara modern.

Masih ada secuil kota tua yang tersisa, dan kini dilestarikan sebagai heritage dari Shangri La. Berkunjung kesini akan seperti kembali ke kehidupan masa lalu dimana jalanan dari batu dan bangunan dari kayu seakan membuat waktu tak bergerak sejak berabad lampau.  Sisi kota yang modern, sebaliknya sangat identik kota-kota yang dibangun di China yang mengedepankan efisiensi ketimbang nilai artistik dimana jalan-jalan yang lebar berkombinasi dengan bangunan kotak-kotak dengan model yang sama.

Beberapa bangunan tampak lebih mencolok dibanding lainnya, seperti terminal bis yang tampak megah di ujung Utara jalan Changzeng Road. Sebuah proyek besar juga sedang dalam pengerjaan di selatan kota yaitu stasiun kereta yang akan menghubungkan Shangri La dengan Lijiang. Proyek yang direncanakan selesai sebelum 2020 ini akan membuat Shangri La semakin mudah diakses turis. Hingga kini hanya lewat udara dan jalan aspal yang mulus yang membawa turis ke Shangri La. Tiket bis dari Lijiang ke Shangri La adalah sebesar 63 CNY.

Bila berkunjung ke Shangri la setidaknya dua tempat yang dipromosikan secara popular adalah kota tua (Old Town) di sebelah Selatan dan Songzanlin Monestry yang terletak di Utara. Memasuki Old Town tak dipungut biaya, sebaliknya memasuki area biara akan dikutip tiket cukup mahal yaitu 115 NY (sekitar Rp 230.000,-). Kedua tempat ini cukup mudah untuk diakses yaitu dengan memakai bis no 3 yang menghubungkan keduanya. Bagi para backpacker yang memiliki anggaran ketat, mengunjungi biara ini akan cukup memerlukan pertimbangan. Walau merupakan ikon kota Shangri La, beberapa biara Budhis yang indah lainnya bisa dikunjungi dengan biaya minimum, baik didalam maupun diluar kota.

Sebenarnya hal menarik lainnya dari kota yang sejuk ini adalah budayanya dimana akulturasi etnis mewarnai setiap aspek kota. Rumah makan halal tak sulit dijumpai di Shangrila, biasanya ditandai dengan tengkorak kepala Yak didepan toko. Terkadang ada lebih dari tiga rumah makan halal di sebuah jalan. Perpaduan etnis Tibet dan Han, agama Budha dan Islam membuat atmosfer kota yang unik. Dipercaya bahwa kota ini adalah jalur perdagangan kuno yang menghubungkan China dengan Asia Tengah.

Shangri La berada dalam bayang-bayang pegunungan bersalju disekitarnya. Maka tak heran suhu disini sejuk –beku bila dimusim dingin-  dimana bahkan di musim panas pun kasur-kasur di hotel menggunakan lapisan penghangat. Di musim dingin, mutlak perlu membawa baju hangat bila berkunjung kesini. Rumah-rumah makan dilengkapi dengan penghangat ruangan karena suhu dimalam hari bisa sangat turun walau dimusim panas.  Beberapa kuliner tampak berbasis ternak sapi Yak, seperti butter tea milk dan aneka olahan daging Yak. Rasa susu Yak  ini bagi saya tak terlalu jauh beda dengan susu sapi, justru yang memberi kesan adalah yoghurt merk Dali Ranch yang banyak dijual di toko. Botol berukuran 243 ml seharga 6 yuan ini wajib dicoba penggemar yoghurt. @districtonebdg

 

Mengintip Tibet dari provinsi Yunnan, China Selatan

Menjadikan daratan China sebagai tujuan backpackeran sudah dilakukan sejak 2013 dengan tujuan Guangzhou, lalu Hongkong dan Shenzhen. Namun impian menjadikan China sebagai region yang regular dikunjungi seperti halnya Indochina, harus buyar. Bukan hantaman badai Haiyan yang menghentikan terus bergerak, melainkan hantaman kurs dollar. Walau masih diliputi rasa penasaran, dengan berat hati tour China  itu harus shutdown. Salah satu kepenasaran kala itu ialah belum mencoba rute sleeper train antar kota di negara itu.

Beberapa tahun berlalu, momentum untuk kembali ke China muncul di 2017 ini  ketika maskapai AirAsia promo rute Kuala Lumpur – Kunming seharga 1,3 juta pp.  Rute backpackeran di provinsi Yunnan pun disusun termasuk mencoba perjalanan malam dengan  sleeper train dari ibukotanya, Kunming. Perjalanan malam seperti ini menjadi favorit karena sangat efektif untuk menghemat waktu dan ongkos menginap hehe..

Kunming adalah ibukota provinsi Yunnan di China bagian Selatan yang berbagi perbatasan darat dengan negara Laos dan Myanmar. Provinsi yang berbagi perbatasan darat dengan negara-negara Indochina tak hanya Yunnan, provinsi lainnya adalah Guangxi. Bila Yunnan bisa dimasuki lewat jalan darat dari Laos dan Vietnam, Guangxi bisa dimasuki cuma dari Vietnam. Namun kali ini hanya Yunnan yang menjadi tujuan, terutama karena satu hal : provinsi ini berbatasan langsung dengan Tibet, sehingga darisini kita sudah akan bertemu dengan ekor Himalaya berupa pegunungan-pegunungan salju yang menjulang. Perjalanan  ini memang bukan untuk melakukan pendakian, namun pegunungan salju selalu menyenangkan untuk didekati.

Trip kali ini bertujuan mengunjungi kota pegunungan yang oleh sebagian orang sering disebut sebagai “Little Tibet” yaitu Shangri La yang terletak sekitar 640 km ke arah Barat Laut dari Kunming dengan melewati kota Dali dan Lijiang. Obyek wisata yang bisa dikunjungi dijalur ini adalah Tiger Leaping Gorge di Qiaotou, yaitu ngarai yang diukir oleh sungai Yang Tze Kiang dengan kedalaman yang bisa mencapai 4 km. Melakukan hiking di ngarai ini sangat cocok bagi penyukai hiking dan memerlukan waktu dua hari untuk mengeksplorasinya.

Lijiang merupakan kota terakhir yang bisa dicapai oleh kereta -selebihnya masih dalam kontruksi-  sehingga untuk terus ke arah Barat Laut menuju Shangri La atau kota-kota lain yang lebih jauh seperti Deqin harus memakai bis atau van. Jalan darat ini sebetulnya bila diteruskan akan menyambung ke Lhasa, ibukota Tibet, sayangnya jalur darat ke Tibet ini masih tertutup untuk turis. Namun kita tidak tahu beberapa waktu ke depan. Bila rute kereta Kunming – Shangri La yang direncanakan bisa operasional sebelum 2020, maka bukan tidak mungkin rute ke Lhasa pun semakin terbuka. Bila demikian, ini akan menjadi rute darat terpendek menuju Tibet dari Asia Tenggara. @districtonebdg

 

Perjalanan Lintas Empat Negara di Indochina

Sekali merengkuh dayung empat pulau terlampaui, seperti kata peribahasa. Demikianlah perjalanan blitzkrieg di Indochina kali ini dengan melewati negara Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Secara kebetulan, juga melewati beberapa pulau di perairan Mekong.

Perjalanan dimulai dari Bangkok, dengan flight Thai Lion mendarat di Don Mueang menjelang maghrib.  Segera kami menuju stasiun kereta Don Mueang yang terletak disamping bandara favorit ini. Kenapa favorit? Walau fasilitasnya kalah jauh dari Changi, KLIA atau kembaran Thailand-nya , Suvarnabhumi, bandara dengan kode DMK inilah tempat transit utama kala meretas perjalanan darat di Indochina. Lagipula, suasana nya sedikit banyak mengingatkan kepada bandara Soekarno-Hatta di tanah air.

Loh, malah ngelantur bahas bandara 😀  , nah setelah menyebrang jalan menuju arah hotel Amari, tibalah di stasiun kereta Don Mueang. Setelah mempelajari jadwal keberangkatan, segera menuju loket memesan sleeper train ke Ubon Ratchatani. Kereta datang pukul 10 malam, dan karena sudah delay sejam tak lama kemudian kereta malam pun ngacir mengejar jadwal.  Sedikit tips, kalo bisa pilihlah kereta no 23. Tampaknya gerbong kereta ini masih gres diimpor dari China, sangat nyaman walaupun baht kami hanya sanggup memesan kabin kelas 2. Malam dan pagi saya betah nongkrong di restorannya, ditemani kopi dan wifi.

Pagi-pagi sekitar pukur 6:30 kereta tiba di stasiun Ubon Ratchatani yang bersih dan cukup artistik. Saat sedang duduk-duduk santai melemaskan badan, tiba-tiba berkumandang lagu kebangsaan Thailand dari pengeras suara di atap. Segera saja , semua orang berdiri dengan sikap hormat. Yang paling membuat terkejut, mas-mas yang lagi  tiduran memakai sarung disamping saya langsung berdiri tegap sempurna seperti Kopassus. Bukan main.. mungkin bagus juga bila di stasiun Kiaracondong dikumandangkan Indonesia Raya jam 8 pagi.

Dari Ubon perjalanan dilanjutkan ke Pakse di Laos memakai bis, tiketnya 200 baht. Tak lama-lama di Pakse karena enggan kemalaman sampai tujuan, menumpang truk pun dijalani. Menjelang magrib truk tiba di terminal bis Nakasang, darisini memakai perahu menyeberang ke Si Phan Don. Dari sekian pulau disini, kami memilih tujuan Don Det untuk bermalam selama 2 hari.

Usai mengeksplorasi Don Det dan Don Khon, kami bergerak lagi menuju Selatan yaitu memasuki perbatasan Kamboja menuju Kratie. Ini adalah jalur alternative yang brilyan menurut saya, karena menghemat perjalanan enam jam ke Vietnam bila dibanding melewati Phnompenh. Dari Kratie, kota perbatasan Loc Ninh di Vietnam bisa dicapai melalui bis ke Snuol, lalu dilanjutkan ojek. Dari Kratie pagi pukul delapan, kami tiba di Saigon alias Ho Chi Minh menjelang sore, lalu segera menuju kawasan Pham Ngu Lao. Seperti biasa untuk menyesap kopi Vietnam drift yang legendaris itu. Seketika, tubuh yang lemas setelah perjalanan jauh segera dijalari energi kamehameha. @districtonebdg

 

 

Terhanyut Sunset di Kratie

Kratie adalah kota kecil yang santai di tepi Mekong. Sungai raksasa ini  mengalir dari Laos di utara menuju provinsi-provinsi selatan di Kamboja. Wilayah sungai Mekong disini merupakan habitat bagi lumba-lumba Irrawaddy (semacam pesut), beragam jenis ikan, dan burung. Pedesaan Kratie menawarkan pemandangan yang tipikal tepi sungai dengan desa, sawah hijau, dan sekali-kali tampak lumba-lumba sungai

Provinsi  Kratie berbatasan Stung Treng ke utara, Mondulkiri ke timur, Kampong Thom dan Kampong Cham ke barat, dan  terdapat border dengan Vietnam. Ibukota  provinsi adalah kota Kratie yang terletak di Kratie District. Letak Kratie di timur laut Kamboja sebetulnya agak menjauh dari jalur turis yang ramai antara Siem reap dan Phnompenh, sehingga kota ini relatif terpencil dan tidak banyak menjadi tujuan turis.

Kratie lebih banyak disinggahi turis avonturir yang hendak transit ke tujuan yang lebih jauh, misalnya Si Phan Don atau Ratanakiri. Atau mereka yang ingin mencari suasana Mekong yang berbeda dari Phnmopenh. Walau relative tak banyak turis, layanan bus cukup memadai dimana jadwal bis yang konsisten melayani destnas sejumlah kota seperti Stung Treng,Phnom Penh dan Siem Reap.Dari Kratie juga bisa menuju perbatasan Vietnam seperti yang kami lakukan, yaitu dengan melewati kota Snuol lalu menuju Loc Ninh di Vietnam.

Penganan khas yang mencolok dari Kratie hingga Snuol sepertinya adalah semacam ketan yang dimasak dalam bambu yang disebut telan. Harganya 3000 riel (tak sampai sedollar). Rasanya polos sedikit gurih dan membuat kenyang perut dua orang. Sempatkan pagi-pagi berjalan sepanjang Mekong, maka banyak penjual telan ini. Citarasa Khmer chicken luclac yang terhidang kala makan di restoran atau hotel juga bisa membuat ketagihan.

Bila ingin menikmati pemandangan sungai Mekong sambil minum atau bersantap sedikit eksklusif, resto Jasmine Boat layak dicoba. Letaknya ditepi sungai, dengan sebuah dok yang terletak disisinya merupakan tempat boat mengantar turis ke tujuan wisata sepanjang sungai Mekong. @districtonebdg

Si Phan Don Pulau untuk Menyepi di Laos

Si Phan Don (Lao: ສີ່ ພັນ ດອນ; berarti  4000 pulau) adalah kepulauan yang terletak di Sungai Mekong, provinsi Champasak di Laos selatan. Si Phan Don terdiri dari banyak pulau dimana setengahnya akan terendam ketika Sungai Mekong meluap. Pulau-pulau utama dari Si Phan Don adalah Don Khong (yang terbesar), Don Det dan Don Khon. Wisatawan yang datang terkonsentrasi di ketiga pulau ini sementara pulau-pulau lain tetap jarang dikunjungi.

Atraksi yang ditawarkan untuk turis di Si Phan Don sebenarnya sangat beragam mulai dari berenang, memancing, kayaking, bersepeda dan berbagai paket wisata lainnya. Terdapat dua lokasi air terjun -jeram besar tepatnya- yang bisa dikunjungi. Namun yang paling popular (dan gratis!) adalah berinteraksi dalam percakapan yang ramah dengan penduduk. Sedikit saja keluar dari keramaian, kita bisa mendapatkan gambaran kehidupan masyarakat setempat, dengan kultur pertanian padi dan hewan ternak. Beberapa peninggalan kolonial Prancis dan kuil juga terdapat di sekitar pedesaannya. Kesini lah para turis biasanya menjauh dari keramaian, yaitu untuk melihat kehidupan penduduk setempat.

Tak banyak yang perlu dilakukan di Si Phan Don, selain bersantai dengan hammock di teras bungalow kecil di sepanjang tepi sungai Mekong. Darisini kita dapat memandang perairan sungai Mekong yang berwarna hijau  mengalir tenang mengumpulkan tenaganya.  Namun bila anda mengira sungai Mekong selalu setenang ini, tentu saja keliru. Beberapa kilometer dari Si Phan Don terdapat air terjun terbesar di Asia Tenggara dengan gemuruh yang bisa membuat merinding mereka yang paling berani sekalipun.

Menuju kesini dari arah Utara (Laos) yaitu dengan  bus dari kota Pakse biaya sekitar 70.000 kip hingga Ban Nakasang. Harga yang ditawarkan kadang-kadang termasuk tiket perahu, kadang-kadang tidak. Pastikan hal itu dengan agen tempat membeli tiket karena bila tidak kita harus merogoh kocek 20.000 kip lagi untuk perahu.

Mungkin sedang apes, kami datang siang hari menjelang sore di Pakse sehingga hanya bisa melakoni perjalanan ke Nakasang dengan truk! Biayanya 40.000 kip dengan tumpukan barang didepan hidung dan angin menderu dari samping. Setiba di Nakasang, dari terminal bis berjalan lima menit ke pelabuhan kecil di tepi sungai Mekong. Perahu-perahu berjejer untuk bergiliran mengantarkan turis menyeberang ke Don Khon dan Don Det.

Bila datang dari dari Kamboja Anda dapat memakai  bus atau van dari Kratie, Banh Lung  atau Phnom Penh. Perjalanan Nakasang-Phnompenh bisa sangat lama sekitar 12 jam, para traveler merekomendasikan sejenak beristirahat di Kratie, kota kecil yang cantik di tepi sungai Mekong. @districtonebdg

 

Border Crossing Kamboja-Vietnam dari kota Kratie

“Bus to Snuol?” kening empunya penginapan sedikit berkerut kala kami  menanyakan bus ke kota perbatasan itu. “ I’m not sure…,” lanjutnya, namun ia menjanjikan mencarikan tiket bisnya.

Menuju kota perbatasan Snuol memang sedikit modifikasi dari rencana border crossing dari Kamboja ke Vietnam. Saat ini kami berada di kota Kratie, Kamboja setelah datang dari arah Utara tepatnya dari Nakassang, Laos. Awalnya berencana menuju Phnompenh lalu menuju Vietnam melewati perbatasan Bavet-Mocbai yang merupakan jalur utama arus turis antara Kamboja dan Vietnam.

Namun sejak dari Nakassang, sudah terbayang betapa membosankan perjalanan darat siang hari selama 12 jam menuju Phnompenh. Kalau perjalanan malam tak apalah toh bisa tidur, tapi kalau siang cuma bakal melongo di jalan. Akhirnya diputuskan berhenti di Kratie saja, enam jam sebelum Phnompenh. Hotel Riverside Dolphin yang bersahaja di tepi sungai Mekong menjadi pilihan untuk beristirahat.

Dari Kratie nyatanya ada jalur lain untuk meretas masuk ke Vietnam yaitu Snuol menuju Loc Ninh di Vietnam. Kota kecil ini merupakan jalur pertemuan dengan jalan raya dari arah Ban Lung dan Sen Monorom. Ah kenapa tak mencoba jalur ini, lumayan menghemat enam jam perjalanan, daripada harus melambung ke Phnompenh.

Esok paginya seperti yang sudah dijanjikan sebuah tuktuk menjemput kami setelah sarapan, lalu mengantar ke pool bis. Ternyata jaraknya cuma sepelemparan batu, berjalan pun tak masalah. Bis ini hanya terisi empat orang penumpang, tampaknya trayek ke Snuol memang bukan jalur ramai. Perjalanan selama 1,5 jam lalu turun di pool berupa warung diseberang tanah lapang. Karena tampak celingukan layaknya backpacker, awak bis menanyakan apakah tujuan kami akan melintas ke Vietnam. Ketika kami jawab yes, dengan sigap ia memanggil dua ojek.

“Five dollar each,” katanya mantap. Dibayar dimuka.

Jalan aspal yang lebar, mulus dan sepi  sepanjang 15 kilometer mengantarkan kami menuju gerbang imigrasi Kamboja. Hanya truk yang melintas disini, dan mendekati pos imigrasi tampak antrian truk barang yang memanjang hingga satu kilometer di gerbang perbatasan. Pos imigrasi ini tampaknya  hanya dilalui oleh truk-truk niaga. Jelas bukan jalur turis.

Setiba di pos imigrasi Vietnam, tanpa basa basi petugas langsung memberi cap di paspor. Keluar dari kantor imigrasi, sebuah xe om (ojek dalam bahasa Vietnam) langsung menghampiri. Lumayan rejeki pagi-pagi, mungkin begitu pikirnya.

“Five dollar each,” ujarnya seperti sudah bersepakat dengan ojek Kamboja yang tadi. Namun karena bukan pertama kali ke Vietnam, kali ini saya mencoba menawar. Lagipula, sudah tak ada dollar di dompet. Namun bekal mata uang VND (Vietnam Dong) dari sisa perjalanan beberapa waktu lalu masih jaya. Akhirnya disepakati harga 170.000 VND  berdua untuk naik ojek sejauh 18 kilometer ke Loc Ninh . Namun ternyata xeom tak kehilangan jurus, ia pun hanya memakai motornya sendiri.. alhasil terpaksa dibonceng berdua. Xeom ini juga tak mengantar hingga kota, melainkan menepi ke warung di kawasan hutan karet. Lalu nyerocos bicara bahasa Vietnam, disangkanya saya mengerti karena tadi tawar menawar harga.

Namun kurang lebih maksudnya kami coba mengerti, sepertinya bis menuju Ho Chi Minh melewati jalan raya ini. Jadi buat apa jauh-jauh ke Loc Ninh, tunggu saja di warung. Kira-kira begitulah.

“10 dollar,” ujarnya meminta ongkos per orang ke Ho Chi Minh. Lalu ia menunggu di tepi jalan menunggu bis yang lewat menuju Ho Chi Minh. Sementara kami disuguhi teh panas di warung, yang ternyata milik kerabat atau temannya. Sebagai  kesantunan, kami membeli sedikit jajanan yang disediakan di warung.

Setelah menunggu lebih dari setengah jam, sebuah bus antar kota berhenti. Paman ojek sedikit negosiasi dengan kondektur lalu sejumlah VND pun berpindah tangan. Lah, bukannya tadi kami bayar dollar. Ah, rupanya paman ojek ini memang lihai memainkan jurus. Tak apalah, ia sudah membantu mencarikan bis ke Ho Chi Minh dari sebuah tempat middle of nowhere ini. @districtonebdg

 

Perjalanan Darat Melintasi Kamboja

Rute darat kami kali ini (21/11/2016) adalah Bangkok-Siem Reap-Phnompenh-Ho Chi Minh, dengan tujuan utama mengunjungi kompleks candi angkor dan wisata kota di Siem Reap. Bila empat tahun lalu datang dari arah Ho Chi Minh, kali ini menjajagi dari arah Bangkok.

Setelah menginap semalam di Bangkok kami menuju perbatasan Kamboja menumpang kereta ekonomi dari stasiun Hua Lamphong. Bila mendarat dari bandara Don Mueang (DMK), menuju stasiun kereta ini bis naik bis di terminal kedatangan bandara, turun stasiun MRT (subway) Mochit lalu memakai MRT hingga perhentian terakhirnya di Hua Lamphong. Atau lebih mudah lagi, memakai kereta langsung ke Hua Lamphong dari stasiun kereta Don Mueang yang terletak disamping bandara (karcisnya cuma 5 THB !).

Esoknya pukul enam pagi dengan tergesa-gesa karena telat bangun kami bergegas ke stasiun kereta dan membeli tiket ke Aranyaprathet di perbatasan Thai-Kamboja. Harga tiket kereta ekonomi ini sebesar 48 THB yaitu sekitar 18 ribu untuk perjalanan enam jam. Murah bingits…tak heran inilah jalur favorit para turis dari Bangkok menuju Kamboja.

Keluar dari stasiun kereta Aranyaprathet, armada tuk-tuk siap mengantar menuju border. Proses imigrasi berlangsung cepat tanpa ada biaya. Setelah beres dicap paspor di imigrasi Thailand, dilanjutkan berjalan kaki ke pos imigrasi Kamboja. Dari depan pos imigrasi disediakan bis shuttle gratis untuk sampai ke terminal bus kota Poipet dimana bis maupun taxi menuju Siem Reap dan kota-kota lain tersedia. Namun bila kita meluangkan waktu untuk orientasi medan, bis-bis yang lebih murah ongkosnya sebenarnya tersedia di tempat lain. Terminal ini seperti dikhususkan untuk turis asing sehingga biayanya dipatok lebih tinggi. Untuk negara kismin ini, mari kita maklumi saja 🙂

Di perbatasan, sekilas saja sudah terlihat ketimpangan ekonomi kedua negara bertetangga ini. GDP (Gross Domestic Product) Thailand 17x lebih besar dibanding tetangga miskinnya itu. Maklum saja Kamboja  baru sembuh dari carut marut luka perang tak sampai duapuluh tahun lalu kala bunker terakhir Khmer Merah menyerah kepada tentara pemerintah tahun 1998.

Dari kota perbatasan Poipet ke Siem Reap makan waktu paling lama  tiga jam.  Reruntuhan kebudayaan Khmer di Siem Reap menjadi obyek wisata utama di Kamboja dengan komplek candi Angkor sebagai aktor utamanya. Seribu tahun lalu kebudayaan tinggi inilah yang menyinari wilayah Indochina. Namun dengan membludaknya turis kesini, para pengamat yang serius akan melanjutkan kunjungannya menuju ke candi-candi Khmer yang lebih terasing, menjauh dari keriuhan turis yang  terpusat di Angkor Wat, Angkor Thom dan Ta Prom.

Perjalanan darat di Kamboja sangat mengandalkan moda transport bis, karena trayek kereta baru melayani rute Phnompenh-Sihanoukvile dengan pelayanan terbatas. Rute sungai juga bisa melayani Siem Reap-Phnompenh bahkan sampai ke Vietnam, dengan biaya nya berkali lipat namun menjanjikan kesan mendalam.

Setelah melewatkan dua malam di Siem Reap, pada malam ketiga kami menuju Phnompenh lalu melanjutkan ke Ho Chi Minh City melewati perbatasan di Mocbai. Perjalanan bis dari Siem Reap ke Phnompenh memakan waktu selama enam jam, demikian pula Phnompenh-Ho Chi Minh ditempuh dalam waktu relatif sama.

Sebelum perbatasan Vietnam, tepat pada tengah hari kala matahari bertengger di ubun-ubun, bis beristirahat di sebuah rumah makan. Sedikit tips, untuk menyegarkan badan nikmatilah kelapa muda seharga 1 dollar yang berisi jelly dari air kelapanya. Di tengah cuaca Kamboja yang ngajeos, refresment ini terasa menyelamatkan.

Baik Siem Reap maupun Phnompenh tak memiliki terminal bus khusus, sehingga bus-bus antar kota tersebar di poolnya masing-masing. Oleh karena itu lokasi poolnya  di Ho Chi Minh pun berbeda-beda. Tadinya kami berharap akan langsung turun di pool bis kawasan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh tempat para backpacker mangkal. Beberapa operator bus jarak jauh menaikkan dan menurunkan penumpang di kawasan Pham Ngu Lao namun karena poolnya ternyata beda, kami diturunkan di tempat lain entah dimana. Bertujuan ke Pham Ngu Lao, terpaksalah menyegat taxi untuk sampai di jalan favorit ini.

Membandingkan pariwisata Kamboja dengan Thailand atau Vetnam  secara apple to apple  tentu akan terasa kurang fair. Namun walau pariwisata negara-negara tetangganya lebih maju, Kamboja terlalu unik untuk dilewatkan bila kita bicara tentang wisata regional disini. Beberapa wilayah negara Kamboja belum banyak terpublikasi luas, demikian juga banyak jalur darat yang bisa dijelajahi selain jalur populer Siem Reap-Phnompenh.

Beberapa traveler terkemuka mengatakan bahwa alam Kamboja yang sebagian besar masih syahdu ini adalah cerminan Thailand sebelum turis membanjir ke negara itu. Kita bisa membayangkan indahnya. Maka bersegeralah kesana sebelum keheningan itu berubah menjadi hiruk-pikuk seperti kota Siem Reap.  @districtonebdg

 

Sejenak Singgah di Kota Tua Hue

Siang hari kami tiba di Hue disambut oleh gerimis dan kabut, Vietnam memang sedang musim hujan saat itu. Bertambah satu lagi ‘kekecewaan’ kepada bus yang kami tumpangi dari Laos ini, karena perhentian terakhir bus ini bukan di bus station (terminal) melainkan di sebuah toko material!! Sesaat setelah menurunkan barang-barang, kami lalu langsung diserbu oleh banyak tukang ojek yang menawarkan jasa mereka. Gaya tukang ojek disini sama dengan tukang ojek di Indonesia : mencoba ‘membantu’ membawakan barang terlebih dahulu, tetapi mungkin karena berat bawaan kami yang diatas rata-rata mereka mencoba melanggar ‘protap’ ini dan langsung menawarkan jasanya dengan bahasa Vietnam yang tidak kami mengerti.

Setelah berusaha mencari warga yang bisa berbahasa inggris tetapi tidak kami dapatkan akhirnya kami kembali berbahasa isyarat, sadar bahwa tidak ada kendaraan lain selain ojek kami pun menerima tawaran para tukang ojek tersebut untuk mengantarkan kami ke stasiun kereta api, tiga buah motor beserta ransel-ransel besar dan berat akhirnya berjalan dalam gerimis menuju Hue Railway Station untuk mencari tiket menuju Ho Chi Minh (Saigon). Disini beruntung kami menemukan orang yang bisa berbahasa inggris yang membantu kami selama di stasiun, orang yang jujur dan sangat membantu tanpa pamrih menurut saya, seorang pria berumur sekitar 40 tahunan.

Kereta menuju Saigon yang berangkat dari Hanoi akan tiba dan berangkat dari Hue pukul 19.00 waktu setempat. Dengan mempertimbangkan budget yang kami punya kami memilih kelas soft seat, kereta ini menawarkan 4 kelas : bed (soft dan hard), seat (soft dan hard).

Sambil menunggu kereta kami mencoba untuk berkeliling kota Hue menggunakan motor yang kami sewa dengan satu orang penunjuk jalan. Kota tua ini mudah untuk dipahami, patokan utamanya adalah Sungai Perfume yang terletak di tengah membelah kota, kota tua dan benteng di utara dan kota baru, termasuk hotel dan restoran di sisi selatan. Sebagian besar sungai telah dibuat sebagai jalan bagus dan taman dihiasi dengan patung-patung.

Hue adalah sebuah kota di bagian tengah Vietnam dan merupakan bekas ibukota kekaisaran. Hue erat terhubung ke kekaisaran Dinasti Nguyen, yang berbasis di Hue, yang memerintah pada tahun 1804-1945 ketika Kaisar Bao Dai turun tahta mendukung pemerintahan revolusioner Ho Chi Minh.

Kota Hue melewati masa-masa sulit dalam Perang Vietnam ketika direbut oleh VietCong  selama 24 hari dalam serbuan yang dikenal dengan Tet Offensive pada tahun 1968, di mana mereka mengeksekusi sekitar 1.000 orang yang dicurigai bersimpati dengan Selatan (pusat pendudukan Amerika Serikat). Kota ini kemudian menjadi subjek dari serangan pengeboman Amerika Serikat untuk merebutnya kembali. (Hidayat Adiningrat, 2011)

 

Suasana Sepi dan Lengang di Kota Perbatasan Thakhek

Thakhek merupakan sebuah kota kecil dengan bangunan-bangunan tua didalamnya. Suasana kota ini akan mengingatkan kita pada suasana kota kecil di Indonesia 20 puluh tahun lalu. Hanya saja kendaraan yang berseliweran lebih maju dari kota-kota di Indonesia dimana kendaraan double cabin seperi Isuzu D-Max dan Ford Ranger banyak ditemui. Salah satu ciri khas kota ini yaitu pada landmark bangunannya maupun dari segi kulinernya seperti roti Perancis yang dijajakan mulai dari restoran hingga kios-kios di pinggir jalan. Suhu disini cukup ramah  walau matahari bersinar terik pun masih terasa ada sejuk yang menyelinap.

Bila menilik kembali sejarahnya, Prancis menjajah Vietnam, Laos dan Kamboja pada paruh kedua di abad ke-19. Pada tahun 1887 Perancis menggabungkan wilayah Vietnam dan Kamboja untuk menciptakan sebuah koloni yang dikenal dengan French Indochina, Laos sendiri tergabung dalam koloni ini pada tahun 1893. Perancis memberikan kemerdekaan penuh pada tahun 1953 sebagai monarki konstitusional, the Kingdom of Laos. Berakhirnya perang Indochina pertama (1946-1954), mendukung status independen Laos yang mengakibatkan adanya penarikan koloni Perancis di negara tersebut.

Suasana kota Thakhek tidak berbeda jauh dengan kota-kota lainnya di Laos.  Aktivitas masyarakat di kota tidak terlalu banyak. Kebanyakan warga Laos hidup selain dari pekerjaan di pemerintahan adalah dari bertani dan membuka toko-toko di pinggir jalan. Tempat yang dijadikan pusat aktivitas bagi para turis adalah pasar makanan di pinggir sungai Mekong. Menjadi suasana yang menakjubkan ketika menyantap makanan di pinggir sungai Mekong, lalu memandang seberang sungai yang langsung berbatasan dengan kota Nakhon Panom, yang masuk ke dalam wilayah Thailand.

Terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara kota Thakhek di Laos dan kota Nakhon Panom di Thailand. Saat siang mungkin hanya gedung-gedung di Nankhon Panom yang menjadi pembeda antara dua kota di dua negara ini. Namun ketika beranjak malam, kegemerlapan kota Nangkhom Panon, berbanding terbalik dengan kesenyapan dan keremangan cahaya di Thakhek. Laos dan Thailand seakan berlomba membuat gedung bertingkat di pinggir sungai Mekong, namun toh akhirnya negara yang paling kuat ekonominya yang menang.

Thailand lebih maju di bidang ekonomi, namun tentang keamanan, Laos sepertinya lebih unggul. Menarik saat kami melihat kecelakaan motor di jalanan. Bukan kecelakaan yang menarik, namun perilaku masyarakat kota Thakhek sesaat setelah terjadi kecelakaan. Masyarakat Laos adalah masyarakat yang taat pada hukum dinegaranya. Jadi ketika terjadi kecelakaan, mereka tidak saling adu ngotot, mereka biarkan motor yang telah hancur berantakan itu dijalanan, menunggu polisi datang. Sedangkan dua pengendaranya, meskipun salah satu ada yang salah, namun mereka hanya berbincang biasa. Tidak saling ngotot, hal yang tidak saya lihat di Indonesia.

Menurut Bapak Edi, warga Indonesia yang sudah empat tahun tinggal di Thakhek, masyarakat Laos memang taat akan hukum. “Meskipun wanita cantik berpakaian seksi masuk ke hutan sendirian, sepertinya akan aman-aman saja di Laos ini”, katanya sambil tertawa. Namun demikian, bukan masyarakat yang paling berbahaya di Laos, tapi bom-bom yang tersebar luas dimana-mana.

“Dulu saat perang Vietnam, Amerika membombardir kawasan Laos bagian Selatan, karena pasukan Vietnam ada yang menyerang basis Amerika di Vietnam selatan melalui Laos. Dan di antara bom-bom yang dilepaskan itu banyak yang tidak meledak, hanya tertanam di tanah.” tutur Pak Edi. Hal tersebut juga yang akhirnya menjadi masalah serius bagi pertanian di Laos, karena hingga saat ini sudah banyak petani yang menjadi korban bom yang akhirnya meledak di lahan pertaniannya. (2011)

penulis : Alfia Fitri Khairunissa, foto : Maya Rara Tandirerung