Keindahan Beraroma Mistis di Coban Pelangi

Setelah memutuskan untuk trekking ke Coban Pelangi yang berada di kaki gunung Semeru, Pak Wagini memberi instruksi agar kami segera menaiki Jeep. Kembali melewati  Pasir Berbisik, menyusuri padang Teletubbies lagi, memandang  wilayah Jemplang sampai puas kembali. Yay.

“Tinggal 10 menit lagi dari sini”, kata Pak Wagini ketika sampai di Desa Ngadas.

Benar saja pukul 5 sore kami sudah sampai di pintu masuk wisata Coban Pelangi. Wisata Air Terjun Coban Pelangi yang masuk ke wilayah  Desa Gubuk Klakah  Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang ini terlihat sepi. Tak ada kendaraan yang parkir selain Jeep kami.

Kami  lalu membeli tiket, petugas tiket memperbolehkan kami hanya sampai ke spot  selfie area. “Mba,  kita sudah mau tutup, mba boleh sampai di spot selfie aja ya. Kalau ke bawah jalan kaki satu kilometer, Mba akan kemalaman nanti pas baliknya. Saya kasih waktu 15 menit mba harus sudah kembali di sini ya.”

Saya mengangguk saja, lalu mengikuti Pak Wagini yang sudah melaju turun menuju air terjun. Kami setengah berlari mengejar, Pa Wagini ini cepat sekali, mentang-mentang asli orang sini, saya pikir. Track menuju Coban Pelangi sudah tertata, sangat aman, bahkan untuk kegiatan trail running. Tracknya mirip setapak menuju Curug layung di kawasan Sukawana. Kami setengah berlari, gak sia-sia juga sebelumnya  latihan trail running kala persiapan acara District One  Fun Green Run.

Hanya butuh waktu 20 menit untuk mencapai Coban Pelangi. Saya melihat Pa Wagini tersenyum pada kami. “Mba bentar aja ya di sini nya, sudah mau magrib.” Tapi benar kata Pa Wagini, Coban pelangi ini memang terlihat terang walau petang semakin gelap. Mungkin karena airnya tumpah ruah dan bening sehingga bercahaya. Air terjunnya keren banget.

“Airnya dari Semeru ini “ Pak Wagini berusaha mmeyakinkan sumber air deras tersebut.

Kami menikmati waktu di sini hanya sekitar 10 menit. Tapi saya balik lagi karena ingin membuat dokumetnasi berupa video. Nunung dan Novi sudah meninggalkan saya. Saya masih saja termenung memandangi air terjun.

“Enaknya pagi-pagi ke sini ya Pak Wagini,“ saya menoleh ke arah Pak wagini, tapi…hah, sudah tidak ada. Sekilas terlihat  ia sedang menaiki anak tangga sambil menunggu saya. Setengah berlari saya pun mengejar.

Perjalanan pulang ternyata sebaliknya dengan pergi yang kebayakan track menurun.Tentu saja menanjak harus kami lewati , tentu akan menghabiskan waktu, dan tenaga tentunya.  Pa Wagini menunggu saya kemudian mempersilakan saya jalan duluan. Langit belum terlalu hitam, birunya masih terlihat walau gelap, sehingga setapak masih terlihat.

“Asa teu nepi-nepi,” gumamta Nunung gelisah.

Memang perjalanan terasa lama, track seakan tidak berujung, mungkin karena menanjak, ditambah langit menuju gelap. Perasaan was was menghampiri.

Novi tampak diam, tidak banyak bicara. Suasana berubah. Leher saya tiba-tiba merasa merinding. Mata kami berusaha meraba-raba trek karena jarak pandang sudah semakin kabur. Saya menoleh ke belakang Pa Wagini tidak ada. Saya menunggu beliau untuk meminta senter, tetap ia tidak muncul muncul.. Sering saya menoleh ke belakang mencari Pa Wagini.  Tetap tidak terlihat. Lalu kemana Pak Wagini?

Jalanan semakin gelap, pace kami semakin lambat. Batere HP kita semua habis, tidak bisa menyalakan torch. Saya meminta Nunung dan Novi jalan duluan.

“Tungguan Pa Wagini ah, naha jadi gak ada nya” Saya merasa tambah aneh.

Ketika ada belokan saya mencoba melihat ke belakang kembali. Tampak pria bertopi berjaket biru muda melambaikan tangan di kegelapan. Nah itu pa Wagini. Saya pun merasa tenang lalu meneruskan trekking menuju pintu keluar.

Sampai di pintu keluar kami disambut  beberapa petugas berseragam dengan masing-masing senter di tangan mereka. Mereka menyorotkan senter ke wajah kami dan lalu menghitung kami.

“Nah mba-mba datang, kami mau menyusul mba-mba ini tadinya. Sudah semua sampai ya. Bertiga. OK. Mba kan saya bilang mainnya hanya sampai tempat selfie, mba pasti turun ke bawah ya.”

Saya hanya tersenyum. “Tinggal sopir Jeep yang belum sampe, Mas”

“Ya ampun Mba, jalan kaki tanpa senter gelap-gelapan, gimana kalau hilang” salah satu petugas mulai menakit-nakuti.

“Lho kok Pak Wagini udah ada di sini.” Saya menunjuk laki-laki bertopi berjaket biru yang tiba-tiba ada di hadapan saya.

“Saya pedagang di sini mba, buka sopir jeep nya Mba.”

“Hah, kok mirip, jaketnya, topinya.” Saya merasa linglung.

“Lah tadi yang melambai tangan di trek hutan siapa?” Saya semakin penasaran,

Salah satu petugas berbicara bahas jawa dengan seseorang dari balik jeep kami.

“Lho itu pak wagini udah di mobil jeep.” Seru Novi

“Hah,  tadi kan waktu di hutan saya di depan, saya liat Pa Wagini melambaikan tangan di belakang saya,  pakai topi dan jaket biru”

“Saya pulang pake jalur lain Mba, saya liat mba-mba jalan cepat malah bisa berlari, jadi saya tidak terlalu khawatir mba jalan sendiri. Saya gak pake jaket, disimpan di mobil”

Saya tambah terheran-heran.” Whattttaaa, Pa Wagini ini gimana, trekking gelap gelapan kok kita ditinggal, saya nunggu Pa Wagini kan mau ambil senter.”

Pa Wagini hanya tersenyum, “Senter juga saya tinggal di  mobil, heheheh.”

Walau merasa bingung kami segera masuk ke Jeep, meninggalkan misteri. Menyusuri jalan aspal gelap nan sepi menuju Desa Jeru, Tumpang. Tak ada yang bercakap.  Sunyi sepanjang perjalanan, sampai akhirnya Pak Pak Wagini membuka obrolan bahwa di pegunungan yang kami lihat sepanjang trek, ada wilayah yang dijadikan tempat “pesugihan”, terkenal angker, tadi saya gak cerita takut mba mba gak mau turun ke bawah.

Lalu ia meyalahan music player,  Via Vallen pun bernyanyi.

“Nah ini bikin better Pa Wagini. Gak terlalu sepi. Nanti kalo ada tempat makan kita berhenti ya” pinta saya.

Akhirnya semangkuk soto lamongan hangat menutup perasaan kami yang tidak tentu. Mungkin juga kami terkena halusinasi efek perut lapar. Entahlah, Bagi kami perjalanan trekking ke Coban Pelangi tidak akan kami lupakan. Tetap menyimpan misteri.

Alam memang bisa menjadi sahabat karib yang menyenangkan dan menggembirakan, tetapi bisa juga tiba-tiba berubah menjadi monster yang menakutkan.

 

TB

18.09.18

 

 

Serasa Negeri Highlander di Bromo

“Mba-mba, ini ransel-ransel nya jangan lupa dibawa” Pa Arif menghampiri dengan ransel kami di tangannya,

“Lah untuk apa Pa Arif, kan nanti juga balik lagi ke sini?” Nunung heran.

“Ya untuk difoto di sana, biar keliatan keren.” Gubraaag…mungkin beliau kepincut melihat backpack Osprey Momentum dan Gregory Maya yang kami pakai #eh .

“Jangan lupa diirit batere HP-nya, matiin aja dulu, percuma kok gak akan dapat sinyal, di sini aja kadang ada kadang hilang kan,” pesannya. Hmmm…betul juga, baru ngeh di Desa Jeru ini saya memang kadang mendapatkan sinyal kadang enggak.

Kami diantar oleh Pak Wagini, sopir Jeep yang super  ramah abis dan sedikit bicara tapi nyetirnya bak roket. Beliau akan menemani kami  selama 6-8 jam perjalanan.

“Pak, berapa lama lagi kita sampai?”

“Deket Mba dari sini, cuman satu jam, ke Coban Pelangi lebih dekat lagi, paling 20 menitan, nanti  trekkingnya bisa cuman 30 menit sih kalo buat mba-mba yang kayaknya sering hiking.” Wow tau dari mana dia..

“Tapi kita nanti ke Bromo dulu aja ya Mba, ke air terjun kalau keburu aja. Jarang sih wisatawan yang mau trekking ke air terjunnya, biasanya cukup ke Bromo, Ranu Pane kebanyakan. Kalau malam-malam ke air terjun juga saya  masih berani kok, sejak kecil saya tinggal di daerah situ. Tenang Mba, ada kok senter di sini, ” kata Pa Wagini meyakinkan.

Sepanjang perjalanan menggunakan Jeep yang agak  ngebut ini, kami disuguhkan pemandangan yang indah, sejuk, dan sunyi. Perjalanan dari Desa Jeru menuju Bromo ini relatif sepi, jarang berpapasan  dengan wisatawan lain. Tibalah kami di wilayah dengan bentangan alam maha luas, tak henti-hentinya memandang penuh rasa kagum.  Lereng-lereng tinggi berwarna hjau membentang seperti telaga luas yang ingin diarungi. Sempat kepikiran pengen jalan kaki sampai sejauh hamparan  yang membentang itu habis. Menurut  Pa Wagini, hamparan lereng  tersebut merupakan pertemuan lereng antara Tumpang, Bromo, dan Semeru. Oh iya, jadi ingat film Higlander, membayangkan  hamparan lereng yang membentang luas itu dijadikan setting adegan adu perang para ksatria.

Benar kata Pa Arif suasana sore di Bromo ini sepi. Di bukit Teletubies pun hanya jeep merah kami yang  “melantai”. Menyenangkan memang melakukan roadtrip dengan jeep ini apalagi masing masing dari kami sering diselingi lontaran joke joke ringan. Di perbatasan savana  juga hanya 1-2 Jeep yang beroperasi membawa turis. Mungkin faktor ditutupnya pendakian gunung Semeru berpengaruh pada sepinya pengunjung.

Savana,  bukit Teletubbies, Pasir Berbisik, dan Pura  di bawah kawah  pun kami explore. Ketika sedang berfoto ria, sekelompok masyarakat suku Tengger melintasi kami dengan menaiki mobil truk. Mayoritas dari mereka perempuan.  Kami tersenyum ke arah  mereka , mereka balik tersenyum seraya melambaikan tangan. (Kok rasanya bahagia ya bisa saling berbalas senyum dengan penduduk lokal.. )

Sayang, kami tidak sempat menaiki tangga menuju Kawah Bromo, hanya terlihat 1-2 orang yang  mengunjungi kawah. “Mba mba kalo mau naik silakan, saya nunggu di warung aja, paling turun lagi sampai  sekitar jam 5.30, gak apa-apa agak  sampai sore juga.”

Saya, Novi, Nunung, dan Pak Wagini pun berunding.  Lalu kesimpulannya, “Ah daripada duduk-duduk disini aja, mending kita ngejar ke  Coban Pelangi… kekejar gak nih kita?”

“Kekejar lah .” Pa Wagini dengan senyumnya yang santai membuat kita yakin bakalan ada petualangan baru yang seru terjadi. Kami pun menaiki Jeep lagi, mengejar momen di Coban Pelangi. See you in Coban Pelangi…!

 

Penulis : Tanti Brahmawati

 

 

 

Backpacking or Flashpacking? Tak Ada Kata Terlambat ke Bromo

Rencana flashpacking ke Bromo ini bisa dibilang mendadak  yang kemudian  disertai dengan tak henti-hentinya  kami  harus menjawab beragam pertanyaan keheranan dari teman teman terdekat. “Oh kalian teh belum pernah ke Bromo? Kemana aja selama ini?” Salah seorang teman berseloroh yang  dijawab, “Iya kan  mumpung ada kesempatan nih. Anak-anak kan udah gede, udah bisa ditinggalin”.

Lalu pertanyaan lain, “Kalian dulunya gak pernah main ya, sekarang baru mulai addicted?” Jawaban bersahaja pun keluar dari mulut saya,  “Iya kan dulu rajin kuliah, sampai lupa main”.

Ada juga pertanyaan “Orang lain mah udah dari kapan backpackingan, ini klean baru sekarang.“ “Oh iya, kan dulu kita memang berdompet tipis, apalagi jaman kuliah, boro-boro buat backpakingan, buat hidup di kostan juga pas-pasan.  Kan sekarang udah dapet uang sendiri jadi bisa bebas mau pergi kemana juga.” Jawaban yang sebenernya bertolak belakang dengan pemesanan tiket KA kelas  ekonomi 😀

Jadi  sebenarnya  kami ini emak-emak yang ingin main agak jauh tanpa mengambil cuti kerja terlalu lama, sekalian merayakan ultah Saya dan Novi yang kebetulan bertepatan di akhir Januari lalu.

Dengan anggaran ala emak-emak yang harus mepet-mepetin isi dompet,  akhirnya kami memulai perjalanan dari KA Bandung dengan menggunakan KA malam  Malabar kelas Ekonomi.  Ya sudah, jadinya kita namai  perjalanan ini flashpacking to Bromo, karena memang perjalanan dipersingkat dan terjadwal, beda dengan backpackingan sejati yang banyak jeda hari untuk lebih explore mencari pengalaman  perjalanan .

Setelah diburu waktu dan rasa deg-degan karena gojek yang ditumpangi  Nunung  tiba di stasiun Bandung pada  injury time (sampai petugas pun tidak sempat  mengecek kartu identitas),  akhirnya kami  masuk gerbong  beberapa detik sebelum KA melaju. Tentunya dengan wajah pucat pasi dan HP yang habis batere di tangan, belum lagi mendengar teriakan saya untuk berlari  kencang, Nunung hampir seperti Keanu Reeves  dalam adegan  film Speed, yang berlari kencang bak angin.

Kereta melaju, dan kami  masih mencari kursi, sambil mengusap dada tertawa terbahak Nunung  melontarkan joke,  “ Mun urang katinggaleun , didinya arek angger indit?” What a drama….

Esok paginya kami sampai di Stasiun Kota Lama Malang. Perjalanan 18 jam membuat pantat merasa teriris, dan jalan-jalan pagi sepertinya obat yang mujarab.  Sesuai itinerary,  singgah sebentar  ke Kampung Pelangi (Tridi) yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Di seberangnya  ada perkampungan dengan bagunan  bangunannya didominasi  cat berwarna biru, ternyata itu Kampung Arema . Udara kota Malang yang tidak jauh beda  dengan Bandung tampak agak terik di pagi  itu. Keistimewaan kampung  Tridi ini sebenarnya terletak di cat rumah yang  berwarna warni bak warna pelangi dan lebih tertata,  kalau di Bandung  selintas suasananya  seperti  kampung di daerah  Tamansari-Cihampelas.

Jam 10 pagi kami sarapan pagi di Toko Oen yang terkenal itu, walau mendapati waitress dan cashier yang rada-rada jutex, kami memilih pura pura  gak bête asal kami bisa istirahat lebih lama di sini.  Rencana makan pagi di Toko Oen ini agak melipir dari rencana semula karena tadinya kami akan sarapan di terminal bus Arjosari  untuk  kemudian menaiki  angkutan umum  menuju  Tumpang. Karena ada yang bilang  entah siapa…  belum  ke Malang kalo gak mampir ke Toko Oen ini (padahal gak apa-apa gak mampir juga kayanya).  Dari sini kita  yang awalnya mau naik angkot ke terminal Arjosari berganti rencana menjadi naik Grab Car. Drivernya masih muda, bersih,  dan baik hati melayani ibu-ibu backpacker.

”Backpakingan nih Mba?” si mamang driver mencoba ramah sambil melirik ke backpack kami  “Liat di aplikasi tujuan Mba mau ke Arjosari , trus kemana Mbak ?” Saya yang duduk di depan menjawab mewakili teman-teman “ Mau ke Bromo, tapi via Tumpang .“ “Udah dapet travel agent buat Jeep- nya, Mba?” “ Gak pake travel agent sih Mas, tapi ada kenalan baik kakak saya yang nanti akan mengantar  kami ke Bromo, dia tinggalnya di Desa Jeru Tumpang.”  “Oh kalau gitu udah aja saya antar langsung ke sana, kayaknya sekitar 40 menitan dari sini,” ia menawarkan.

Hmmm..setelah  terkantuk kantuk  karena kesulitan tidur didalam kereta, rasanya kurang elok juga  kalau memaksakan ke terminal lalu mencari angkutan umum ke Tumpang. “Ok lah  Mas kalau gitu, nanti kita tambah aja ya biayanya. “ “Boleh mba,  bisa mba liat aja ya di aplikasi, berapa rupiahnya.” Siiip, saya pun lega karena bisa istirahat juga.

“Eh tapi backpackingannya jadi gak sempurna dong?”” Wait..maksudnya?..“Iya kan jadinya pake grab gak from terminal to terminal,”  Ya ampuuun… gara gara komen terakhir itu membuat  saya akhirnya masih juga dibingungkan oleh istilah backpacking dan flashpacking. Ah yang penting sampai ke tujuan dengan selamat.

Sampai di  Desa Jeru ia masih bertanya pada saya apakah betul  itu desa yang dituju. Tapi kemudian setelah melihat ada  Jeep berjejer di depan alamat tersebut, tampaknya kekhawatiran dia pun hilang.

Sebetulnya Desa Jeru ini posisinya sudah melewati Kota Tumpang, sangat strategis  untuk transit  meneruskan  perjalanan ke Semeru maupun Bromo. Di rumah Pa Arif  kami beristirahat. “Pa Arif nya lagi ngantar tamu ke Bromo, Mba Tanti, nanti jam 2 an balik.” Pa Arif adalah owner beberapa jeep yang disewakan pada para turis. Istrinya yang dari sejak kami masih  di perjalanan menelepon saya, menyambut kami dengan ramah, ternyata dia adalah pengelola travel juga.

“Trus kita ngapain di sini, kan ke Bromo nya nanti malam?” Novi bertanya. “Istirahat aja dulu gogoleran sambil ngecharge HP, mandi we.” Nunung mengusulkan

Bu Arif mengajak saya berkeliling memperlihatkan guest house yang sedang ia bangun, “Sayang ya Mba mau ke Ranukumbolo tapi wilayahnya sedang ditutup, rehabilitasi, lumayan lama. Tahun depan ke sini aja lagi, sekalian coba nginap di guest house baru, Insha Allah cepat beres ini.”

Tak lama Pa Arif datang lalu sesuai arahan beliau sebaiknya kami jalan siang-sore ke Bromo via Tumpang, karena akan lebih indah view nya di sore hari.

“Mba mba akan kenyang nikmatin suasana, gak terlalu panas juga.  Sekarang musim hujan, udah berminggu-minggu kami tidak melihat sunrise,  percuma kalo malam ke sana, hujan iya, gelap gak keliatan apa-apa, kalo sore enaknya  sepi tidak penuh oleh pengunjung. Tapi kalo mba penasaran mau malam berangkat ya siap-siap bangun aja jam 1 nanti”.

Bromo, here we come.

 

Penulis : Tanti Brahmawati

Balada Survey, dari Lone Wolf Hingga Lion Pride

If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together

Ada kalanya perjalanan meretas jalur petualangan baru terdiri dari para penggiat yang sudah tak diragukan lagi asam garamnya seperti kala pertama ke gunung Fansipan tahun 2011. Bersama lion pride  ini, tak ada keraguan sama sekali bahwa puncak Indochina yang kala itu masih misterius akan dapat segera dicapai. Namun dilain waktu menuju tempat yang infonya remang-remang seperti pegunungan di Yunnan, dengan sedikit cemas hanya sendirian saja berlenggang kangkung.

Begitu pula kala survey curug Siliwangi di kaki gunung Puntang, tim berkekuatan penuh dengan santai menyebrang sungai menerobos hutan namun disaat lain sebagai lone wolf  saja celingukan diantara labirin pinus Jayagiri – lalu nyasar 😀 . Artinya, survey adalah sebuah aktifitas dalam kategori show must go on.  Hanya sendirian pun tak menjadi batal, walau biasanya tim yang efektif adalah 2-3 orang. Dituntut sedikit militansi terutama pada cuaca buruk, nyasar dan perubahan rencana yang tiba-tiba. Kalau anggaran yang mepet sih memang sudah biasa hehe.

Akan beda halnya dengan program reguler seperti hiking ceria, hiking for therapy atau backpackeran biasa dimana kenyamanan berkegiatan lebih diutamakan mengingat terbuka untuk peserta baru yang belum terbiasa ngapruk . Bila cuaca buruk atau jadwal yang bentrok maka dengan mudah bisa direskedul… gitu aja kok repot…  😀 Bahkan kadang lebih penting untuk COD barang jualan bila ada agan-agan yang mau beli barang 🙂 Namun jangan lupa bahwa program reguler pun destinasinya bukan tempat wisata mainstream, jadi beberapa kenyamanan khas tempat wisata bisa jadi sulit ditemui.

Bahkan dalam program reguler pun, bila tak ada peserta lain maka sendirian pun tetap berangkat untuk membiasakan diri menjadi pejalan mandiri. Hal itu penting bila kelak harus terjun seorang diri di tempat asing antah berantah nantinya (suatu hal yang sering terjadi). Jangan terlalu berharap dibekali info selengkap-lengkapnya bila sendirian tour of duty ke negara asing, bila banyak bertanya paling dijawab.. “nya kumaha lah we carana” 😀 😀

Seperti diketahui, aktifitas kegiatan DistrictOne atau kini DO Adventure lebih berfokus pada backpacker di Indochina dan hiking sekitar Bandung dengan segmentasi budget. Tentu akan adapula petualangan yang sedikit menyimpang dari kategori itu dengan berbagai alasan, misalnya promo tiket murah yang sulit untuk diabakan hehe.. atau bahkan sebuah survey yang harus terlaksana at all cost. Namun tentu saja hal itu cukup jarang terjadi.

Rasakan dalam diri Anda apakah ada adrenalin yang berdenyut atau mendambakan ketenangan suasana alam saja, lalu pilihlah dengan bijak sesuai dengan kenyamanan program-program back to nature dan budget traveling yang tersedia. Jangan salah pilih…. 🙂 Pada beberapa kesempatan, selalu ada peserta yang salah kamar sehingga ciut kala hujan badai di hutan namun pada kesempatan lain merasa penasaran “kok cuma gini?”. Tapi hati-hati, jangan cepat menyimpulkan sebelum kegiatan benar-benar selesai.. bisa-bisa alam mebalikkan keadaan pada injury time.

Walking together is safe.. but sometimes when walk in the thin ice fast is safe

@districtonebdg

AADC – Ada Apa Dengan Chao Praya

Perkenalan pertama dengan sungai Chao Praya tak bisa dibilang manis,  kala tahun 2011 sungai ini merendam sebagian kota Bangkok selama berminggu-minggu. Walau kala itu Bangkok hanya sebagai tempat persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan ke Laos, kesan Chao Praya tertanam mendalam. Dua tahun kemudian kala kembali ke Bangkok, hanya dari pinggiran nya saja memandang riak sungai ini dari kawasan Khaosan.  Setelah itu tak sekalipun kesana lagi, walau berkali-kali menginjakkan kaki di kota ini semasa tour Indochina.

Baru di tahun 2017 melangkahkan kaki dari stasiun KA Hualamphong ke dermaga Ratchawong karena merupakan moda transport termurah menuju ke Wat Arun dan Wat Po.  Sejak itu barulah beberapa kali menyusuri sungai Chao Praya lalu sedikit demi sedikit merasakan persahabatan dengan sungai yang dulu menunda perjalanan kami berminggu-minggu itu.

Sejak belajar mendayung di sungai Citarum dulu, sejak itu pula  saya merasa dekat dengan sungai dan selalu merasakan kekuatan alirannya.  Kekuatan yang dibawanya tidak menakutkan, melainkan mengagumkan. Aliran yang tenang namun penuh tenaga itu seperti kepribadian yang bersahaja.

Kesan pertama kala di pier Ratchawong adalah takjub dengan melimpahnya ikan-ikan di pinggir sungai. Ukurannya besar-besar karena tak pernah ditangkapi, bahkan beberapa kali tampak ditaburi pelet. Tentu saja menimbulkan kegaduhan tersendiri di pinggir sungai kala pelet ditaburkan.

Tiba-tiba saya menyadari bahwa Chao Praya adalah sungai besar di Indochina yang paling sering dikunjungi. Aneh bahwa selama di Saigon saya tak pernah menyusuri sungai Saigon yang besar itu.  Sungai Mekong beberapa kali disambangi namun sangat insidental, sementara Chao Praya dilongok tiap kali ke Bangkok. Tak lengkap rasanya bila tak menyapa Chao Praya saat kembali ke kota metropolitan ini. Mungkin karena secara tak sadar melarikan diri dari gemerlap kosmopolitan Bangkok kedalam pelukan bersahaja Chao Praya. Bukan kah tiap orang pada dasarnya merindukan kesahajaan? Atau mungkin saya merindukan Citarum dan sungai-sungai yang pernah membesarkan saya di alirannya? Entahlah..

Saya pun teringat pada puisi rindu pada Chao Praya karya seorang teman :

 

 

Bagaimana Kabar Chao Praya Hari Ini?

Apakah air sungainya kini meluap luap

seperti perasaan yang bergejolak ini mencari cari muara.

Birukah langitnya? Di sini mendung menggelayut

hanyut dengan kantung kantung mata didalamnya, 

sisa isak tangis di malam tadi.

Aku ingin tahu.

Apakah  senja di Chao Praya kali ini sangat romantis?

Menguningkah langitnya?

Di sini senja berwarna abu-abu. Seburam pikiranku akan masa depanku.

Rupanya hujan tidak dapat membasuhnya menjadi pelangi.

Hanya gemericik suaranyalah yang bisa memberikan seulas senyum.

Senyum harapan menanti .

 

 

 

 

Hangatnya Berdiang di Baduy Dalam

Terdengar sayup-sayup suara “ Bangun, Mah. Ade pengen maen sama Destri”. Saya membuka mata, melihat sekeliling, anak saya yang bersuara rupanya. Saya tercenung, tarik nafas, rupanya raga ini sudah berada di rumah.

Rasanya baru kemarin tidur beralaskan tikar bersama Saniah, bocah berumur 6 tahun, dan Acih, ibu Saniah, perempuan suku Baduy Dalam kisaran umur 23 tahun. Masih teringat kopi panas yang disajikan Acih dalam mangkok ketika kami tiba ke kampung Cibeo di kala senja dalam keadaan basah kuyup, lapar, dan tidak membawa perbekalan baju maupun perlengkapan lain. Wangi nasi panas dari padi huma yang disodorkan dengan dadar telor masih kuat di ingatan. Kain khas Baduy dalam yang mereka pinjamkan karena kami kebasahan, masih terasa hangat melekat di badan.

Pengalaman –pengalaman itu berawal dari perjalanan saya dengan teman-teman hiker menuju Baduy. Saya dan Kiky meneruskan perjalanan menuju Baduy Dalam, teman yang lain memilih stay di Gajeboh, salah satu kampung di Baduy Luar. Perjalanan yang diperkirakan PP 6 jam tersebut rupanya hanyalah angka perkiraan. Alam selalu memberikan jalan dengan caranya sendiri. Perjalanan 3 jam menuju Baduy Dalam tidak seperti hiking ke pegunungan sekitar Bandung. Track yang terjal belasan kilometer, hujan tiada henti, dan tanjakan tanjakan yang berkelok kelok memberikan kejutan kejutan baru sehingga tragedi terpeleset, terjerembab, dan jatuh pun tidak bisa dihindari. Kiky terpeleset 3 kali, yang ke-3 jatuh mengenai tulang ekor setelah melewati tanjakan sepanjang 1 KM tanpa jeda tanah datar dengan kemiringan 45 derajat. Sehingga sisa perjalanan kita lalui dengan perlahan dan yang akhirnya kami memutuskan untuk menginap saja.

Cibeo, adalah salah satu Kampung di Baduy Dalam selain Cikeusik dan Cikertawarna. Butuh waktu 3 jam jalan kaki ke setiap satu kampung ke kampung Baduy Dalam lain, berbeda dengan Baduy Luar yang jarak antar kampung ke kampung lainnya relatif pendek. Untuk menuju ke Cibeo dari Ciboleger, gerbang pertama memasuki kawasan Baduy, kami harus menembus sekitar 7 kampung yang berada di kawasan Baduy Luar terlebih dahulu dengan beberapa kali melewati jembatan dan bukit .

Hutan yang hujan, setapak berbatu yang terbentang belasan kilometer itu seakan akan mengajakku menari untuk terus melanjutkan perjalanan ini. Hasim, pemandu kami menunjukkan ke bukit yang menjulang tinggi di depan kami seraya berkata,

“Sudah dekat bu, di balik bukit itu nanti sudah masuk Baduy Dalam”. Hasim melihat wajah saya, mata saya beradu. Dari tatapannya dia seperti yakin saya mampu melewatinya.

“Oke, kita lanjutkan.” Saya mengangguk ke arah Hasim. Sampai di puncak ada dataran luas yang lapang, dari arah atas ada suara seperti angin kalo orang Sunda bilang ‘ngahiung’. Saya menengadah tanpa tanya tanpa kata. Hasim seperti tahu rasa penasaran saya ia pun berkata “itu suara angin dari bambu, untuk menjaga ladang”. Memang terlihat bambu bambu berjajar mengelilingi lahan luas seperti lapangan sepakbola. Saya tidak banyak bertanya lebih banyak karena mulai kelelahan.

Setelah melewati lapang tersebut kami menuruni setapak bertanah merah lalu melewati lagi hutan dengan jalanan setapak berbatu kembali. Hujan mulai reda, kabut tipis menyambut kami sampai hujan turun lagi saat mendekati jembatan yang sekaligus merupakan gerbang masuk ke Cibeo. Hasim bertanya, “Bu, gimana jadinya. Saya gimana ibu, kalau nanti mau pulang lagi, saya siap aja.”

Tanpa berpikir panjang saya langsung menjawab, “ Kita menginap saja, tolong carikan rumah penduduk yang bisa kita tempati dan pakainnya bisa dipinjami. “ Hasim mengangguk setuju.

Terus terang setelah melewati begitu panjangnya rute perjalanan dengan segala tragedinya, saya benar benar tidak berniat untuk pulang lagi. Yang saya pikirkan saat itu adalah menikmati perkampungan, gubuk yang hangat untuk berisitirahat, dan mencoba hidup layaknya masyarakat Baduy dalam.

Memasuki perkampungan Baduy dalam seperti melihat lukisan lama yang tergantung di ruang tamu rumah Bapak. Rumah rumah panggung berdekatan, anak anak berlari dengan pakaian khas putih hitamnya. Para pria dengan kepala terikat kain seperti simbol kepatuhana bahwa hidupnya sudah terikat pada hukum adat. Pria pria tampan dan perempuan perempuan Baduy dengan kulit mulus berparas ayu berambut hitam legam membuat saya terperangah. Saya melihat Hasim berjalan lapor entah ke siapa, saya tidak begitu memperhatikan, lalu dia membawa kami ke rumah Pak Ade. Sebuah keluarga kecil, pasangan muda yang baru memiliki 2 anak. Kamipun dipersilakan masuk.

Pertamakali yang saya lihat adalah tungku kayu bakar (hawu). Dalam keadaan remang tungku ini memberikan suasana romantis, seperti penyelamat, melihatnya seperti mendapatkan sesuatu yang melegakan. Ketika Acih memberikan kainnya untuk dipakai, saya gantungkan baju baju basah di atas tungku, lalu menggelar tikar dan bersandar ke bantal. Di luar masih hujan, kabut yang menyambut kami ketika memasuki kampung masih membayang di mata, syahdu, ada rasa damai meneliksik memsuki ke setiap pori pori hati, perasaan tentram jauh dari peradaban. Saya berbincang dalam remang tungku sambil menikmati kopi panas yang saya sesap sedikit sedikit.
Hujan reda, saya yang dari awal mengajak bermain Saniah, langsung mengajaknya bermain ke luar, mengitari perkampungan yang didiami sekitar 67 keluarga tersebut tanpa alas kaki. Sempat hampir terpeleset mengingat tanah licin basah, dan saya tidak terbiasa earthing, di seberang ada bapak bapak sepertinya tamu berkomentar ,

“ Yeh lain orang dieu nya, pantesan rek tiseureuleu”.

Duh, saya baru sadar kalau saya memang mengenakai pakaian Baduy Dalam, tetapi tetap terlihat palsu karena jalan saya yang pelan. Bentuk rumah panggung di Baduy Dalam dan Baduy dalam memang tidak begitu berbeda, hanya saya perhatikan rumah di baduy dalam tidak memiliki serambi. Dan cenderung lebih luas dan sedikit sekali barang. Hidup minimalis dengan satu cempor untuk satu rumah. Tidur beralas tikar tidak membuat kami tidak bisa tidur. Kami tertidur nyenyak, malaha sangat nyenyak.

Esok paginya saya mandi di Jolang, semacam tempat penampungan mata air di pinggir perkampungan menuju hutan belantara. Sensasi mandi saat itu tidak dapat terlukiskan. Air jernih yang ditampung dalam batang pohon yang membentuk bak air itu seperti tidak ada habis habis. Saya guyur tubuh saya dengan air itu sebanyak sebanyaknya. Entah kenapa setelah mandi badan saya perasaaan sehat bugar dan sangat siap melakukan jalan pulang. Perjalanan yang tidak habisnya membuat saya merasa bersyukur ini adalah pelajaran. Dan bila saya kembali lagi. Suatu saat nanti saya akan mandi di Jolang lagi, hidup seperti layaknya mereka dan mungkin akan menjelajah Cikeusik, Kampung Baduy lainnya yang belum terjejaki.

 

Bandung, 14 November 2017
Deep bow kepada semua dan segala yang telah berkenan hadir, berpapasan jalan denganku.

 

Penulis : Tanti Brahmawati

Blitzkrieg Jalur Darat Melaka-Kuala Lumpur-Penang

Setelah beberapa waktu lalu melakukan perjalanan darat dari Singapura ke Kuala Lumpur, kali ini meneruskan rute darat ke Penang. Diharapkan rute darat ini akan menyambung terus hingga ke Utara. Entah Utara sebelah mana, mungkin kutub Utara 😀 Memang menyambungkan rute ini tak dilakukan dengan terburu-buru melainkan memakai Himalayan tactic slow but sure hahaha.

Nah setelah penerbangan dari Bandung dan tiba di KLIA langsung membeli tiket bis ke Melaka di konter tiket bis. Harganya 25 RM mahal juga padahal cuma 2 jam perjalanan. Tak apalah karena tak tahu mesti pake apa kesana selain bis. Setiba di Melaka cukup terkesan juga dengan terminalnya yang tertata. Setelah ormed sejenak lalu mencari bis no 17 yang didaulat sebagai bis paling berguna buat turis. Memang dengan 2 RM sudah sampai ke pusat kota, tepatnya di area sekitar Stadhuys dimana gedung-gedung heritage bercat merah menjadi ikon kota. Di banyak tempat dijumpai tulisan ‘Don’t Mess with Melaka’ entah apa maksudnya.

Seperti biasa, prioritas pertama adalah mencari penginapan yang telah dibooking sebelumnya. Biasanya protapnya adalah mendekat ke lokasi lalu ngopi-ngopi dulu. Setelah perut terisi lalu baru menanyakan alamat. Walau tak selalu berhasil, trik ini sering membantu.  Sebuah tempat makan Melayu India yang tampak menjadi langganan warga lokal, Madras Cafe , menarik perhatian saya untuk mangkal sebentar. Setelah angin diperut sedikit terusir oleh capati dan kopi O, saya pun menanyakan lokasi penginapan Yote Hostel. Ternyata dekat dari situ hanya sepelemparan batu, syukurlah. Karena sudah sore, istirahat sebentar di hotel. Malamnya baru keluyuran lagi ke kota yang rupanya sepi kalau sudah gelap.

Esoknya sengaja cek out pagi-pagi karena rencana setelah walking tour  akan langsung menuju Kuala Lumpur. Rute jalan kaki ini yaitu menyusuri sungai Melaka menuju pantai, lumayan juga berkeringat karena pulang pergi. Setelah merasa cukup melihat-lihat kota, kembali menyetop bis no 17 untuk kembali ke terminal lalu mencari bis yang menuju TBS ( Terminal Bersepadu Selatan) di Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada tiket bis yang promo seharga 10 RM. Tak disia-siakan segera saja disambar. Aneh juga bahwa tarif bis bandara KLIA-Melaka dua kali lebih mahal daripada tarif bis  Melaka-Kuala Lumpur yang jaraknya hampir dua kali lebih jauh. Dari TBS perjalanan dilanjutkan ke Sentral lalu mencari MRT kearah Bukit Bintang.

Seperti biasa kalau di Kuala Lumpur saya melipir ke Bukit Bintang, karena memang tak terlalu hapal juga wilayah lainnya. Nah, esok hari rencananya akan eksplore kota namun ternyata baru menyadari bahwa besok harus sudah ke Penang. Maka setelah menyimpan barang di penginapan Greenforest jadinya hanya jalan-jalan saja sekitar Bukit Bintang malamnya. Oya, bila menginap di hotel murah yang cukup cantik ini lebih dekat turun di stasiun MRT Raja Chulan daripada di stasiun MRT Bukit Bintang. Esok paginya setelah sarapan di hotel, kembali ke TBS mencari bis ke Penang. Di terminal yang megah ini, ternyata jadwal bis ke Butterworth (Penang) tetap saja ngaret 😀 setelah dua jam baru ada bis aplusannya.

Perjalanan Kuala Lumpur-Penang sekitar 5 jam dengan istirahat sekali disebuah rest area. Jelang maghrib tiba di Butterworth setelah dioper ke bis lain karena ternyata bis yang dinaiki tujuan Sungai Nibong bukan Butterworth. Walau sama-sama di pulau Penang, jaraknya cukup jauh. Di Butterworth terminal bis letaknya berdekatan dengan stasiun kereta dan pelabuhan ferry, jadi tinggal berjalan kaki menuju kapal ferry yang akan menuju pulau Penang. Setiba di seberang (Georgetown) sebenarnya tinggal berjalan karena letak pelabuhan ke kota tua ini tak jauh. Namun bis kota RapidPenang bisa dimanfaatkan bila ingin sejenak mengistirahatkan kaki. Kalau tidak salah bis 401 yang melewati Little India, namun saran saya jalan saja setelah sedikit mempelajari peta karena tak terlalu jauh.

Penginapan yang dibooking yaitu Red Inn Court di kawasan Little India ternyata gampang ditemukan, berada di jalan utama sekitar mesjid. Karena sudah sore, seperti biasa memulihkan kondisi dulu sebelum jalan-jalan malam. Besoknya pagi-pagi hujan kembali turun dengan deras. Tak ada pilihan terpaksa walking tour secara hit and run, karena siang hari harus sudah meninggalkan Penang. Setelah melewati jalur walk of faith di Georgetown lalu kembali ke hotel, cek out kemudian memakai bis 401 ke bandara Bayan Lepas. Pulang? Bukan bos, hari itu masih lama. Flight menuju Vietnam 🙂

Ketiga kota Melaka, Kuala Lumpur, dan Penang masing-masing disinggahi tak sampai 24 jam, karena jadwal blitzkrieg memang selalu ringkas. Namun tujuan perjalanan ini memang bukanlah mengeksplore kota melainkan terutama eksplore jalur, karena -entah kenapa- punya firasat bahwa jalur ini kelak akan sering dilalui kemudian hari. Just my feeling.

@districtonebdg

 

Kuala Lumpur Kota Transit Favorit

Sejak dua tahun terakhir, penerbangan transit dirasakan selalu lebih murah melalui Kuala Lumpur daripada Singapura. Entah mengapa maskapai-maskapai Singapura seperti loyo menghadapi jurus-jurus Malaysia Airlines, AirAsia dan Malindo Air yang berbasis di KLIA. Budget airline Tiger Airways sudah lama menutup rute Singapura-Bandung yang dulu menjadi favorit kami, bahkan kini maskapainya pun sudah almarhum karena merger. Jadilah flight transit ke Kuala Lumpur yang makin sering dipakai bila traveling.

Saya sendiri tak keberatan jadi lebih sering ngetem di KLIA kini dibanding Changi. Walau fasilitas Changi lebih lux, keunggulannya semakin tipis. Apalagi imigrasi Singapur yang masam dan living cost yang lebih tinggi negara itu membuat secara alamiah mendekatkan budget traveler ke KLIA. Siapa yang suka dibangunkan dini hari kala tidur di bandara menunggu penerbangan berikut atau bahkan diusir keluar.

Karena hampir tiap kali transit di KLIA, akhirnya terpikir juga untuk mengakrabi kotanya. Maka suatu hari menyengajakan jalan-jalan ke kota karena bosan dengan suasana bandara. Sebetulnya beralasan juga bila menginap di Kuala Lumpur dengan memilih penerbangan esok paginya, karena penerbangan pagi-pagi biasanya lebih murah. Setelah dikurangi biaya nginap dan makan tetap lebih murah, asal tak kesiangan bangun esoknya. Tentu saja kamarnya kelas dormitory yang kalo bisa sudah termasuk sarapan hehe

Dari bandara KLIA menuju Kuala Lumpur bisa dengan ekspres train atau bis, saya tentu selalu memilih yang lebih murah. Tarif bis dari KLIA ke Sentral adalah antara 10-12 RM. Tujuannya kemana lagi kalo tak ke kawasan backpacker di Bukit Bintang, menuju kesini adalah memakai MRT dari Sentral. Tentu banyak pilihan selain kawasan Bukit Bintang, namun bagi yang pertama kesini saran saya ke Bukit Bintang saja apabila mencari akomodasi murah, ragam kuliner dan akses yang strategis.

Transportasi Kuala Lumpur terbilang ramah turis. Line bis untuk turis yaitu armada GoKL patut diacungi jempol, bukan karena tak ada macet namun karena bisa gratis kemana-mana. Selama tempat tujuan kita terlewat beberapa line yang disediakan bis GoKL, tak perlu mengeluarkan ongkos. Bila tak terlewati namun masih satu kawasan ya tinggal jalan kaki saja toh. Kalaupun tujuannya lebih jauh lagi, bisa memakai MRT yang tarifnya murah.

Transportasi gratis dan ramah turis ini bagi saya cukup menakjubkan dan merupakan keunggulan Kuala Lumpur dibanding kota-kota besar lain yang ingin menarik turis asing ke negaranya. Di Bangkok pun sebetulnya ada bis-bis kota gratis namun sulit membedakannya bila bukan warga lokal. Di Jakarta juga ada trayek TransJakarta yang gratis namun cuma trayek pendek kesitu-situ aja, sementara dengan GoKL dapat dikatakan bisa kemana-mana. Di Bandung juga ada yang cuma-cuma, yaitu kalo angkot mogok bisa gratis pakai truk tentara 😀 😀

@districtonebdg

 

 

Cepat dan Nyaman Naik Kereta Malam Kunming – Lijiang

Tantangan backpackeran di negara yang tak berbahasa latin layaknya China, seperti disebutkan oleh sekian referensi, adalah masalah informasi dan komunikasi. Yang pertama minimnya papan informasi berbahasa latin dan kedua jarang yang bisa bahasa Inggris. Hal ini tak akan terlalu menjadi masalah bila akan berbelanja, karena Yuan (RMB) dan kalkulator bisa menggantikan kamus 🙂 namun bila traveling menjadi lain sama sekali. Saya merasakannya  empat tahun lalu kala datang ke stasiun Guangzhou, antrian mengular dan hanya mendapati bahasa Mandarin di peron tanpa ada yang bisa ditanya. Kala itu saya membatalkan niat mencoba perjalanan kereta api. Mungkin bukan saatnya, pikiran waktu itu.

Kini karena  keharusan memakai kereta menuju Lijiang, terpaksalah mempelajari sistem perkereta-apian negara Tirai Bambu. Bila dulu sistem booking online belum marak, kini untunglah sudah ada beberapa agen yang bisa melakukan. Namun tetap saja tak bisa menerima pembayaran kartu kredit non-China. Memang ada agen diluar China yang bisa melakukannya antara lain agen tiket kereta di Inggris dan Singapura, tapi heloow.. katanya mau belajar.. ya harus pakai sistem yang di China dong.

Salah satu agen tiket kereta online adalah web travelguidechina.com yang tampak cukup otoritatif dalam perkeretaapian ini. Seluruh jadwal dan rute kereta di China cukup update, dengan metoda pembayaran kartu kredit via Paypal.  Mereka mengutip fee USD 5 ditambah fee Paypal, kalo dirupiahkan sekitar Rp 75.000,-. cukup mahal tapi daripada melongo lagi di stasiun kereta,  saya pun memilih booking online  tiket kereta malam Kunming-Lijiang one way saja. Rencananya untuk tiket kembali akan membeli di stasiun Lijiang saja, setelah mengamati dulu tata cara pembelian tiketnya di Kunming.

Walau dibanyak kota besar China sudah ada bullet train, rupanya provinsi Yunan agak tertinggal perkembangannya hingga paling banter adalah jenis kereta cepat. Tiket yang dipesan ..ehem..adalah kelas paling dangkal yaitu hard sleeper seharga 152 yuan ( Rp 300.000).  Difasilitasi kasur cukup empuk dan selimut tebal, sebenarnya cukup murah  dibanding tiket duduk Argo Wilis Bandung-Surabaya yang bisa mencapai Rp 460.000. Sedikit tips, jangan lupa download dan print juga dialog dalam bahasa China yang banyak digunakan selama memakai kereta, semisal ‘mana bis ke stasiun kereta’ ,  ‘dimana menukar print email’ dan semacamnya.

Setelah menerima  softcopy tiket via email, saat tiba di peron print email ini ditukar dengan tiket sesungguhnya. Namun sebelum bisa memasuki stasiun, seluruh tas bawaan akan diperiksa scan x-ray dulu layaknya masuk bandara. Dengan tiket asli ini barulah bisa masuk kedalam stasiun. Disini carilah ruang tunggu yang tepat, karena terdapat banyak ruang tunggu untuk bermacam keberangkatan. Sekitar 15 menit sebelum keberangkatan penumpang baru bisa boarding ke gerbong. Salah satu yang menyenangkan di ruang tunggu ini adalah tersedia air panas -benar-benar panas- yang melimpah. Ini bisa dimanfaatkan untuk menyeduh mie instant dan kopi sachet.

Berangkat dari Kunming jam 21:30 pada pukul 4 pagi tiba di stasiun Dali, berhubung banyak penumpang yang turun sempat sedikit panik juga karena tak tahu ini stasiun apa. Tapi karena menurut jadwal tiba pukul 7 pagi, saya pun kembali beringsut ke kasur. Stasiun Lijiang ternyata adalah perhentian terakhir, dan semua penumpang turun hingga tanpa keraguan saya pun ikut turun. Salah satu yang membuat terkesan di  stasiun kereta Lijiang yang modern ini adalah suasana tamannya yang asri. Saya bersumpah mencium harum aroma bunga sesaat setelah keluar dari pintu exit nya. @districtonebdg

 

 

 

Terperangkap Waktu di Old Town Lijiang

Lijiang merupakan kota tujuan wisata yang populer di Propinsi Yunnan bahkan diseantero China, diperkirakan lebih dari delapan juta orang turis mengalir kesini tiap tahunnya -sebagian besar turis domestik. Bayangkan padatnya tempat-tempat wisata disini bila gelombang tsunami turis datang. Namun dengan mempelajari tren kedatangan turis, kita tetap bisa melakoni perjalanan wisata yang nyaman di Lijiang.

Dibanding kebanyakan kota lainnya di China, Lijiang cukup terpencil dimana rel kereta sejak puluhan tahun terhenti disini. Walau kini sedang dibangun rel lanjutan ke Shangri La, itu baru akan selesai beberapa tahun kedepan. Kota yang dikelilingi perbukitan ini berudara segar, memiliki sungai yang jernih, dan pegunungan bersalju menjulang dikejauhan. Seperti di kebanyakan wilayah China Selatan, Lijiang memiliki keuntungan berupa iklim sepanjang tahun yang sejuk.

Penduduk asli Lijiang adalah suku Naxi, yaitu satu dari 55 kelompok etnis minoritas di China.  Sejarah kota tua ini terekam sejak periode peperangan antar negara (476 SM-221 SM). Baru pada Dinasti Tang (618-907), ekonomi berkembang dan mencapai puncaknya dengan terbentuknya the Ancient Tea-Horse Road  -sebuah jalur perdagangan kuno yang kurang populer dibanding Silk Road di Utara. Jalur perdagangan ini memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi dan budaya antara Tibet, Sichuan dan Yunnan. Bagi penggila sejarah, jalur kuno ini terlalu menarik bila dilewatkan begitu saja.

Sebagai atraksi utama kota, Old Town Lijiang terawat dengan baik dan merupakan situs World Cultural Heritages UNESCO pada tahun 1997. Menuju kesini tak sulit, bila naik kereta dari Kunming maka dari stasiun tinggal menumpang bis. Ada tiga trayek bis dari stasiun kereta menuju kota Lijiang, yang melewati Old Town adalah bis berwarna biru no 18 dengan tiket seharga 1 yuan.

Old Town ini dulunya merupakan pusat kota dan terus mempertahankan arsitektur  khas dan budaya lokal Naxi. Kesinilah arus utama turis mengalir deras, dimana pada puncaknya jalan-jalan berbatu dijejali turis dari berbagai pelosok negara China. Namun jangan salah, Lijiang tetaplah sebuah kota modern alih-alih kota yang terdiri dari bangunan kayu dan jalan berbatu. Jalan-jalan aspal yang lebar dengan mall dan pertokoan lah sebenarnya yang mendominasi  suasana kota dan beragam wisata yang dilengkapi cable car siap memanjakan yuan didompet para turis.

Seperti juga di wilayah China lainnya, tiket masuk ke berbagai kawasan wisata populer di kota Lijiang cukup tinggi yaitu antara lain Old Town (80 CNY ), Looking at the Past Pavilion (50 CNY), Mu Family Mansion (60 CNY). Sementara tempat wisata agak diluar kota antara lain Jade Dragon Mountain (185 CNY), Tiger Leaping Gorge (65 CNY), Jade Peak Monastery (30 CNY)…watch out wahai para backpacker.. namun beberapa lokasi tetap bisa ditelusuri dengan gratis seperti taman, museum, pasar dan tentu saja yang selalu gratis adalah interaksi budayanya.

Salah satu yang membuat terkesan kala pertama menginjak kota ini justru adalah stasiun keretanya yang terletak dipinggir kota. Setelah melewati perjalanan malam dengan sleeper train dari Kunming, saya tak bisa tak mengagumi stasiun yang apik ini. Bangunan modern bercorak etnik ini terletak di atas bukit dengan hutan dibelakangnya dan taman yang asri di depan. Saya bersumpah mencium harum aroma bunga sesaat setelah keluar dari pintu exit nya, yang membuat ingin berlama-lama disini. @districtonebdg