Categories : Backpacker

 

“Mba-mba, ini ransel-ransel nya jangan lupa dibawa” Pa Arif menghampiri dengan ransel kami di tangannya,

“Lah untuk apa Pa Arif, kan nanti juga balik lagi ke sini?” Nunung heran.

“Ya untuk difoto di sana, biar keliatan keren.” Gubraaag…mungkin beliau kepincut melihat backpack Osprey Momentum dan Gregory Maya yang kami pakai #eh .

“Jangan lupa diirit batere HP-nya, matiin aja dulu, percuma kok gak akan dapat sinyal, di sini aja kadang ada kadang hilang kan,” pesannya. Hmmm…betul juga, baru ngeh di Desa Jeru ini saya memang kadang mendapatkan sinyal kadang enggak.

Kami diantar oleh Pak Wagini, sopir Jeep yang super  ramah abis dan sedikit bicara tapi nyetirnya bak roket. Beliau akan menemani kami  selama 6-8 jam perjalanan.

“Pak, berapa lama lagi kita sampai?”

“Deket Mba dari sini, cuman satu jam, ke Coban Pelangi lebih dekat lagi, paling 20 menitan, nanti  trekkingnya bisa cuman 30 menit sih kalo buat mba-mba yang kayaknya sering hiking.” Wow tau dari mana dia..

“Tapi kita nanti ke Bromo dulu aja ya Mba, ke air terjun kalau keburu aja. Jarang sih wisatawan yang mau trekking ke air terjunnya, biasanya cukup ke Bromo, Ranu Pane kebanyakan. Kalau malam-malam ke air terjun juga saya  masih berani kok, sejak kecil saya tinggal di daerah situ. Tenang Mba, ada kok senter di sini, ” kata Pa Wagini meyakinkan.

Sepanjang perjalanan menggunakan Jeep yang agak  ngebut ini, kami disuguhkan pemandangan yang indah, sejuk, dan sunyi. Perjalanan dari Desa Jeru menuju Bromo ini relatif sepi, jarang berpapasan  dengan wisatawan lain. Tibalah kami di wilayah dengan bentangan alam maha luas, tak henti-hentinya memandang penuh rasa kagum.  Lereng-lereng tinggi berwarna hjau membentang seperti telaga luas yang ingin diarungi. Sempat kepikiran pengen jalan kaki sampai sejauh hamparan  yang membentang itu habis. Menurut  Pa Wagini, hamparan lereng  tersebut merupakan pertemuan lereng antara Tumpang, Bromo, dan Semeru. Oh iya, jadi ingat film Higlander, membayangkan  hamparan lereng yang membentang luas itu dijadikan setting adegan adu perang para ksatria.

Benar kata Pa Arif suasana sore di Bromo ini sepi. Di bukit Teletubies pun hanya jeep merah kami yang  “melantai”. Menyenangkan memang melakukan roadtrip dengan jeep ini apalagi masing masing dari kami sering diselingi lontaran joke joke ringan. Di perbatasan savana  juga hanya 1-2 Jeep yang beroperasi membawa turis. Mungkin faktor ditutupnya pendakian gunung Semeru berpengaruh pada sepinya pengunjung.

Savana,  bukit Teletubbies, Pasir Berbisik, dan Pura  di bawah kawah  pun kami explore. Ketika sedang berfoto ria, sekelompok masyarakat suku Tengger melintasi kami dengan menaiki mobil truk. Mayoritas dari mereka perempuan.  Kami tersenyum ke arah  mereka , mereka balik tersenyum seraya melambaikan tangan. (Kok rasanya bahagia ya bisa saling berbalas senyum dengan penduduk lokal.. )

Sayang, kami tidak sempat menaiki tangga menuju Kawah Bromo, hanya terlihat 1-2 orang yang  mengunjungi kawah. “Mba mba kalo mau naik silakan, saya nunggu di warung aja, paling turun lagi sampai  sekitar jam 5.30, gak apa-apa agak  sampai sore juga.”

Saya, Novi, Nunung, dan Pak Wagini pun berunding.  Lalu kesimpulannya, “Ah daripada duduk-duduk disini aja, mending kita ngejar ke  Coban Pelangi… kekejar gak nih kita?”

“Kekejar lah .” Pa Wagini dengan senyumnya yang santai membuat kita yakin bakalan ada petualangan baru yang seru terjadi. Kami pun menaiki Jeep lagi, mengejar momen di Coban Pelangi. See you in Coban Pelangi…!

 

Penulis : Tanti Brahmawati

 

 

 

 Posted on : August 23, 2018
Tags :