Senior Hiking To Kawah Upas

Mengapa harus cemas kembali ke alam, sahabat yang setia menemani kita hingga usia tua. Bukankah kita sedang mengunjungi sahabat lama untuk kembali bercengkerama seperti kekasih yang lama tak bersua. Bila samudera rindu pada nelayan, pegunungan memendam rindunya pada para pendaki.

28.02.2021 Sunday Hike to Upas Hill, kali ini ikut pula beberapa peserta senior range umur 60th – 67th. Mereka ABG tahun 70’an yang senang hiking pada jamannya. Sekarang mulai berkegiatan lagi seiring fenomena maraknya grup-grup hiking saat ini yang bertebaran di Kota Bandung.

Bagi mereka, kembali ke alam melakukan hiking secara rutin seperti mengenang nostalgia jaman-jaman kukurusukan dulu. “Age is only a number”, benar adanya, dengan semangat yang kuat mereka pun bisa sampai ke Kawah Upas via perkebunan teh Sukawana. Bahkan disaat para grup pendaki lain dari generasi yang jauh lebih muda memilih mencegat mobil pick up saat turun dari Kawah Upas,  mereka teguh berjalan kaki.

“Berapa kali trekking ngajak sahabat senior usia 60-an, semangat mereka jangan diragukan👍🏼👍🏼 Setiap nemu tanjakan pasti komennya tong sieun mun nimu tanjakan berarti bakal nimu pudunan..intinya dijalani aja.. pelajaran hidupnya : you’ll never know till you try❤️ ,” demikian kesan Melly salah seorang peserta.

Beranjak tua tak membuat manusia harus berkeluh kesah dan mengemis kemudahan dalam bertualang, melainkan tetap mengumpulkan keberanian dan teguh  menghadapinya. Jalani hidup ini dengan berani. @districtonebdg

 

Jembatan Surapatin yang Bisa Bikin Galau

Jalan-jalan kali ini kami mencoba menjajal heritage di daerah Cimahi dan waduk Saguling di Batujajar, dimana jembatan apung Surapatin berada. Jembatan apung ini menghubungkan desa Giri Mukti dan Desa Panauban. Dibuat berdasarkan inisiatif warga dan didanai dari swasembada masyarakat.

Melihat jembatan ini seperti melihat sebuah ketulusan antara warga dan alam sekitarnya. Sederhana tapi bermanfaat banyak untuk lalu lintas warga di kedua desa tersebut. Tidak berteknologi tinggi, lebih terlihat bersahaja dan eco-friendly. Sebelumnya kami sempat survey kesini tapi dari arah stasiun Padalarang, lucu juga waktu survey itu.

Ceritanya bang Marpaung driver grab yang kita tumpangi belum hafal tempat yang  dituju maka ia pun mengandalkan waze.
“Sudah lebih dari 30 tahun saya di Padalarang tapi belum pernah kesini… ” gumamnya. Alhasil kita dibawa jauh sampai ke tempat penggalian pasir, ke kampung-kampung dimana jalannya sempit dan bingung arah. Sempet masygul sepanjang jalan dengan logat Bataknya yang kental.

“Waduuuuh, tau gini gak saya ambil, dari tahun 86 saya tinggal di sini, belum pernah saya mengenal tempat ini. Sepanjang saya jadi sopir grab, baru kali ini ada penumpang minta rute ini” desah bang Marpaung.
Kami senyum-senyum, dibiarkan saja ia mengeluarkan unek2nya.

“Ini penggalian pasir, gimana ini, mau balik aja lagi?” Beliau mulai putus asa. Tapi ya namanya juga survey, pantang pulang dengan tangan kosong.

Nah, bagi yang tertarik menuju jembatan apung Surapatin di Batujajar dengan transportasi umum, bisa naik kereta api ke Cimahi atau Padalarang lalu lanjut grab. Saran kami lebih baik ke Cimahi, bisa explore heritage sekitar stasiun keretanya.
Nikmati suasana heritage dan jajanan disekitar stasiun. Perjalanan ke Bandung bisa dilanjutkan dengan kereta komuter yang berangkat sejam sekali bertiket Rp 5000 saja. (2020)

 

Penulis : Tanti Brahmawati

Citarum Journal : Trilogi Sanghyang Plus Curug Halimun

Dimulai dari kunjungan ke waduk Saguling beberapa tahun lalu. Saat itu mulai mendengar Sanghyang Heuleut yang kabarnya sudah bisa dijambangi dengan trekking 2 jam-an. Sayang, saat itu sedang musim hujan dan kondisi tidak memungkinkan.

Tahun 2019 saat musim kemarau mulai menghampiri, kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang tepat untuk mengunjungi Sanghyang Heuleut dan Sanghyang Poek. Setelah selesai, Minggu berikutnya bergerak lebih ke atas lagi, yaitu ke Green Canyon Cikahuripan. Dari sini kami bergerak lebih jauh lagi, yaitu ke Cukang Rahong dan Cukang Binbin.

The Sanghyang journey berlanjut saling melengkapi dengan explore Sanghyang Kenit, tidak lupa melirik sebentar ke arah Sanghyang Tikoro yang penuh misteri itu.

Lengkaplah sudah jelajah the Sanghyang, menyempurnakan Saguling Trilogy yang membiarkan imaji berkelana ke tahun-tahun dimana air deras mengalir berbaur dengan legenda petualangan arung jeram pada masanya, mengisi katel- katel air berselimut tebing, terbentang sepanjang aliran sungai Citarum yang saat ini dasarnya bisa kita injak dengan leluasa. Saguling Trilogy acomplished!

Lalu, apakah cerita Citarum ini berhenti sampai di sini? Tentu tidak.

*****

Rencana survey ke Curug Halimun sudah bergulir sejak dua bulan lalu sejak terdengar kabar kawasan ini sudah dibuka dan dikelola warga sekitar. Posisi curug ini terletak antara Cukang Rahong dan Sanghyang Heuleut.

Jadwal survey tertunda tatkala ada dari kami yamg harus menuntaskan dahulu proses menjadi relawan uji klinis vaksin covid 19.

Ketika ada event Kamis MODO (Mom’s Day Out-door) jadilah sekalian saja menuntaskan bonus dari Sanghyang Trilogy ini, sehingga akhirnya kami pun ikut melakukan survey ke curug Halimun. Kesimpulan dari trek dengan view yang luarbiasa ini adalah, singkat saja, pondok tapi nyugak.

 

Penulis : Tanti Brahmawati

Rimba Sagun Kearifan di Kaki Gunung Tangkubanperahu

by Bayu Ismayudi

Bau bangkai itu cukup menyengat begitu tiba di curug ke empat yg posisinya paling atas dari rangkaian curug tanpa nama di wilayah hutan Sagun. Nampak seekor rusa tergeletak membusuk yg entah bagaimana hingga sang rusa terkapar seperti itu.

Baru kali ini kami menemukan rusa di tengah hutan yg bukan di penangkaran..
kami pun sempat saling pandang.. Insting kami mengatakan, alam ini masih liar..ada rusa, berarti mungkin ada sang predator mengintai diantara lebatnya hutan.

 

Kabar tentang adanya “surga tersembunyi” di wilayah Sagun, Bandung utara sdh sy dengar sejak 6 bulan lalu dari kawan Pent Hagons dan Fadjar Apay, hingga akhirnya baru kemarin saya bersama Arman Norval dan @mang odoy bisa mengexplorenya menggunakan GBS, Global Bacot System alias pendekatan gerakan ngopi di warung lokal dan ngobrol.

Seminggu sebelum pergantian tahun 2020 saat berkunjung kampung yg terletak di tengah perkebunan teh Sagun, kampung yg asri dikelilingi rerimbunan hutan itu,
sang pendiri kampung, abah Aas sempat berkata,

“Manusia telah mendzalimi diri dan lingkungannya..sehingga alam pun mulai merespon negatif thd setiap tindakan manusia”

” Contohnya apa bah?” tanyaku.

“Hujan sedikit aja yg seharusnya jd rahmat malah banjir, air bah yg muncul..”

Secuil percakapan di perkampungan tengah hutan yg dikelilingi kebun teh dengan suguhan minuman teratai salju yg menyegarkan.

 

MENUJU ARANYAPRATHET,,,BERTEMAN LAMUNAN (2)

by Bayu “Baiz” Ismayudi

Pagi itu sekitar pukul 04.40 waktu setempat, pintu gerbang station Hua Lamphong Bangkok dibuka, setelah saya membeli ticket kereta jurusan Aranyaprathet seharga 48 baht saya langsung tergolek di kursi tunggu station, ingin memejamkan mata barang sekejap sambil menunggu keberangkatan kereta pukul 05.55.

Para pengunjung station sudah mulai ramai, baik itu yang menunggu keberangkatan maupun yang baru tiba dari luar kota Bangkok. Beberapa turis bule menyandang ransel penuh beban banyak berseliweran, kursi-kursi tunggu station pun sudah mulai penuh, ada yang sekedar duduk-duduk ada pula yang tertidur tergeletak karena semalaman begadang di luar station menunggu loket ticket buka seperti saya.

Sekitar 10 menit saya terpejam, badan sudah lumayan bugar, kemudian saya melangkah menuju toilet station ingin sekedar menyeka diri, membasuh muka yang kusut,,,tapi ternyata toilet belumlah buka. Di dekat toilet ada tulisan berisi “Tempat Sembahyang” bahasa melayu tentunya,,,”ini pasti maksudnya musholla” pikir saya,,,
Tapi setelah saya cari “Tempat Sembahyang” itu tak kunjung ditemukan,,,akhirnya saya bertanya kepada petugas station,,,” I am muslim, I am looking place for pray” ujar saya sambil menggerakan isyarat takbiratul ikhram,,,si petugas mengerti, beliau dengan senang hati dan antusias menunujukkan sebuah musholla yang terletak di antara dua rel kereta.

Sebuah musholla kecil tapi cukup apik berdiri anggun di sana, tapi sayangnya baru dibuka pukul 05.30…”owh bagaimana jika ada orang yang akan shalat subuh?” pikir saya,,,tapi bagian toilet musholla tidak dikunci, saya pun membasuh diri sejenak dan berwudhu,,, untuk selanjutnya shalat subuh sambil duduk di kursi dekat musholla…hmm,,,semakin terasa keinginan mendekat kepada Sang Maha Penguasa saat kita sendiri dan jauh dari rumah jauh dari keluarga atau teman,,,hehehe, manusia memang akan selalu teringat dengan Penciptanya apabila dalam kondisi terjepit, tertekan atau kesepian,,,fitrah manusia,,,

Rupanya di sini tidak ada istilah kereta terlambat,,,sesuai schedule pukul 05.55 kereta menuju Aranyaprathet mulai bergerak. Kereta ini mirip dengan kereta ekonomi kita, cukup bersih dan nyaman. Saya duduk di kursi yang posisinya berhadapan di depan seorang ibu-ibu setengah baya. Kereta pun melaju perlahan, bergerak melewati kota-kota hingga pedesaan yang dihiasi bentangan sawah yang menguning yang saya saksikan keindahannya melalui jendela kereta samping tempat duduk saya. Pada beberapa bentangan sawah, saya melihat banyak mobil jenis double cabin semisal Hilux atau Ford Ranger hilir mudik mengangkut hasil bumi,,,”Wow, di Bandung mobil double cabin seperti ini mungkin hanya sebagai alat transportasi mewah yg hilir mudik diperkotaan, tapi di sini,,,hmm, dijadikan alat angkut hasil bumi” Pikir saya,,,

Matahari semakin merangkak naik, perlahan,,,Kereta yang saya tumpangi semakin penuh sesak oleh penumpang yang naik di setiap station yg terlewati. Saya terbangun oleh sinar mentari yang membias dari jendela kereta,,,hmm,,semakin terasa ‘sepi’ di tengah kehiruk pikukan. Ibu paruh baya di depan saya terlihat sedang asyik ngemil penganan yang dia beli dari penjaja makanan yang hilir mudik dari gerbong ke gerbong. Suara orang berbincang mendengung di telinga seperti suara lebah dengan bahasa yang tidak saya mengerti, sesekali diselingi suara kokokkan ayam yang dibawa oleh penumpang menghiasi kehirukpikukkan. Tidak lama kondektur terlihat memeriksa ticket para penumpang, kondektur yang mirip Cak Lontong ini pun menghampiri saya dengan tatapan menyelidik dan meminta ticket untuk selanjutnya diperiksa dan ditandai.

Kembali setelah itu, saya ‘sendiri’. Pemandangan luar kereta kembali menemani, tentang para petani yang membajak sawah, mobil double cabin yang mengangkut hasil bumi, anak kecil yang berlari telanjang, sungai yang mengalir, langit yang biru, burung belibis yang terbang mengarak,,,Lamunan menerawang memberI lukisan abu-abu yang misterius tentang perjalanan yang akan ditempuh,,,tentang ke-paranoid-anku saat nanti akan melewati Poipet, kota perbatasan Kamboja yang menurut beberapa blog yang saya baca, penuh dengan scam atau aksi tipu-tipu para calo imigrasi,,,lamunan candaan rekan-rekan yang menakut-nakuti,,,”Jangan tidur bay, bisa kebablasan hahahaha” ujar Wanbar,,,”Tegang yeuuuh!!” canda Bobby,,,”Haligh siah” celetukan Barbar,,,hehehe tapi itu semua justru membuat saya tersenyum sendiri saat itu. Dan lamunan yang paling menghiburku sekaligus menyiksaku adalah senyuman lucu Sava gadis kecilku dan tawa renyah Fiqar anak lelakiku di rumah,,,semua bercampur aduk dalam benak menemani kesendirian hingga kereta tiba di Aranyaprathet pukul 11.50 sesuai schedule…

#DistrictOne
#Solobackpacker
#OverlandBackpacker
#CrossBorderThailandCambodiaVietnam
#Oleholehbackpackeran

MENANTI KERETA, MENGGELANDANG DI HUA LAMPHONG (1)

by Bayu “Baiz” Ismayudi

Pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta akhirnya landing di Don Mueang Bangkok sekitar pukul 20.00 atau 08.00Pm waktu setempat. Penumpang pun satu persatu turun untuk kemudian antri di pintu imigrasi Thailand.
Usai urusan per Imigrasian saya bergegas ke counter money changer untuk menukarkan sedikit USD yg saya punya. Tepatnya pukul 21.30 saya baru keluar bandara dan menuju Don Mueang Station untuk berkendara dengan kereta api, sesuai itinerary yang saya buat menuju Hua Lamphong, sebuah station besar di Bangkok yang merupakan gerbang pemberangkatan menuju pelosok Thailand.

“Train to Hua Lamphong it’s finished !!” sebuah pernyataan tegas dari petugas ticket station Don Mueang saat saya akan membeli ticket kereta menuju Hua Lamphong,,,”owh,so,, how I am to go to Hua Lamphong?” ujar saya agak kaget dan sedikit panik. Karena memang dalam itinerary saya tidak ada plan B untuk mengantisipasi hal seperti ini. Akhirnya si penjaga ticket memberi petunjuk kendaraan yang menuju Hua Lamphong,,,

Dengan berkendara menggunakan bus menuju Mochit lalu dilanjutkan menggunakan MRT dari station subway Bang Sue yang menyusuri beberapa station di bawah kota Bangkok hingga berujung di Hua Lamphong tepat pukul 22.30 waktu setempat.
Rencana awal perjalanan saya kali ini untuk hari pertama saya harus menuju Hua Lamphong, karena besoknya saya akan menuju Aranyaprathet daerah perbatasan Thailand dengan Kamboja untuk selanjutnya menyeberang ke Kamboja. Perlu diketahui, ini adalah perjalanan pertama saya tanpa teman alias solo backpacker.

Persiapan sudah saya lakukan dari sebulan sebelumnya, dari mulai menyusun itinerary, mencari informasi via blog-blog hingga penghitungan budget. Perjalanan ini sebenarnya lebih merupakan “tantangan” yang diajukan rekan saya Barbar untuk mencoba bersolo backpackeran…dan saya terima “tantangan” itu,,,Perjalanan yang akan saya tempuh ini merupakan perjalanan overland alias cross border antar tiga negara,,,Thailand, Kamboja dan berakhir di Vietnam.

Bagi sebagian orang, para backpacker perjalanan ini adalah perjalanan biasa,,,tapi bagi saya sebagai pemula sangat luar biasa hehehe,,,perjalanan kali ini lebih merupakan perjalanan spiritual yang menguras adrenalin bagi saya,,,

Malam memang sudah larut saat saya tiba di Hua Lamphong, saya sempat melihat jadwal keberangkatan kereta yang akan saya tumpangi menuju Aranyaprathet dan rupanya kereta tersebut berangkat pukul 05.55 esok pagi. Sambil berjalan melihat-lihat station, saya berfikir,,,apakah saya akan menginap di penginapan terdekat dengan resiko bangun kesiangan dan ketinggalan kereta atau tidur di emperan station seperti yang orang banyak lakukan, bergeletakan di teras station hingga lorong-lorongnya.

Tidak berapa lama beberapa petugas keamanan station menutup gerbang station yang menandakan bahwa station telah tutup.”can I sleep here?” Tanya saya kepada petugas seraya menunjuk kearah deretan kursi yang ada dalam station…”no, you sleep outside like them” jawab petugas seraya menunjuk ke teras station yg telah penuh dengan calon penumpang.

Dan saya pun ngeloyor pergi menyusuri pinggiran station, sambil menikmati kemegahan Hua Lamphong, sebuah station kereta yang besar dan apik. Di sisi lain saya menemukan jejeran café yang masih buka yang diisi oleh para turis bule dan saya pun memasuki salah satu café untuk memesan kopi hitam panas sambil tentu saja nebeng wifi hehehe,,,

Dari café seberang station ini saya bisa melihat Hua Lamphong yang dihiasi lampu warna warni yang membuat station itu terlihat gemerlap. Setelah menikmati secangkir kopi dan sebungkus roti, bekal saya yang saya bawa dalam backpack, saya kembali menyusuri jalanan sekitar yang mulai sepi…

Malam semakin larut, rasa letih selama perjalanan mulai terasa,,,dan akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat di salah sebuah lorong di sekitar station yang tidak begitu banyak orang. Saya memutuskan untuk tidur di emperan station karena saya takut tidur kebablasan jika saya tidur di dormitory atau hostel dan tentu saja bakal ketinggalan kereta menuju Aranyaprathet wilayah perbatasan Thailand & Kamboja.

Sekitar satu jam saya memejamkan mata,,,tiba-tiba saya mendengar langkah halus mendekat, saat mata saya picingkan,,,seorang lelaki kekar berdiri tidak begitu jauh dari tempat saya tidur,,,matanya merah dan tangan yang penuh dengan tattoo,,,Dia menatap tajam pada saya, saya pun segera bangkit “red alert” dalam diri saya memberi signal tanda siaga 1. Kami saling tatap untuk sesaat,,,mungkin melihat saya waspada, si lelaki bertatto itu tidak lama kemudian ngeloyor pergi…saya pun kembali terduduk sambil menghela nafas,,,”huh,,,gak lucu kan klo sampe dipalak atau dirampok di negara orang saat hari pertama perjalanan saya pula” gerutu saya dalam hati,,,Akhirnya saya pun sukses untuk melek terus hingga station buka kembali pukul 04.40,,,”daripada barang saya digondol preman saat saya tidur, mending saya melek dan tidur nanti di kereta” pikir saya,,,hmm,,,rupanya adrenalin saya sudah mulai diuji di hari pertama solo backpackeran saya,,,

#DistrictOne
#SoloBackpacker
#OverlandBackpacker
#CrossBorderThailandCambodiaVietnam
#Oleholehbackpackeran

Runyamnya Pembelian Tiket Kereta Lokal di Stasiun Nagreg

Ada yang berbeda ketika kami dari d1va tour mengantar peserta Railway Adventure ke daerah Nagreg pada tanggal 6 Januari 2021 lalu. Niat kami memang menuju Bukit Kendan untuk hiking ringan dan mencari spot menarik dengan perjalanan kereta api lokal. Tapi tulisan ini bukan ingin membahas petualangan hiking kami di Bukit Kendan yang memiliki potensi untuk menjadi kawasan wisata itu, tapi lebih pada memberikan opini tentang pembelian tiket online di stasiun Nagreg berdasarkan pengalaman yang kami lihat.

Pagi hari kami sudah berkumpul di Stasiun Kiaracondong. Setelah membeli tiket Go Show jurusan Kiaracondong – Cibatu seharga Rp.7000,- per org, kami pun boarding memasuki gerbong. Sejam kemudian kami tiba di stasiun kecil Nagreg yang terletak di paling ujung Timur kabupaten Bandung. Ketika keluar dari stasiun, di pintu masuk stasiun terpampang pengumuman bahwa terhitung tanggal 1 Januari 2021, stasiun Nagreg tidak menjual tiket Go Show melainkan harus membeli online. Keadaan ini mengakibatkan kami berhenti sejenak untuk mengurus pembelian tiket pulang secara online. Bersyukur beberapa dari kami memiliki aplikasi KAI Access walau harus mengisi dompet ‘Link Aja’ untuk pembayarannya, yang tentu saja menciptakan keribetan tersendiri, tapi kami berusaha mengikuti prosedur untuk melalui semuanya.

Setelah beberapa jam ‘kenyang’ bermain di Bukit kendan, kami pun kembali ke stasiun Nagreg untuk pulang ke Bandung kembali. Kami menunggu beberapa menit di ruang tunggu stasiun, menghabiskan waktu mengamati keadaan sekitar. Ada beberapa generasi milenial lengkap dengan gadget di tangan datang, siap men-scan barcode ke mesin yang tersedia tanpa petugas tersebut. Kemudian ada satpam yang sepertinya tugasnya multifungsi, selain menjaga stasiun, juga mengingatkan penumpang untuk men-scan barcode yang tertera di tiket online ke mesin yang disediakan.

Kemudian datang seorang ibu bersama beberapa warga lokal lainnya hendak membeli tiket menuju Rancaekek. Beliau hanya bisa mengelus dada ketika tahu bahwa pos tiket tutup dan baru tahu bahwa pembelian tiket hanya bisa dilayani secara online. Setelah itu beberapa warga lokal lain memasuki tempat tunggu dan hanya bisa menatap pos tiket yang tutup sambil bertanya.

“Tiketna tos seep atanapi petugasna teu aya, atanapi teu acan muka?” ( “tiketnya sudah habis atau petugasnya yang gak ada atau pos tiketnya yang belum buka?”)

Dijawab security ”Kedah meser online ” (“harus beli online”).

Kemudian ia hanya tertegun. Saya tidak tahu apa yang ada di benaknya. Terus terang, melihat hal ini hati saya terusik. Di stasiun besar Kiaracondong bisa, mengapa di stasiun kecil Nagreg tidak bisa?

Bayangkan, kami di sini yang memakai gadget android saja tak semuanya memiliki aplikasi KAI Access, apalagi warga desa yang mungkin entah memiliki gadget atau tidak. Kalaupun iya memiliki gadget, mereka dipaksa mengerti bahwa pembelian tiket online melalui KAI Acces hanya bisa dibayar dengan dompet virtual sekelas LINK AJA. Lalu mereka dipaksa paham bahwa untuk mengisi dompet LINK AJA secara cepat mereka tentunya harus memilki aplikasi Mobil Banking terlebih dahulu. Lalu mereka harus paham bahwa untuk menggunakan mobile banking mereka harus mengisi dulu saldo rekening bank mereka. Pernahkah terbersit pertanyaan, berapa uang yang ada di dompet warga desa yang bersahaja untuk kebutuhan sehari-hari apalagi harus mengisikan uang ke rekening di bank.

Saya merenung, untuk pembelian tiket seharga 8000 perak ini, warga setidaknya harus mendownload tiga aplikasi sekaligus yaitu KAI Access, LINK AJA, dan Mobile Banking setelah sebelumnya buka rekening bank BUMN. Melek teknologi boleh, tapi apakah bijak diaplikasikan di sini? Disinilah pentingnya menjalankan kebijakan teknologi untuk masyarakat luas tetapi hati nurani tetap harus dikedepankan. Ya, teknologi yang memiliki hati nurani.

Saya tidak mengerti apa yang menjadi dasar kebijakan ini diambil. Investasi? Monopoli? Semoga apa yang ada di pikiran saya tidak benar. Lebih baik PT KAI mempertanyakan kembali fungsi dan peran angkutan transportasi KA untuk masyarakat. Bukankan ingin memasyarakatkan angkutan umum kereta api dan kemudian masyarakat merasakan manfaat fasilitas yang disediakan, bukan justru menjadi rumit dengan prosedur berbelit yang kurang bijak.

Saya menjadi teringat ketika mengunjungi Thailand 2 tahun lalu. Saya melihat masyarakat di sana masih bisa menggunakan telepon koin yang tersebar di stasiun KA besar sekelas Hua Lamphong Bangkok, dimana teknologi lama masih berfungsi dengan baik.
Lalu kenapa pemerintah seperti ingin cepat-cepat melompat terlalu jauh sementara disisi lain masyarakat kecil malah merasa ditinggalkan?

 

Bandung, 9 Januari 2021
Tanti Brahmawati
(d1va tour, adventure for woman)

 

Tersesat di Jalur Bagong Palasari

Gunung palasari bukanlah destinasi yg populer bagi para pendaki, gunung yg hanya berketinggian 1852 mdpl ini terletak di wilayah Palintang, Ujung Berung Bandung satu area dengan gn. Bukittunggul yg lebih populer di kalangan para penggiat alam di kota Bandung.

Minggu pagi itu, kami berempat, saya, pak heri (sejawat siskamling saya ), armand & puterinya aura, memulai pendakian gunung Palasari sekitar pukul 9 .

Hangatnya mentari pagi mengiri langkah awal kami yg langsung disuguhi trek menanjak, tapi view sekitar yg indah sedikit menghibur kami disela helaan nafas yg langsung ngos-ngosan.

setelah beberapa menit melalui area hutan ilalang, kami pun mulai memasuki hutan vegetasi yg rerimbunan pohonnya menyejukkan, aliran oksigennya yg segar mulai memberikan kenyamanan.

Kurang lebih satu jam, akhirnya kami tiba di puncak gn. Palasari yg saat itu cukup ramai oleh pengunjung, kami pun membuka perbekalan dan memasak air utk menyeduh kopi sambil sedikit beramah tamah dengan sesama pendaki lainnya.

Dua jam kami bercengkerama di puncak hingga akhirnya kami memutuskan utk kembali turun…dan perjalanan turun inilah yg membuat sedikit keseruan pada hiking saat itu.

keasyikan bercengkrama dan guyon diselingi sesi foto-foto an membuat kami lupa memperhatikan jalur yg akan dilalui, kami merasa memasuki jalur yg benar karena track yg jelas dan lebar serta tepat terbentang di hadapan kami.

Kami pun terus berjalan dengan tetap diselingi gurau canda, hingga pada kurang lebih seperempat jalan, Armand bergumam,,,”koq kita ga liat tanda pos 3 ya?”
pertanyaan Arman ini membuat Pak Heri membuka aplikasi geo track & orux maps dari gadgetnya dan benar saja arah kami melenceng cukup jauh dari track saat pendakian yg sdh direcord dari mulai awal perjalanan.

Kami pun berembuk, utk menentukan, apakah kita balik arah atau meneruskan perjalanan mengingat track yg jelas pasti ujungnya benar walau sedikit melenceng dari lokasi start pendakian,,,

“Teruskeun we lah, eta bapak-bapak jeung ibu-ibu pendaki tadi ge jalan ka dieu” ujar saya karena saat itu ada sepasang pendaki di belakang kami dari rombongan lain yg ingin turun duluan sama- sama melaui jalur yg kami lalui.

“Boa si bapak jeung ibu eta ge teu apaleun trus nuturkeun urang,,,” sahut Pak Heri.

Kami pun bertanya langsung kepada si bapak di belakang kami,,,dan beliau menjawab “eh abdi mah nuturkeun akang da”
Seketika kami pun berpandangan sambil nyengir,,,”Pak, jigana urg salah jalan, urg uih deui we ka luhur ” ujar pak Heri,,,

Kami pun sepakat utk berbalik arah menuju puncak kembali utk mencari jalur yang benar,,,Arman yg dari awal pendakian kolesterolnya kambuh mulai misuh karena harus meniti kembali trek menanjak yg menurut dokter pribadinya sebenarnya tidak dianjurkan mengingat kadar kolesterolnya yg tinggi. Tapi apa boleh buat, daripada tersesat jauh.

Baru beberapa menit kami berjalan, tiba-tiba seorang pemburu babi hutan dengan membawa anjing berteriak kepada kami,,”Terus we kang, ngke aya jalan da !” sambil berlari menuruni trek diiringi bapak & ibu yg tadi mengikuti kami di belakangnya. Rupanya si bapak bertanya kpd si pemburu tersebut,,,
“Tapi kang ieu jalur kaluarna ka tenda biru?” (tenda biru adalah warung yg menjadi shelter bagi para crosser atau hiker yg beratap terpal warna biru yg terletak di simpang jalan antara jalur palintang arah gn kasur & pangparang yg menjadi titik awal pendakian kami) tanya saya
“Muhun ka tenda biru” jawab si pemburu
Kami pun berbalik kembali melanjutkan perjalan dengan bersemangat,,,

Hingga setengah perjalanan lebih, kami mulai curiga dengan trek yg kami lalui,,,curam dan seperti bukan trek pendaki pada umumnya walau dibeberapa batang pohon kami melihat stringline dari rafia warna biru,,

Saya pun kembali bertanya utk meyakinkan kepada sang pemburu yg tampak tengah istirahat
“Kang, leres ieu teh kaluarna ka tenda biru?”
“Keula tenda biru teh aya dua, anu mana ieu teh? jawab si pemburu
“Tenda biru gn kasur-palintang” celetuk pak Heri.
“Oh, ieu mah ka tenda biru lapangan trail, belah dituna deui” jawab si pemburu dengan santainya,,,
hal ini membuat saya sedikit ngedumel,,,”naha karak mere nyaho ayeuna si kehed teh”
“Hayu lah teruskeun, ayeuna mah pokokna asal nepi ka jalan aspal we heula” ujar si bapak yg mengikuti kami,,,
Dengan ragu kami pun melanjutkan perjalanan,,,dan sang pemburu tiba- tiba kelihatan terburu-buru pergi dengan alasan sedang mengejar buruan, atau mungkin ingin menutupi kesalahannya karena ke sok tahuannya tentang tujuan kami.

Trek yg kami lalui semakin lama semakin tidak bersahabat, dengan turunan curamnya, trek ini lebih mirip trek bwt pemburu babi hutan drpd trek utk pendakian umum.
Hingga kami terhenti pada ujung trek yg terhadang lembah tanpa terlihat jalur setapak pun.
Saya mencoba melipir ke samping kiri dan kanan berharap menemukan jalan setapak, sedangkan Arman menuruni lembah berharap juga menemukan setitik jalan setapak,,,

“Teruskeun we kang, itu di handap seueur tangkal cau, pasti tos caket kebon penduduk!!” teriak si bapak yg mengikuti kami tiba-tiba kepada Arman.

“Stop dulu coy! ” teriak saya pada Arman, lalu saya bilang ke si bapak, kalau vegetasi pohon pisang itu ciri area lembah blom tentu area pemukiman dan bukti itu saya perkuat dengan maps pada aplikasi yg tertera di gadgetnya pak Heri yg menggambarkan topografi dengan garis kontur yg rapat yg artinya itu adalah area lembah yg curam.

Si bapak yg sebelumnya berambisi utk terus melanjutkan perjalanan menuju lembah diam membisu.
Saya pun meminta Arman, Aura dan pak Heri utk balik arah kembali menuju puncak.

Si bapak ragu utk mengikuti kami hingga dia bertanya kpd pak Heri,,,
“Bade ngiring ka luhur deui pak?”
“Enya lah pak, eta nu kaluhur kelompok abdi, nya abdi ngiring” jawab pak Heri,,,si bapak pun dengan langkah berat kembali mengikuti kami dengan menuntun si ibu.

Webbing yg selalu saya bawa dlm backpack, pada hiking kali ini bener saya gunakan dan memang ada gunanya,,,pada beberapa jalur webbing ditambatkan utk membantu menaikki jalur yg terjal yg menguras tenaga yg semakin berkurang,,,

Hingga hampir dua jam akhirnya kami tiba di puncak kembali,,,sebuah pengalaman baru,,,dua kali menjejakkan kaki di puncak dalam satu hari, dan ini bukan prestasi tapi karena musibah (Armand’s quote)

Dan dari puncak terlihat jalur kecil lebih kecil dr jalur yg td kami lalui ke arah kiri,,,dan justru trek kecil itu lah jalur yg benar,,,dan kami pun melalui jalur turun itu dengan lega,,,hingga tiba di titik awal pendakian disambut kue balok dan kopi panas,,,

Menimbang Railway Adventure Sebagai Lokomotif Wisata

Railway Adventure awalnya adalah sebuah konsep sederhana yaitu perjalanan menjelajah alam sekitaran Bandung dengan menggunakan Kereta Api lokal sebagai alat transportasi agar masyarakat lebih bervariatif dalam berwisata mengingat kebanyakan masih ‘roadtrip minded’. Berawal dengan menerapkan konsep berkereta api ini menuju Gua Pawon, Stone Garden dan Gunung Hawu di daerah Padalarang, lalu berkembang ke wilayah Purwakarta menuju Gunung Cupu dan melebar kemudian ke arah Cicalengka menuju Curug Cinulang dan Kareumbi.
Sejak D1VA menerapkan konsep ini, banyak masyarakat umum mulai tertarik mengikuti trip model ini. Terbukti dari permintaan mengunjungi  Cisomang Railway Bridge yang meningkat, sayang jadwal KA Lokal yang berubah menjadi kendala tersendiri. Sepertinya KA Lokal masih dipandang sebelah mata sehingga harus mengalah terhadap trayek KA antar kota luar propinsi. Padahal bila jadwal KA Lokal ini diposisikan strategis, dampak terhadap iklim pariwisata akan membawa angin segar dengan warna berbeda.
Mengapa trip Railway Adventure ini efektif diaplikasikan? Begini,  dengan jadwal yang terukur tentu jadwal berwisata akan lebih pasti dan terbebas dari belenggu resiko macet dibanding dengan berkendaraan mobil. Alasannya sungguh jelas, waktu sampai lebih cepat, selain faktor ekonomis dari sisi harga tiket yang murah meriah.

Mengapa RA ini juga sangat cocok untuk kaum masyarakat urban? Dengan mengenal dan berhenti di stasiun-stasiun kecil yang selama ini hanya terlewati ketika kita ke Jakarta atau Jogjakarta akan menjadi pengalaman tersendiri. Seperti ada perasaan campur aduk ketika turun di stasiun kecil dan lalu melihat sekeliling dengan ambience yang berbeda, mencoba  berkomunikasi dengan masyarakat lokal dengan karakter yang khas di setiap wilayah. Ini tentu akan memberikan pengalaman dengan warna tersendiri bagi masyarakat kota.

Saya sempat kaget setelah berbincang dengan warga lokal saat menunggu keberangkatan kereta api di Cikadongdong,  salah satu stasiun kecil di Purwakarta,  tiba-tiba dihadiahi tanaman cingcau untuk dibawa pulang. Pernah saat di KA tiba-tiba ada seorang kakek yang mengajak mengobrol  yang ujung-ujungnya meramal masa depan kita. Jangan kaget bila teman-teman saat di dalam gerbong,  mendengar sekelompok orang melakukan paduan suara atau melihat sekelompok remaja putri melakukan pengajian. Itulah warna kehidupan masyarkat kita, tidak perlu ‘judging’ menilai itu hal buruk, cukup memahami dan beradaptasi dengan keadaan, bukankah posisi kita hanyalah visitor?
Keluar sejenak dari kotak rutinitas kehidupan urban dengan melakukan railway adventure akan membawa kita  melihat ‘the other side of peoples life in certain area’.

Siapa  yang menyangka kita pernah menginjakkan kaki di stasiun kecil Cikadongdong  lalu merasakan adrenalin berjalan kaki di jembatan kereta api  Cisomang yang konon merupakan jembatan kereta api aktif tertinggi di Indonesia, atau melakukan hal yang simple sekedar makan sate Maranggi  di stasiun Plered, hiking ke Gunung Cupu, atau membeli street food yang beraneka ragam di stasiun Cicalengka ketika akan berkunjung ke Taman Buru Masigit Kareumbi atau Curug Cinulang.

Railway Adventure paling baru dilakukan D1VA tgl 22 Agustus lalu dengan mengunjungi  kawasan Kawah Talaga Bodas di Wanaraja,  Garut.  Trip ini memadukan moda transportasi kereta api dan ‘feeder car’ menuju titik lokasi wisata. Sayangnya, KA jurusan Kiaracondong-Cibatu yang memulai keberangkatannya pukul 7.35 pagi tidak dilengkapi dengan jadwal dari Cibatu yang memadai, sehingga kami tetap harus melakukan roadtrip pulang menuju Bandung. Andai saja PT KAI mengimbangi dengan menambah trayek  KA Lokal  lebih banyak lagi dengan jadwal yang bervariatif,  tampaknya akan membuka peluang-peluang memajukan pariwisata di kawasan Priangan dan sekitarnya.  Mungkin juga ini berlaku untuk kawasan lain di Indonesia yang sudah memiliki jalur KA, dimana moda transportasi dengan konsep KA lokal yang berhenti di stasiun-stasiun kecil akan memberikan peluang pengembangan kawasan wisata di wilayah kecilnya tersebut. Bila trip-trip ini berkembang, saya yakin industri pariwisata di Indonesia akan berkembang dengan nuansa yang makin kaya. Dan sedikit demi sedikit masyarakat kita akan mengubah perspektifnya dari ‘roadtrip minded’ menjadi ‘railway minded ‘. Semoga ke depannya, setelah stasiun Garut selanjutnya stasiun Cikajang rampung akan membuka celah-celah lain dengan memberikan trayek yang lebih beragam dengan frekuensi yang lebih banyak sehingga supporti ke pengembangan wisata di wilayah-wilayah  lebih terpencil.

Bandung, 23.08.2020
Penulis
Tanti Brahmawati
D1VA Organizer

Sushi Halal dari Sungai Mekong

Backpackingan mengeksplore Mekong dengan rute Luang Prabang – Chiang Khong menggunakan longboat menyisakan cerita yang sayang bila tidak dituliskan.
Kami berkenalan dengan Mr. Lin, yang kemudian kami menyebutnya Bapa Taiwan. Tampaknya dia ketua rombongan grup Taiwan. Hari pertama di longboat sama sekali tidak saling sapa, karena grup kami lebih banyak berbaur ngobrol dengan para remaja USA dan mojok di belakang perahu sambil memperhatikan si Italian Fotografer ganteng yang terus menerus menegak Lao Beer dan tidak pernah lepas dari kamera.
Hari ke-2 di longboat, para remaja Amerika itu lebih asik main kartu remi sambil mendengarkan lagu. Grup kami yang kebagian duduk di kursi depan, bersebelahan dengan grup Taiwan dan pasangan senior Jerman. Obrolan pertama dengan  Mr. Lin ketika ia menanyakan bekal makanan kami yang tergeletak di atas meja untuk satu hari di perahu.
 “Apakah ada resto halal di Pakbeng?” tanyanya sambil menunjuk bekal kami.
Teman saya jawab, “Ada, saya nemu 2. Kami membelinya di salah satunya”
“Good.” Ia mengangguk
Saat waktu makan siang  tiba, dia bersama istri dan  rombongan -mereka ber-6- mempersiapkan makanan siang.
“Istri saya belanja di pasar apapun yang terlihat”. (Pantesan tas logistiknya besar amat😅)
“Kami hanya membeli steaky rice dan roti di hotel terakhir, lalu kami mengolahnya sendiri. Walaupun ada banyak resto halal saat ini di segala penjuru, tapi untuk perjalanan seperti ini, menyusuri roadless travel, akan sulit bila kita tidak mengusahakan sendiri.”
Dia berbicara terus sambil memberikan saya beberapa gulungan sushi yang telah dibuat istrinya.
“Apakah anda moslem?” Saya bertanya, baru nyadar…
“Ya, kami sekeluarga moslem Taiwan, bagi moslem segalanya akan jadi masalah bila kita tidak mengupayakan sendiri. Tapi bila dinikmati, sebenarnya segala upaya ini malah menjadi bagian dari petualangan itu sendiri.”
Diam-diam saya merasa kagum. Selalu ada pelajaran dari setiap perjalanan. Lalu topik beralih menjadi kota yang akan kami kunjungi. Ternyata tujuan mereka sama, ke Chiang Rai lalu ke Mae Sai dan berharap bisa bertemu kami kembali.
Kami masih bersama sampai imigrasi di Chiang Khong. Kemudian berpisah. Kami tidak bertemu di Mae Sai, tapi dia sempat mengirimkan beberapa foto resto halal di Chiang Mai, mesjid di Mae Sai dan Chiang Mai, termasuk foto selfi kami di perahu.😊
Satu kalimat yang saya ingat darinya. ‘Sebuah prinsip itu memang harus diupayakan.’
Selamat mencontoh 💚
@BrahmaTanti
17.11.19