Situ Cisanti Wisata Danau yang tak Mainstream

Rinai gerimis dan kabut pucat menyelimuti kami saat tiba di kawasan wisata Situ Cisanti, daerah Majalaya…udara dingin menyergap setiap pori permukaan kulit. Cuaca kurang bersahabat hari itu, tapi keindahan Situ Cisanti tetap tersibak diantara sergapan kabut yang datang dan pergi. Seperti gadis cantik yang malu-malu, menambah penasaran mata yang yang memandang.

Sebuah dermaga kecil, menambah kecantikan danau ini. Dermaga ini tampaknya jarang ditambati perahu, sehingga beralih fungsi menjadi dermaga ‘selfie’…dermaga untuk berfoto ria . Situ yang dikelilingi hutan pinus dan eucaliptus ini merupakan tempat wisata yg tidak mainstream, belum banyak orang yang mengetahui tempat wisata yang berhawa sejuk ini. Itulah yang menarik hati kami menyambangi tempat wisata ini.

Dalam ‪#‎SaturdayOutdoor hari Sabtu, 25 April 2015 kami berempat berkesempatan mengunjungi area wisata yang tak jauh dari gunung Rakutak ini, Situ Cisanti konon merupakan titik nol dari sungai Citarum, situ atau danau ini terletak di kaki Gunung Wayang sekitar 60km arah selatan dari kota Bandung. Beberapa situs sejarah juga terdapat di wilayah ini, salah satunya konon adalah petilasan Dipatiukur yang merupakan seorang wedana para bupati Priangan pada abad ke-17.

Waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang saat kami tiba, namun cuaca sudah memuram. Tak lama kemudian, gerimis pun menyambangi. Namun walau hujan gerimis semakin lama semakin rapat, Wawan Barang tetap teguh pada pendiriannya untuk melakukan trail running mengelilingi danau bersama seorang rekan menyibak hujan kabut.

“Era atuh geus mamawa sapatu Nike Airmax,” celetuknya.

“Maenya nike arimax ladu kitu?” selidik Bar melihat sepatu lari kumal yang diklaim Wawan nike airmax.

“Kawas sapatu jaman mad max eta mah wan,” ujar Bais mengingatkan film tahun 80-an.

Namun sikap skeptis dari rekan-rekan tak menyurutkan tekad bulat Wawan lari mengelilingi danau yang indah. Bersama Hari ia tetap bersikukuh lari-lari kecil ditengah guyuran gerimis yang semakin rapat.

“Wah tapi aku gak bawa salin, mas.” gumam Hari yang tadinya mau ikut lari, menjadi ragu.

“Udah larinya ga usah pakai baju..ayo..ayo” sahut Wawan.

“Iya..iya..tunggu mas,” dengan ragu Hari pun lari tanpa mengenakan baju. Sungkan pada ajakan Wawan.

Sementara Bar dan Bais segera melipir ke warung. Di benak mereka semangkok indome telor dan gorengan terasa lebih inspiratif pada momen itu. Juga kopi panas hmmm..

 

Perkebunan Teh Sukawana, Hanya Sepelemparan Batu dari Kota Bandung

Desa Sukawana menjadi kawasan perkebunan teh paling dekat yang bisa dicapai dari kota Bandung, sekitar 20 kilometeran dari pusat kota. Meski arealnya tidak seluas di Bandung Selatan, suasana perkebunan tehnya tak kalah indah dibandingkan Pangalengan dan Ciwidey. Suasana perkebunan teh sangat asri, apalagi semakin mendekati perbatasan hutan. Kabut dan gerimis senantiasa datang dan pergi. Gunung Burangrang akan tampak mengundang, seolah tak jauh dari jangkauan lengan.

Sebelumnya perkebunan teh ini lebih  dikenal dengan nama perkebunan teh Pangheotan. Masih terdapat plang nama menuju ke vila ini juga tertulis Pangheotan. Namun pihak pengelola perkebunan (PTPN VIII) sudah mempopulerkan nama baru yakni Sukawana  untuk perkebunan teh di sini.

Kata “pangheotan” ini diduga berasal dari kata Van Houten yang dahulunya merupakan nama salah seorang preangerplanter dimasa kolonial Belanda. Bila demikian, wajar bila nama Pangheotan juga ada di kawasan  perkebunan teh di Cikalong Wetan.

Banyak yang dapat dilakukan di area perkebunan teh Sukawana dari mulai hiking, camping, berolahraga hingga offroad. Banyak tour offroad yang ditawarkan dengan rute umumnya Cikole-Sukawana. Jalur off road Sukawana-Cikole Lembang tak asing bagi para off roader Bandung. Jalan yang mengular di kaki Gunung Tangkuban Perahu cukup menantang. Medan off road Sukawana-Cikole terbilang berat. Jalur yang membelah Hutan Jatiwangi ini memiliki tiga cekungan berlumpur dan dalam. Sudah tak terbilang kendaraan off road yang ‘stuck’ disini.

Di area pertemuan kebun dan hutan sekitar sini dipercaya terdapat tiga tempat yang dianggap menyimpan energi mistis yaitu Leuweung Kunthi, jalan batu, dan rumpun bambu. Leuweng Khunti, menurut hikayat adalah kampungnya siluman.

Menuju perkebunan teh Sukawana, dari arah Cimahi setelah Universitas Advent di kawasan Parongpong, sekitar 500 meter akan melewati pasar, kemudian di sebelah kiri ada plang “Perkebunan Nusantara Sukawana”. Bila dari arah Bandung, dari jalan Sersan Bajuri kemudian akan bertemu pertigaan dengan jalan Kol. Masturi. Ambil arah ke kiri menuju Parongpong, sekitar 100 meter ada jalan masuk ke kanan menuju perkebunan Sukawana. Dipintu masuk perkebunan diminta tiket masuk yang bersahaja : 5000 rupiah per mobil dan 2000 rupiah per motor.

11880717_10206068475083385_1435883878_n

 

Bila ingin menjelajah lebih jauh namun dengan waktu tak terlalu lama, beberapa curug disekitar Sukawana ini sangat ideal untuk dijajagi dengan berjalan kaki. Salah satunya Curug Layung yang berjarak tak sampai setengah jam perjalanan.

Bila membawa kendaraan, bisa diparkirkan di lapangan depan Villa Merah atau lebih jauh di lapangan desa atau warung terakhir. Menuju curug, ikuti jalan koral utama sampai melewati desa, setelah warung paling ujung yang terletak dikiri jalan ada jalur setapak yang cukup lebar masuk ke kebun teh. Ikuti setapak ini hingga bertemu dengan pertigaan antara ke kiri (Ciwangun Indah Camp) dan kanan (curug Layung). Ikuti arah setapak yang ke curug Layung ini dengan seksama, nantinya akan mengarah kekiri.  Seharusnya dari pertigaan itu curug tak terlalu jauh lagi. Jangan sampai kebablasan menuju area hutan lebat Cisuren.

Jalur Sukawana juga bisa menjadi akses menuju kawah gunung Tangkuban Perahu, yaitu dengan melewati tower pemancar radio. Bila anda  menuju tower, dari tugu perkebunan (foto bertiga) ambil ke kiri menuju desa karena jalur ke kanan akan menuju Cikole dengan jalan yang rusak berat akibat dijadikan jalur off road. Walau nanti kedua jalur ini juga bisa bertemu, namun berpapasan dengan hingar bingar  rombongan offroad dan trail  kurang nikmat. Dari warung terakhir, perjalanan kaki menuju tower sekitar tiga  jam.

Berminat hiking di sekitar  perkebunan teh ini? Silakan cek paket hiking Sukawana yang melewati kawasan ini.

 

 

 

Wisata Curug Cimahi di Parongpong

IMG-20150616-01232

Terdapat beberapa curug di sekitar kota Bandung yang layak dikunjungi bila berwisata, salah satunya adalah curug Cimahi. Curug atau juga Air Terjun Cimahi memiliki ketinggian sekitar 87 m, merupakan salah satu curug yang tertinggi di wilayah Bandung dan sekitarnya, berada di ketinggian 1050 m. Berjarak kurang lebih 10 kilometer dari kota Cimahi ke arah Lembang atau 20 km (sekitar 1 jam) dari kota Bandung.Entah mengapa, kini namanya menjadi curug Pelangi, mungkin supaya menambah aspek komersial dengan menambah lampu-lampu di sekitar curug sehingga bila gelap efeknya curug seperti bercahaya. Pada malam hari air terjun ini akan memancarkan warna seperti warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu layaknya pelangi yang berwarna-warni. Bisa dimaklumi bila pengelola menggali potensi wisata pada malam hari dengan menambah gemerlap cahaya lampu.

Jika menggunakan kendaraan pribadi atau travel dari pusat Kota Bandung, cukup menyusuri jalur Cihideung menuju Cisarua. Dan bila dari pusat kota Cimahi dapat melalui Sersan Bajuri ke arah Universitas Advent Indonesia menuju ke Terminal Parongpong. Harga tiket masuk adalah sebesar Rp. 15.000,- per orang dengan hari dan jam buka setiap hari dari pukul 08.00-21.00 WIB. Fasilitas parkir untuk kendaraan roda empat terletak di sebuah lapangan sepakbola tak jauh di seberang lokasi p[into masuk curug, sementara untuk roda dua bisa diparkir di sekitar pintu masuk.

Dari pintu masuk, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang menurun dan berkelok-kelok. Perjalanan turun tangga akan cukup menguras tenaga dan membuat napas terengah-engah. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke curug ini dari pintu gerbang sekitar 30 menit. Bayangkan perjalanan pulang nya! Namun di sepanjang perjalanan dapat ditemui monyet-monyet bergelantungan di atas pohon, cukup menghibur nafas yang ngos-ngosan. Menurut petugas di kawasan wana wisata itu ada sekitar 200-an ekor monyet.

 

Sensasi Water World di Danau Cirata

???????????????????????????????

Kawasan Waduk Cirata memiliki  luas 43.777,6 hektar terdiri dari 37.577,6 hektar wilayah daratan dan 6.200 hektar wilayah perairan. Danau buatan ini dibangun pada 1986 dengan merendam ribuan hektare area pertanian, hutan, dan permukiman penduduk di sebagian wilayah Cianjur, Purwakarta, dan Bandung .

Waduk dimanfaatkan bukan saja sebagai pembangkit listrik tanaga air (PLTA), tetapi juga sebagai lahan budi daya ikan air tawar dan objek wisata. Objek wisata yang ramai dikunjungi masyarakat adalah Jangari di Kecamatan Mande, Maleber di Kecamatan Cikalongkulon, dan Calincing di Kecamatan Ciranjang. Namun dalam perkembangannya, objek-objek wisata di Waduk Cirata “terkalahkan” oleh pesatnya budi daya ikan air tawar jaring apung, sehingga objek wisata seperti Jangari, Maleber, dan Calincing bergeser menjadi pelabuhan pendaratan dan pengangkutan produksi ikan jaring apung.

Hujan yang turun sore itu di kawasan danau membuat suasana semakin dekat pada kesyahduan yang magis. Sejenak siapapun akan melupakan sumpeknya rutinitas hidup.   Saat gelap semakin merambat wisatawan akan dimanjakan oleh hidangan makan berupa ikan bakar yang diambil langsung dari karamba.

Rombongan turis bisa menginap di rumah makan terapung di tengah danau sehingga suasana magis kehidupan water world  makin terasa. Kegelapan malam yang hening di tengah danau perlahan tanpa terasa menarik hari semakin purba lalu kemudian dibangunkan oleh sun rise yang megah. Bila anda penyuka fotografi, inilah saatnya untuk merekam kehidupan warga di danau. @districtonebdg

Sejenak Menyepi di Kawah Putih

It is in deep solitude that I find the gentleness with which I can truly love my brothers. The more solitary I am the more affection I have for them…. Solitude and silence teach me to love my brothers for what they are, not for what they say  (Thomas Merton).

Kawah Putih adalah sebuah tempat wisata di kawasan Ciwidey, Bandung Selatan. Tempat ini merupakan sebuah danau yang terbentuk dari letusan Gunung Patuha. Tanah yang bercampur belerang di sekitar kawah ini berwarna putih, lalu warna air yang berada di kawah ini berwarna putih kehijauan, yang unik dari kawah ini adalah airnya kadang berubah warna.

Pada tahun 1837 seorang ahli botani kebangsaan Jerman bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn datang ke kawasan ini untuk melakukan penelitian. Iat sangat tertarik dengan kawasan pegunungan “terlalu sunyi” sehingga tidak ada burung yang terbang di atasnya, maka ia berkeliling desa untuk mencari informasi. Bagi Junghuhn, pernyataan masyarakat setempat yang sangat berbau mistis tidaklah masuk akal. Karena tidak percaya dengan cerita-cerita tersebut, ia pergi ke dalam hutan rimba untuk mencari tahu apa yang ada di sana. Ia berhasil mencapai puncak gunung, dan dari sana ia melihat keberadaan sebuah danau indah berwarna putih dengan bau belerang yang menyengat.

Area Kawah Putih merupakan awal trek bila ingin mendaki Gunung Patuha. Area danau kawah ini bisa dicapai dari Cipanganten,  Punceling dan TWA Kawah Putih.

Bagi saya pribadi kawah belerang berwarna putih ini memiliki tempat tersendiri di hati. Pada tahun pertama kuliah di bibir kawah inilah saya pertama berkenalan dengan kegiatan petualangan, lalu pada akhir masa kuliah disini pula saya melakukan hal yang sama pada para petualang baru. Membawa mereka kepada pintu gerbang dunia petualangan sambil diam-diam mengucapkan perpisahan yang sunyi pada kegiatan petualangan kampus dan para sahabat. Sejenak menyepi dari dunia petualangan. @districtonebdg

Bunga –Bunga Rawa di Ranca Upas

rusa rc upas

 

Few are altogether deaf to the preaching of pine trees. Their sermons on the mountains go to our hearts; and if people in general could be got into the woods, even for once, to hear the trees speak for themselves, all difficulties in the way of forest preservation would vanish (John Muir)

 

Bumi perkemahan Ranca Upas di Ciwidey memiliki medan yang lengkap untuk berlatih di alam dengan areal rawa dan hutan diantara tiga bukit yaitu Tikukur, Kolotok dan Cadas Panjang. Di areal ini terdapat pula sumber air panas yang mengandung bekerang sehingga konon bisa menyembuhkan rematik dan penyakit kulit.

Rawa-rawa menjadi pesona tersendiri yang unik dan jarang dijumpai di tempat lain. Di sekitar rawa tumbuh banyak bunga-bunga rawa yang semakin membuat menawan panorama disana. Tentu saja untuk melihat berbagai keindahan itu anda harus sedikit masuk ke arah rawa, menjauh dari hiruk-pikuk warung dan lapang parkir.

Ranca Upas bagai rahim bagi para petualang dimana hampir semua penggiat alam bebas di Bandung dan sekitarnya pernah berlatih disana sehingga medan berlumpur dan tergenang air itu bukanlah hal yang asing bagi mereka. Setiap beberapa tahun sekali seolah rawa-rawa di Ranca Upas memanggil para super swamper itu untuk kembali ke rahimnya. Dimanapun mereka berada suara  halus yang  dibisikkan rawa-rawa itu selalu menyelinap kedalam hati. Kabut tebal dan udara dingin kembali terasa dingin di sekujur tubuh, dan aroma tanah serta rerumputan mengawang di sekitar. Terasa ada sesak yang tak tertahankan di dada untuk kembali menengok bunga-bunga rawa.

Lumpur sedalam lutut dan genangan air harus ditempuh lebih dari setengah jam untuk menuju hutan kawasan Leuweung Tengah, belum lagi bila hujan mengguyur dan perjalanan malam yang gelap gulita di tengah hutan. Namun tak ada yang dapat menghalangi kerinduan untuk kembali berkumpul bersama di rawa-rawa hutan Ranca Upas. @districtonebdg

 

Kawasan Bukittunggul Sarat dengan Legenda Sangkuriang

 

IMG-20140920-00042

Selama ini hanya gunung Tangkuban Perahu yang sangat dikenal oleh khalayak sebagai perwujudan dari mitos cerita Sangkuriang. Kita sudah tahu dari cerita Sangkuriang bahwa perahu  yang hampir selesai itu terhentikan pekerjaannya karena tentara jin mengira matahari sudah akan terbit.Sangkuriang pun marah karena proyeknya gagal, perahu yang hampir jadi ditendang sehingga terbalik lalu kemudian menjadi gunung Tangkuban Perahu.

Tak banyak warga Bandung yang mengetahui bahwa gunung Bukittunggul lekat sekali dengan legenda Sangkuriang. Sisa pangkal pohon yang ditebang berupa tunggul berubah menjadi gunung Bukittunggul. Ada juga tempat bernama gunung Tumpeng  di wilayah Bukanagara dan gunung Paisdage di Cipunagara yang diceritakan merupakan tempat  pembuatan makanan bagi para pekerja proyek Sangkuriang.

Kini di kawasan ini sudah ada pengembangan Agrowisata yang dapat dinikmati khalayak umum antara lain : Situ Sangkuriang, Curug Batu Sangkur, Area camping Ground, Penangkaran Binatang dll.

Di kawasan perkebunan Bukittunggul iklim menurut klasifikasi Scmidt & Ferguson termasuk type B, topografi berbukit dengan ketinggian tempat 1.200 – 1.650 meter dpl dan mayoritas jenis tanah tergolong tanah Andosol. Luas areal konsesi Kebun Kina di Bukittunggul adalah seluas 3.656,77 Ha tersebar di 5 Afdeling  yaitu Bukittunggul, Bungamelur, Cikembang, Puncak Gedeh, Cibitu. Tanaman pokok yang dikelola PTP VIII ini adalah komoditi Kina seluas 2.268,68 Ha namun pada beberapa lokasi ada juga komoditi Kayu Putih ( Eucalyptus da Jabon ). Menuju kawasan Bukittunggul  bisa melalui Palintang (dari arah Ujungberung) atau Cibodas (dari arah Maribaya). @districtonebdg

Priangan Si Jelita

 

“Tuhan menciptakan Tanah Priangan tatkala sedang tersenyum” (MAW Brouwer)

 

Tanah Priangan dikenal sebagai  bumi yang elok, serupa wajah feminin dan jelita dari gadis Priangan yang kerap dituangkan dalam lukisan naturalis. Priangan atau sering disebut juga Parahyangan berarti Tempat Para Dewa. Daerah ini mencakup kawasan bagian tengah Jawa Barat yang keadaan geografisnya bergunung-gunung dan banyak sungai mengalir sehingga menjadikannya daerah yang amat subur.

Wilayahnya sekarang ini kurang lebih meliputi Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Cianjur. Bentang alam yang elok ini semakin memabukkan ketika ditunjang oleh budaya yang halus dan penuh cita rasa. Tak heran hingga kini pun bumi Priangan selalu menjadi tujuan wisata bagi masyarakat daerah lain.

 

Sejarah Priangan

Pada masa silam letusan gigantik dari Gunung Tangkuban Perahu  telah membendung aliran sungai Citarum purba di daerah Padalarang sehingga genangannya membentuk Danau Bandung purba yang sangat luas yaitu sekitar 50 km x 30 km persegi. Setelah lama tergenang pada akhirnya aliran air Danau Purba di cekungan Bandung mendapatkan pelepasan melalui proses erosi di celah-celah hogback ( Sunda : pasir ipis ). Maka terciptalah lembah yang masif dan subur dari sisa-sisa genangan air danau tersebut

Penduduk Priangan terdiri atas asimilasi pribumi dan pendatang. Penduduk asli diperkirakan merupakan keturunan dari komunitas yang telah lama menetap sejak masa Danau Purba. Sementara arus migrasi pendatang memasuki wilayah Priangan dari wilayah di sekitarnya dimana tanah yang subur dan berlimpahnya air merupakan daya tarik utama selain kondisi politik yang terjadi pada masa kerajaan. Arus migrasi penduduk ke Priangan semakin tercatat sejak masa bertahtanya kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Sistem persawahan dan pertanian komoditas yang berkembang – antara lain akibat sistem Priangan Stelsel pada jaman VOC- telah menumbuhkan pusat kegiatan ekonomi sehingga pendatang yang berasal dari etnis Cina, Arab dan Eropa semakin banyak datang ke Priangan. Pada abad XIX pertumbuhan penduduk di Priangan lebih banyak disebabkan oleh arus migrasi dibandingkan pertumbuhan alami.

Sebagai wilayah sentral kawasan Priangan, kota Bandung mewarisi banyak tradisi dan peninggalan masa lalu dari tanah Para Dewa tersebut. Seperti di masa silam, hingga kini pun kota Bandung senantiasa sukacita menyambut kedatangan para wisatawan pemuja cita rasa. Dengan caranya sendiri kota yang dijuluki Paris van Java ini menginspirasi para tamunya. Maka tak heran ketika konotasi Priangan kini sering dialamatkan kepada gemulainya kota Bandung.

 

Menemukan kembali legenda

Namun siapa pun harus bersiap kecewa bila berharap merasakan getar legenda dewi-dewi Priangan di tengah-tengah konsumerisme dan kosmetika kota. Geliat metropolitan kota Bandung tak ada bedanya dengan hedonisme kota-kota besar lainnya. Tak akan banyak inspirasi hidup yang ditawarkan mall-mall yang menjamur di setiap sudut kota. Mengikuti gaya hidup metropolis bagaikan menegak air garam dikala haus, hanya membuat rasa kehausan itu semakin mencengkeram.

Bila ingin menemukan kembali keanggunan tanah Priangan maka yang harus dilakukan adalah menghindar dari hingar-bingar metropolisnya. Pergilah bercengkerama dengan alam dan masyarakat di sudut-sudut pedesaan dan pinggir hutan. Sewaktu-waktu Sang Dewi akan menyibakkan keindahan yang selama ini silap dirasa oleh indra. Bila anda beruntung mendapatkannya, momen itu akan merupakan salah satu inspirasi berharga dalam hidup.

 

Namun bila  tak sempat mencumbui keindahan alam Priangan yang perawan, ada cara yang mungkin membantu anda menggapai Sang Dewi. Saat berjalan-jalan berkeliling kota dan desa,  bukalah hati anda. Tersenyum saat berpapasan dengan orang yang tak anda kenal, mengalah, memberi kesempatan dan membagikan setitik rejeki anda pada para fakir. Dengan melakukannya, bukan hanya anda mendekat pada keanggunan para dewi, namun bahkan keindahan itu telah menitis. Siapapun yang bertemu dengan anda, akan merasakan kehangatan Sang Dewi dan keindahan masa keemasan  Priangan. Sebuah momen yang menghangatkan kehidupan dan tak akan berlalu begitu saja. @districtonebdg

Gawir Jontor Alias Tebing Keraton

Motor yang saya tunggangi pagi itu berjalan lamban, tenaganya banyak terkuras karena jalanan yang menanjak dan terjal berbatu, beberapa jalanan aspalnya banyak yg mengelupas. Saya pagi itu berencana mengunjungi sebuah obyek wisata alam yang “booming” di media sosial…Tebing Keraton. Saya yang penasaran karena ketenaran Tebing Keraton yg instant itu, memaksakan untuk tabah menyusuri jalan yg menanjak & rusak parah.

Sengaja saya ajak anak & istri saya untuk ikut dalam perjalanan ini, karena saya ingin mengajak mereka sekedar refreshing melepaskan diri dari rutinitas. Sekitar 15 menit kami berkendara dengan sangat hati2, sampai akhirnya kami menemukan warung untuk berhenti sesaat.

Sambil rehat & makan jajanan yg ada, kami ngobrol dengan  ibu pemilik warung, si ibu pemilik warung ini menganjurkan agar saya saja yg melanjutkan perjalanan sampai ke Tebing Keraton, karena khawatir dengan kondisi jalanan yg katanya semakin menanjak dan terjal.

Setelah sepakat, akhirnya saya sendiri melanjutkan perjalanan.  Jalanan memang semakin menanjak, tidak berapa lama saya melewati warung2 yang dipenuhi para Goweser atau penggiat olah raga sepeda…hmm ini Warban (Warung Bandrek) lokasi yang sudah tidak asing lagi bagi para Goweser Bandung.

Setelah melewati Warban, tidak berapa lama akhirnya saya tiba di lokasi Tebing Keraton…wow orang2 dari luar Bandung banyak yg berkunjung, rupanya mereka juga punya kepenasaran yg sama atas ketenaran obyek wisata ini.

Setelah membayar ticket masuk, saya langsung menuju sebuah bibir tebing yg menjorok keluar, hmm ini lah Tebing Keraton itu…Dinamakan Tebing Keraton  karena kondisi bibir jurang yg menjorok keluar seolah podium alam sehingga kita bisa melihat pemandangan dengan leluasa, kondisi ini beberapa org menganggap sebagai sebuah “kemewahan” yang oleh penemunya “kemewahan” ini dianalogikan sebagai “keraton”. Nama asli tempat ini sendiri adalah Gawir Jontor yang berarti bibir jurang yg jontor (menjorok keluar).

Banyak sekali orang2 berdesakkan di seputar tebih untuk sekedar berfoto2, dari bibir jurang ini pemandangan terlihat lepas. Penduduk setempat mengatakan, jika pagi bibir jurang ini tertutup kabut, sehingga kita seolah2 ada di puncak Bromo & katanya seolah2 kita berdiri di atas awan…

Bagi saya pribadi Tebing Keraton tidaklah begitu istimewa, tapi mungkin bagi orang lain ini adalah sebuah “ kemewahan”.  Daya tariknya yang tiba2 menjadi luar biasa membuat lokasi ini banyak dikunjungi, tapi sayangnya tidak didukung dengan akses jalan yg memadai.

1480659_10202925796898711_287437094117783424_n 10698587_10204699183823332_6894252231989324542_n IMG01122-20140907-1130 IMG01121-20140907-1128

City Escape di Dago Pakar

PS IMG_6474_Snapseed rsz

Adventure is not outside man; it is within (George Eliot)

 

Semilir angin terasa dingin mengelus permukaan kulit. Udara sejuk semakin menusuk karena hujan turun sejak sore tadi di kawasan Dago Pakar tempat kami sedang berkumpul. Percakapan hangat yang ditemani gelas-gelas berisi kopi panas sedikit mengusir hawa dingin kala malam semakin beranjak. Hujan belum juga mau berhenti seakan ia ingin menghadirkan suasana masa lalu kala cuaca seperti ini seringkali menemani kami di alam liar.

 

Taman Hutan Raya Juanda

Lokasi Taman Hutan Raya Juanda yang terletak di tengah-tengah wilayah Bandung awalnya dikenal sebagai Kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari dan Taman Wisata Curug dago. Hutan ini  merupakan kawasan pelestarian alam  yang   berfungsi sebagai paru-paru kota Bandung. Jaraknya hanya lima km dari Gedung Sate sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat.

Taman Hutan Raya Juanda diresmikan pada tanggal 14 Januari 1985 bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Juanda berdasarkan Keputusan Presidan No. 3 Tahun 1985 dengan luas 590 Ha. Tahura Juanda secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Cicadas dan Kecamatan Lembang, pengelolaannya berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 192/Kpts-II/1985 diberikan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

Kawasan hutan ini memiliki daya tarik wisata alam yang cukup beragam seperti pemandangan alam, flora dan fauna serta keadaan udaranya yang sejuk dan nyaman.Di dalam kawasan Taman Hutan Raya terdapat berbagai obyek wisata yang cukup menarik seperti Monumen Ir. H. Juanda yang terletak pada suatu plaza, gua-gua buatan peninggalan jaman kolonial, Kolam Pakar yang merupakan kolam buatan seluas 1,15 Ha yang berfungsi sebagai tempat penampungan air yang berasal dari sungai Cikapundung. Serta terdapat 2 buah curug (air terjun) yaitu Curug Dago dan Curug Omas yang tingginya 35 m.

Di goa Goa Jepang terdapat empat lorong untuk masuk, dimana konon katanya lorong ke dua dan ketiga sebagai lorong jebakan. Hanya berjarak sekitar 500 meter dari Goa Jepang, terdapat Goa Belanda yang berumur lebih tua dari Goa Jepang, karena dibangun pada tahun 1918. Di goa ini masih terdapat bekas rel roli yang digunakan untuk segala macam pengangkutan.

 

Mengakrabi  Dago Pakar

Walau hanya “sepelemparan batu” dari kota, hanya beberapa kali saya menyempatkan diri menikmati keasrian hutan ini. Alasannya sederhana saja, saat masih kecil hutan ini terasa terlalu lebat dan menakutkan, sewaktu SMA saya melihatnya bagai laboratorium biologi yang membosankan dan ketika telah sering menjelajah saat menjadi mahasiswa saya menganggap hutan terlalu manis sehingga akan lebih heroik bila berjalan-jalan di kelebatan hutan alami di Situ Lembang atau Bukitunggul. Hingga suatu saat karena kepindahan kembali ke Bandung, maka saya lebih sering merasakan keasrian suasana hutan ini.

Di kawasan Dago Pakar kerinduan pada gunung dan hutan  itu sedikit terobati. Apakah kami akan kembali melakukan penjelajahan seperti dulu? Mungkin saja..entahlah…., biar insting saja yang nanti menjawabnya, bila getaran-getaran halus itu masih ada. @districtonebdg