Sendang Geulis Kahuripan, Oase Jernih di Tengah Perkebunan Teh

14449835_10210547181659623_5304930277049418966_nKawasan Cisarua, Lembang telah masuk ke dalam radar survey sejak beberapa waktu lalu.  Rute yang kami incar adalah jalur Burangrang-Cirata (BURATA) yang biasanya hanya dilewati oleh goweser.  Tentu saja , survey dimaksud adalah survey on foot, tanpa mengecilkan arti moda transport apapun.  The swiftest travel is he who goes on foot.  Namun seperti biasa, rencana tinggallah rencana. Karena terdampar di waitinglist survey, jalur yang masuk kedalam  rute BURATA itu hanyalah menjadi sebuah judul di timeline survey. Hingga pada suatu hari seorang teman yang notabene bukan tipikal outdoor bercerita bahwa dengan motor maticnya ia sengaja menyasarkan diri melewati Cisarua, jalan koral kebun teh Pangheotan , dan keluar dari Cikalong Wetan .

“Pemandangan nya mantap..” decaknya penuh kekaguman.

Selorohan ringan tentang menyasarkan diri itu sontak mengingatkan pada rencana survey ke jalur BURATA. Tanpa membuang waktu esoknya dengan motor kami menuju kesana. Dua motor dengan tiga personil  berangkat pagi hari dengan harapan tak kena hujan yang biasa turun pada siang hari di daerah itu. Seperti biasa, survey pertama ini hanya  bersifat mengumpulkan informasi awal. Misal akses jalan, warung terakhir,  tempat menitipkan kendaraan dsb.

Jalan masuk kejalur ini adalah melalui jalan disamping SPN Cisarua, yang hiruk pikuk karena ternyata disamping pasar.  Tak ayal biarpun memakai motor, macet parah sepanjang pasar ini harus dilewati sekitar pukul 9 pagi itu.  Apalagi kalau bawa mobil, pikir kami. Padahal ini hari Kamis, bukan hari weekend.

Selepas melewati kemacetan pasar,  jalan dengan kondisi cukup baik kami lewati sambil mengarahkan motor kearah Cipada. Jalan beraspal ini kemudian berakhir begitu saja di koral, hingga akhirnya sampai di perbatasan perkebunan teh.  Karena sudah tak menemui aspal tadinya survey akan dihentikan sampai disini saja, enggan untuk menerjang jalan koral yang entah terbentang berapa kilometer. Biarlah nanti disurvey dengan hiking atau lari.

Namun ketika sejenak berhenti, terbaca sebuah plang kecil menuju wisata Sendang Geulis Kahuripan.  Sebelumnya kami pernah mendengar sekelebat nama tempat ini, sehingga semangat untuk melanjutkan survey memercik kembali. Motorpun berlenggak-lenggok diantara jalan koral dan becek khas perkebunan teh.  Namun harus diakui pemandangan perkebunan teh yang mengarah ke gunung Burangrang ini memang indah tiada tara. Tak salah bila teman kami berdecak terkagum-kagum.

Perkebunan teh yang dilalui bernama Pangheotan, mengingatkan pada sejarah seorang preanger planter bernama van Houten.  Arah ke Sendang sendiri tak terlalu jelas, namun dengan rajin bertanya akhirnya ketemu juga yaitu setelah melalui portal perkebunan akan menemukan pertigaan dengan sebuah shelter. Ambil jalan yang paling kiri, walau motor akan sempoyongan oleh kondisi jalan.  Toh akhirnya sampai juga walau teman yang dibonceng terpaksa harus turun dulu.

14469485_10210547226900754_3286501856555950937_nKeberadaan sumber air yang amat jernih ini layaknya oase ditengah perkebunan teh,  mestinya mengundang wisatawan berdatangan. Namun sepertinya hanya para motoris penasaran yang dominan kesini. Setidaknya itu kesan kami, karena kondisi jalan koral dan tak terdapat banyak info mengenai keberadaannya. Padahal jalan kesini relatif datar dibanding jalan koral perkebunan teh Sukawana yang lokasinya tak jauh darisini. Mungkin kebanyakan lebih memilih kesana.

Motor bisa masuk hingga parkiran Sendang atau dititipkan di halaman rumah penduduk pun akan disambut dengan baik. Hanya ada beberapa rumah, dan tampaknya didesain untuk menampung pengunjung yang ingin bermalam. Di lokasi Sendang sendiri yang terletak lebih kebawah, tampaknya sering menerima tamu yang bermalam. Suasana sekitar Sendang sebenarnya agak mistis, dengan sebuah pohon beringin besar yang menaungi parkiran. Tarif masuk sebesar 10 ribu rupiah, dengan karcis resmi dari Perhutani.

14445072_1461167500566543_506210477321556143_oSebuah kolam buatan disediakan bagi yang ingin berendam menikmati kesegaran air dari telaga kecil. Namun saya lebih memilih berendam di telaga kecil tempat keluar mata air, sensasinya lebih alami. Bila sudah sampai sini, rasanya sayang bila tak mencoba berendam di kolam kecil ini. Rasanya akan luarbiasa segar.

Setelah puas mengeksplorasi Sendang Geulis Kahuripan, kami  pulang mengambil jalan pulang berbeda arah, yaitu menuju jalan raya Purwakarta di Cikalong Wetan. Bila enggan melewati jalan koral yang lumayan panjang dari arah Cisarua, alternatif menuju kesini adalah keluar tol Padaleunyi gate Cikamuning, kemudian belok kanan menuju Purwakarta. Setelah beberapa kilometer disebelah kanan akan ada jalan menuju Cisomang, ikuti sampai habis jalan aspal. Darisini jalan koral tak terlalu panjang, bila berjalan kaki pun jadinya  lebih memungkinkan. @districtonebdg

 

Miniatur Air Terjun Niagara di Gunung Halu

13177311_1343177642365530_679079921881671506_nMembicarakan wisata air terjun di Bandung, maka semua akan mengakui Curug Malela Bandung sebagai  salah satu yang termegah. Namun ironisnya juga mungkin yang paling jarang dikunjungi karena letaknya yang terpencil. Curug ini karena keindahannya sering disebut sebagai surga tersembunyi mengingat lokasinya yang sangat terisolir dari ‘peradaban’. Jadilah tempat wisata di kabupaten Bandung Barat ini bagaikan sebuah harta karun keindahan bagi wisatawan. Mereka  yang pernah mengunjungi dan menikmati keindahannya kerap menobatkan air terjun ini sebagai miniatur Niagara, air terjun yang termahsyur sedunia itu.

Curug Malela terletak di Desa Cicadas, Rongga – Gununghalu. Tempat wisata alam di Cililin ini lokasinya memang cukup terpencil yaitu baru bisa dicapai setelah kurang lebih 3 jam berkendara dari pusat kota Bandung. Itupun belum sampai dilokasi curug karena jalannya rusak, alhasil perjalanan harus dilanjutkan berjalan kaki menuju lokasi selama 2-3 jam. Bila enggan berjalan kaki bisa memakai jasa ojek hingga pelataran parkir. Darisinipun lokasi curug belum kelihatan melainkan masih harus berjalan kaki menuruni tangga pavling blok selama 30 menit.  Di beberapa tempat pavling blok nya sudah hancur, menyisakan tanah merah yang licin bila hujan.

 

IMG-20160511-03488Curug Malela ini memiliki ketinggian sekitar 60 meter dengan lebar curug mencapai 70 meter, serta memiliki 5 buah jalur air terjun. Hulu sungainya berasal dari lereng utara Gunung Kendeng, gunung berapi yang telah mati, di sebelah barat Ciwidey.

Setelah rencana yang tertunda-tunda sejak tahun lalu, duaminggu sebelum bulan puasa 2016  kami memantapkan diri menuju curug Malela. Sejujurnya inipun tak murni sekedar menuju curug, karena sekalian mengantar salah seorang personil yaitu Tanti menyelesaikan pekerjaannya di Sindangkerta. Jauhnya perjalanan, itulah yang membuat semangat kami selalu maju-mundur.

” Tilu jam di jalan mah kawas ka Garut wae,” begitu celetukan bernada malas bila membicarakan curug Malela. Jauh memang.

Pada hari yang ditentukan disepakati cek poin pertemuan adalah cafe Farel yang terletak tepat didepan exit tol Bubahbatu. Bila akan masuk ke tol melalui gate Buahbatu, tempat ini sangat strategis sebagai cek point pertemuan.Keluar exit Padalarang, belok kiri menuju Batujajar, darisini kita akan beberapa kali melipir sisi danau Saguling. Warung-warung yang menyediakan ikan bakar seakan melambai-lambai.

Setelah selesai urusan di Sindangkerta, rombongan lanjut ke Gunung Halu dengan tambahan sebuah mobil yang bergabung untuk menjadi penunjuk jalan. Sepanjang perjalanan kita akan melihat pemandangan yang bervariasi dari perkampungan, kebun dan sawah, lalu menjelang Gunung Halu kita akan melewati perkebunan teh Montaya yang hijau menyegarkan mata.

Bagi anda yang berniat mengunjungi tempat wisata yang eksotis ini, berikut adalah rute jalan menuju kawasan wisata Curug Malela.

1.Menggunakan Kendaraan Pribadi

Cimahi -> Batujajar -> Cihampelas -> Cililin -> Sindang Kerta -> Gunung Halu -> Buni Jaya -> (jalan rusak) ->Curug Malela

2.Menggunakan Kendaraan Umum

Terminal Leuwipanjang -> naik angkot atau bis jurusan Cimahi/Cililin. Sampai di Cililin lanjutkan perjalanan dengan naik bus jurusan Gunung Halu/ Buni Jaya. Sesampainya di Terminal Buni jaya ganti ojek menuju desa Cicadas. Setelah sampai pelataran parkir di Cicadas, perjalanan ke lokasi Curug Malela dilanjutkan dengan berjalan kaki. @districtonebdg

Peta-Curug-Malela

Berburu  Curug di Sekitar Perkebunan Teh Sukawana

Kebun teh Pangheotan di Sukawana terletak di Kampung Kancah Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Bandung Barat. Kebun Pangheotan didirikan pada 1908 oleh Perusahaan Hindia Belanda, dan sampai dengan periode 1957, berada di bawah penguasan HIL Tiedeman & Van Kerchem, yang berkedudukan di Bandung. Tercatat dua administratur Belanda yang bertugas di kebun itu, yakni Jan Willem Ruyssenaers (1927 – 1941) dan Albert Johan Ruyssenaers (1941 – 1957). Pada 1958, kebun itu dinasionalisasi menjadi milik Pemerintah RI.

Sejatinya kawasan Pangheotan ini seluas mata memandang adalah perkebunan teh, namun dibalik bukit-bukit teh yang hijau menyejukkan mata bila kita telusuri lebih jauh begitu banyak mutiara tersembunyi lainnya. Terletak dikaki gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu,  gunung-gunung itu seolah melambai dengan penuh rasa rindu. Siapa yang tak terpesona oleh kerinduan tulus dari ibu pertiwi yang ingin memeluk anak-anaknya. Dengan sedikit tekad, kita bisa mencapai puncak-puncak gunung itu dalam waktu yang tak terlalu lama sekitar 3-4 jam.

Selain gunung yang menjulang, sungai yang  jernih mengalir dilembah ini. Sungai-sungai yang berhulu di pegunungan ini membentuk banyak air terjun yang indah sepanjang alirannya antara lain curug Layung, curug Tilu dan lainnya. Kami telah lama mendengar perihal curug-curug (air terjun) yang ada disekitar Sukawana, namun hanya setahun yang lalu benar-benar berniat mencarinya. Maklum saja, walau setiap hari Sabtu bergerilya dengan program #SaturdayOutdoor , begitu banyak tempat di sekitar kota Bandung yang harus dijejaki. Satu lokasi, kadang memerlukan lebih dari satu kali survey.

Dalam hiking di Sukawana kali ini sungai di sebelah Barat perkebunan teh menjadi target utama, karena letaknya tak terlalu jauh.  Dialiran sungai ini terdapat banyak curug yang telah dikuasai berbagai resort outbond disekitar kawasan ini. Walaupun kita bisa masuk dari pintu resor melalui jalan aspal dibawah, akses setapak dari perkebunan teh adalah jalur terbaik bila anda menyukai hiking. Jalur belakang ini akan langsung menuju curug-curug yang telah dikomersialisasi akes masuknya ini. Curug Bubrug, curug Tilu dan Curug Layung adalah astraksi wisata alam yang indah di sepanjang aliran sungai yang berhulu di kaki gunung Burangrang.

Untuk menuju curug Layung, bila membawa kendaraan, bisa diparkirkan di lapangan depan Villa Merah atau lebih jauh di lapangan desa. Ikuti jalan koral utama sampai melewati desa, setelah warung paling ujung yang terletak dikiri jalan ada jalur setapak yang cukup lebar masuk ke kebun teh. Ikuti setapak ini hingga bertemu dengan pertigaan antara ke kiri (CIC – Ciwangun Indah Camp) dan kanan (curug Layung). Ikuti arah setapak yang ke curug Layung ini dengan seksama, nantinya akan mengarah kekiri. Seharusnya dari pertigaan itu curug tak terlalu jauh lagi. @districtonebdg

 

Curug Indah di Kawasan Gunung Lingkung

IMG-20151231-WA001bacc307d-8cb0-41b8-8403-2ac15698df3a

Jalur Cikole Treetop menuju desa Cibeusi, Subang merupakan jalur hiking yang indah, entah kita akan menuju curug Cibareubeuy atau Gunung Lingkung. Saya pribadi lebih menyukai jalur gunung Lingkung karena walau kita tak akan menemukan atraksi air terjun atau desa wisata seperti jalur ke curug Cibareubeuy, trek hutan disini indah dan sepi..

Palih dieu oge aya curug di tengah leuweung mung tacan dibuka kangge umum,” ujar mang Entoy pemilik warung di kaki gunung Lingkung suatu waktu sambil menunjuk ke sebuah punggungan bukit di belakangnya. Setiap rombongan yang melewati jalur ini pasti akan berhenti di warung milik Pa Entoy, tak lain untuk menikmati minuman lahang yang segar karena baru diambil dari pohon kawung (nira).Informasi dari mang Entoy itu kerap mengiang dibenak kami sejak melewati pesanggrahannya sebulan yang lalu kala sedang survey jalur disitu.

Menjelang tahun 2015 tergelincir, jalur ini pun kembali disambangi untuk mencari keberadaan curug dikawasan kaki gunung Lingkung ini. Setidaknya sudah ada dua curug yang terdata yaitu curug Cibareubeuy yang telah biasa kami datangi dan curug Cinta Wedana atau Curug Wayang yang terletak sekitar 500 meter dari curug Cibareubeuy. Geografis curug Cinta Wedana atau curug Wayang ini terdiri dari lima undakan air terjun, cukup indah tapi masih dalam tahap renovasi sebagai kampung wisata kedua setelah Kampung Senyum.

10388683_10153742057243548_5748144603574134448_n

 

Singkat kata, setelah melewati jalur yang sama di gunung Lingkung seperti sebelumnya kami kembali tiba di tempat pesanggrahan mang Entoy. Air lahang panas menyambut kedatangan rombongan yang lelah setelah melewati tanjakan baeud di gunung Lingkung. Tambahan energy dari air gula alami ini kembali memompakan tenaga ke tubuh kami.

Seperti di Kampung Senyum, disini pun tersaji nasi liwet untuk mengisi perut yang mulai mengerang sejak terlewatinya jam makan siang. Namun sebaiknya kita memesan nasi liwet sehari sebelumnya karena tak setiap saat bisa disediakan.

Setelah melewatkan makan siang dengan nasi liwet, mang Entoy dengan bersemangat menunjukkan jalan menuju curug yang berada tak jauh dari petilasannya. Setelah berjalan sepuluh menit kami tiba di puncak sebuah curug, yaitu curug Cipangulaan. Kita hanya bisa mengeksplore di sekitar hulu curug ini saja, karena terlalu beresiko untuk turun kebawah yang berupa jurang curam. Namun sekedar mengabadikan foto disini pun sungguh sebuah pemandangan landscape yang menakjubkan.

Setelah puas mendokumentasikan curug Cipangulaan, kami bergerak menuju satu lagi curug di kaki gunung Lingkung. Jalurnya sama dengan jalur turun ke desa, namun kemudian belok kanan saat ada persimpangan pertama. Dari persimpangan ini sebuah jalur melingkar di hutan pinus membawa rombongan sampai di curug Cisarua. Lokasinya berada tepat di jalur setapak, jadi kita berjalan melewati aliran air dari curug yang berupa undak-undakan ini. Mirip dengan curug Cinta Wedana, hanya lebih lebar. Curug ini lebih ramah untuk dijadikan ajang foto dibanding curug Cipangulaan sebelumnya.

Rute pulang dari curug Cisarua akan bertemu dengan rute turun dari warung, yaitu desa adat Cimulya. Menurut hikayat, keberadaan rumah disini tetap terjaga sebanyak tigabelas rumah, tak boleh lebih ataupun kurang.

Selesailah sudah survey mencari curug di kaki gunung Lingkung kali ini. Setidaknya sudah empat curug yang kami tahu keberadaannya disekitar sini, dan kami yakin masih banyak curug-curug indah lainnya di sekitar sini.

 

 

Prasasti Thailand di Curug Dago

PS IMG_8378 resize

Prasasti Curug Dago berada dalam kawasan hutan lindung dan daerah perbukitan, di Kampung Curug Dago, Desa Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, berada di 1310 m di atas permukaan air laut. Dua prasasti terletak ± 10 km di sebelah timurlaut dari pusat kota Bandung, di tebing Sungai Cikapundung tidak jauh dari air terjun Curug Dago dalam kondisi insitu dan utuh. Lokasi prasasti dapat ditempuh melalui Jalan Ir. Juanda/Dago turun di Dago Tea House (Teehuis)/Balai Pengelolaan Taman Budaya dan dari lokasi itu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni tangga beton sampai ke lokasi prasasti.

Menurut S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (1922, Gids Van Bandoeng En Omstrcken) kedua prasasti tersebut erat kaitannya dengan kunjungan keluarga Kerajaan Siam (Thailand) ke Bandung, yakni Raja Chulalongkorn serta Pangeran Prajatthipok Paramintara, yang masing-masing merupakan raja ke V dan VII dari Dinasti Chakri. Tujuan penulisan kedua prasasti di Curug Dago yang memuat nama kedua nama raja dan pangeran itu yaitu merupakan penghormatan terhadap ke dua tokoh tersebut, lengkap dengan penulisan inisial, angka tahun serta catatan usia kedua tokoh. Memang ada tradisi yang menyatakan bahwa pada umumnya apabila seseorang raja Thai menemukan tempat panorama yang indah, maka biasanya di tempat tersebut sang raja melakukan semadhi dan kadangkala menuliskan nama atau hal lainnya yang dianggap penting.

IMG-20140909-000191621736_10203691249175162_8378994216117020087_n

Objek budaya Prasasti Curug Dago berada di bawah Air Terjun (Curug) Dago yang telah dikembangkan sebagai salah satu objek wisata pada kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda yang dikelola oleh Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H.Juanda, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Lokasi Prasasti Curug dago menempati salah satu area sebelah selatan dari Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda. Untuk pengunjung berkendaraan roda 4 dapat diparkirkan di Komplek Taman Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat yang berjarak ± 1,2 km dari lokasi objek.

Di sisi kanan air terjun terdapat dua bangunan bercat merah. Itulah tempat semedi dan prasasti raja Thailand. Dari teras atas untuk ke bawah memang perlu berhati-hati. Selain terjal, jalan berbatu itu sangat licin karena tersiram oleh deburan air terjun Curug Dago atau dari tetesan air dari tebing di sebelah kanannya.

Sampai di tempat persemedian, sambil ditemani suara deburan air menghunjam dan melemparkan butiran-butiran lembut air, kiranya kita boleh mereka-reka, gerangan apakah yang membuat tempat itu menjadi tempat semedi dua raja dari Thailand. Jawabannya, barangkali sama dengan motivasi anda datang ke Bandung.

See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=91&lang=id#sthash.lMSiDIp2.dpuf

Bukit Moko dan Puncak Bintang Tempat Wisata yang Kekinian di Bandung

IMG-20151205-02585Setelah sekian lama bermain di seputaran Dago Pakar, akhirnya terbersit juga untuk mengetahui jalan tembus dari Warung Bandrek (Warban) ke Caringin Tilu. Menurut info dari teman-teman goweser, memang ada jalan tembus kesana untuk kemudian turun di Padasuka tempat Saung Angklung Udjo. Info itu sudah kami dengar sejak lama namun karena bukan goweser jadinya hare-hare saja menanggapinya.

Kini berhubung kerap lari di daerah Dago Pakar, keingintahuan akan jalur itu ditebus dengan survey santai memakai motor di Sabtu pagi. Beriringan memakai motor matic dan bebek, kami menyusuri jalan kecil yang sebagian tampaknya baru diaspal minggu kemarin. Pemandangan sepanjang jalan ini ternyata sangat indah, menjadi pertanyaan kenapa jalur ini belum populer sebagai jalur wisata. Rata-rata dari Warban orang tak berpikir untuk menuju kesini, melainkan ke Tebing Keraton saja. Hemm, kapan-kapan lari kesini dari Dago Pakar boleh juga, pikir saya.

Kondisi jalan memang tak terlalu mulus, sebagian terpapar tanah merah entah dari longsoran atau hanyut oleh hujan. Motor harus ekstra hati-hati bila kondisi licin begini, untunglah skill mengemudi kami diatas rata-rata ( haha..capruk).

Setelah melewati jalan kecil yang meliuk-liuk dengan pemandangan lembah yang indah, sampailah di jalan utama yang menuju Bukit Moko dan Puncak Bintang. Kedua tempat itu memang berdekatan, dari kejauhan sudah terlihat monumen bintang raksasa di puncak bukit yang menandakan Puncak Bintang. Lokasinya sendiri secara administratif tepatnya adalah RW 14 Kampung Buntis, Desa Cimenyan.

Saat memasuki jalan yang dibeton kami segera dicegat retsibusi parkir sebesar 5.000 rupiah per motor. Darisini kendaraan masih bisa masuk terus melewati jalan menanjak sekitar 100 meter, lumayan untuk menghemat tenaga.

IMG-20151205-02591Kami lihat pemandangan yang terbentang tak jauh berbeda dengan sepanjang jalan yang dilalui dari Dago Pakar. Agak masygul juga, atraksi apa yang ditawarkan di lokasi yang disanjung-sanjung di medsos ini. Apa cuma patung bintang raksasa tadi yang terlihat dari jauh.

“Hayu asup, motret Puncak Bintang,” ajak Bais merogoh kocek 10ribu untuk tiket. Saya melengos malas, paling juga begitu-begitu saja.

Memahami sikap hare-hare  ini, sebaiknya pembaca menyikapi dengan bijak. Bukan berarti lokasi wisata ini tidak bagus, melainkan memang indah. Namun view seperti ini sudah terlalu biasa bagi kami, lagipula sepanjang jalan dari Dago Pakar yang dilalui tadi pemandangannya memang seperti ini, indah. Kalau hanya ingin selfie di hutan pinus, lah sedari tadi di Dago Pakar itu hutannya lebih lebat coy.

Apalagi kala mau masuk ke warung yang disebut Warung Daweung -tempat ini juga cukup disanjung di medsos- diwajibkan membayar 25ribu. Aturan ini katanya berlaku sejak bulan Maret 2015. Wah, kalau minta bayaran segitu ente kepedean, pikir saya. Di warung bawah juga minum kopi paling goceng. Jadi terlintas bisikan seorang teman goweser yang sejak 90-an bermain disini. ” Didinya mah barudak gowes ge kalabur,” bisiknya. Olala pantes saja..

Nah, supaya tak terlalu “sia-sia” berkunjung kesini, sebaiknya anda melanjutkan hiking ke arah Batu Lonceng. Berjalan santai setengah jam darisini akan bisa menikmati view Patahan Lembang yang legendaris itu. (Lihat Menonton Gunung Menangkap Awan di Patahan Lembang ). Setelah merasa puas beberapa menit melihat-liat lokasi, kami balik kanan bersiap melanjutkan perjalanan dengan jalur berbeda.

Saat akan melanjutkan perjalanan menuju ke Padasuka, saya tergelitik dengan arah yang berlawanan. Tak ada salahnya bertanya ke ibu penjaga warung kemana arah jalan itu menuju.
“Pami eta mah terasna tiasa ka Cicaheum,” jawabnya.
“Ooh..ka Jatihandap?”
“Muhun.”

Mumpung lagi disini tak ada salahnya juga dicoba, kamipun mengarahkan motor menuju arah berlawanan. Sejak awal kondisi jalan tampak kurang menjanjikan, namun keingintahuan selalu manjadi panglima dalam survey. Lewat satu kilometer jalan mulai rusak, aspalnya terkelupas dan tanah merah menutupi. Motor didepan tampak sempoyongan menembus tanah merah, akhirnya terhenti.

“Moal bisa terus jigana motor urang..!” teriak Bais, motornya sudah stuck didalam lumpur tanah merah. Saya pun ikut balik kanan, ogah ikut berkubang di tanah merah. Kami meneruskan pulang menuju Padasuka.

Sekitar dua kilometer dari Bukit Moko, adalah tempat yang dinamakan Caringin Tilu. Kami mampir sejenak mengisi perut dengan indomie telor dan kopi, sebelum pulang dengan jalanan yang terus menurun hingga Padasuka. View jalan pulang ke arah Padasuka memang tak seindah ketika datang dari Dago Pakar, hingga kami simpulkan kalau orang datang dari arah Padasuka mungkin akan berkata “Wow!” kala sampai di Moko, tetapi yang datang dari Dago Pakar hanya akan berkata”ooh..”. Namun bagi anda yang belum pernah kesini, tak ada salahnya mampir ke lokasi wisata yang termasuk kekinian ini di Bandung

Mencari Curug Cilengkrang di Ujungberung

 

1Perburuan curug (air terjun) kembali dilakukan, kali ini target kami adalah Curug Cilengkrang yang terletak di wilayah Ujung Berung, Bandung. Walau bukan curug yang indah atau populer, mencari sebuah curug di dalam hutan atau di kaki gunung selalu merupakan perburuan yang menarik. Kala menemukannya serasa berada di sebuah klimaks cerita, bahkan bila curug itu tak seindah yang dibayangkan. Adrenalin yang menjalar sepanjang pencarian itu telah lebih dari cukup untuk menjamin suatu kepuasan ber-hiking ria.

 

Menuju lokasi curug Cilengkrang tak sulit, dari arah alun-alun Ujungberung ke Cileunyi nanti akan menjumpai jalan Cilengkrang I di sebelah kiri. Perjalanan menanjak sepanjang empat kilometer, awasilah petunjuk jalan maka kita akan sampai di loket masuk ke curug, tak jauh dari arena outbond Manglayang Camp. Tiket masuknya 6.000 rupiah, sudah termasuk parkir  (2015).

2Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam dari gerbang wisata perkemahan curug Cilengkrang dengan menyusuri hutan pinus dan merayapi punggungan bukit yang meliuk-liuk. Curug Cilengkrang ini berupa rangkaian air terjun dalam rentang dua kilometer di sepanjang aliran Sungai Cihampelas. Bila akan menuju puncak Manglayang, jalur setapaknya sebaiknya ambil dari luar kawasan wisata curug, yaitu melalui dua jalan koral yang mengapit kawasan wisata curug Cilengrang ini.

Sungai ini mengikuti alur lembah Gunung Manglayang dari utara ke selatan. Di kawasan ini setidaknya enam air terjun kecil. Oleh warga setempat, air terjun itu pun diberi nama (berurutan dari hilir), yaitu Curug Batupeti, Curug Papak, Curug Panganten, Curug Kacapi, Curug Dampit dan Curug Leknan. Bagi kami sebagian lebih berupa aliran sungai yang menurun dibanding curug.

Setelah melintasi aliran sungai kecil berbatu, akhirnya kami tiba di sebuah curug  yang ternyata tengah mengering. Bayangan kami tentang gemuruh dan cipratan air sebuah air terjun tidak kami dapatkan. Curug Dampit yang terdapat di ujung jalan   setapak tak lain adalah dua air terjun berdempetan, mengalir di dinding batu, sayang airnya sedang surut saat kemi berkunjung.Yang kami temui hanyalah batu lumut bekas aliran air terjun yang mengering. Area sekitar jatuhan air sudah tertutup tumbuhan air pertanda sudah lama spot ini ditelantarkan.

8Sebagian orang akan kecewa bila berharap mendapati curug besar yang indah namun yang didapati hanya rembesan air di tebing. Namun bagi kami berada di sebuah blank spot teramat sepi di tengah hutan ini seperti melongok nirwana.

 

Buper Cikole Kaya akan Jalur Hiking yang Indah

IMG-20151104-00058IMG-20150916-01710

Lokasi bumi perkemahan Cikole berada di ketinggian sekitar 1300 meter dpl dengan suhu sejuk dan asrinya hutan pinus. Pemandangan hutan pinus yang indah ini akan sangat menggoda siapapun sebagai pilihan untuk berlibur. Tiket masuk ke kawasan Bumi Perkemahan Cikole ini, sebesar 10 ribu rupiah per orang plus parkir kendaraan 5000 rupiah.

Buper Cikole terletak di Jalan Tangkuban Perahu Km. 30 Lembang tak jauh dari pintu gerbang masuk Gunung Tangkuban Perahu. Bila gate Gunung Tangkuban Perahu ada di sebelah kiri jalan, maka Bumi Perkemahan Cikole ada di sebelah kanan dari arah Bandung. Resort di sekitar hutan Cikole mulai serius ditata tahun 2010, dimana sekarang Perhutani mengembangkan lahan seluas duapuluhan hektar ini menjadi bumi perkemahan yang terpadu dengan resort.

Selain berkemah, kegiatan fun yang banyak dilakukan disini  adalah outbound, treetop adventure, paint ball, ATV ride, sepeda downhill. Tetapi bila kurang menyukai permainan, kita dapat hiking saja menghirup udara segar sambil menyusuri jogging track yang telah disediakan, menikmati keindahan hutan. Bahkan sebenarnya jalur hiking inilah harta karun sebenarnya dari wanawisata Cikole. Selain murah dan ramah lingkungan, kegiatan hiking pun memberikan kepuasan yang tinggi.

IMG-20151125-02459IMG-20151125-02432

Banyaknya jalur hiking di Cikole yang menuju beragam tempat akan memberi kita banyak pilihan, tergantung medan yang ingin dilalui; bila ingin medan yang didominasi turunan bisa ke curug Cibareubeuy atau bila ingin merasakan sensasi puncak bukit bisa ke gunung Lingkung atau gunung Kramat. Rute sawah yang bagai lukisan pun bisa dicapai darisini.  Cikole bagai surga bagi penyuka hiking dengan suasana hutan yang lebat dan indah. Bahkan untuk hiking di lokasi buper nya pun dijamin mengasyikkan.

Darisini banyak rute hutan yang indah menuju kearah Subang maupun Bandung, misalnya menuju Wates, Cibeusi, gunung Lingkung, Cikareumbi dan lain-lain. Trek yang lebih jauh bisa mengikuti jalur sepeda MTB/downhill yang lebih jarambah  menuju Cisalak, Cipunagara atau Puncak Eurad. Namun bila waktu terbatas dengan tujuan sebatas menyegarkan tubuh, pilih lah rute yang pendek 3-4 jam saja, sehingga pada hari yang sama kita akan cukup beristirahat. Jangan memaksakan menempuh rute yang paling menantang fisik, kita sendirilah yang paling tahu bagaimana cara menikmati sebuah perjalanan hiking di tengah hutan.

IMG-20151125-02423

 

Kesunyian Masa Silam di Gua Pawon

PS IMG_8578

Hingga limabelas tahun lalu, bagi kebanyakan warga Bandung dan sekitarnya, Gua Pawon hanyalah sekedar sebuah gua yang telah ada sejak dulu kala tanpa ada pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Bahkan hanya sebagian kecil saja masyarakat Bandung yang mengetahui keberadaannya sejak gua ini dinyatakan sebagai situs prasejarah yang dilindungi. Letak  Gua Pawon  terdapat di Pasir Pawon daerah Padalarang, Kabupaten Bandung, pada ketinggian antara 700 m di atas permukaan laut. Pasir Pawon merupakan bagian dari kawasan gugusan karst gunung Masigit yang terletak 25 kilometer sebelah barat kota Bandung.

Pada tahun 2000 di situs Gua Pawon ditemukan peninggalan prasejarah setelah melalui penelitian geofisika dengan metode geomagnetik. Penggalian lanjutan di tahun 2001 kembali berhasil menemukan kerangka dan tengkorak manusia prasejarah. Pada masa penggalian  tak sembarang orang dapat leluasa keluar masuk Gua Pawon seperti dulu. Namun setelah proses pemugaran kini area itu sudah dibuka kembaliu sebagai cagar alam dan budaya.

Manusia Pawon diperkirakan kelompok manusia prasejarah dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Mereka merupakan kelompok manusia pengembara yang menelusuri  pantai Danau Bandung Purba sambil berburu binatang untuk makanannya. Hasil buruannya antara lain hewan seperti kerbau, babi hutan, rusa dan monyet. Manusia Pawon kemungkinan hidup pada masa antara 10 – 6 ribu tahun yang lalu, yaitu Kala Plestosen akhir hingga Holosen awal. Hal ini didasarkan pada artefak-artefak yang terkumpul dari beberapa tempat  yang dulunya merupakan Danau Bandung Purba.

 

Apabila kita masuk ke area gua akan segera tercium bau guano yang menyengat, ini adalah kotoran kelelawar yang bersarang di dinding gua. Kala saya masih di bangku kuliah dan sering bermain kesini, kelelawar yang bersarang di gua amat melimpah, sehingga sore hari akan tampak seperti sebuah awan hitam yang berdesing. Namun perburuan hampir memusnahkan binatang endemik Pawon ini. Kini kelelawar Pawon dilindungi dari perburuan, namun jumlahnya sudah tak sebanyak dulu.

Bila kita masuk kedalam area gua yang lapang, akan terlihat dari celahnya lembah yang subur. Tampak sungai Cibukur mengalir berkelok-kelok  di area pesawahan tanpa pernah kering walau di saat kemarau. Area gua yang lembab dan agak gelap memberikan suasana temaram yang aneh. Dengan kontur gua yang relatif tak berubah selama ribuan tahun, maka ada aura kesunyian purba saat kita menghabiskan waktu di dalamnya. Kita hanyalah tamu dari kesunyian masa silam. @bayubhar

 

Situ Sangkuriang Tak Banyak Orang yang Tahu

Tak banyak yang tahu bahwa gunung Bukittunggul pun lekat sekali dengan legenda Sangkuriang. Konon tunggul sisa pangkal pohon yang ditebang untuk membuat perahu berubah menjadi gunung, kini dinamakan  Bukittunggul. Selain itu ada juga tempat bernama gunung Tumpeng  di wilayah Bukanagara dan gunung Paisdage di Cipunagara yang diceritakan merupakan tempat  pembuatan makanan bagi para pekerja proyek Sangkuriang. Di kawasan ini sudah ada pengembangan agrowisata yang dapat dinikmati khalayak umum antara lain : Situ Sangkuriang, Curug Batu Sangkur, area camping ground, penangkaran rusa totol dan sebagainya.

Situ Sangkuriang bukan danau alami melainkan reservoir buatan untuk menampung air. Areanya tak terlalu luas, jangan bandingkan dengan danau alami seperti Situ Patengan atau situ Ciburuy, bahkan masih lebih luas danau buatan di kampus Jatinangor. Namun suasana yang sepi disini memberi nilai tersendiri dimana hanya ada bukit dan gunung hijau disekeliling, tak terlihat tanda peradaban lainnya. Barulah pada hari libur ada denyut ekonomi disini, dimanasejak pagi hari biasanya warung-warung sudah buka.

Menuju gunung Bukittunggul (2.309 meter dpl) bisa melalui Palintang atau Cibodas. Baik melalui Palintang atau Cibodas,  jalan yang berliku-liku sepanjang perkebunan kina akan seolah tak berujung menuju kaki Bukittunggul. Namun sejatinya tak pernah membosankan. Menyepi di perkebunan kina Bukittunggul bisa menjadi alternatif refreshing bagi mereka yang suntuk dengan kesibukan kota besar.

Bagi penyuka trail running kawasan ini pun cukup kondusif. Segarnya lari pagi di perkebunan kina, naik turun bukit yang diapit pegunungan. Kawasan ini terbilang masih asri karena masih terbilang jarang dikunjungi wisatawan. Banyak warga Bandung sekalipun yang belum pernah mengunjungi tempat yang hanya berjarak sejam dari jalan Dago ini. Sehingga kawasan ini seperti sebuah keindahan tersembunyi yang menunggu untuk disibak.

 

Foto : Erwin Abdulrahman