Kawasan Cisarua, Lembang telah masuk ke dalam radar survey sejak beberapa waktu lalu. Rute yang kami incar adalah jalur Burangrang-Cirata (BURATA) yang biasanya hanya dilewati oleh goweser. Tentu saja , survey dimaksud adalah survey on foot, tanpa mengecilkan arti moda transport apapun. The swiftest travel is he who goes on foot. Namun seperti biasa, rencana tinggallah rencana. Karena terdampar di waitinglist survey, jalur yang masuk kedalam rute BURATA itu hanyalah menjadi sebuah judul di timeline survey. Hingga pada suatu hari seorang teman yang notabene bukan tipikal outdoor bercerita bahwa dengan motor maticnya ia sengaja menyasarkan diri melewati Cisarua, jalan koral kebun teh Pangheotan , dan keluar dari Cikalong Wetan .
“Pemandangan nya mantap..” decaknya penuh kekaguman.
Selorohan ringan tentang menyasarkan diri itu sontak mengingatkan pada rencana survey ke jalur BURATA. Tanpa membuang waktu esoknya dengan motor kami menuju kesana. Dua motor dengan tiga personil berangkat pagi hari dengan harapan tak kena hujan yang biasa turun pada siang hari di daerah itu. Seperti biasa, survey pertama ini hanya bersifat mengumpulkan informasi awal. Misal akses jalan, warung terakhir, tempat menitipkan kendaraan dsb.
Jalan masuk kejalur ini adalah melalui jalan disamping SPN Cisarua, yang hiruk pikuk karena ternyata disamping pasar. Tak ayal biarpun memakai motor, macet parah sepanjang pasar ini harus dilewati sekitar pukul 9 pagi itu. Apalagi kalau bawa mobil, pikir kami. Padahal ini hari Kamis, bukan hari weekend.
Selepas melewati kemacetan pasar, jalan dengan kondisi cukup baik kami lewati sambil mengarahkan motor kearah Cipada. Jalan beraspal ini kemudian berakhir begitu saja di koral, hingga akhirnya sampai di perbatasan perkebunan teh. Karena sudah tak menemui aspal tadinya survey akan dihentikan sampai disini saja, enggan untuk menerjang jalan koral yang entah terbentang berapa kilometer. Biarlah nanti disurvey dengan hiking atau lari.
Namun ketika sejenak berhenti, terbaca sebuah plang kecil menuju wisata Sendang Geulis Kahuripan. Sebelumnya kami pernah mendengar sekelebat nama tempat ini, sehingga semangat untuk melanjutkan survey memercik kembali. Motorpun berlenggak-lenggok diantara jalan koral dan becek khas perkebunan teh. Namun harus diakui pemandangan perkebunan teh yang mengarah ke gunung Burangrang ini memang indah tiada tara. Tak salah bila teman kami berdecak terkagum-kagum.
Perkebunan teh yang dilalui bernama Pangheotan, mengingatkan pada sejarah seorang preanger planter bernama van Houten. Arah ke Sendang sendiri tak terlalu jelas, namun dengan rajin bertanya akhirnya ketemu juga yaitu setelah melalui portal perkebunan akan menemukan pertigaan dengan sebuah shelter. Ambil jalan yang paling kiri, walau motor akan sempoyongan oleh kondisi jalan. Toh akhirnya sampai juga walau teman yang dibonceng terpaksa harus turun dulu.
Keberadaan sumber air yang amat jernih ini layaknya oase ditengah perkebunan teh, mestinya mengundang wisatawan berdatangan. Namun sepertinya hanya para motoris penasaran yang dominan kesini. Setidaknya itu kesan kami, karena kondisi jalan koral dan tak terdapat banyak info mengenai keberadaannya. Padahal jalan kesini relatif datar dibanding jalan koral perkebunan teh Sukawana yang lokasinya tak jauh darisini. Mungkin kebanyakan lebih memilih kesana.
Motor bisa masuk hingga parkiran Sendang atau dititipkan di halaman rumah penduduk pun akan disambut dengan baik. Hanya ada beberapa rumah, dan tampaknya didesain untuk menampung pengunjung yang ingin bermalam. Di lokasi Sendang sendiri yang terletak lebih kebawah, tampaknya sering menerima tamu yang bermalam. Suasana sekitar Sendang sebenarnya agak mistis, dengan sebuah pohon beringin besar yang menaungi parkiran. Tarif masuk sebesar 10 ribu rupiah, dengan karcis resmi dari Perhutani.
Sebuah kolam buatan disediakan bagi yang ingin berendam menikmati kesegaran air dari telaga kecil. Namun saya lebih memilih berendam di telaga kecil tempat keluar mata air, sensasinya lebih alami. Bila sudah sampai sini, rasanya sayang bila tak mencoba berendam di kolam kecil ini. Rasanya akan luarbiasa segar.
Setelah puas mengeksplorasi Sendang Geulis Kahuripan, kami pulang mengambil jalan pulang berbeda arah, yaitu menuju jalan raya Purwakarta di Cikalong Wetan. Bila enggan melewati jalan koral yang lumayan panjang dari arah Cisarua, alternatif menuju kesini adalah keluar tol Padaleunyi gate Cikamuning, kemudian belok kanan menuju Purwakarta. Setelah beberapa kilometer disebelah kanan akan ada jalan menuju Cisomang, ikuti sampai habis jalan aspal. Darisini jalan koral tak terlalu panjang, bila berjalan kaki pun jadinya lebih memungkinkan. @districtonebdg
Membicarakan wisata air terjun di Bandung, maka semua akan mengakui Curug Malela Bandung sebagai salah satu yang termegah. Namun ironisnya juga mungkin yang paling jarang dikunjungi karena letaknya yang terpencil. Curug ini karena keindahannya sering disebut sebagai surga tersembunyi mengingat lokasinya yang sangat terisolir dari ‘peradaban’. Jadilah tempat wisata di kabupaten Bandung Barat ini bagaikan sebuah harta karun keindahan bagi wisatawan. Mereka yang pernah mengunjungi dan menikmati keindahannya kerap menobatkan air terjun ini sebagai miniatur Niagara, air terjun yang termahsyur sedunia itu.
Curug Malela ini memiliki ketinggian sekitar 60 meter dengan lebar curug mencapai 70 meter, serta memiliki 5 buah jalur air terjun. Hulu sungainya berasal dari lereng utara Gunung Kendeng, gunung berapi yang telah mati, di sebelah barat Ciwidey.







Setelah sekian lama bermain di seputaran Dago Pakar, akhirnya terbersit juga untuk mengetahui jalan tembus dari Warung Bandrek (Warban) ke Caringin Tilu. Menurut info dari teman-teman goweser, memang ada jalan tembus kesana untuk kemudian turun di Padasuka tempat Saung Angklung Udjo. Info itu sudah kami dengar sejak lama namun karena bukan goweser jadinya hare-hare saja menanggapinya.
Kami lihat pemandangan yang terbentang tak jauh berbeda dengan sepanjang jalan yang dilalui dari Dago Pakar. Agak masygul juga, atraksi apa yang ditawarkan di lokasi yang disanjung-sanjung di medsos ini. Apa cuma patung bintang raksasa tadi yang terlihat dari jauh.
Perburuan curug (air terjun) kembali dilakukan, kali ini target kami adalah Curug Cilengkrang yang terletak di wilayah Ujung Berung, Bandung. Walau bukan curug yang indah atau populer, mencari sebuah curug di dalam hutan atau di kaki gunung selalu merupakan perburuan yang menarik. Kala menemukannya serasa berada di sebuah klimaks cerita, bahkan bila curug itu tak seindah yang dibayangkan. Adrenalin yang menjalar sepanjang pencarian itu telah lebih dari cukup untuk menjamin suatu kepuasan ber-hiking ria.
Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam dari gerbang wisata perkemahan curug Cilengkrang dengan menyusuri hutan pinus dan merayapi punggungan bukit yang meliuk-liuk. Curug Cilengkrang ini berupa rangkaian air terjun dalam rentang dua kilometer di sepanjang aliran Sungai Cihampelas. Bila akan menuju puncak Manglayang, jalur setapaknya sebaiknya ambil dari luar kawasan wisata curug, yaitu melalui dua jalan koral yang mengapit kawasan wisata curug Cilengrang ini.
Sebagian orang akan kecewa bila berharap mendapati curug besar yang indah namun yang didapati hanya rembesan air di tebing. Namun bagi kami berada di sebuah blank spot teramat sepi di tengah hutan ini seperti melongok nirwana.






