Shenzhen Surga barang Elektronik

Shenzhen bisa dicapai cukup dengan menggunakan MRT  melalui stasiun paling ujung di Hongkong. Darisini tinggal mengantri di imigrasi untuk memasuki Shenzhen. Walau Hongkong sudah merupakan bagian dari China sejak 1997, tetap saja memasuki Shezhen harus memakai visa. Sementara bila hanya ingin mengunjungi Hongkong, turis dari Indonesia tak perlu visa.

Dari Hongkong kedua backpacker kita, Dudung dan Bar, memakai MRT tujuan stasiun Lok Ma Cau. Itu adalah stasiun MRT Hongkong paling ujung yang akan menghubungkan menuju Shenzen. Setelah antri panjang  karena banyak pula warga China daratan yang pulang ke Shenzen, lalu mengisi formalitas imigrasi, mereka sudah dalam MRT menuju Shenzen.

“Engke turun dimana?” tanya Bar.

“Di Grand Theater,”  ujar Dudung,”urang geus booking dormitory.”

Setelah turun di stasiun Grand Theater mereka mencari-cari dormitory yang dituju. Namun lebih dari satu jam berjalan berkeliling, dormitory dimaksud tak ditemukan. Tak ada yang bisa ditanya, karena semua tak bisa berbahasa Inggris. Beruntunglah walau ditengah hari cuaca cukup sejuk, hingga tak terlalu lelah.

“Geus we ka mall elekronik heula,” usul Bar. Dudung juga menyerah mencari dormitory bookingannya.

“Cenah dina email gampang neangan na..” gerutunya.

Mereka beringsut  menuju stasiun MRT Hua Qang North. Turun disini, saat keluar pintu subway, mall-mall raksasa sudah menyambut.

Shenzhen ibarat gudang terdekat bagi produk-produk China yang dipasarkan di Hongkong, terutama barang elektronik.  Bagi yang menyukai barang-barang elektronik Shenzhen ibarat surga, Dudung dengan bersemangat keluar masuk mall yang dipenuhi barang elektronik buatan China.

Sembari menawar-nawar barang elektronik, Bar menanyakan hotel terdekat. Kalau menawar barang sih mudah, walau tak mengerti bahasa Mandarin tinggal memakai kalkulator. Namun agak susah untuk menanyakan hotel. Toh akhirnya mengerti juga tapi karena tak bisa menjelaskan, pegawai toko menggambar sebuah rute jalan menuju hotel rekomendasinya – dengan keterangan bahasa kanji. Keduanya mengernyit.

“Ripuh oge maca peta kawas kieu mah,” gumam Bar,” tapi lumayan daripada euweuh informasi pisan.”

Entah sampai di hotel yang dituju atau bukan, akhirnya mereka menemukan juga hotel tak jauh dari restoran McDonald. Tarifnya 215 yuan sehari, dengan sarapan pagi  di McDonald. Setelah menginap semalam, keesokan paginya mereka keluar masuk mall lagi. Memilih-milih barang elektronik yang banyak diantaranya baru mereka lihat disini, tak ada di tanah air. Harganya pun menggiurkan.

“Lumayan mun dijual deui di Indonesia,” cetus Dudung yang berinsting tajam dalam dagang segera mencetuskan ide.

“Hoream mawa kana pesawatna,” sahut Bar yang memang hanya berniat lihat-lihat saja. Namun Dudung tak begitu saja patah semangatnya mendengar skeptisme temannya. Tak kurang dua kresek besar digembolnya sepulang dari mall.

“Moal dibantuan ah, bawa we sorangan,” ujar Bar malas.

“Bae ku sorangan ge bisa,” tukas Dudung.

Hanya sehari  tentu tak cukup disini, namun waktu yang mereka miliki tak cukup. Sore ini harus bergerak lagi ke Guangzhou. Perjalanan selanjutnya menuju Guangzhou tak terlalu mereka khawatirkan, karena sudah pernah beberapa kali kesana.  Setelah packing , keduanya naik MRT  di stasiun Yanna menuju Luohu.

Cuaca gerimis, mereka bergegas menuju subway. Gerimis semakin rapat, keduanya pun berlari-lari. Dudung tampak sibuk membawa ransel dan gembolan.

“Ngaborong yeuh..?” ledek Bar sambil cekikikan. Ia samasekali tak berniat membantu., berlari cepat-cepat menuju subway. Dudung yang membawa banyak barang bawaan  terengah-engah ditengah hujan.

“Meni embung ngabantuan..” ujarnya kesal kala tiba di subway. Bar hanya cekikikan.

Dari stasiun Yanna ke Luohu  tarifnya 2 yuan. Disini ada kereta cepat menuju stasiun Guangzhou East.  Kereta bertarif 80 yuan ini cukup nyaman, seperti kereta eksekutif di tanah air. Satu setengah jam kemudian tibalah mereka di kota tujuan terakhir yaitu Guangzhou.

Berakhirlah perjalanan mereka menerobos China melalui jalur Hongkong.

 

Tour Musim Dingin ke HongKong

IMG-20150110-00511

Sebelum  tahun 2014 berganti Dudung dan Bar sudah mengantongi visa untuk kembali memasuki China. Kali ini mereka memesan  multiple visa, untuk dua kali kunjungan.

“ Da bedana ngan saeutik,” ujar Dudung yang mengurus visa ,” mun single 600rb an mun multiple 700 rb an.” Padahal belum tentu dalam enam bulan ini mereka mengunjungi China dua kali.

Namun  ada yang sedikit mengganjal di pikiran Bar dalam perjalanan kali ini. Bulan Januari 2015 adalah musim dingin di China, walau di Selatan tak turun salju udaranya pasti mengiris kulit. Satu hal lagi, mereka akan singgah beberapa hari di Bangkok yang berudara panas. Tentu kurang elok menggabungkan  gaya berpakaian musim dingin dan tropis ke dalam ransel minimalis mereka. Namun sebagai loyalis tiket-tiket promo, akhirnya berbagai bertimbangan itu tak menghalangi mereka menembus musim dingin di China. Selain Bangkok dan Guangzhou, kali ini mereka juga bermaksud singgah di Hongkong dan Shenzen.

Setelah tiga malam di Bangkok, penerbangan Air Asia sore hari yang delay  dari Don Mueang (DMK) membuat mereka sampai di bandara Hong Kong International Airport di malam hari.  Terlalu larut untuk menuju kota yang belum pernah mereka datangi  dan masih buta berbagai informasinya. Pengalaman tak enak di Guangzhou tahun lalu membuat mereka lebih menahan diri untuk tak slonong boy  lagi.

“Tarpak di dieu we lah, hese ormed na geus peuting mah,” usul Bar. Ia melokalisir sebuah kios circkle K untuk ngopi dan makan malam. Karena musim dingin, udara Hong Kong terasa menusuk kulit  dan mereka segera menyadari bahwa para pengunjung lain bersepatu dan memakai jaket tebal. Hanya mereka yang memakai sandal dan bercelana pendek. “Saltum euy,” keluh Bar ,”gara-gara hoream ganti Don Mueang..”

Ketika malam semakin larut, udara dingin semakin brutal mengiris kulit mungkin sekitar 10 derajat Celcius. Sarung pun dikeluarkan sebagai pertahanan terakhir. Mereka berpindah-pindah ke beberapa lokasi mencari tempat menunggu yang lebih hangat.  Sebetulnya di lantai dua HKIA juga cukup banyak yang tidur menunggu penerbangan, namun udara musim dingin kerap membuat terjaga. Namun akhirnya malam yang beku di bandara lewat juga.

Sebuah kios 7eleven yang buka 24 jam di lantai 2 menjadi tempat sarapan mereka pagi berikutnya.  Sebuah paket nasi instan dan daging sapi menu sarapannya.  Segera saja mereka menemukan sebuah pola untuk survival di Hong Kong. Datang saja ke kios-kios minimart semacam  7eleven untuk makan atau ngopi. Itu lebih hemat daripada bersantap di rumah makan yang paling hemat sekalipun!

Esoknya mereka meninggalkan HKIA naik bis untuk menuju Tsim Sha Tsui dan mendapatkan penginapan seharga 300 HKD tak jauh dari mesjid Kowloon. Kamarnya kurang lebih sebesar kamar di kapal ferry ASDP.

“Asa di kapal ferry, ngan euweuh ombak hungkul,” gumam Dudung dengan masygul. Bahkan untuk sholat pun susah. Tak apa, sebuah mesjid besar ada di seberang jalan.

Rupanya mesjid besar ini berada di area taman Kowloon Park, sebuah taman yang cukup luas dan apik di pusat kota Hongkong.  Pada hari Sabtu dan Minggu, seperti juga di Victoria Park, taman ini dipenuhi oleh TKI yang bekerja disini.  Hal ini membuat mereka berdua sumringah, karena banyak menemui orang Indonesia dan juga penganan khas Indonesia. Mulai dari bala-bala, goreng pisang, pecel lele atau nasi rawon. Harganya tentu lebih mahal dibanding di tanah air. Selain TKI juga banyak tenaga kerja dari Filipina yang menggunakan area taman untuk berkumpul. Namun jelas sekali para TKI lebih mendominasi. Tiba-tiba saja mereka langsung merasa familiar dengan suasana Hongkong, setelah bertemu dengan banyak TKI ini. Walau baru beberapa jam tiba disini.

Esok harinya mereka harus sudah meninggalkan Hongkong menuju Shenzhen, tak cukup waktu bila akan mengexplore kota berdua. Disepakati mereka berpisah untuk mengexplore bagian kota yang berbeda. Dudung menuju daerah Mongkok, sementara Bar menuju Causeway Bay di Hongkong Island.  Sebelum jam checkout mereka bertemu kembali di hotel.

Sebelum meninggalkan Hongkong mereka sempat mengunjungi patung Bruce Lee di Avenue Star. Patung memoriam Bruce Lee paling banyak menarik minat turis untuk berfoto, disarankan datang pagi hari bila ingin berfoto tanpa banyak turis yang lain. Watawww…!

 

 

 

 

Annyeong-Haseyo! Kenapa dan bagaimana ke Korea Selatan

jeju-island-korea

oleh : Luthfi Rantaprasaja.

Sebagai tujuan perjalanan wisata, Korea Selatan merupakan salah satu destinasi favorit. Terutama bagi para penggemar K-Culture, baik para penggila K-Drama maupun para penggemar K-Pop. Tidak bisa dipungkiri, selain sebagai negara industri baru yang maju secara ekonomi, Korea Selatan pun mulai dikenal dunia dengan ekspor budaya-nya. Bahkan bukan hanya dikenal sebenarnya, malah bisa dikatakan kemajuan ekonomi dan getar budaya Korea telah menaklukan dunia.

Tahukah anda, salah satu merk korea  ternama, SAMSUNG, masuk dalam 10 besar Most Valuable Brands in The World! (Forbes, November 2014). Begitupun dengan produk drama2 Korea yg merasuk masuk menjadi pilihan utama hiburan rumah tangga di Cina, Jepang, Asia Tenggara dan belahan dunia lain. Sebagaimana lagu2 K-Pop Korea yang merajai tangga2 lagu dunia, bukan hanya di Asia namun hingga Eropa dan Amerika. Sebuah fenomena yang dinamakan ‘hallyu’ atau kecintaan akan budaya Korea. Maka tak heran, berbondong-bondonglah turis mancanegara yang terbius akan ekspor budaya Korea ini ingin berkunjung ke negeri idamannya tersebut.

 

Mungkin kita belum merasa terlalu terkontaminasi dengan pengaruh ekspor budaya Korea Selatan. Namun Korea Selatan yang bagi saya lebih dikenal melalui merek2 elektroniknya, pengaruhnya ternyata mungkin sudah masuk ke dalam alam bawah sadar kita. Bukan cuman karena sekarang produk asal Korea mulai dari telepon pintar, TV plasma, kulkas, pendingin udara dan lain2nya sudah menjadi preferensi utama, dimana semakin hari semakin mendesak merek2 elektronik lama. Namun juga, pesona dari produk budaya K-Drama dan lenggak lenggok penyanyi K-Pop dengan beat dan irama yang catchy serta penampilan yang sangat entertaining, membuat kita tidak bisa menolak bahwa mungkin kita sedikit banyak sudah tersihir oleh derasnya pengaruh K-culture ini.

 

Walaupun demikian, sampai tahun 2010an keatas, tidak pernah ada terbersit keinginan untuk berkunjung ke negara ini. Saat itu, preferensi destinasi favorit istri saya adalah ke barat khususnya tanah suci yang tidak bosan2nya selalu menjadi the one and only place she want to visit… kalo bisa berkunjung sekali setiap tahunnya. Sementara saya sendiri lebih menyukai untuk bisa berkunjung ke negara2 tetangga dekat, tanpa perlu repot ngurus visa dan kalau bisa yang taraf ekonominya lebih rendah daripada negara sendiri. Biar bisa mengerti dan merasakan bagaimana senang dan puasnya wisatawan mancanegara berwisata di negeri kita. Ternyata betul, ketika nilai mata uang kita lebih baik daripada mata uang lokal, kepuasannya adalah dengan bisa melakukan/mendapatkan banyak hal dengan biaya yang lebih murah. Kalo wisata di negara yang lebih maju kan seringkali happy-nya cuman saat travelling, pas pulang, hitung2 expenses biasanya mulai terasa agak ada perasaan nyelekit hahaha… seneng siiiih tapi sakitnya itu disini (sambil nunjuk dompet).

 

Singkat cerita, pertengahan tahun tiba2 istri laporan kalo dia sudah booking tiket untuk ke Korea di akhir tahun ini, tepatnya bulan November. Sengaja ambil akhir tahun katanya karena mengejar musim gugur alias autumn dan sudah diperhitungkan juga dengan kalender akademik sekolah anak2 dimana waktunya pas setelah masa UTS lewat. Waduh niat banget ini nyama2in supaya dapat suasana Korea sebagaimana yang tergambar di film2 drama Korea, percuma katanya kalo ke Korea bukan di musim favorit itu dan kalau menunggu saya yang inisiatif mungkin baru lama rencana jalan2 ini terealisasi.

 

Walaupun agak menyesalkan harga tiket yg dibeli, seharusnya bisa lebih murah, tetapi dalam hati saya mengakui itu keputusan yg tepat. Hanya saja, saya katakan, urusan tur wisata, saya yang atur, lagipula pastinya saya harus siapkan budget-nya, jadi saya minta istri memberikan tempat dan lokasi tujuan yg diinginkan dan saya akan atur rencana perjalanan layaknya tour & travel… sekali2 melakukan perjalanan secara mandiri, dimana semua direncanakan, ditentukan dan dijalankan sendiri… orang bilang perjalanan ala backpacker… buat saya, lebih tepatnya mungkin independent travelling… kalo backpacker kan image-nya seolah serba murah tapi kalo independent traveler ya ga mesti nyari yang murah, yang penting reasonable dan independent bisa mengatur kemana kita pergi sesuai keinginan sendiri dengan memilih kenyamanan yang juga paling sesuai dengan ukuran kenyamanan kita sendiri.

 

Pekerjaan rumah pertama setelah tiket sudah dibeli adalah, mengajukan visa! Konon mengajukan visa ke Korea Selatan ini sulitnya minta ampun. dari hasil browsing dan tanya sana sini memang sepertinya demikian. Beberapa informasi bahkan banyak juga yang pengajuan visanya ditolak tanpa alasan yang jelas. Apalagi setelah dipelajari segala persyaratan untuk mengajukan visa, baik yang melalui perantara maupun yang diajukan sendiri, ternyata sama2 harus lengkap dan tepat. Maka supaya tidak mengeluarkan biaya yang tidak perlu, semua kelengkapan persayaratan dan pengurusan visa dilakukan sendiri. Alhasil hanya untuk mengurus visa, banyak pintu meja birokrasi yang harus saya lalui. Singkat cerita, nyaris 2 bulan lamanya saya mengurus visa yang Alhamdulillah bisa berhasil. Sekedar tips, bagaimanapun beratnya persyaratan atau informasi mengenai pengajuan visa Korea, cobalah berpikir positif dan tempatkan diri anda di pihak mereka yang menilai layak/tidaknya anda diberi visa. Salah satunya misalnya dengan menyiapkan dana yang banyak di rekening bank anda, buat diri anda bonafid! Hati2, jangan sekali2 dipakai mindset jalan pintas ala ‘lokal’ yg tdk mau repot dan ‘semua bisa diatur’ karena bisa menyesatkan. Go with the flow... Ikuti saja semua ketentuan dan prosedur yg ada sebaik2nya, lagi pula kita yang mau ke negara mereka maka ikuti lah semua apa yang menjadi persyaratannya.

 

Pekerjaan berikutnya yang tidak kalah pentingnya setelah visa ditangan adalah mendetailkan itinerary, bagaimanapun itinerary atau rencana perjalanan adalah pegangan kita selama di negara orang. Dengan itinerary yg baik, tidak ada waktu dan rencana yg terbuang percuma. walaupun di lapangan kadang diperlukan penyesuaian namun dengan itinerary yg di persiapkan dengan baik. target rencana perjalanan bisa terpenuhi. Memang saat pengajuan visa kita harus sudah siap dengan itinerary, dan bila perlu dengan bukti booking penginapan selama disana. Namun yang saya maksud adalah rencana perjalanan yg rinci, dimana kita sudah tahu kapan dimana kita akan melakukan apa selama berapa lama dan dengan biaya berapa. Umumnya orang bilang, itinerary yg terealisir 80-90% adalah sebuah kesuksesan dalam perjalanan. Bayangkan, tanpa itinerary, tolak ukur kesuksesan perjalanan jadinya apa? Pengalaman? Mungkin… Tapi bukankah semakin banyak target tujuan yang berhasil di kunjungi semakin kaya pengalamannya? Dan dengan rencana perjalanan yang baik, pastinya semakin banyak tempat yang bisa dikunjungi.

 

Terakhir, setelah semua persiapan dilakukan. Saya juga mulai untuk lebih meresapi apa yang ada di negara tujuan. Channel2 TV yang saya tonton pun mulai berganti ke channel TV korea, mulai buka2 buku bahasa Korea. Bukan untuk langsung bisa menguasai bahasanya tapi paling tidak jadi mengetahui frasa2 penting apa yang sebaiknya diketahui.  Salah satu contohnya adalah frasa kalimat pembuka bila bertemu seperti judul tulisan ini.  Tentunya kita pun akan lebih respect bila bertemu dengan orang asing yang bisa sedikit bahasa ibu kita bukan? Walaupun sekedar menyapa dan mengucapkan terimakasih. Setelah itu dijamin akan lebih mudah memulai percakapan dan bila meminta bantuan akan lebih lancar.

 

Begitupun dengan mulai melihat dan membaca literatur2 tentang Korea,  membuat kita menjadi lebih mengenal negara tujuan. Sehingga perjalanan tidak hanya terjadi secara fisik namun juga secara mental-spiritual, dijamin lebih memperkaya wawasan. Sampai2 saya seolah jadi diingatkan sebuah pengetahuan lama dimana Korea ini sebenarnya di satu masa pernah berada di kondisi yang sama dengan negara kita, Indonesia. Bahkan pola2 pembangunan Indonesia pun pernah mencoba mengikuti jejak kemajuan negara Korea, sampai sama2 kita terkena krisis ekonomi tahun 1998 yg lampau. Namun berbeda dengan negara kita tercinta, sejak 1998 justru negara Korea semakin melejit menjadi fenomena dunia. Sebuah negara yang dulu menjadi penerima donor menjadi negara yang sekarang justru menjadi pendonor. Luar biasa bukan?! Semakin membuat kita lebih tertarik ingin mengenal kenapa negara ini bisa sedemikian fenomenal? Tidak terbayang bagaimana rasanya berada di tengah2 masyarakat negara tersebut, melihat, merasakan kemajuannya dan berusaha menarik pelajaran darinya.

Occupy Victoria Park, Occupy Hong Kong

Bila kita mengunjungi taman-taman kota Hong Kong di hari weekend maka akan segera terasa suasana ke-Indonesiaannya. Weekend adalah waktu dimana para tenaga kerja Indonesia (TKI) di bekas koloni Inggris itu keluar dari sarang-sarangnya untuk berkumpul dan silaturahmi dengan sesama perantau dari tanah air. Tak heran bila telinga kita akan familiar dengan bahasa Jawa dan Indonesia  yang mereka gunakan untuk berkomunikasi. Memang paling banyak tenaga kerja wanita yang ada di Hongkong berasal dari daerah Jawa seperti Klaten, Pekalongan, Tegal dll. Jadi tak heran bila boso jowo yang kental akan sering terdengar.

Selain tenaga kerja dari Indonesia, juga banyak yang berasal dari Filipina memanfaatkan taman sebagai tempat berkumpul. Namun tak pelak lagi bahwa tenaga kerja dari Indonesia lah yang keberadaannya  lebih mendominasi di taman-taman kota seperti Kowloon Park atau Victoria Park.

Hari Minggu pagi saya sengaja menuju Causeway Bay yang merupakan stasiun subway terdekat dari Victoria Park. Mulai dari stasiun subway yang saya masuki di Tsim Sha Tsui, keberadaaan pekerja migran asal Indonesia sudah mulai terasa dan arusn kedatanganya semakin deras saat mendekati Causeway Bay.  Walaupun kebanyakan berbahasa Jawa yang tak saya mengerti, percakapan mereka membuat hangat pagi yang dingin di bulan Januari.

Hari ini sudah kesekian hari sejak saya meninggalkan tanah air dan mulai tersentil gejala homesick karena masih seminggu lagi waktu untuk pulang. Tiba-tiba saya merasa tersipu bahwa perjalanan sekian hari itu tak ada apa-apanya dibanding  para TKI yang mungkin bertahun-tahun tak pulang ke kampung halaman.  Kamar tempat kami menginap yang sempit juga tak ada apa-apanya dibandingkan ruangan yang disediakan oleh induk semang para TKI untuk  beristirahat…disitu kadang saya merasa sedih..

Hong Kong  hanya memiliki luas 1.104 km persegi sehingga tak memiliki banyak ruang tersisa untuk warga kotanya (bandingkan dengan Indonesia seluas 1,9 juta km persegi). Kepadatan penduduk sebanyak 6.544/km persegi  dengan harga property yang membubung tinggi. Itulah sebabnya para buruh migran tak punya banyak kesempatan untuk memiliki tempat yang representative kala bekerja disini. Paling banter mereka menumpang di apartemen majikannya sehingga hanya kebagian tempat yang tak seberapa, mungkin hanya cukup untuk tidur saja.

Keberadaan mereka seatap dengan induk semang juga membuka peluang terhadap kekerasan, jam kerja yang panjang dan pengambilan hak-hak sebagai buruh migran. Banyak kasus memilukan yang dialami oleh para TKI di Hong Kong, namun para wanita besi itu tak pernah menyerah demi keluarga yang mereka tinggalkan di tanah air. Beberapa nyawa telah melayang  korban kekerasan majikannya, namun kini para TKI dengan berani menuntut balik para majikan yang bertindak diluar batas kemanusiaan.

Perjuangan para TKI di negeri orang sungguh membuat terharu dan sebagai pelancong sungguh saya merasa terkesima. Awalnya saya merasa lucu, sedikit merendahkan dan merasa berbeda dari para TKI yang bergerombol di bawah jembatan, di taman, di halaman mesjid itu.  Lalu kita akan dipaksa berpikir, apa yang kita sumbangkan untuk tanah air dengan melancong selain membuang devisa. Betapa tak sebanding dengan perjuangan tak kenal lelah para buruh migran yang dipaksa survival di negeri orang, bertahan mati-matian dalam kondisi ekstrim dan menyisihkan pendapatannya untuk dikirim ke tanah air. Dalam transaksi internasional, hal itu menjadi devisa bagi negara tujuan.

Saya menyesal sempat berpikir seperti itu dan meninggalkan Victoria Park dengan perasaan masygul . Sejujurnya, saya ingin memberi hormat pada setiap buruh migran yang ada di Victoria Park, Kowloon Park dan tempat-tempat lainnya di Hong Kong. Mereka pantas menerimanya. @districtonebdg

foto : internet

Mengunjungi Canton Fair di Guangzhou

 

imagesPesawat Garuda mendarat sekitar pukul dua siang di bandara internasional Baiyun, Guangzhou. Waktu yang cukup ideal untuk melakukan pergerakan selanjutnya. Berbeda bila mendarat malam hari memakai AirAsia, dimana kehidupan terasa berhenti saat hari mulai gelap di kota ini.
“Make Garuda mah teu karasa penerbangan opat jam oge,” ujar Bar.
“Enya, teu kawas make AirAsia cengo dijalan,” sambut Dunga menyatakan persetujuannya.

Wah, keren sekali backpakeran pake Garuda kedua kawan kita ini ya, padahal biasanya bergelantungan di maskapai budget seperti AirAsia dan Tiger Airways. Tak disengaja sebetulnya, saat telah memutuskan akan bertolak ke Guangzhou tiket pp AirAsia adalah seharga 4,3 juta. Dunga mengusulkan membeli tiket Garuda saja yang kebetulan sedang promo degan harga 5,3jt. Masuk akal, karena bila menggunakan AirAsia pasti transit di Kuala Lumpur sekitar 5 jam, dan baru tiba  sekitar pukul sembilan malam.  Ketibaan malam hari di negeri orang yang belum terlalu familiar tentu kurang mereka sukai sehingga pilihan ini sepertinya lebih cocok. Lagipula lumayan menghemat makan  sekali.

Dari bandara Baiyun mereka segera menuju Pazhou, tempat diadakannya Canton Fair. Perjalanan ini cukup jauh, memakai subway dengan sekali pergantian line kereta di stasiun Kacun. Setengah jam kemudian mereka pun tiba di Pazhou dan segera terkagum-kagum dengan skala bangunan dikawasan ini.

“China mah sok tara kagok mun nyieun nanaon teh,” decak Bar kagum. Namun kini yang lebih penting adalah mencari penginapan yang sudah dipesan Dunga di web HostelBooker. Ini pun ternyata tak begitu saja mudah ditemukan, karena penginapan terletak di lantai delapan sebuah gedung apartemenrumah susun. Kamar 803 tepatnya. Bila orang-orang bisa memahami sedikit bahasa Inggris saja, mungkin tak akan memakan waktu lama menemukannya. Namun tanpa petunjuk, baru sejam lebih tempat itu ditemukan. Itupun  setelah ada satpam yang berbaik hati mengantar, tanpa saling bisa komunikasi sepatah kata pun.

“Mun teu kapanggih mah sare di taman we lah,” sempat Dunga memberikan usulnya yang sering tergolong ekstrim itu. Bar menolak mentah-mentah ide itu. Memangna urang pot kembang, pikirnya.

Hari ini  mereka belum berencana memasuki arena Canton Fair karena  sudah menjelang sore, setelah mendapatkan kamar di dormitory yang dituju mereka mengisi waktu dengan berjalan-jalan. Tak banyak yang bisa dilihat di Pazhou, karena kawasan ini sepertinya dibangun khusus gedung-gedung untuk pameran internasional. Tanpa ada pameran, kawasan ini seperti blok kota yang mati.  Namun sepertinya tak perlu khawatir hal itu akan menjadi kenyataan, karena akan selalu ada pameran disini. Kegiatan bongkarmuat selalu riuh pada malam hari, mengangkut material yang dipakai oleh pameran. Walau arena Canton Fair  juga khusus dibangun berupa bangunan futuristik yang menyerupai gelombang air, namun di sekeliling arena Canton Fair banyak pula gedung-gedung tempat pameran yang megah. Pameran dari satu gedung ke gedung yang lain, demikianlah sepertinya kehidupan di kawasan Pazhou ini.

Esoknya barulah mereka kasak-kusuk mencari informasi untuk bisa menghadiri even kolosal itu. Selidik punya selidik ternyata tidak gratis, harus registrasi dengan persyaratan membawa kartu nama, pas foto dan biaya pendaftaran sebesar 100 CNY (sekitar Rp 200,000). Selain menyertakan identitas paspor tentu saja.

Mereka sempat tercenung, karena tak membawa persyaratan yang diperlukan. Yah, nasi sudah menjadi buryam karena kemalasan untuk browsing informasi dan terbiasa grasak-grusuk saat bepergian.

“Cabut we foto tina visa,” Bar tak ragu mencongkel foto visanya. Lalu mereka memeriksa dompetnya masing-masing, siapa tahu masih ada kartu nama terselip.

“Aya tapi ngan hiji euy,” katanya. Ternyata masih ada kartu nama jadul, sayang dompet Dunga tak memunculkan keajaiban serupa.
“Euweuh euy..jigana dina dompet hiji deui teu kabawa,” keluh Dunga hopeless.

“Engke pas pendaftaran bejakeun we hiji kartu nama keur duaan,” usul Dunga. Apa boleh buat, semoga petugas registrasi bisa menerima.

Sebelum gate registrasi, banyak anak-anak muda sepertinya mahasiswa yang menawarkan jasa penerjemah. Jadi tak perlu khawatir bila tak paham bahasa China, banyak pelajar disini yang siap menerjemahkan keperluan komunikasi pengunjung dengan penjaga stand pameran.

“Teu kudu make penerjemah lah,” ujar Dunga percaya diri,” yeuh make ieu we pasti ngarti.” Dunga menunjukkan kalkulator yang dibawanya. Bar agak sangsi namun sepakat karena uangnya pun sudah tersedot oleh registrasi yang mencapai 100CNY.

Sebelum masuk mereka mengisi semacam formulir, lalu kartu nama dan foto dijepret pada formulir itu. Apabila tak membawa foto ternyata ada sesi pemotretan, tentu dengan biaya tambahan.  Kekurangan katu nama pada formulir Dunga ternyata bisa dimaklumi oleh petugas registrasi, sehingga akhirnya tercetaklah boarding pass untuk memasuki pameran. Merekapun lega.

Canton Fair adalah pameran perdagangan yang diselenggarakan pada musim semi dan musim gugur musim setiap tahun sejak musim semi tahun 1957 di Canton (Guangzhou), China. Sejak tahun 2007  namanya diganti menjadi  China Import and Export Fair. Even ini merupakan pameran perdagangan terbesar di Cina. Di antara pameran-pameran dagang terbesar China lainnya, ia memiliki sebagian terbesar produk, kehadiran terbesar, dan jumlah terbesar transaksi bisnis yang terjadi.

Canton Fair diresmikan pada musim semi 1957 dengan waktu penyelenggaraan dua kali setahun ini diprakarsai oleh Departemen Perdagangan RRC dan Pemerintah Rakyat Provinsi Guangdong. Waktu penyelenggaraannya setiap musim semi (April-Mei) dan musim gugur (oktoer-November). Sejak dimulainya pada tahun 1957, Canton Fair telah diselenggarakan sebanyak  114 kali. Artinya, selama lebih dari setengah abad, dukungan dan kepercayaan dari pembeli di luar negeri dan peserta pameran tak pernah terganggu oleh isu-isu diluar perdagangan. Area pameran terbagi dalam tiga gedung yang megah dengan arsitektur futuristik seluas  total 1,16 juta meter persegi dengan  jumlah peserta pameran dari dalam dan luar negeri lebih dari 24.000. @districtonebdg

Pendekar Memanah Rajawali Tiba di Cina

 IMG-20150112-00539Dunga gelisah mencoba-coba wifi yang tak kunjung menyala. “Cenah aya wifi ..” gerutunya melirik stiker wifi yang tertempel di dinding restoran Mc Donald. Sementara Bar tak terlalu mempedulikan, karena kerap ia mematikan saja semua gadgetnya ketika sedang melakukan pergerakan. Semua gadget? Wah pencitraan, karena nomer hapenya saja cuma satu tak pernah berubah sejak dulu. Mun acan ruksak mah teu perlu ganti hapena oge, pikirnya.

“Tanyakeun atuh ka pagawe na” usul Bar.

“Lah percuma, euweuh nu bisaeun basa Inggris didieu mah” keluh Dunga frustasi,” boa password na oge make huruf Cina.” Padahal bahasa Inggris Dunga pun kalau diskala nilainya mungkin hanya C minus.

Memang kesulitan utama backpackeran di China adalah kendala bahasa.Sangat jarang yang bisa berbahasa latin, bahkan pegawai hotel sekalipun. Selain itu tak ada money changer, jadi dollar yang dibawa tak berguna disini. Dilinting wae ieu kitu 100 dolaran teh keur udud, gerundel Dunga.

“Padahal gaya mun bisa update status euy,” gumam Dunga, bagaimana tidak, mereka sedang nongkrong di restoran Mc Donald yang terletak di samping Starbucks, di dalam gedung hotel Marriot kota Guangzhou. Mendunia sekali, padahal plis deh sayur kacang warung bu tunduh yang tak sampai sepuluh ribu an itu juga masih basah di bibir.

Pergilah menuntut ilmu hingga negeri Cina, demikian menurut sebuah hadits. Entah itu hadits sahih atau tidak, namun bunyinya amat terngiang oleh mereka. Kebudayaan Cina selama ini selalu dekat, bagaimana tidak generasi mereka kerap dimanjakan oleh cerita silat Kho Ping Ho, serial tv legendaris Siau Tiauw Eng Hiong alias Pendekar Memanah Rajawali. Nama-nama pendekar di serial itu masih melekat di ingatan: Racun Barat, Setan Timur, Pengemis Utara dan Kaisar Selatan. Lalu tak ketinggalan film kungfu mulai dari Bruce Le hingga Jet Li, juga kudapan bakpao dan swike.

Dalam pelajaran sejarah rasanya akan selalu tersingkap cerita tentang laksamana Ceng Ho dengan armada raksasanya yang melintasi Jawa, biksu Budha I Tsing dari Cina pada jaman Sriwijaya, dan perjalanan Marcopolo yang melalui jalur sutera menuju Cina. Pendeknya, kebudayaan Cina sudah sangat dekat dengan kita sejak dulu.

Belum lagi kini produk Cina membanjir dimana-mana.Hampir tak ada barang kebutuhan sehari-hari yang tak dapat diproduksi di Cina. Barang-barang produk Cina terkenal karena murahnya, dengan kualitas yang bervariasi. Berbagai informasi tentang Cina mengalir deras kepada semua orang, dan kini tiba-tiba saja mereka berdua sudah berada di Guangzhou, ibukota propinsi Guangdong di Cina Selatan. Sudah takdir bahwa perkenalan dengan negara Tiongkok ini dimulai dari kota Guangzhou, sebuah destinasi yang tak terlalu lazim dibanding kota-kota yang lebih populer seperti Hongkong, Beijing dan Macau misalnya.

Beberapa tahun sebelumnya kala melewati kota Lao Cai di Vietnam Utara yang berbatasan pos imigrasi darat dengan Cina, Bar sudah merasa bahwa hanya tinggal waktu ia memasuki negara itu. Dari Lao Cai di Vietnam Utara, perjalanan ke arah Utara akan menjumpai ke kota Kunming di Barat dan Nanning di Timur.Dari Nanning , perjalanan ke Guangzhou sebagai kota ketiga terbesar di Cina ini sudah terbuka lebar. Dua tahun kemudian, firasat itu terbukti saat visa dari kedubes Cina sudah ditangan. Sayang jalur darat ini tak sempat dicoba karena keterbatasan waktu.

Akhirnya setelah ditipu supir taxi, tak menemukan hotel yang dicari dan berputar-putar tak keruan karena tak dapat membaca arah jalan yang semua memakai huruf Cina, mereka toh masih survive hingga kini sedang ngopi di restoran Mc Donald yang banyak dijumpai disini. Bukankah itu inti dari backpackeran: survive. Kalau dinosaurus dulu backpackeran, mungkin mereka juga bisa survive sampai sekarang.

“Kalem we, da lamun mimiti datang turis mah sok katipu bae, jadi anggarkeun we jang katipu’” ujar Bar santai. Dunga mengangguk lemah, masih belum rela yuan(CNY) nya diporot supir taxi.

“Mun embung katipu mah kudu make travel agen”, lanjut Bar. Benar juga, pikir Dunga, namun bila melalui travel tentu biaya-biaya akan berlipat dibanding dengan backpackeran seperti ini. Jadi biarpun ketipu, tetap lebih murah. Dunga kembali berseri-seri. Pengalaman pertama tak selalu mengasyikan, namun menjadi modal berharga untuk perjalanan quantum leap selanjutnya.

Sayangnya perjalanan mereka kali ini memang tak mulus. Rupanya badai Haiyan sedang mengamuk di Filipina. Ukuran super hurricane ini amat dahsyat sehingga ekornya saja turut mempengaruhi cuaca kota Guangzhou. Hari yang kemarin cerah tiba-tiba kini berubah menjadi basah, dingin dan berangin.

Tak lucu bila hanya berdiam terus di hotel, maka mereka pun memaksakan bergerak. Untunglah transportasi di Guangzhou sudah maju dengan adanya subway dan bis-bis kota yang nyaman. Namun tak pelak bila sedang jalan kaki mereka harus pasrah diterpa hujan dan angin dingin.

“Tungguan euy, sapatu urang leueur..” teriak Dunga di belakang yang selalu ketinggalan karena tak bisa cepat.
“Jibreg atuh urang nungguan maneh mah,” balas Bar juga tak mau basah kuyup terus melangkah menuju tempat berteduh

Mereka bergegas dari satu tempat berteduh ke tempat berteduh lainnya. Hit and run, kalau kata Mohammad Ali. Andai lahir di Cina mungkin namanya Mohamad Jet Li.

“Halah, asa didiklat aing mah..” keluh Dunga yang kakinya mulai merasa kram. Mungkin sudah nasib, karena dulu pun ia satu bivak dengan Bar saat diklatdas.

Akhirnya mereka tiba malam hari di bandar udara internasional Baiyun, dengan kaki yang basah dan pegal karena terus berjalan melintasi genangan air dan cuaca gerimis. Namun keduanya boleh sedikit lega, misi mereka di Guangzhou sudah selesai. Kota-kota lain :You are next..! (diucapkan seperti Cong Li )

@districtonebdg