Shenzhen bisa dicapai cukup dengan menggunakan MRT melalui stasiun paling ujung di Hongkong. Darisini tinggal mengantri di imigrasi untuk memasuki Shenzhen. Walau Hongkong sudah merupakan bagian dari China sejak 1997, tetap saja memasuki Shezhen harus memakai visa. Sementara bila hanya ingin mengunjungi Hongkong, turis dari Indonesia tak perlu visa.
Dari Hongkong kedua backpacker kita, Dudung dan Bar, memakai MRT tujuan stasiun Lok Ma Cau. Itu adalah stasiun MRT Hongkong paling ujung yang akan menghubungkan menuju Shenzen. Setelah antri panjang karena banyak pula warga China daratan yang pulang ke Shenzen, lalu mengisi formalitas imigrasi, mereka sudah dalam MRT menuju Shenzen.
“Engke turun dimana?” tanya Bar.
“Di Grand Theater,” ujar Dudung,”urang geus booking dormitory.”
Setelah turun di stasiun Grand Theater mereka mencari-cari dormitory yang dituju. Namun lebih dari satu jam berjalan berkeliling, dormitory dimaksud tak ditemukan. Tak ada yang bisa ditanya, karena semua tak bisa berbahasa Inggris. Beruntunglah walau ditengah hari cuaca cukup sejuk, hingga tak terlalu lelah.
“Geus we ka mall elekronik heula,” usul Bar. Dudung juga menyerah mencari dormitory bookingannya.
“Cenah dina email gampang neangan na..” gerutunya.
Mereka beringsut menuju stasiun MRT Hua Qang North. Turun disini, saat keluar pintu subway, mall-mall raksasa sudah menyambut.
Shenzhen ibarat gudang terdekat bagi produk-produk China yang dipasarkan di Hongkong, terutama barang elektronik. Bagi yang menyukai barang-barang elektronik Shenzhen ibarat surga, Dudung dengan bersemangat keluar masuk mall yang dipenuhi barang elektronik buatan China.
Sembari menawar-nawar barang elektronik, Bar menanyakan hotel terdekat. Kalau menawar barang sih mudah, walau tak mengerti bahasa Mandarin tinggal memakai kalkulator. Namun agak susah untuk menanyakan hotel. Toh akhirnya mengerti juga tapi karena tak bisa menjelaskan, pegawai toko menggambar sebuah rute jalan menuju hotel rekomendasinya – dengan keterangan bahasa kanji. Keduanya mengernyit.
“Ripuh oge maca peta kawas kieu mah,” gumam Bar,” tapi lumayan daripada euweuh informasi pisan.”
Entah sampai di hotel yang dituju atau bukan, akhirnya mereka menemukan juga hotel tak jauh dari restoran McDonald. Tarifnya 215 yuan sehari, dengan sarapan pagi di McDonald. Setelah menginap semalam, keesokan paginya mereka keluar masuk mall lagi. Memilih-milih barang elektronik yang banyak diantaranya baru mereka lihat disini, tak ada di tanah air. Harganya pun menggiurkan.
“Lumayan mun dijual deui di Indonesia,” cetus Dudung yang berinsting tajam dalam dagang segera mencetuskan ide.
“Hoream mawa kana pesawatna,” sahut Bar yang memang hanya berniat lihat-lihat saja. Namun Dudung tak begitu saja patah semangatnya mendengar skeptisme temannya. Tak kurang dua kresek besar digembolnya sepulang dari mall.
“Moal dibantuan ah, bawa we sorangan,” ujar Bar malas.
“Bae ku sorangan ge bisa,” tukas Dudung.
Hanya sehari tentu tak cukup disini, namun waktu yang mereka miliki tak cukup. Sore ini harus bergerak lagi ke Guangzhou. Perjalanan selanjutnya menuju Guangzhou tak terlalu mereka khawatirkan, karena sudah pernah beberapa kali kesana. Setelah packing , keduanya naik MRT di stasiun Yanna menuju Luohu.
Cuaca gerimis, mereka bergegas menuju subway. Gerimis semakin rapat, keduanya pun berlari-lari. Dudung tampak sibuk membawa ransel dan gembolan.
“Ngaborong yeuh..?” ledek Bar sambil cekikikan. Ia samasekali tak berniat membantu., berlari cepat-cepat menuju subway. Dudung yang membawa banyak barang bawaan terengah-engah ditengah hujan.
“Meni embung ngabantuan..” ujarnya kesal kala tiba di subway. Bar hanya cekikikan.
Dari stasiun Yanna ke Luohu tarifnya 2 yuan. Disini ada kereta cepat menuju stasiun Guangzhou East. Kereta bertarif 80 yuan ini cukup nyaman, seperti kereta eksekutif di tanah air. Satu setengah jam kemudian tibalah mereka di kota tujuan terakhir yaitu Guangzhou.
Berakhirlah perjalanan mereka menerobos China melalui jalur Hongkong.