Bila kita mengunjungi taman-taman kota Hong Kong di hari weekend maka akan segera terasa suasana ke-Indonesiaannya. Weekend adalah waktu dimana para tenaga kerja Indonesia (TKI) di bekas koloni Inggris itu keluar dari sarang-sarangnya untuk berkumpul dan silaturahmi dengan sesama perantau dari tanah air. Tak heran bila telinga kita akan familiar dengan bahasa Jawa dan Indonesia yang mereka gunakan untuk berkomunikasi. Memang paling banyak tenaga kerja wanita yang ada di Hongkong berasal dari daerah Jawa seperti Klaten, Pekalongan, Tegal dll. Jadi tak heran bila boso jowo yang kental akan sering terdengar.
Selain tenaga kerja dari Indonesia, juga banyak yang berasal dari Filipina memanfaatkan taman sebagai tempat berkumpul. Namun tak pelak lagi bahwa tenaga kerja dari Indonesia lah yang keberadaannya lebih mendominasi di taman-taman kota seperti Kowloon Park atau Victoria Park.
Hari Minggu pagi saya sengaja menuju Causeway Bay yang merupakan stasiun subway terdekat dari Victoria Park. Mulai dari stasiun subway yang saya masuki di Tsim Sha Tsui, keberadaaan pekerja migran asal Indonesia sudah mulai terasa dan arusn kedatanganya semakin deras saat mendekati Causeway Bay. Walaupun kebanyakan berbahasa Jawa yang tak saya mengerti, percakapan mereka membuat hangat pagi yang dingin di bulan Januari.
Hari ini sudah kesekian hari sejak saya meninggalkan tanah air dan mulai tersentil gejala homesick karena masih seminggu lagi waktu untuk pulang. Tiba-tiba saya merasa tersipu bahwa perjalanan sekian hari itu tak ada apa-apanya dibanding para TKI yang mungkin bertahun-tahun tak pulang ke kampung halaman. Kamar tempat kami menginap yang sempit juga tak ada apa-apanya dibandingkan ruangan yang disediakan oleh induk semang para TKI untuk beristirahat…disitu kadang saya merasa sedih..
Hong Kong hanya memiliki luas 1.104 km persegi sehingga tak memiliki banyak ruang tersisa untuk warga kotanya (bandingkan dengan Indonesia seluas 1,9 juta km persegi). Kepadatan penduduk sebanyak 6.544/km persegi dengan harga property yang membubung tinggi. Itulah sebabnya para buruh migran tak punya banyak kesempatan untuk memiliki tempat yang representative kala bekerja disini. Paling banter mereka menumpang di apartemen majikannya sehingga hanya kebagian tempat yang tak seberapa, mungkin hanya cukup untuk tidur saja.
Keberadaan mereka seatap dengan induk semang juga membuka peluang terhadap kekerasan, jam kerja yang panjang dan pengambilan hak-hak sebagai buruh migran. Banyak kasus memilukan yang dialami oleh para TKI di Hong Kong, namun para wanita besi itu tak pernah menyerah demi keluarga yang mereka tinggalkan di tanah air. Beberapa nyawa telah melayang korban kekerasan majikannya, namun kini para TKI dengan berani menuntut balik para majikan yang bertindak diluar batas kemanusiaan.
Perjuangan para TKI di negeri orang sungguh membuat terharu dan sebagai pelancong sungguh saya merasa terkesima. Awalnya saya merasa lucu, sedikit merendahkan dan merasa berbeda dari para TKI yang bergerombol di bawah jembatan, di taman, di halaman mesjid itu. Lalu kita akan dipaksa berpikir, apa yang kita sumbangkan untuk tanah air dengan melancong selain membuang devisa. Betapa tak sebanding dengan perjuangan tak kenal lelah para buruh migran yang dipaksa survival di negeri orang, bertahan mati-matian dalam kondisi ekstrim dan menyisihkan pendapatannya untuk dikirim ke tanah air. Dalam transaksi internasional, hal itu menjadi devisa bagi negara tujuan.
Saya menyesal sempat berpikir seperti itu dan meninggalkan Victoria Park dengan perasaan masygul . Sejujurnya, saya ingin memberi hormat pada setiap buruh migran yang ada di Victoria Park, Kowloon Park dan tempat-tempat lainnya di Hong Kong. Mereka pantas menerimanya. @districtonebdg
foto : internet