Pesawat Garuda mendarat sekitar pukul dua siang di bandara internasional Baiyun, Guangzhou. Waktu yang cukup ideal untuk melakukan pergerakan selanjutnya. Berbeda bila mendarat malam hari memakai AirAsia, dimana kehidupan terasa berhenti saat hari mulai gelap di kota ini.
“Make Garuda mah teu karasa penerbangan opat jam oge,” ujar Bar.
“Enya, teu kawas make AirAsia cengo dijalan,” sambut Dunga menyatakan persetujuannya.
Wah, keren sekali backpakeran pake Garuda kedua kawan kita ini ya, padahal biasanya bergelantungan di maskapai budget seperti AirAsia dan Tiger Airways. Tak disengaja sebetulnya, saat telah memutuskan akan bertolak ke Guangzhou tiket pp AirAsia adalah seharga 4,3 juta. Dunga mengusulkan membeli tiket Garuda saja yang kebetulan sedang promo degan harga 5,3jt. Masuk akal, karena bila menggunakan AirAsia pasti transit di Kuala Lumpur sekitar 5 jam, dan baru tiba sekitar pukul sembilan malam. Ketibaan malam hari di negeri orang yang belum terlalu familiar tentu kurang mereka sukai sehingga pilihan ini sepertinya lebih cocok. Lagipula lumayan menghemat makan sekali.
Dari bandara Baiyun mereka segera menuju Pazhou, tempat diadakannya Canton Fair. Perjalanan ini cukup jauh, memakai subway dengan sekali pergantian line kereta di stasiun Kacun. Setengah jam kemudian mereka pun tiba di Pazhou dan segera terkagum-kagum dengan skala bangunan dikawasan ini.
“China mah sok tara kagok mun nyieun nanaon teh,” decak Bar kagum. Namun kini yang lebih penting adalah mencari penginapan yang sudah dipesan Dunga di web HostelBooker. Ini pun ternyata tak begitu saja mudah ditemukan, karena penginapan terletak di lantai delapan sebuah gedung apartemenrumah susun. Kamar 803 tepatnya. Bila orang-orang bisa memahami sedikit bahasa Inggris saja, mungkin tak akan memakan waktu lama menemukannya. Namun tanpa petunjuk, baru sejam lebih tempat itu ditemukan. Itupun setelah ada satpam yang berbaik hati mengantar, tanpa saling bisa komunikasi sepatah kata pun.
“Mun teu kapanggih mah sare di taman we lah,” sempat Dunga memberikan usulnya yang sering tergolong ekstrim itu. Bar menolak mentah-mentah ide itu. Memangna urang pot kembang, pikirnya.
Hari ini mereka belum berencana memasuki arena Canton Fair karena sudah menjelang sore, setelah mendapatkan kamar di dormitory yang dituju mereka mengisi waktu dengan berjalan-jalan. Tak banyak yang bisa dilihat di Pazhou, karena kawasan ini sepertinya dibangun khusus gedung-gedung untuk pameran internasional. Tanpa ada pameran, kawasan ini seperti blok kota yang mati. Namun sepertinya tak perlu khawatir hal itu akan menjadi kenyataan, karena akan selalu ada pameran disini. Kegiatan bongkarmuat selalu riuh pada malam hari, mengangkut material yang dipakai oleh pameran. Walau arena Canton Fair juga khusus dibangun berupa bangunan futuristik yang menyerupai gelombang air, namun di sekeliling arena Canton Fair banyak pula gedung-gedung tempat pameran yang megah. Pameran dari satu gedung ke gedung yang lain, demikianlah sepertinya kehidupan di kawasan Pazhou ini.
Esoknya barulah mereka kasak-kusuk mencari informasi untuk bisa menghadiri even kolosal itu. Selidik punya selidik ternyata tidak gratis, harus registrasi dengan persyaratan membawa kartu nama, pas foto dan biaya pendaftaran sebesar 100 CNY (sekitar Rp 200,000). Selain menyertakan identitas paspor tentu saja.
Mereka sempat tercenung, karena tak membawa persyaratan yang diperlukan. Yah, nasi sudah menjadi buryam karena kemalasan untuk browsing informasi dan terbiasa grasak-grusuk saat bepergian.
“Cabut we foto tina visa,” Bar tak ragu mencongkel foto visanya. Lalu mereka memeriksa dompetnya masing-masing, siapa tahu masih ada kartu nama terselip.
“Aya tapi ngan hiji euy,” katanya. Ternyata masih ada kartu nama jadul, sayang dompet Dunga tak memunculkan keajaiban serupa.
“Euweuh euy..jigana dina dompet hiji deui teu kabawa,” keluh Dunga hopeless.
“Engke pas pendaftaran bejakeun we hiji kartu nama keur duaan,” usul Dunga. Apa boleh buat, semoga petugas registrasi bisa menerima.
Sebelum gate registrasi, banyak anak-anak muda sepertinya mahasiswa yang menawarkan jasa penerjemah. Jadi tak perlu khawatir bila tak paham bahasa China, banyak pelajar disini yang siap menerjemahkan keperluan komunikasi pengunjung dengan penjaga stand pameran.
“Teu kudu make penerjemah lah,” ujar Dunga percaya diri,” yeuh make ieu we pasti ngarti.” Dunga menunjukkan kalkulator yang dibawanya. Bar agak sangsi namun sepakat karena uangnya pun sudah tersedot oleh registrasi yang mencapai 100CNY.
Sebelum masuk mereka mengisi semacam formulir, lalu kartu nama dan foto dijepret pada formulir itu. Apabila tak membawa foto ternyata ada sesi pemotretan, tentu dengan biaya tambahan. Kekurangan katu nama pada formulir Dunga ternyata bisa dimaklumi oleh petugas registrasi, sehingga akhirnya tercetaklah boarding pass untuk memasuki pameran. Merekapun lega.
Canton Fair adalah pameran perdagangan yang diselenggarakan pada musim semi dan musim gugur musim setiap tahun sejak musim semi tahun 1957 di Canton (Guangzhou), China. Sejak tahun 2007 namanya diganti menjadi China Import and Export Fair. Even ini merupakan pameran perdagangan terbesar di Cina. Di antara pameran-pameran dagang terbesar China lainnya, ia memiliki sebagian terbesar produk, kehadiran terbesar, dan jumlah terbesar transaksi bisnis yang terjadi.
Canton Fair diresmikan pada musim semi 1957 dengan waktu penyelenggaraan dua kali setahun ini diprakarsai oleh Departemen Perdagangan RRC dan Pemerintah Rakyat Provinsi Guangdong. Waktu penyelenggaraannya setiap musim semi (April-Mei) dan musim gugur (oktoer-November). Sejak dimulainya pada tahun 1957, Canton Fair telah diselenggarakan sebanyak 114 kali. Artinya, selama lebih dari setengah abad, dukungan dan kepercayaan dari pembeli di luar negeri dan peserta pameran tak pernah terganggu oleh isu-isu diluar perdagangan. Area pameran terbagi dalam tiga gedung yang megah dengan arsitektur futuristik seluas total 1,16 juta meter persegi dengan jumlah peserta pameran dari dalam dan luar negeri lebih dari 24.000. @districtonebdg