Mandalay Ibukota Kerajaan Myanmar  yang Terakhir

IMG-20160123-02956

Saat siang hari berjalan mengelilingi Mandalay Palace di seberang jalan tampak sebuah  kafe bernama Café Kipling. Namanya mengingatkan pada sosok penulis Rudyard Kipling yang menyanjung negara ini dalam bukunya. “This is Burma. It is quite unlike any place you know about,” sepotong kalimat dalam bukunya yang menambah kepenasaran siapapun yang berniat mengunjungi negara ini. Sebuah bukunya Road to Mandalay –yang belum pernah saya baca- digambarkan melukiskan bekas ibukota kerajaan ini kedalam suasana tradisional yang mengingkari waktu. Entahlah, terus terang saya memang jarang membaca buku novel.

Saya merogoh saku menghitung lembar-lembar kyat yang ada di dompet, kan akan tampak tematik dan stylish perjalanan ini bila singgah di sebuah kafe bernama Kipling di kota Mandalay sambil memikirkan sebuah tema tulisan. Seakan mengidentifikasi menjadi Rudyard Kipling itu sendiri. Namun pikiran menjadi penulis yang stylish itu segera rontok oleh minimnya kyat yang tersisa. Apalagi tak tampak ada ATM disekitar sini.

Bulan Januari 2016, kurs kyat (MMK) terhadap IDR adalah 1 kyat =  11 rupiah atau 1 USD = 1300 kyat, jadi bila 3000 kyat belum tentu cukup untuk ngafe seraya menerawang sebuah tulisan. Maka siang yang cerah itu dilanjutkan berjalan saja mengelilingi bangunan kuno di tengah kota ini. Mandalay Palace ukurannya luarbiasa,  sebuah area bujursangkar dikelilingi parit yang lebar dengan masing-masing sisinya sekitar 1,5 kilometer. Jadi mengelilinginya saja butuh sejam setengah. Ukuran bangunannya diluar perhitungan saya, dikira tak sepanjang ini. Padahal kalori belum lagi terisi setiba di kota yang asing ini, baru secangkir kopi untuk membuat tubuh terjaga setelah tadi pagi tiba dari Yangon.

IMG-20160122-02926IMG-20160122-02930

Tiga perempat jalan mengelilingi Mandalay Palace perut tak lagi bisa diajak kompromi, sebuah jajanan jalanan segera saya hampiri. Menunya berupa cakwe yang dihidangkan dengan sambal dan sayur berupa slada dan recahan timun. Terlalu bersahaja untuk upload di Instagram, jangan-jangan nanti dikira di sebuah kantin di Ciroyom. Minumannya antara air kemasan, jus jeruk atau jus alpuket. Saya memilih yang terakhir saja, agar ada tambahan kalori setelah ditandem dengan cakwe.

Tak jauh dari bangunan kuno ini, juga ada ikon kota Mandalay lain yaitu sebuah bukit bernama Mandalay Hill. Sebagian hikayat mengatakan bahwa kota ini mendapatkan namanya dari bukit Mandalay ini. Entahlah benar tidaknya, saya datang kesini tanpa mempelajari sejarah kota. Bukitnya tampak menjulang tinggi hingga membuat kecil hati untuk mendakinya, saya pun merelakan melihatnya dari jauh saja sambil memotretnya dengan kamera handphone. Hasilnya, tentu tak spektakuler namun kan nanti bisa mengelak bahwa ini foto “jurnalistik.”

Sekilas berjalan-jalan di kota tua ini tak terlalu mengesankan sebuah  kota yang kuno, pasar tampak sibuk, pertokoan ramai dan lalu lintas di kawasan niaga yang berseliweran. Di kota terbesar kedua  di Myanmar ini, motor bebas berkeliaran tak seperti Yangon yang melarang kendaran roda dua melintas didalam kota. Diam-diam saya bersyukur, nanti bila capek tinggal mencari ojek saja. Walau demikian jalan-jalan yang saya lalui kebanyakan selalu tampak lengang karena  tampaknya tak terlalu banyak mobil di kota berpenduduk 1,3 juta jiwa ini.

Setelah longmarch sepanjang 10 kilometer dari siang hingga sore saya kembali ke hotel, lagipula menjelang malam kehidupan disini akan segera berhenti berdenyut. Lebih baik memulihkan diri  di hotel setelah jalan-jalan yang agak diluar perkiraan ini.

Esok paginya, setelah selesai sarapan di hotel, saya kembali berniat jalan-jalan mengenal  kota. Ketika sedang berjalan, sebuah motor ojek menghampiri.

”Motobike?” setelah dipikir-pikir malas juga berjalan kaki menjelang siang begini apalagi tempatnya belum tahu. Saya berencana  melihat kehidupan masyarakat di sekitar sungai Ayeyarawaddy yang termashur itu.

“2000 kyat,” ujar tukang ojek, tanpa bisa ditawar. Baiklah, bila dilihat dari peta juga memang tak dekat.

IMG-20160123-02952IMG-20160123-02938

Ia mengarahkan motornya ke sebuah dermaga di tepi sungai Ayeyarawaddy, ternyata dari Mandalay Palace kemarin tinggal lurus saja kearah Barat namun memang cukup jauh juga.  Kondisi dermaga tampak kumuh, berbeda dengan dermaga yang pernah dilihat di Yangon. Kapal-kapal kayu yang bersandar juga tampak kusam, tak mengesankan bahwa darisini tempat turis bersauh menuju destinasi lain, biasanya sebuah tempat bernama Mingun Paya. Beberapa orang pun sigap menawarkan mengantar ke Mingun Paya, sebuah lokasi pagoda.

Setelah puas melihat dermaga sungai Ayeyarawaddy, saya kembali ke hotel dengan perasaan masygul. Terlalu dini untuk menilai, namun dari dermaga Maya Chan ini kemashyuran sungai Ayeyarawaddy tampak kusam. Tadinya saya berniat nongkrong sebentar disini, minum-minum teh atau sekedar mencoba makanan lokal namun suasana yang kumuh membuat berpikir dua kali. Mungkin ada baiknya turis mencoba naik kapal ke Mingun Paya, agar mengenal lebih jauh sungai besar ini sehingga tak buru-buru menilai.

Pulang dari dermaga, sudah hampir jam chek out,  maka setelah packing saya duduk-duduk saja  di lobby hotel membaca banyak majalah tentang negara ini. Banyak informasi lain yang bisa didapat bila membaca majalah domestik, dibandingkan ulasan-ulasan dariluar. Sejenak saya tenggelam dalam bacaan, hingga tak menyadari waktu semakin sore. Jam lima sore adalah jadwal kereta ke Yangon, jadi tak banyak waktu lagi untuk jalan-jalan. Saya pun memesan secangkir kopi lagi, berusaha menyesap kesan terakhir tentang sebuah kota yang pernah berjaya di masa lalu, dan kini sedang berjuang menata dirinya.

Sejak era kolonial, Mandalay lebih berfungsi sebagai kota administratif dibanding menjadi tempat favorit  tinggal penjajah Inggris. Dikabarkan mereka lebih suka mendirikan kota baru di kawasan yang sejuk di sebelah Utara yang kini disebut  Pyin Oo Lwin, sekitar  dua jam perjalanan kereta api dari Mandalay. Posisi Mandalay sebagai kota terbesar kedua di Myanmar kini lebih sebagai hub bagi kota-kota kecil yang lain di sekitarnya dan kota-kota di Utara Myanmar, daripada sebuah kota penuh romantisme dari grandeur dunia kerajaan masa lalu.

 

 

 

 

 

 

 

Perjalanan Kereta Api Yangon – Mandalay

IMG-20160121-02900IMG-20160121-02904

Ketika petugas konter mengatakan bahwa tiket KA Yangon-Mandalay kelas upperclas sudah habis, saya hanya bisa membayangkan bakal tersiksanya duduk di bangku kayu dalam perjalanan sepanjang 700 kilometer. Mungkin kalau beli dari kemarin tidak akan kehabisan, keluh saya mengutuki sikap menunda-nunda yang sering melekat ini. Bila demikian halnya, berarti saat tiba di Mandalay sebaiknya langsung membeli tiket untuk pulang ke Yangon agar tak kebagian duduk di kelas ordinary lagi. Tiketnya memang murah tak sampai 50 ribu rupiah, namun untuk duduk di bangku kayu selama 14 jam ..waduh.. masa-masa itu sudah lama berlalu.

Tiket kereta rute Yangon-Mandalay ini ada tiga jenis, yaitu ordinary class, upperseat dan upper sleeper. Yang paling murah adalah ordinary clas, berupa tempat duduk berhadapan dengan bangku dari kayu, sementara upper seat mirip kelas bisnis disini (masih ada gak sih?) dan upper sleeper berupa kompartemen dengan ranjang bertingkat. Semuanya tanpa AC, hanya kipas angin di atap gerbong yang sayup-sayup mengalun. Walau tiket ordinary ini yang paling murah, namun justru yang paling saya hindari dengan alasan kenyamanan. Sementara harga tiket upper seat dua kali lipat dari tiket ordinary, dan upper sleeper tiga kali lipatnya.

IMG-20160123-02958IMG-20160123-02959

Suasana berkereta api di Myanmar mirip dengan kondisi di tanah air 1990-an,  dimana pedagang bebas keluar masuk menjajakan makanan. Setidaknya itulah yang saya alami dulu. Di kelas ordinary ini masih terlihat beberapa penumpang yang tak kebagian duduk, hingga duduk di lantai gerbong.  Namun kondisi ini tak terlihat di kelas upper seat.  Berkelebat bayangan berkereta api dulu masa-masa tahun 90-an.

Kebiasaan disini yang tak kalah unik adalah selalu membiarkan jendela kereta terbuka. Mungkin selain agar udara berangin juga supaya gampang membuang sisa sirih yang dikunyah. Seperti diketahui kebiasaan penduduk Myanmar mengunyah sirih sudah mendarah daging  sehingga harus dimaklumi bila mereka meludah keluar jendela. Alhasil, hampir semalaman tubuh terhembus angin malam selama di kereta. Baru lewat tengah malam mereka menurunkan kaca penutup jendela. Lalu bagaimana membuang sisa sirihnya? Rupanya mereka cukup sopan dengan meludahkannya ke cangkir yang dibawa.  Bagi yang kurang nyaman melihatnya, sedikit tips lebih baik tidur saja sepanjang perjalanan.

Setelah berangkat tepat pukul lima sore  sesuai jadwal, kereta dari Yangon tiba di Mandalay sekitar pukul delapan pagi setelah menempuh perjalanan selama 716 kilometer. Udara dingin segera terasa, berbeda dengan cuaca Yangon yang panas. Perlu beberapa saat untuk beradaptasi agar tak menggigil. Entah karena cuacanya sedang muram saja barangkali.

Stasiun kereta Mandalay merupakan bangunan baru, berbeda dengan Yangon Railway Station yang merupakan peninggalan kolonial Inggris. Platform kereta berada dibawah jadi kita naik tangga untuk keluar dari peron. Sebuah hotel menempel pada samping stasiun, tampaknya merupakan sebuah bangunan yang terintegrasi dengan stasiun. Keberadaan hotel ini sepertinya membidik konsumen pengguna kereta api.

Sesuai  rencana  untuk membeli tiket pulang lebih awal, saya segera menuju loket penjualan tiket hanya untuk melongo melihat tulisan berbahasa Myanmar yang mirip ukiran itu. Bagusnya, selalu ada petugas yang bisa berbahasa Inggris di loket. Namun loket yang mana karena banyak loket yang buka.

Ketika sedang memperhatikan loket, tiba-tiba seorang pengojek menyapa. “ Motobike?” tanyanya sambil  menggunakan gerakan tangan seperti sedang mengendarai motor.

Hemm kebetulan, biar tukang ojek ini saja yang jadi pusat informasi. “Where to buy tiket to Yangon?” tanya saya sambil menunjukkan contoh tiket kemarin.

“Yangon?” tanyanya.

“Yes.”

Ia lalu berjalan sambil memberi isyarat agar mengikutinya,  sempat ragu takut diantar ke calo namun ternyata benar saja ia mengantar ke loket yang dimaksud. Lalu cas cis cus sebentar dengan petugas konter, keluarlah tiket untuk kembali ke Yangon yang berkelas upperseat. Legalah, kini bisa leluasa melihat-lihat kota Mandalay tanpa memikirkan duduk di bangku kayu lagi.

 

Pabedan Township, Tempat Singgah Backpacker di Yangon

IMG-20160121-02913IMG-20160124-02969

Sekitar pukul 11 waktu setempat, pesawat Nok Air dari Bangkok yang saya tumpangi mendarat mulus di Yangon International Airport. Agak aneh juga mencocokkan perbedaan waktu yang hanya setengah jam dengan WIB/Bangkok.  Sekilas bandara yang bercorak etnik ini mengingatkan kepada bandara Soekarno Hatta di tanah air. Tak ada brosur atau map kota Yangon yang bisa ditemukan, sehingga saya hanya mengandalkan ulasan buku Lonely Planet bajakan keluaran 2011.

Seorang supir taxi yang berpengalaman segera menangkap gelagat kehadiran orang asing. Bersarung dan menguyah sirih, ia langsung menyapa,”Taxi?”

Setelah mengatasi keterkejutan dengan banyaknya orang bersarung yang berlalu-lalang di bandara internasional, sayapun menyambut tawarannya, “How much?”

“Fiften dollar..the city is far from here..”

“10 dollar ok?”  menurut buku Lonely planet keluaran 2011 itu tarif  taxi harusnya tak lebih dari 8 dollar, namun itu lima tahun lalu. Sekarang 2016  bisa jadi sudah naik, lagipula keberadaaan supir taxi yang bisa berbahasa Inggris ini bisa membantu mengorek informasi lainnya. Sebuah taxi sedan yang cukup bersahaja pun mengantar saya ke pusat kota, tak ada argo dan tanpa AC. Ditengah jalan, supir menepikan kendaraannya sejenak.

“Wait a minute..” katanya, lalu segera keluar. Rupanya ia membeli minuman dulu. “Very hot..” katanya santai.

“Do you have a map of Yangon?” tanya saya diperjalanan.

“Yes sure,” ia segera membuka laci dan memberikan beberapa map wisata dan komersial. Lumayan juga, map-map ini yang tak saya didapatkan di bandara.

Setelah mempelajari map kota saya lalu minta diantar ke stasiun kereta karena berencana melihat jadwal kereta untuk melanjutkan perjalanan ke Mandalay. Namun sebagai orientasi medan, memintanya melewati jalan tempat keberadaan pagoda Shwedagon dan pasar Bogyoke. Ternyata Bogyoke market terletak tak jauh dari Yangon Railway Station, sehingga setelah ormed di stasiun kereta saya berjalan kaki saja kearah Bogyoke. Mestinya, di daerah keramaian ini banyak hotel dan penginapan.

IMG-20160124-02996IMG-20160124-02968

Bogyoke Market terletak di distrik Pabedan, merupakan pasar ikonik di kota Yangon mungkin seperti Ben Thanh market di Ho Chi Minh  yang menjadi sasaran turis membeli oleh-oleh. Di seberang Bogyoke, merupakan jalan-jalan perniagaan. Toko, rumah makan, hotel, kelontong dan lain sebagainya. Ke arah sanalah saya berencana mencari tempat bermalam. Karena menganggap hal yang enteng, saya kerap tak melakukan booking dahulu di situs booking internet seperti Agoda atau booking.com . padahal apa susahnya ya?

Sebelum melanjutkan mencari hotel, saya mengisi perut dulu di retoran KFC yang tampaknya satu-satunya di kota ini. Meski telah berjanji menyantap makanan local kota ini, tapi hey ini baru hari pertama di kota yang asing, tak ada salahnya ormed dahulu kuliner kotanya sebelum benar-benar menyelam ke dalam lautan gatronomi lokal. Hari ini saya masih menahan diri dengan mengapungkan selera dalam perahu lidah internasional.

Ternyata pilihan untuk memilih citarasa internasional di hari pertama ini merupakan pilihan tepat, karena dari balkon retoran cepat saji ini, view kearah Bogyoke merupakan bonus yang sempurna. Saya merekomendasikan turis untuk mampir kesini, bukan demi citarasa ayam goreng nya namun untuk bersantai seraya memandang kemeriahan suasana pasar ikonik di Yangon ini

Setelah.memulihkan tenaga dengan hidangan paket dua ayam, satu nasi dan segelas coke seharga 4200 kyat (sekitar 50rb) tibalah saatnya menelisik jalan-jalan di distrik Pabedan ini. Tak terlalu sulit karena jalanan kecil-kecil ini merupakan blok-blok yang parallel, dan akhirnya sebuah hotel backpacker didapat dengan tariff 12 dolar termasuk breakfast. Bagi saya ini cukup memadai karena hari ini dan besok hanya akan jalan-jalan orientasi medan dengan sasaran utama Bogyoke market, Shwedagon Paya, dan stasiun KA untuk memesan tiket ke Mandalay besok sore. Setelah pulang dari Mandalay nanti, jalan-jalan di kota Yangon ini akan dilanjutkan.

Distrik Pabedan (Pabedan Township) sepertinya merupakan tempat persinggahan pertama para turis backpacker sebelum pergi lebih jauh. Tak heran karena stasiun kereta berada disini, demikian pula banyak bangunan heritage dan bagunan pagoda yang menjadi ikon kota Yangon. Selain itu pluralitas keberagamaan tampak nyata disini, setidaknya lima buah mesjid besar berdiri disini demikian pula gereja dan katedral menyemarakkan bangunan ibadah selain pagoda-pagoda. Bila hanya memiliki waktu sehari saja di kota  tak ada salahnya melewatkan waktu disini saja, barangkali distrik ini bisa mewakili gambaran kita akan Yangon.

Menyaksikan Ritual Sai Bat Di Luang Prabang

tradisi & icon di Luang prabang

By Bayu Ismayudi

Senja yang memerah cerah menaungi terminal Luang Prabang saat bus yang kami tumpangi dari Luang Namtha tiba. Luang Prabang adalah adalah kota ketiga yang rencananya akan  disinggahi dalam rangkaian perjalanan saya & rekan saya Barbar kali ini, setelah sebelumnya Chiang Rai (Thailand), lalu melewati Chiang Kong (Thailand), selanjutnya menyeberang ke Laos melalui Bokeo dan singgah di Luang Namtha.

Dengan menggunakan tuktuk (sejenis angkutan kota) seharga 20.000 KIP/ orang (KIP : mata uang Laos) kami melaju menuju pusat kota dari terminal bus. Setengah jam kemudian kami tiba di pusat kota, tuktuk yang kami tumpangi berhenti di persimpangan jalan utama kota.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu tempat hal pertama yang kami lakukan adalah mencari café untuk sekedar menikmati secangkir kopi hitam panas & ber-wifi-an, agar bisa sedikit “aklimatisasi” & orientasi medan. Dan kebetulan tuktuk yang kami tumpangi berhenti tepat di depan sebuah café.

Sejenak kami rehat sambil meneguk hangatnya kopi, terlihat di seberang jalan sebuah keramaian, rupanya Night Market yang menjadi salah satu ciri khas kota ini sudah dimulai. Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung ke kota ini, Luang Prabang adalah sebuah kota yang menarik & eksotis, kota yang merupakan salah satu destinasi utama di Laos. Banyak beberapa atraksi yang bisa dipamerkan untuk para turis di sini, selain Night Market, pada pagi sekitar pukul 05.00AM ada upacara biksu yang berbaris memungut sumbangan dari penduduk setempat dan para turis. Selain itu karena Laos dulu pada tahun 1893 dan selama kurun waktu 52 tahun pernah diduduki Perancis, maka arsitektur banguanan bergaya Eropa banyak menghiasi kota Luang Prabang ini dan itu semua menjadi sajian menarik di kota ini. Kota ini juga terkenal sebagai situs warisan dunia yang dinobatkan oleh UNESCO.

Sepeminuman kopi pun berlalu, kami pun beranjak mencari guest house untuk menginap malam itu. Dan setelah melalui jalanan yang menjadi area Night Market kami menemukan guest house di jalanan kecil di dalam area Night Market tersebut. Sebuah Guest House yang nyaman dan strategis dan setelah melihat lihat room, kami pun booking satu kamar dengan double bed seharga 200.000 KIP.

Usai rehat sejenak dan membersihkan diri, sekitar pukul 20.00 PM kami bergerak mengeksplore jalanan kota Luang Prabang. Semarak Night market kami lalui, kami terus menelusuri sebuah kawasan di pinggiran sunga Mekhong yang menjadi area para backpacker berkumpul di mana banyak pula café & guest house bertebaran. Dan tentu saja wilayah ini tidak kalah semarak dengan area Night market tadi.

Hampir satu jam lebih kami menyusuri jalanan, sampai akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat kami menginap, namun sebelumnya kami sempat mencicipi nasi goreng yang dijajakan di pinggiran jalan seputar area Night Market, hmmm dari semenjak memulai perjalanan di Chiang Rai baru saat ini kami makan nasi setelah sebelumnya perut kami diisi oleh roti perancis dan mie rebus khas Laos (aroma & rasanya persis seperti Pho, mie Vietnam ). Beres makan kami pun kembali ke penginapan untuk istirahat.

Pukul 05.30 AM kami terbangun, pagi itu kami berniat menyaksikan upacara biksu yang terkenal itu. Maka setelah bersih bersih seperlunya kami pun bergegas menuju jalanan. Di kejauhan tampak ramai kerumunan orang, rupanya upacara itu sudah dimulai, setelah mendekati kerumunan tampak para biksu sedang berbaris berbalut kain berwarna orange membawa bakul kecil tengah memunguti sedekah dari penduduk setempat & para turis. Upacara yang dikenal dengan nama ‘Sai Bat’ berlangsung setiap hari dari pukul 05.00 AM. Para Biksu ini menerima sedekah berupa nasi ketan atau camilan tradisional. Penduduk yang akan member sedekah duduk di sepanjang jalan menunggu para biksu melewatinya. Konon menurut penduduk setempat, makanan yang terkumpul merupakan jatah makanan sehari untuk para biksu tersebut. Pada saat upacara ini berlangsung banyak para turis mengabadikan moment langka & unik ini.

Usai menyaksikan upacara ‘Sai Bat’ kembali kami berjalanan menyusuri  jalanan kota itu sambil menikmati udara pagi. Terlihat beberapa orang sedang melakukan aktifitas olah raga pagi. Saat itu kami juga melewati beberapa bangunan berarsitektur eropa dan beberapa kuil berornamen khas Indochina yang sempat kami abadikan. Sementara itu aktifitas kota belum lah bergeliat sepenuhnya, karena memang seperti halnya di Vietnam atau Thailand di sini juga aktifitas perdagangan & perkantoran dimulai pukul 10.00 AM. Setelah puas berkeliling kami pun kembali ke penginapan untuk mandi & sarapan.

Solo Backpacker di Hanoi

Kala mendarat di bandara Noi Bai, Dudung sedikit masygul karena belum pernah ke Hanoi. Kini ia sendirian pula alias solo backpacker. Hanoi terletak di wilayah utara Vietnam, terletak di delta Sungai Merah, hampir 90 km dari wilayah pesisir. Hanoi dilayani oleh Bandara Internasional Noi Bai, terletak sedikit diluar kota sekitar 15 km sebelah utara dari Hanoi.

Jrit, urang cengo sorangan di Hanoi… pikirnya, Bais jeung Bar mah ngeunah duaan backpackeran ka Laos. Kedua orang soulmate yang biasa menemaninya backpackeran memang sedang di belahan lain Indochina, yaitu melakoni tour Laos. Apabila waktunya pas, mungkin mereka bisa bertemu minggu depan di Saigon, namun tak ada jaminan.

“Urang ge engke balikna rek ka Saigon,” ujar Bar sebelum memulai tournya.

“Tanggal sabaraha?” tanya Dudung.

“Tah eta euy..teu pasti,” gumam Bar tak yakin, banyak hal yang bisa terjadi.

Tetapi Dudung sudah memantapkan diri mengenal kota tua ini. Kudu apal urang ibukota Vietnam, tekad Dudung. Sedikit menyesal juga ia tak ikut tour Vietnam lima tahun lalu, kala rekan-rekannya di tahun 2011 backpackeran menjelajahi Vietnam dari Selatan hingga Utara. Ia sendiri sering kalau ke Saigon di Selatan, namun ke Hanoi di Utara baru sekarang. Toh insting backpackerannya segera muncul.

Ah moal jauh jeung di Selatan, pikirnya, pasti ayah hiji daerah turis kawas District 1 di Saigon. Ngendong we didinya.

Perhitungannya tak salah, dan daerah itu adalah Old Quarter. Kawasan turis ini terletak tak jauh dari Danau Hoan Kiem, merupakan representasi dari arsitektur Hanoi dimasa lalu. Di daerah ini banyak terdapat pengrajin kecil dan pedagang, termasuk banyak toko-toko sutra. Masakan lokal serta beberapa klub dan bar dapat ditemukan di sini juga. Sebuah pasar malam di jantung kota buka setiap malam Jumat, Sabtu, dan Minggu dengan menawarkan berbagai pakaian, souvenir dan makanan.

Beberapa tempat obyek turisme yang menonjol lainnya adalah: Temple of Literature (Van Mieu), situs universitas tertua di Vietnam 1010; One Pilar Pagoda (Chua Một Cot); Flag Tower of Hanoi (Cot Co Ha Noi). Di antara danau yang ada , yang paling terkenal adalah Hoan Kiem Lake, Danau Barat, dan Bay Mau Lake). Hoan Kiem Lake, juga dikenal sebagai Danau Pedang, merupakan pusat sejarah dan budaya dari Hanoi.

Namun tak ayal ia sempat juga menjadi korban scam yang sering menimpa turis di Hanoi. Ceritanya, ia melakukan booking online sebuah hotel. Entah ia datang ke hotel yang benar atau tidak, karena salah satu scam disini adalah meniru nama hotel yang sudah populer. Setelah menginap semalam, esoknya kala menolak mengikuti paket tour yang ditawarkan hotel, ia dipaksa pindah ke hotel lain. Lesson learned, bahkan backpacker berpengalamanpun tak akan lepas dari resiko kena scam. Justru dari pengalaman-pengalaman tak menyenangkan itu, seorang backpacker akan makin mawas.

Setelah tiga hari di Hanoi, Dudung kembali bergerak ke Selatan menuju kota favoritnya: Saigon alias Ho Chi Minh City. Mudah-mudahan bertemu dengan yang pulang backpackeran dari Laos. Ia sendiri tak yakin akan hal itu, dan sudah siap untuk kembali solo di Saigon. Tetapi kota ini sudah terlalu dikenalnya, ia tak khawatir sama sekali.

Tanah Abang Punya Pesaing?

Geliat Industri Busana Muslim di Vietnam
by Luthfi Rantaprasaja

Sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, Vietnam nampak haus mengejar kemajuan ekonominya di segala bidang. Tak heran, Vietnam menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia, Indo-China & Indonesia sendiri, pertumbuhannya termasuk diatas rata-rata. Bahkan dalam salah satu studi dari PwC, Vietnam adalah salah satu ‘the fastest growing of emerging economies’… luaarr biasaaa! Sistem pemerintahan yg komunis sama sekali tak tercermin dalam bagaimana masyarakat melakukan usahanya. Nyaris tak ada bedanya bernegosiasi dengan pedagang di Benh Tanh Market dengan pedagang di Pasar Baru. Bahkan mungkin, dengan sistem kepartaian tunggal, otoritarian & masyarakat yg relatif homogen membuat negaranya lebih mudah diatur…. barangkali ya. Walaupun, kalo meminjam riset2 para ekonom dan bankir maka kemajuan yg mereka dapatkan sekarang kemungkinan besar adalah akibat berhasilnya reformasi politik dan ekonomi, Doi Moi, pada medio tahun 80an lalu. Orientasi ekonomi yang tadinya sangat tersentralisasi digeser menjadi berorientasi ekonomi pasar namun tetap dengan jiwa sosialis dimana kendali utama ada pada negara. Mungkin mirip2 dengan apa yg sedang berjalan di China, namun dengan peran swasta yang tidak terlalu dibiarkan lepas seperti di China.
64719_359101374198425_422396498_n

Pertumbuhan ekonomi dipacu dengan terbukanya peluang pasar di berbagai sektor usaha. Salah satu efek hausnya mereka melihat peluang pasar adalah dengan semakin bergeliatnya industri busana muslim di Vietnam, khususnya di Saigon. Sehubungan dengan seringnya kami mengunjungi daerah ini untuk urusan bisnis, maka pemandangan akan dinamika pertumbuhan usaha busana muslim tak dapat terelakan, terlihat dalam level yang paling riil. Dari hal yang paling kecil saja, bahwa toko2 atau butik2 yang menjual baju muslim terlihat semakin marak. Kalaupun mungkin tidak dalam artian pertambahan jumlah yang progresif, namun dari aktivitasnya yang semakin ramai. Karena umumnya toko2 atau butik2 tersebut tidak terletak di dalam pasar melainkan di pinggir jalan, dimana jam operasionalnya pun lebih lama. Sehingga sering tidak sengaja kami perhatikan, kesibukan bongkar bungkus angkut barang sampai larut… saat kami keluar malam mencari kopi, mereka yang didalam toko masih sibuk merapihkan barang dagangan berkoli2 mungkin untuk dikirim besok harinya.
Padahal jumlah penduduk moslem di Vietnam sangatlah minoritas. Satu sumber mengatakan tidak sampai 1% namun sumber lain mengatakan 5%, itupun kebanyakan berada di daerah kantong-kantong komunitas Champ di daerah pinggir selatan Vietnam, bukan di kota2 besar seperti Saigon. Sehingga tentunya, tidak salah kalo kami menyimpulkan bahwa target market dari penjualan baju muslim tersebut sejatinya adalah para turis muslim atau pedagang atau pekerja yang berkunjung ke kota ini. Saat kami iseng bertanya pun memang demikian adanya, bisa dibilang orang lokal sangat minimal… seringnya adalah pada turis yang sebagian besar adalah turis2 Malaysia, Singapore atau Brunei. Maka tak heran, penamaan atau istilah produk dan desainnya pun disesuaikan dengan target market utamanya sehingga ‘melayu banget’, misalnya: baju kurung, telekung, half moon, jubah dll…
Sebagaimana halnya kios-kios di Tanah Abang, pemilik toko atau penjual baju muslim di Saigon tidak mesti muslim. Namun untuk menarik minat perhatian pengunjung yg umumnya turis tadi, dipekerjakanlah sebagian yang memang muslim. Pastinya, sebagian besar dari mereka bisa bahasa melayu… dan aktif mengajak berbahasa melayu kepada siapapun yang bertampang melayu. Walaupun bagi kami lebih nyambung sepertinya pake bahasa Inggris daripada bahasa Melayu, mungkin juga karena bahasanya yang aneh ditambah dialeknya dan logatnya yang semakin aneh…
Bicara soal muslim melayu, memang terlihat sekali betapa komunitas muslim yang kami lihat disini perkembangan keislamannya memang sangat kuat didukung & mengacu ke Malaysia. Bukan hanya karena kedekatan historis & geografis, namun juga misi-misi keagamaan yang diprakarsai masyarakat Malaysia, kalau bukan dari negara, cukup banyak artefaknya terlihat di Saigon. Apalagi, dengan level ekonomi Malaysia yang cukup tinggi, berpelancongan ke Vietnam sepertinya sudah biasa. Yang menguasai udara pun sejatinya maskapai Malaysia. Sehingga tidak heran sering kami lihat, banyak bus-bus turis Malaysia setiap hari masuk ke hotel-hotel di sekitar Saigon kota… yang perempuan berkerudung half moon sementara yang laki-laki berpeci melayu yg khas. Katanya sih mereka ikut moslem-tour, tapi yg dikunjungi ya tempat2 standar spt city tour ke gedung2 ex perancis, cu chi tunnel, tay minh temple, mekong delta dll… muslim taste-nya karena selain itu, mereka mengunjungi mesjid biru & mesjid2 lain yg ada disekitar kota dan makan di restoran2 halal yang cukup banyak juga hingga akhirnya ditutup oleh… belanjaaaa ke toko2 atau butik2 busana muslim.
24315_359101570865072_1354659392_n

Saya tidak ahli soal busana muslim, apalagi yg wanita. Pengalaman saya satu-satunya adalah melihat koleksi baju istri di rumah dan menemani istri jalan-jalan ke toko-toko busana muslim baik yang butik maupun toko/kios biasa di tanah abang. Nah kalo dibandingkan dengan model2 baju yang ada tersebut, sepertinya mazhab baju muslim di Saigon ya masih lebih ke model2 konservatif-tradisional. Kalo saya lihat di negara kita, model2 baju muslim sudah semakin modern, ada yang gaya casual, distro bahkan ada gaya ala artis yang cetaaar punya. Namun karena penasaran, saya tanya juga, ada ga sih busana muslim khas Vietnam? Karena yang saya perhatikan, model2nya ya Melayu banget. Ternyata ada juga yang mereka punya, yakni model baju muslim biasa namun dengan bahan lokal yg khas mereka… walaupun jumlahnya ternyata sedikit dan sepertinya bukan hot selling item juga karena posisinya tidak ditempatkan di rak yg strategis. Hal mana membuat saya cukup heran, artinya para turis itu membeli barang yang tidak khas negara yang dikunjunginya? Apakah berarti mereka membeli untuk dijual ke negaranya? Wah, kalau begitu Tanah Abang bisa punya pesaing nih… Apalagi ketika tanya-tanya soal harga ya, cukup murah juga ternyata…

Seperti diketahui, Tanah Abang adalah pusat busana muslim yang cukup kondang di mancanegara. Selain karena harganya yang relatif murah, alias bisa jadi barang dagangan. Perkembangan modelnya pun cukup maju. Bahkan di beberapa literatur dikatakan, keunggulan industri busana muslim di Indonesia adalah kreativitas desain & modelnya yang belum bisa dikalahkan negara2 lain. Buktinya, para pedagang2 dari seantero dunia, target operasi rutinnya ya di Tanah Abang. Termasuk pedagang dari Malaysia, Brunei, Singapura tadi. Kalo saya pernah tahu, omset perdagangan di Tanah Abang itu sekitar 100-200milyar per hari… dalam satu bulan berarti paling sedikit 3 trilyun omsetnya! Bayangkan, kios yang jualan pun ada ribuan disana. Mmmmhh… kalo sudah gini sih, masih jauh sepertinya buat ngejar Tanah Abang. Wallahualam bissawab.(2013)

Jejak Ahli Indonesia di Angkor Wat

mcdermott-gallery-panoramas-of-angkor

Memasuki komplek candi Angkor kita akan merasa kembali ke masa silam. Candi-candi Angkor berserak dalam suatu kompleks candi yang sangat luas dengan periode pembangunan yang berbeda-beda. Komplek candi ini terdiri dari ratusan struktur bangunan dari abad 8 hingga ke-14 yang menceritakan perjalanan bangsa Khmer. Beberapa candi yang paling sering dikunjungi adalah Angkor Wat, Angkor Thom, Bakong, Banteay Srei, Bayon, Preah Khan dan Ta Prohm. Selain candi-candi itu masih banyak komplek candi lain yang letaknya tersebar hingga puluhan kilometer jauhnya, sehingga mustahil rasanya mengeksplorasi semua keindahan itu dalam waktu yang singkat.

Candi Angkor Wat yang sering kita dengar bukanlah satu-satunya candi purba di Angkor, melainkan hanya satu diantara sekian banyak candi peninggalan kerajaan Angkor. Sejarah Angkor dimulai pada masa kekuasaan raja Jayavarman II tahun 790-835 disaat bangunan pertama mulai didirikan yaitu candi Rhong Cen. Pembangunan candi-candi terus dilanjutkan di kawasan sekitarnya oleh para penerus tahta kerajaan. Candi Angkor Wat sendiri dibangun pada masa raja Suryavarman II bertahta yaitu pada tahun 1113-1150. Pembangunan candi yang terakhir diperkirakan dilakukan pada masa raja Srinravarman yang bertahta tahun 1295-1307 yaitu candi Ta Phrom, Preah Pithu dan Preah Palilay.

Komplek candi Angkor bisa dikelompokkan ke dalam beberapa wilayah berdasarkan sebaran lokasinya yaitu Central Angkor, Eastern Angkor, Northeastern Angkor, East Baray, West Baray, Ruluos dan Banteay Srei. Kawasan Central Angkor merupakan yang paling populer dan paling sering dikunjungi wisatawan dimana disini terdapat candi Angkor Wat dan Angkor Thom.

Sebuah fakta yang menarik adalah terlibatnya ahli-ahli arkeologi dari Indonesia dalam upaya merekontruksi candi-candi Angkor. Saat ditemukan oleh Henri Mouhot, seorang penjelajah Perancis, pada tahun 1863 komplek candi ini dalam keadaan rusak parah. Namun baru kemudian pada tahun 1908 sebuah lembaga yang didirikan oleh kolonial Perancis yaitu Ecole Francaise d’Extreme Orient dibawah pimpinan Jean Comaille mulai melakukan pemugaran dan konservasi komplek candi ini. Di tahun 1930, penerus Comaille yaitu Henri Marchal bertandang ke Jawa untuk mempelajari teknik-teknik yang dilakukan oleh ahli-ahli purbakala Hindia Belanda dalam melakukan pemugaran candi di Jawa. Teknik pemugaran ini kemudian dibawa ke Angkor dan mulai diterapkan dalam rekontruksi candi Banteay Srei.

Hingga kini ahli-ahli pemugaran candi dari Indonesia kerap masih dilibatkan dalam pemugaran candi Angkor dalam suatu kerjasama internasional. Badan kerjasama ini dinamakan International Coordinating Commite, didirikan di tahun 1993 disponsori oleh UNESCO. Kontribusi para ahli dari Indonesia ini dikenal salah satunya dalam pemugaran gapura istana kerajaan candi Angkor Thom. Badan lain yang didirikan oleh pemerintah Kamboja untuk melakukan pemugaran candi adalah APSARA (Authority for the Protection of the Sites and Administration of the Region of Angkor).

Wisatawan yang ingin mengunjungi Angkor harus terlebih dahulu menuju kota Siem Reap. Tidak susah menuju ke kota tua ini karena sudah ada penerbangan langsung dari berbagai kota seperti Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok. Bagi yang lebih suka melakukan perjalanan darat, Siem Reap juga bisa dicapai dari Bangkok (12 jam ) atau Phnompenh (enam jam). Selain lebih hemat, perjalanan memakai bis malam antar negara akan menjadi pengalaman tersendiri bagi yang belum pernah merasakannya. Bila ingin merasakan sensasi lebih, kita dapat menumpang kapal motor menyusuri sungai Tonle Sap dari Phnompenh menuju Siem Reap. Perjalanan menyusuri sungai ini memakan waktu enam jam.

Kini lebih dari satu juta wisatawan mengunjungi kota Siem Reap setiap tahunnya, dimana Angkor Wat merupakan tujuan utamanya. Daya tarik utama Siem Reap memang komplek candi kuno Angkor Wat, bahkan mayoritas turis yang datang ke Kamboja adalah untuk mengunjungi Angkor Wat. Tarif masuk Angkor Wat cukup mahal yaitu USD 20 untuk satu hari, USD 40 untuk tiga hari dan USD 60 seminggu (2012). Bila ketahuan tak memiliki tiket masuk maka dikenakan denda USD 100. Waktu terbaik mengunjungi candi Angkor Wat adalah menjelang matahari terbit sehingga kita bisa mengabadikan sunrise dan menjelang sore kala cuaca telah teduh.

Wisatawan yang mengunjungi Angkor akan dihadapkan pada sebuah dilema, antara mengeksplorasi komplek candi yang luas dan mendalami sejarah ratusan tahun ke belakang dengan waktu kunjungan yang lama. Atau hanya akan sekejap saja melintasi berbagai komplek candi yang penuh nuansa magis itu karena keterbatasan waktu. Rata-rata kunjungan turis di Angkor Wat adalah 2-3 hari, niscaya dirasakan masih prematur dalam mengeksplorasi keseluruhan komplek candi yang menakjubkan ini. @bayubhar

Pertemuan Dengan Orang Cibangkong Di Perbatasan Thailand

IMG01839-20150306-1623By Bayu Ismayudi

Panas mentari siang itu sudah mulai menyengat saat saya dan Bayu Bhar tiba di perbatasan Laos-Thailand. Para pelintas batas dari Laos menuju Thailand berdesakkan, menyemut di di kantor imigrasi Laos di kota Vientianne.

Kami pun segera ikut bergabung dalam barisan pelintas batas sesaat turun dari tuk-tuk yang mengantar kami dari pusat kota. Ini adalah hari terakhir kami setelah seminggu menyusuri Laos dari Chiang Rai sebuah kota di utara Thailand.

Sangat jauh berbeda kondisi yg kami lihat sekarang, saat sebelumnya kami melintas dari Thailand menuju Laos, kantor imigrasi Laos relative sepi dari para pelintas batas, berbading terbalik dengan saat ini, pelintas batas dari Laos menuju Thailand begitu bejibun.

Para pelintas batas ini didominasi oleh turis bule mancanegara, walaupun ada beberapa turis berwajah oriental yang terselip di dalamnya.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju pada dua orang turis berbeda ras yang sedang berdialog di depan saya, yang satu seorang bapak setengah baya berwajah melayu dengan lawan bicara seorang turis bule…

“Where do you come from?” tanya sang turis bule kepada turis berwajah melayu tersebut. “I ‘m from Indonesia” sahut turis berwajah melayu. “Where do you live in Indonesia?” Tanya sang bule kembali. “Bandung” jawab sang bapak berwajah melayu itu.

Jawaban sang bapak setengah baya berwajah melayu itu sontak menarik perhatian saya. “Di Bandungnya di mana pak?” bisik saya tiba-tiba dari belakang antriannya…si bapak langsung menoleh “Lha lo Bandung juga? Lo sendiri Bandungnya di mana?” balik bertanya…”Saya di Buah Batu pak”  tegas saya..”Wah, daerah preman dong itu?” balas si bapak sambil tersenyum…”Emang klo bapak di mana di Bandungnya?” Tanya saya penasaran…”Gue dari Cibangkong”. Tegasnya…”Wah, premanan daerah bapak dong..” tukas saya yang kemudian disambut sang bapak dengan tawa dan jabatan erat.

Bapak setengah baya berusia 68 tahun ini sebut saja namanya Bapak X, karena bapak ini meminta merahasiakan identitasnya sehubungan dengan masa lalunya yang mirip agen rahasia hehehehe.

Bapak X ini walaupun sudah berusia kepala 6 malah hampir 7 masih terlihat bugar walaupun uban di kepalanya sudah mendominasi. Bapak ini langsung menyambut kami ramah dan hangat setelah tahu saya dari negara & kota yang sama.

“Bapak habis pelesiran apa kerja pak?” Tanya saya….”hmm, saya pengangguran, sudah hampir lima belas tahun saya tinggal di Bangkok” jawabnya…”Pengangguran elit ya pak?” ujar saya…”Si bapak ini bukan orang sembarangan” pikir saya, sebab mana mungkin seorang pengangguran bisa tinggal mencla menclo beberapa tahun di Amerika dan Eropa (saya tahu saat si bapak memperlihatkan passportnya) terus akhirnya menetap di Bangkok, Thailand.

“Kamu sendirian?” Tanya si bapak kemudian…”Berdua pak, sama teman” sambil menunjuk reka saya Bayu Bhar yang sedang berada di antrian sebelah. “Ok, nanti setelah beres imigrasi kita sama-sama ke Station bus ya” uajr si Bapak.

Setelah beres segala urusan cap mencap passport, kami pun segera bergerak menuju station bus Nong Khai, Thailand. Kantor perbatasan Thailand-Laos ini memang terletak di kota Nong Khai, jadi kami harus melanjutkan Sembilan jam perjalanan menggunakan bus menuju Bangkok.

“Kalian muslim?” Tanya si bapak sesaat setelah kami berada di dalam tuk-tuk yang mengantar kami menuju station. “Iya pak” jawab saya…”Ok, sebelum ke station kita cari makan dulu ya, saya tau tempat makan halal di daerah sini”. Memang saat itu sudah waktunya untuk makan siang, perut kami memang sudah mulai berteriak lapar hehehe.

Tidak berapa lama tuk-tuk yang kami tumpangi tiba di sebuah rumah makan berlabel “Halal” yang dimiliki oleh keluarga keturunan Arab. Setelah memesan menu makanan sop daging sapi, kami pun menunggu sambil berbincang-bincang tentang pengalaman si bapak yang dari tahun 1988 tinggal berpindah-pindah di negeri orang, malah sempat tinggal di Amerika dan beberapa negara di Eropa hingga akhirnya ‘terdampar’ di Bangkok, Thailand selama belasan tahun.

Kami sempat terkesima oleh cerita si Bapak X ini tentang masa lalunya yang ‘fantastis’. Betapa tidak si Bapak ini dulunya adalah veteran Nusakambangan. Bersama beberapa temannya terlibat dengan ‘hitamnya’ dunia hingga membuatnya terdampar di Singapore pada tahun 1988 dan membuatnya bertualang ke mancanegara.

Cerita sang Bapak ini membuat saya seperti mendengar kisah petualangan agen rahasia dan yang pastinya cerita-cerita ini tidak bisa saya paparkan di sini demi menjaga nama baik sang bapak yang mengakhiri ceritanya dengan keinginan untuk bertobat. “…Dan tahun ini saya ingin pulang, ingin naik haji, saya ingin menangis di rumah Allah, saya ingin taubatan nashuha” lirihnya….

Tidak lama kemudian makanan yang kami pesan pun akhirnya muncul tersaji juga, sop sapi & nasi putih hangat…hmm…aromanya sungguh membangkitkan selera. Kami pun makan dengan lahap diselingi obrolan ringan.

“Menurut bapak, gimana kondisi negara kita di lihat dari kacamata bapak yang tinggal di luar Indonesia?” Tanya saya tiba-tiba. Si Bapak menghentikan suapannya sambil menunjuk ke sop daging sapi yang berada di dalam mangkuk…”Kalau sop yang ada di dalam mangkok ini sudah ga karuan rasanya, jangan kau campur bumbu ini, itu lagi yang membuat rasa sopnya semakin ga karuan…kau buang sop dalam mangkok ini dulu, ganti dengan yang baru” tukasnya sambil menyeruput es teh manis…sedaap…

Usai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan menuju station bus Nong Khai. Dengan fasih menggunakan bahasa Thailand si Bapak ini memesankan kami tiket Bus VIP menuju Bangkok. Di Bangkok si Bapak ini tinggal di sebuah home stay milik pasangan tua yang sudah dianggap orang tua sendiri. Dan kami pun tinggal di home stay dekat tempat tinggal si bapak dengan harga yang relative murah, 200 BHT, sebelum sore harinya kami beranjak menuju Bandara Don Mueang karena saya akan melanjutkan pulang menuju Jakarta dan rekan saya Bayu bhar melanjutkan perjalanan menuju Vietnam….

Kota Tua Siem Reap di Kamboja

Pub-Street-Siem-Reap-2

Kala tiba di Siem Reap pada pagi hari, para penumpang bis malam dari Phnompenh cukup terhenyak. Mereka tiba-tiba berada di sebuah pool bis yang becek, menyerupai kubangan kerbau. Ini kala berkunjung di tahun 2012. Lucunya, segera setelah bis masuk pool pintu gerbang digembok dari dalam untuk menghindari serbuan pengemudi tuk-tuk yang ingin menawarkan jasanya. Para penyedia jasa transportasi itu pun tak mau kalah, mereka berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu. Bukan main..!

Namun semangat para turis tak terpatahkan oleh suasana hiruk pikuk ini, mereka tetap dengan riang berjinjit mencari pijakan yang agak keras di antara genangan lumpur itu. Sebagian turis dengan santai membuka sepatu dan bertelanjang kaki agar sepatu mereka tak ditelan oleh lumpur, lalu menerobos kepungan pengemudi ojek dan tuktuk yang bergerombol diluar. Benar-benar sebuah pagi yang sibuk!

“One dollar each,” ujar pengemudi tuktuk dengan mantap, melihat kami berempat. Tarif untuk naik kendaraan yang berdaya tampung empat orang itupun dihargai empat dollar, tanpa bisa ditawar. Mengingat jarak antara pool bis dan hotel cukup jauh, tawaran itu pun disepakati. Apalagi tak ada angkutan selain tuktuk disini.

Pengemudi tuktuk akan menawarkan untuk selalu memandu anda selama di Siem Reap, dengan membayar di hari akhir. Bila anda mempunyai rencana lain katakan saja, namun bila buta informasi tawaran ini cukup menarik.

 

Siem Reap secara harfiah berarti “Kekalahan Siam”, sebuah sejarah perang pada masa lampau kala kerajaan Angkor mengalahkan Siam ditempat ini. Sejak ditemukan oleh peneliti Perancis, situs Angkor Wat di Siem Reap telah menjadi salah satu primadona pariwisata dunia. Perang dan kediktatoran di Kamboja kemudian menyurutkan nama Angkor Wat, namun sejak tahun 1990-an wisata kembali berdenyut di kota Siem Reap dan semakin lama semakin bergairah.

Pusat keramaian kota Siem Reap berada di sekitar kawasan Old Market, atau Chas Psah. Ini adalah pasar tempat berbelanja suvenir yang murah meriah. Bila anda berbakat tawar menawar, bisa mendapat barang dengan harga murah disini. Saat Old Market tutup pada sore hari, Night Market yang terletak tak jauh dari sini baru saja buka dan akan tutup pada tengah malam. Sementara itu di kawasan backpacker yang tak jauh dari Old Market, pub dan café terus buka hingga dini hari. Selain terdapat pasar souvenir di kawasan Old Market juga terdapat banyak hotel, restoran dan toko yang memanjakan para turis. Disaat kawasan Siem Reap lain sudah terlelap, tempat ini akan tetap ramai hingga lewat tengah malam.Bila tak suka hotel di tempat ramai, cobalah kawasan yang lebih adem seperti Wat Bo atau Wat Kesararam.

Di Siem Reap sendiri rumah makan halal cukup mudah ditemui disamping terdapat restoran cepatsaji internasional. Di jalan utama Siem Reap yaitu Sivutha Boulevard terdapat rumah makan India Curry Walla, Maharajah, KFC, vegetarian restoran dan jajanan sea food. Namun bila benar-benar ingin meyakini kehalalan masakan silakan mengunjungi sebuah rumah makan yang agak jauh keluar dari keramaian yaitu di Stoung Thymey Village, tepatnya di samping mesjid Neak Mah (An Nikmah).

Menuju Siem Reap :
Bis : dari Phnompenh (6 jam), Bangkok atau Ho Chi Minh (12 jam)
Pesawat : direct flight dari Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura
Perahu motor : dari Phnompenh (6 jam) menyusuri sungai Tonle Sap

Orientasi Medan di Singapura

SANYO DIGITAL CAMERA

Sebuah ruangan seperti barak yang berkapasitas 10 ranjang bertingkat ditunjukkan oleh resepsionis hotel.  Kapasitas 20 orang tempat tidur itu kebanyakan telah  diisi oleh orang India. Terdapat dua kamar mandi terpisah diluar, dengan sebuah teras kecil yang berfungsi sebagai tempat untuk merokok. Setelah melihat fasilitas menginap seharga 15 dollar per malam itu, seorang calon tamu langsung melengos pergi meninggalkan hotel mencari tempat lain.

“Kumaha arek meuting di dieu?” tanya Dudung.

“Dimana we lah sare mah,” ujar Bar santai.

“Hmm..hayu wae..” Asnur mulanya agak ragu  tapi setuju juga.

Diluar kebiasaan tidur di bandara Changi kala transit, kali ini mereka memang bermaksud menginap di kota. Baru esok pagi jadwal penerbangan lanjutannya. Sebetulnya untuk menghemat uang akomodasi, protapnya adalah menginap di bandara. Namun terkadang protap itu juga dilanggar demi mendapat gambaran tentang kota yang dikunjungi. Walau sekedar melihat-lihat saja bisa dengan tour gratis yang disediakan dari Changi, namun jelas suasananya akan berbeda dengan langsung berjalan kaki di kota.  The swiftest travell  is he who goes on foot, seperti kata Thoreau.

“Sakali-sakali mah kudu jalan-jalan ka kota ngarah apal,” ujar Bar bersikeras.

Menuju ikon kota Singapura yang terkenal  seperti Marina Bay dan Merlion Park mudah saja dari Changi. Mereka tinggal naik MRT (mass rapid transit) East West Line turun di Stasiun City Hall atau Rafless Place. Setelah puas motret-motret sejenak  di Merlion Park, mereka hanya melihat-lihat dari jauh saja  Marina Bay sebagai ikon kota ini.

“Ciak heula diditu,” ujar Dudung yang perutnya  keroncongan menunjuk restoran McDonald di luar stasion CityHall. ‘Ciak’ adalah istilah mereka bila sudah terlalu lapar. Karena penerbangan Tiger Airways pagi dari Bandung, mereka tak sempat mengisi perut. Walau agak terlambat disebut sarapan, masih keburu juga mendapatkan paket breakfast yang agak ekonomis yaitu sebuah burger dan kopi. Setelah energi terisi, mereka kembali naik MTR East West Line yang sama dan turun di stasiun Bugis. Di daerah sinilah mereka bermaksud mencari tempat untukmenginap, sekaligus megunjungi beberapa spot yang menarik di kawasan Little India.

Beberapa tempat yang menarik di kawasan ini antara lain Mustafa Center, sebuah mall yang buka 24 jam dengan suasana bernuansa India di sekitarnya. Mesjid Sultan, salah satu mesjid besar di Singapura dengan sejarah yang panjang  juga terdapat disini. Jangan lupa persiapkan  lidah India bila ingin hang-out disini, karena rumah makan becitarasa India paling banyak terdapat disini, seperti nasi biryani dan roti cane.

Setelah orientasi medan sehari  itu di Singapura, mereka berkesimpulan destinasi utama disini  dapat terbagi ke dalam empat wilayah yaitu sekitar Merlion park,  Little India, Orchard Road dan Sentosa. Mau selfie di patung Merlion turun di City Hall, mau makan nasi biryani di Little India turun di Bugis, untuk sosialita shopping turun di Orchard, sementara Sentosa adalah pulau tersendiri yang terpisah dari daratan utama. Dari empat kawasan destinasi itu hanya Merlion Park dan Little India yang mereka rasa perlu dikunjungi kali ini. Bagi mereka yang lebih penting adalah menanamkan mental map tentang Singapura kepada alam bawah sadar masing-masing. Bila diperlukan, sewaktu-waktu kesadaran itu tinggal dipanggil lagi andai salah satu dari mereka kembali travelling kesini.

“Moal ka Ochard jeung Sentosa?” tanya Dudung.

“Ah moal, nu penting mah geus ka ormed kota na,” sahut Bar. Pada dasarnya mereka memang tak terlalu gampang terpesona dengan landscape kota namun mudah tersentuh oleh keindahan alam. Uhuk..uhuk, yang jelas memang tak cukup SGD di dompet untuk dibelanjakan, hanya tersisa receh buat bergerak dari stasion MTR ke stasion MTR lainnya.

Saat bangun pagi keesokan harinya, tampak muka Asnur sedikit kusut. Seperti kurang bisa beraklimatisasi dengan suasana hotel.

“Teu tibra sare..,” keluh Asnur resah  ,”orang India nu di kasur luhur kerek na mani tarik.”

Yang lebih biasa backpackeran senyum-senyum saja. Mereka sudah jarang terganggu tidur pulasnya oleh keributan apapun. Hanya udara dingin yang menusuk kulit yang bisa mengganggu tidur.

“Kalem..engke deui mah tarpak na di Changi we kawas biasa,”ujar Dudung.

“Enya, leuwih tibra sare di Changi,” Asnur mengakui ,”bae distelling jam 3 subuh oge.”