Tak Cuma Ada Angkor Wat di Siem Reap

10170901_10202894603998908_8098796777097426862_n

 

Lebih dari satu juta wisatawan mengunjungi kota Siem Reap di Kamboja setiap tahunnya, dimana Angkor Wat merupakan tujuan utamanya. Daya tarik utama Siem Reap memang komplek kuil kuno Angkor Wat yang merupakan Situs Warisan PBB, bahkan mayoritas turis yang datang ke Kamboja adalah untuk mengunjungi Angkor Wat. Komplek candi ini terdiri dari ratusan struktur bangunan dari abad 9 hingga ke-14 yang menceritakan perjalanan kekuasaan kerajaan Khmer.

Namun Angkor Watt bukan satu-satunya atraksi wisata disini. Sejak tahun 1997 Tonle Sap ditetapkan sebagai cagar biosfer UNESCO, dimana wisatawan dapat menjumpai beberapa satwa liar yang paling menakjubkan di kawasan ini. Selain beraneka burung, juga beragam kehidupan air yang unik. Yang paling terkenal adalah legenda ikan lele raksasa yang dikabarkan masih banyak terdapat disini, konon bisa tumbuh sampai delapan meter. Namun  tiket masuk cukup tinggi yaitu USD 20 per orang (2012), sudah termasuk berkeliling di sekitar danau memakai perahu motor.

Pusat keramaian kota Siem Reap sendiri berada di sekitar kawasan Old Market, atau Chas Psah. Ini adalah pasar tempat berbelanja suvenir yang murah meriah. Bila anda berbakat tawar menawar, bisa mendapat barang dengan harga murah disini. Saat Old Market tutup pada sore hari, Night Market yang terletak tak jauh dari sini baru saja buka dan akan tutup pada tengah malam. Sementara itu di kawasan backpacker yang tak jauh dari Old Market, pub dan café terus buka hingga dini hari. Selain terdapat pasar souvenir di kawasan Old Market juga terdapat banyak hotel, restoran dan toko yang memanjakan para turis. Disaat kawasan Siem Reap lain sudah terlelap, tempat ini akan tetap ramai hingga lewat tengah malam.

Wisatawan muslim yang datang ke kota besar di Kamboja seperti Siem Reap bisa merasakan atmosfer kuliner yang cukup bersahabat. Di Siem Reap sendiri rumah makan halal cukup mudah ditemui disamping terdapat restoran cepatsaji internasional. Di jalan utama Siem Reap yaitu Sivutha Boulevard terdapat rumah makan India Curry Walla, Maharajah, KFC, vegetarian restoran dan jajanan sea food. Namun bila benar-benar ingin meyakini kehalalan masakan silakan mengunjungi sebuah rumah makan yang agak jauh keluar dari keramaian yaitu di Stoung Thymey Village, tepatnya di samping mesjid Neak Mah (An Nikmah).

Pada hari Jumat, mesjid An Nikmah dipenuhi oleh umat muslim yang beribadah sholat Jumat, sehingga suasananya terasa di kampung sendiri. Selain mesjid ini, ada pula mesjid lain di Siem Reap yaitu di jalan raya ke arah danau Tonle Sap namun mesjidnya tak sebesar Mesjid An Nikmah. @districtonebdg

1174974_10202894606398968_1011551762743377751_n

Thakek – Hue dengan Bis Bermuatan Arang

Oleh Hidayat Adhiningrat

10011321_10202896274520670_3289862934244830693_n”Telepon saya kalau kendaraannya tidak ada”, pesan om Edi, seorang warga Indonesia yang bekerja dan tinggal di Thakek. Ia dengan segala kebaikannya telah sangat membantu kami dalam petualangan ini. Trayek kendaraan dari Thakek (Laos) ke Hue (Vietnam) ini memang tergolong masih baru, belum sampai satu tahun, karena itu ia sendiri masih sedikit sangsi . Ia harus pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 19.00.

Cukup lama kami menunggu kendaraan yang tak kunjung tiba, diam-diam kami mulai khawatir bahwa ‘minivan’ ini tidak akan ada, hampir satu setengah jam kami menunggu sampai ketika di parkiran dengan plang yg tertulis “Thakek-Hue” ini tiba kendaraan yang kami tunggu-tunggu, dan bukan mini van melainkan sebuah bus ‘reot’.

Dengan ‘bahasa isyarat’ -karena kondektur dan supirnya tidak bisa berbahasa inggris- kami coba meyakinkan bahwa bus ini memang menuju Hue, setelah yakin kami memasukan barang ke dalam bus. Didalam bus terdapat sembilan orang penumpang, dari terminal Thakek ini naik lima orang penumpang yaitu kami bertiga dan dua orang turis dari Spanyol sehingga total jumlah penumpang adalah 14 orang, setelah kursi kami isi didalam bus tersisa dua kursi lagi, bagian belakang kosong tanpa kursi!!

“Ah, sudahlah”, kami pikir yang penting kami bisa sampai ke Hue, lagi pula keadaan kami sudah sangat lelah sisa penelusuran kemarin, sekarang saatnya tidur.
Sempat mengobrol sebentar di dalam bus tidak lama kami bertiga tertidur dengan lelap, perjalanan malam hari ini sangat menguntungkan karena kami bisa beristirahat di perjalanan, begitu kira-kira yang ada dalam pikiran kami.

Tapi, ketika kami mulai terlelap kondektur membangunkan kami semua –dengan bahasa Laos tentunya-, kami kaget, sambil masih mengantuk dan bingung saya memperhatikan keadaan sekitar dan saya semakin bingung karena kami ada ditengah hutan!! Lebih kaget lagi ketika turun, di bawah “berbaris” sekitar 6 orang menggunakan penutup muka dan berpakaian lengan panjang, lalu kami dibawa ke sebuah gubuk dengan sebuah perapian di sisinya. Dalam kebingungan saya berpikir yang bukan-bukan, bayangan mengenai Perang Asia Tenggara muncul, jangan-jangan kami diculik kelompok separatis? Jangan-jangan kami akan dibunuh? Dan pikiran-pikiran aneh lainnya muncul di otak saya.

Setelah kesadaran kami mulai pulih, kami mulai memperhatikan keadaan sekitar dengan saksama dan ternyata di balik pepohonan terdapat jalan raya dan Sembilan penumpang selain kami dan turis Spanyol tadi terlihat ‘nyaman-nyaman’ saja, sedikit demi sedikit pikiran yang bukan-bukan itu terkikis, sepertinya saya terlalu berlebihan dalam berprasangka.

Dua orang turis Spanyol itu mendatangi kami, dengan berbahasa inggris mereka meminta kami untuk bertanya pada supir dan kondektur mengenai apa yang sedang terjadi, kenapa kita berhenti di tempat ini? Mereka meminta kita karena lagi-lagi –seperti yang terjadi sebelumnya- kita dianggap warga lokal. Tentu saja kami menolak, karena memang kami tidak bisa berbahasa Laos tetapi kami juga ingin tahu apa yang sebenarnya membuat kami terhenti di sini? Kami perhatikan tidak ada yang mereka kerjakan kecuali mengobrol, dengan menggunakan ‘bahasa isyarat’ kami coba bertanya lalu dijawab oleh mereka dengan bahasa Laos dan ‘bahasa isyarat’ lalu kami mengangguk-angguk dan tetap tidak mengerti.

Sekitar setengah jam kemudian akhirnya terjawab sudah pertanyaan kami, ternyata bus ini berhenti untuk mengangkut arang-arang yang akan dibawa menuju Hue + sapu ijuk dan jumlahnya membuat bus terisi penuh didalam + atap bus yang juga sangat penuh, jadilah malam itu kami 14 orang penumpang dengan arang dan sapu membelah malam menuju Vietnam.

Keesokan paginya kami tiba di perbatasan Laos-Vietnam (Lao Bao), sepertinya kami tiba terlalu pagi karena kami harus menunggu pintu perbatasan yang baru terbuka pukul 07.00 waktu setempat. Setelah pintu perbatasan dibuka kami melakukan pengecekan imigrasi untuk keluar dari Laos, pelayanan imigrasi di perbatasan ini mengingatkan saya ketika mengurus pajak motor di SamSat dulu sebelum ‘perbaikan’ : siapa duluan menyerobot antrian dan siapa yang calo nya paling hebat maka dia yang selesai terlebih dahulu. Keadaan ini tampaknya membuat kesal kawan kami dari Spanyol itu, dalam perjalanan menuju kantor imigrasi Vietnam untuk pengecekan imigrasi memasuki Vietnam dia bertanya : “your country is better, right??” dan kami jawab “of course” walau sebenarnya keyakinan kami masih setengah-setengah (bule-bule ini rencananya akan langsung ke Bali setelah dari Vietnam).

Sebelum masuk ke loket imigrasi, kami bertiga –ya, hanya kami bertiga- dihentikan oleh petugas dan dibawa menuju sebuah ruangan lalu di sana kami dicek oleh sebuah alat dan dipersilahkan kembali ke antrian, saat keluar ruangan kami membaca nama ruangan tersebut dan disana tertulis “ruangan kesehatan”, tampaknya keadaan kami yang kucel ditambah coreng moreng akibat arang di dalam bus membuat kami disangka “pembawa penyakit”. Keadaan di loket imigrasi Vietnam agak lebih baik daripada loket imigrasi Laos, setidaknya antrean di sini lebih teratur. Setelah pengecekan imigrasi selesai perjalanan menuju Kota Hue dilanjutkan, selamat tinggal Laos. (2011)

 

Mendaki Gunung Fansipan “Roof of Indochina”

Fansipan 1“Betul nih mau mendaki gunung Fansipan?” selidik Andreas, seorang ekspatriat asal Indonesia yang bekerja di salah satu hotel Sa Pa, agak sangsi. Ia sendiri belum pernah mendaki ke gunung Fansipan selama tinggal di kota Sa Pa.

“Minggu lalu turun salju di Sa Pa, sesuatu yang sudah lama tidak terjadi disini. Kebayang kan dinginnya di atas sana, “ ia melanjutkan seraya menunjukan tangannya ke arah pengunungan Hong Lien. Waduh, terbayang dinginnya pikir kami mendengar penuturan itu. Memang hari pertama saat tiba di kota Sa Pa saja, udara dingin langsung terasa menggigiti permukaan kulit. Tapi sudah sampai disini, masak ga jadi?

Tempat yang menjadi tujuan kami pada hari pertama pendakian ini adalah Camp 2 yang merupakan tempat untuk bermalam sebelum esok paginya melanjutkan perjalanan ke puncak. Setelah sekitar enam jam perjalanan dari pintu masuk Tom Tram dengan melalui hutan tropis purba , pinus dan bambu serta dengan banyak melewati banyak sungai kecil,

Camp 2 berhasil dicapai saat hari menjelang sore. Ketinggian disini sekitar 2.800 meter diatas permukaan laut dan istirahat dilewatkan dalam sebuah pondok sederhana berupa bangunan semi permanen yang berlapiskan papan. Sekedar untuk tidur melewatkan malam, akomodasi sederhana ini bagi saya cukup memadai daripada harus menyiapkan tenda diluar.

Saat pagi tiba, kabut masih tebal diluaran sehingga sempat menggoda untuk melanjutkan kembali bergulung didalam sleeping bag. Walau tak mesti pergi terburu-buru pagi itu, kami harus bergegas sesuai jadwal untuk menempuh perjalanan selama empat jam menuju puncak Fansipan yang disebut sebagai roof of Indochina ini.

Perjalanan menuju puncak lebih terjal daripada rute kemarin, dan seringkali memipir bebatuan yang merupakan jalur sungai. Vegetasi yang dominan adalah hutan bambu kuning mirip seperti yang sering dikunyah panda. Dalam perjalanan ke puncak banyak terlihat rebahan pohon bambu sepanjang jalan, dikarenakan beban yang berat dari salju yang menumpuk.

Setelah berjalan selama empat jam, akhirnya kami berhasil mencapai atap Vietnam yang berketinggian 3.143 meter dpl. Kabut tebal menutupi pandangan dari puncak. Sangat disayangkan, padahal bila cuaca cerah kota Sa Pa akan bisa terlihat dari sini. Sekitar setengah jam kami mencoba menikmati suasana puncak seraya berharap matahari akan muncul dan pemandangan indah dari sekitar gunung dapat tersibak. Tak ada harapan, kamipun kembali turun menuju Camp 2 untuk bermalam.

Esoknya perjalanan turun melewati rute yang berbeda yaitu jalur SinChai yang lebih terjal namun dengan pemandangan lembah yang menawan. Jalur terjal berupa tanah merah ini diperparah dengan hujan yang turun sehingga amat licin. Setelah hutan terlewati, barulah tampak pemandangan lembah yang menakjubkan.

Fansipan 2 Dusun pertama yang ditemui adalah dusun tradisional yang dimukimi etnis Black Hmong. Sejenak kami beristirahat di sebuah bangunan sekolah yang sederhana di sini. Sambil memakan bekal siang, kami menikmati pemandangan indah yang terhampar dibawah. Rute turun yang terhampar dibawah seperti menjanjikan perjalanan yang menyenangkan untuk dilalui. (2011)

@districtonebdg

Mengintip Kehidupan Suku Akha di Thailand Utara

oleh : Retno Gita Erliana

10250136_10202879935472204_2719570983271228570_nPerjalanan di bis malam membuka petualangan kami, menuju utara Thailand. Sejak awal kami berencana, bertualang menembus hutan tropis Thailand di antara perkampungan hill tribe bagi kami terasa melebihi sensasi wisata city tour di Bangkok. Stasiun bis Mochit, tempat bis malam menuju Chiang Rai yang akan kami tuju, mudah dijangkau dari stasiun BTS dan MRT Mochit. Hanya 50 baht bila menggunakan taksi. Jadual keberangkatan dan harga tiket bis ke hampir seluruh propinsi Thailand pun relatif mudah diakses di 1stopbangkok.com. Begitu lah.. petualangan kami dimulai dengan menapaki Paholyothin Road ke utara menjelang malam hari itu.

Setelah 12 jam, sampai juga kami di terminal bus Chiang Rai. Pagi buta yang sunyi. Tujuan selanjutnya adalah Mae Sai. Kami putuskan untuk beristirahat dan sarapan di warung mie pojok terminal, sambil bertanya kendaraan menuju Mae Sai. Meski bekal petunjuk sudah kami kantongi, cukup sulit rasanya karena hambatan bahasa. Chiang Rai adalah ibu kota propinsi yang jauh berbeda dengan Bangkok. Setidaknya, gestur dan bahasa Inggris sederhana mudah dipahami penduduk Bangkok, jadi tak perlu khawatir bila kehilangan arah di ibukota Thailand tersebut.

Namun Chiang Rai bukan Bangkok, sampai tidak sengaja kami dipertemukan dengan seorang farang (bangsa kaukasoid dalam bahasa Thai) yang fasih berbahasa Thai, dan Inggris tentunya. Berkat bantuannya, kami segera menaiki songthew (angkot berbanjar dua mirip bemo) menuju stasiun bus lama yang akan membawa kami ke Mae Sai. Setibanya di sana, kami segera menaiki bus menuju Mae Sai. Saat itu sekitar pukul tujuh pagi, dan tak seorang pun dari kami yang mandi pagi, toh penumpang lain pun tak peduli.

Setiba di Mae Sai, kami menunggu songthew yang akan membawa kami menuju Pasang, terminal di pertigaan ke Mae Salong dan Thaton. Di sini saya baru menyadari, setiba di Chiang Rai, kami hanya tiga kali bertemu turis farang. Tidak seperti daerah wisata di Bangkok, Pataya, Phuket, atau bahkan Chiang Mai, turis kaukasoid mahal ditemui di Chiang Rai. Kota ini begitu senyap, sementara Bangkok amat metropolis dan futuristik. Bila Anda menyukai hiburan malam dan dentuman musik, nampaknya Chiang Rai bukan pilihan tepat.

Di tengah lamunan saya, tiba-tiba si supir mengisyaratkan kami untuk segera menaiki mobilnya, tanda akan segera berangkat. Oya, songthew hanya melaju bila isi penumpang sudah memenuhi baris kursi, atau sesuai dengan jumlah yang dikehendaki supirnya. Kami cukup beruntung pagi itu, meski hanya beberapa orang di kursi penumpang, penyupirnya bersedia mengantarkan kami, sepasang turis farang, dan tiga orang penduduk lokal menuju Pasang. Tiba di Pasang, segera kami mencari songthew ke arah Thaton, dan berhenti di Ban Lorcha, miniatur perkampungan Akha, salah satu kelompok etnis di utara Thailand.

Dengan tiket seharga 80 baht, kami diizinkan masuk wilayah perkampungan Akha dengan ditemani seorang guide. Beberapa jenis jerat untuk binatang buruan menjadi display pertama bagi pengunjung. Etnis Akha bersama dengan kelompok etnis minoritas lain seperti Karen, Lahu, Padhong, dan lainnya; mendiami dataran tinggi utara Thailand, Burma, Laos, dan Vietnam sejak ratusan tahun yang lalu. Etnis Akha dipercaya sebagai bermigrasi dari Tibet, memasuki Propinsi Yunan di selatan China, dan menyebar di wilayah Indocina.

Di wilayah Thai, sistem ekonomi ladang berpindah, berburu dan meramu yang menjadi ciri khas orang Akha, berubah seiring dengan kebijakan pemerintah Thai untuk melokalisasi pemukiman Akha dan pelarangan ladang opium yang membanjiri Thailand di sekitar tahun 70-80an, meskipun hill tribe di sini bertanam opium untuk kepentingan medis dan hanya digunakan dalam kelompoknya saja. Sejak saat itu, etnis Akha dan etnis minoritas lain di Thailand hanya bisa bercocok tanam sesuai dengan jenis tanaman yang diperbolehkan pemerintah Thai, seperti tanaman buah dan teh di daerah Mae Salong.

Setelah kami sempat dipertontonkan tentang cara kerja penjerat binatang buas, guide kami memandu kami menuju kumpulan ibu-ibu paruh baya dalam kemasan pakaian tradisional Akha yang siap menari setiap kali ada pengunjung yang hadir di sana. Sementara beberapa orang lelaki yang mengiringi musik tarian, berkaos t-shirt dan celana katun. Kecuali si guide kami yang masih memakai pakaian khas lelaki Akha, saya kemudian kembali berpikir akan nasib perempuan yang tereksploitasi demi keuntungan wisata. Selain tarian tradisional Akha, seorang perempuan yang masih berpakaian lengkap, duduk manis sambil menenun kain di rumah beratap dedaunan. Selintas tampak jelas ia beraksi dan siap tersenyum di hadapan jepretan kamera kami. Imitasi, karena di rumah seberang tampak motor bebek terparkir rapi.

Sehabis touring mengitari perkampungan Ban Lorcha, kami kembali ke gerbang utama. Bagi yang berniat membeli oleh-oleh untuk kembali pulang ke tanah air, pengunjung bisa membeli beragam buah tangan kerajinan Akha, seperti tas, gelang, manik, pakaian, kain tenun, dsb. Tapi jangan heran kalau harganya selangit. Sebagai bangsa yang sangat bergantung dengan wisata, semua bisa jadi komersil di negara ini.

Udom Xai, the Heart of Northern Laos

oleh Rausyan Fikry Muhammad

10252114_731777663520558_4738265010627416401_n“There is so far, and the road is bad. And I tell you something, in Oudom Xay, nothing to see”, demikian penuturan supir taxi di terminal utara Vientiane saat kami berbincang dengannya.

Ya, sepintas kota di sebelah Utara Laos ini memang sangat terpencil dan tak banyak dikenal oleh wisatawan. Tak heran bila supir tasi itu terkejut mendengar tujuan kami. Namun dengan semangat let’s get lost, penuturan supir taxi itu justru membuat adrenalin terpacu. Menurut penuturan supir taksi yang membawa kami ke terminal utara, untuk sampai di Oudom Xay dari Viantiene, membutuhkan waktu sekitar 15 jam berkendara.

Suasana terminal utara Viantiene ini cenderung sepi dan gersang. Sore itu, hanya beberapa bus saja yang terparkir di terminal ini. Bebeberapa turis asing terlihat menunggu bus berangkat, perkiraan kami, mereka akan menuju Luang Prabang atau Vang Vieng, bukan ke Oudom Xay seperti kami. Untuk menuju Oudom Xay kami membeli tiket bus menuju Borkeo, dan berencana turun di Oudom Xay, salah satu kota yang dilewati trayek bus tersebut.

Sengaja kami membeli tiket keberangkatan malam dari Viantiene, agar di dalam bus kami dapat beristirahat. Jadi dengan bus yang berangkat pukul 18.00, perkiraan kami sampai di kota Oudom Xay adalah pukul 10.00, pagi. Konsekwensinya tidak banyak yang dapat kami lihat sepanjang perjalanan malam itu.

Pemandangan baru terlihat disisi-sisi jalan ketika kami bangun pukul 06.00 keesokan harinya. Pandangan pertama adalah bukit-bukitan yang berjajar memanjang ke utara. Di samping kanan bus langsung berbatasan dengan anak sungai Mekong yang lebar. Bus seakan menelusuri sisi sungai yang tanpa pembatas jalan, karena dihimpit tebing terjal di sebelah kiri jalan. Dengan lebar jalan yang sempit, perjalanan menuju Oudom Xay ini cukup berbahaya, karena bus yang kami tumpangi pun hampir tergelincir menuju sungai.

Satu jam kemudian, bus beristirahat di sebuah kota kecil Pak Mong. Sebuah kota yang dikelilingi bukit-bukit rimbun, tampak tak banyak dihuni oleh penduduk. Ketika kami turun dari bus, udara sejuk dan dingin yang menyentuh, mengingatkan pada kampung halaman di Bandung. Pak Mong merupakan kota transit bus-bus yang akan menuju Borkeo dari arah selatan atau Viantiene dari utara. Di kota ini, penumpang bisa membeli oleh-oleh. Namun sepagi ini belum banyak toko yang buka.

Selepas Pak Mong, jalan menuju Oudom Xay semakin menyempit dan semakin rusak. Menembus bukit-bukit terjal yang menanjak, bus akhirnya menemukan titik puncaknya. Bus yang kami tumpangi mogok berkali-kali dalam perjalanan. Menarik apa yang kami saksikan di dalam bus. para penumpang yang seluruhnya warga Laos, kecuali kami, malah tertawa dan bercanda di dalam bus. Tidak seorangpun yang mengeluh, sepertinya sbuah kebersamaan dalam penderitaan masyarakat Laos.

Semakin jauh perjalanan, semakin menarik pula hal-hal menarik yang dapat disaksikan. Di sisa perjalanan menuju Oudom Xay, terlihat banyak masyarakat Laos yang belum banyak tersentuh kemajuan. Perkampungan yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu, bilik dan beratapkan jerami masih banyak terlihat di sepanjang perjalanan.
Pukul 11.00 kami tiba di teminal bis tujuan. Oudom Xay atau juga disebut Muang Xay merupakan kota yang tidak terlalu besar dan dikelilingi oleh bukit-bukit. Tidak segemerlap kota-kota tujuan wisata lain di daerah utara, seperti Luang Prabang dan Van Vieng. Seperti tak banyak potensi kota Oudom Xay yang bisa menyilaukan banyak mata wisatawan asing. Namun kami tak patah semangat, pasti ada sesuatu disini!

Oudom Xay merupakan kota kecil, jadi untuk mengelilingi kota ini tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar dua jam menggunakan Tuk-Tuk. Tidak banyak aktivitas masyarakat di kota ini, kebanyak hanya diam di rumah masing-masing atau berjualan di pasar dan menjaga toko. Masyarakat di kota ini pun sangat jarang sekali yang dapat menggunakan bahasa Inggris, sehingga agak menyulitkan wisatawan asing yang datang ke kota ini. Kebanyakan aktivitas yang dilakukan oleh warga adalah berniaga. Tidak banyak warga yang berjalan-jalan di kota, kebanyakan warga yang terlihat adalah warga yang memang berdagang atau bekerja di toko.

Melihat kondisi kota yang sangat panas, kami menyewa tuk-tuk untuk mengelilingi setiap sudut kota Oudom Xay. Dengan menyewa Tuk-Tuk seharga 200.000 K, kami mendapatkan waktu dua jam untuk mengelilingi kota antara lain mengunjungi temple dan Museum. Ketika mengunjungi temple, biksu yang tinggal di temple itu mengatakan bahwa temple ini baru dibangun sekitar 30 tahun yang lalu, dan dia mengatakan bahwa untuk temple-temple tua banyak terdapat di Luang Prabang. Sementara museum yang ingin dikunjungi ternyata tutup padahal menurut jam buka yang tertera di pintu museum, harusnya museum ini buka pada jam ketika kami berkunjung.

Ternyata kota kecil di Utara ini tetap memiliki pesonanya sendiri dalam ekowisata Laos. Wisata yang ditawarkan disini antara lain trekking di distrik Khamnu, melihat kehidupan desa Hmong, atau dengan sedikit keluar dari kota akan mendapati wisata yang kian menantang seperti gua Chom Ong, sember air panas Muang La atau lembah Nam Ko. Jadi kebanyakan bentuk wisata yang ditawarkan di kota Oudom Xay ini terletak di luar kota Oudom Xay, yakni sekitar daerah perbatasan dengan Luang Prabang di selatan dan kota Borkeo di utara. Namun seperti motonya the heart of northren Laos , dari kota ini wisatawan akan dapat menjangkau tempat-tempat yang menarik tersebut. Jadi dalam suatu perjalanan tak perlu kecil hati bila informasi awal seperti tak banyak menjanjikan. Itulah awal sebuah petualangan.

Kota Kinabalu, from Sea to Summit

10259873_10202863686505990_3523969063712256372_n Langsung turun pada hari yang sama dari puncak gunung menuju kota Kinabalu yang terletak di tepi pantai membuat saya sedikit “jetlag”. Maklum saja saat jam enam pagi masih berada di puncak gunung berketinggian 4.095 meter diatas permukaan laut, jam enam sore sudah berada di bibir pantai. Suhu yang dingin berubah menjadi gerah, kostum tebal berlapis pun berganti dengan kostum pantai.

Untuk aklimatisasi yang mumpuni sebaiknya memang sebelum mulai mendaki atau sehabis turun dari pendakian para turis menginap dulu di villa atau guest house yang banyak terdapat di resort Sutera Sanctuary Lodge di Timpohon (1.700 mdpl) yang merupakan tempat awal pendakian menuju gunung Kinabalu. Namun daripada menghabiskan dana jutaan rupiah menginap di resort, lebih baik kami memilih dormitory bertarif Rp 60.000-an per orang yang tersebar di kawasan backpacker kota Kinabalu. Di kota Kinabalu kita selalu bisa mencari rental van untuk mengantar menuju Timpohon Gate dan dua hari kemudian kembali menjemput di sana usai pendakian.

Dormitory adalah sebuah kamar yang diperuntukan bagi banyak orang, terdiri dari bereberapa ranjang susun, jadi semacam asrama. Kamar yang kami tempati memiliki empat ranjang susun yang memuat delapan orang, dengan kipas angin dan AC. Kamar terletak dilantai dua, bersama dengan empat kamar lainnya. Dilantai ini tersedia sebuah meja makan dan empat kamar mandi yang terdiri atas dua shower dan dua shower plus toilet. Mengingat Kinabalu sebuah kota yang banyak dikunjungi oleh turis maka tersedia banyak kamar maupun hotel di kota ini dengan harga bervariasi. Kita tak perlu khawatir tak mendapat akomodasi, namun sebaiknya melakukan reservasi agar tak repot mencari tempat menginap saat tiba karena penerbangan Air Asia dari CGK mendarat disini pada malam hari.

Kota Kinabalu merupakan ibukota dari Sabah, yang merupakan negera bagian Malaysia yang terletak di pulau Kalimantan. Negara bagian Sabah berbatasan darat dengan Brunei dan Indonesia dan berbatasan laut dengan Brunei dan Philipina. Kota Kinabalu mudah dicapai dari Indonesia karena ada penerbangan langsung dengan maskapai Air Asia dari Cengkareng, dan bila kita bisa mendapatkan hargat tiket economy promo maka biaya perjalanan tak akan memberatkan. Bisa pula melalui provinsi Kalimantan Timur, yaitu lewat kota Tawau lalu melanjutkan dengan perjalanan darat namun tentu saja memakan waktu yang lebih lama.

Kota Kinabalu terletak di pinggir pantai, sehingga terdapat beberapa spot pantai yang menarik untuk dikunjungi. Lautnya bersih dan biru dengan kapal-kapal layar maupun pesiar tampak di pelabuhannya. Suasana malam hari di sekitar pantai merupakan hal yang wajib dilakukan sembari menikmati kuliner sea food. Pusat kota sendiri merupakan pertokoan yang modern, dengan kombinasi toko-toko pedestrian di sekitarnya. Beberapa obyek wisata yang menarik di kota ini antara lain Jesselton Point, Atkinson Clock, Observatory Tower, Tun Mustapha Building dan musium. Beberapa obyek wisata menarik yang terdapat diluar kota juga ditawarkan oleh agen-agen wisata seperti Park and Poring Hotspring atau Wetland Center. Bila masih penasaran, dari kota Kinabalu bisa melanjutkan perlancongan ke Brunei yang berjarak sekitar lima jam perjalanan darat.

Walau Kota Kibanalu banyak menawarkan kenyamanan bagi turis, namun satu-satunya endulgence yang saya coba disini adalah massage yang banyak terdapat di pusat kota. Tarifnya bervariasi mulai dari RM 20 hingga yang paling lux. Bukannya mulai menjadi pejalan hedonis namun memang seluruh badan pegal-pegal seusai turun dari pendakian gunung Kinabalu, jadi semata-mata pertimbangan praktis saja. Lagipula masih tertinggal beberapa lembar RM yang hanya akan menjadi kertas tak berguna bila besok pulang ke tanah air. Jadi istilahnya membuang-buang RM hehe..

Mencari tempat bersantap yang pas gampang-gampang susah disini, karena kami menginap daerah pecinan. Awalnya fast food Burger King dan KFC yang terletak tak jauh dari dormitory selalu menjadi tujuan makan, sebelum menemukan rumah makan halal seperti RM Sri Rahmat yang menyediakan masakan Melayu.

Toh, walau sudah menemukan masakan Melayu namun citarasanya belum sreg menurut ukuran kami. Setelah berkeliling-keliling akhirnya ketemu juga yang cocok rasanya, murah dan pelayannya lancar berbahasa Indonesia yaitu : warteg! Ya jelas saja, semua pegawainya orang Jawa yang bekerja disana. Namanya saja rumah makan Jawa. Klop..!

“Mas, bayarnya pake ini aja ya,” ujar rekan kami Tomy menyodorkan uang rupiah limapuluh ribuan.
“Lha ndak bisa to mas,” kata pelayannya senyum-senyum.
“Sampeyan Jawanya dari daerah mana?” tanya Tomy lagi.
“Dari Lamongan, mas,” kata si mas.
Lalu mereka berdua ngobrol dalam bahasa Jawa yang tak saya mengerti, maklum bahasa Jawa bukan bahasa ibu saya. Sayangnya, kami baru menemukan rumah makan sejenis warteg ini di hari akhir di kota Kinabalu jadi hanya sempat makan sekali disana.

Kota Kinabalu memang bukan metropolitan modern seperti Kuala Lumpur yang memiliki menara Petronas yang menjulang dan pusat perbelanjaan yang aduhai. Namun kita akan mendapatkan suasana berbeda yang tak kalah menariknya karena kotanya tertata apik dan didesain untuk menyambut turis internasional. Wisata alam merupakan andalan pariswisata disini dengan gunung Kinabalu sebagai ikonnya, namun city tour pun banyak ditawarkan kepada wisatawan dengan harga mulai dari RM 80. Selain itu wisata alam lain seperti hiking, arung jeram dan wildlife sanctuary. Walau anda tak datang untuk mendaki gunung Kinabalu, yakinlah bahwa trip wisata disini tetap akan seru. @districtonebdg
1459655_10202863690666094_2627651089499360955_n

Militansi Kresekpacker

KresekBy Bayu Ismayudi (Bais)

“Bay, siap-siap minggu hareup maneh indit, ku urg ditungguan di Saigon…” Itulah ajakan  mengejutkan yang langsung saya dengar dari Bar2 saudara seperhimpunan saya di Palawa yg sekaligus sebagai bos saya di tempat kerja sekarang…

“Maneh ngke indit jeung si Bobby nya, ticket pesawat geus dipesenkeun…”
“Ok, siap” Kata saya dengan sedikit ragu,,,betapa tidak, ini impian saya sejak lama utk bisa melakukan perjalanan sebagai backpacker dan sebentar lagi impian saya akan terwujud.

“Urang mawa naon wae bos?” Kata saya, sedikit bingung & bodoh, karena memang ini perjalanan pertama saya ke luar negeri. Dan itu cukup membangkitkan energi dan adrenalin saya, semangat petualangan saya kembali muncul setelah sekian lama terkubur.
“Bawa we baju dua siki jeung calana, ..trus asupkeun we kana keresek, tong mawa tas meh tong riweuh, pan ngke balikna mawa barang loba.”

D day pun tiba, malam itu saya sudah siap menunggu dijemput rekan saya Bobby utk berangkat menuju pool bus yg akan membawa kami ke Cengkareng.
“Ayah, ini barang bawaannya? Koq cuman pake kresek? Tanya istri saya, “iya” sahut saya sambil nyengir…

Transit di Changi Airport, Singapore memakan waktu 3 jam, waktu luang itu saya gunakan utk sekedar jalan-jalan berkeliling bandara itu bersama bobby saudara seperhimpunan saya. Dengan tidak lepas dari “gembolan” kresek, saya berjalan dari satu tempat ke tempat lain di dalam bandara tersebut, layaknya si Kabayan saba kota, saya takjub dengan kemegahan bandara tsb, saya melihat beberapa turis asing tidur bergeletakkan di dlm bandara sambil menunggu waktu transit pesawat mereka. Dan hal itu juga kami lakukan saat kepulangan dari Saigon, hal itu kami namai “Tarpak” alias “datar ngabivak” (istilah hasil temuan rekan kami Wawan Barang).

Sebuah gambaran tentang backpacker, bagi kami backpackeran harus siap dengan kondisi “darurat”, backpacker harus mampu mensiasati budget seminimal mungkin. Intinya seorang backpacker harus “militan” bahkan walau hanya dengan “menggembol” kresek sekalipun bukan penghalang utk bertualang.