Border Crossing Kamboja-Vietnam dari kota Kratie

“Bus to Snuol?” kening empunya penginapan sedikit berkerut kala kami  menanyakan bus ke kota perbatasan itu. “ I’m not sure…,” lanjutnya, namun ia menjanjikan mencarikan tiket bisnya.

Menuju kota perbatasan Snuol memang sedikit modifikasi dari rencana border crossing dari Kamboja ke Vietnam. Saat ini kami berada di kota Kratie, Kamboja setelah datang dari arah Utara tepatnya dari Nakassang, Laos. Awalnya berencana menuju Phnompenh lalu menuju Vietnam melewati perbatasan Bavet-Mocbai yang merupakan jalur utama arus turis antara Kamboja dan Vietnam.

Namun sejak dari Nakassang, sudah terbayang betapa membosankan perjalanan darat siang hari selama 12 jam menuju Phnompenh. Kalau perjalanan malam tak apalah toh bisa tidur, tapi kalau siang cuma bakal melongo di jalan. Akhirnya diputuskan berhenti di Kratie saja, enam jam sebelum Phnompenh. Hotel Riverside Dolphin yang bersahaja di tepi sungai Mekong menjadi pilihan untuk beristirahat.

Dari Kratie nyatanya ada jalur lain untuk meretas masuk ke Vietnam yaitu Snuol menuju Loc Ninh di Vietnam. Kota kecil ini merupakan jalur pertemuan dengan jalan raya dari arah Ban Lung dan Sen Monorom. Ah kenapa tak mencoba jalur ini, lumayan menghemat enam jam perjalanan, daripada harus melambung ke Phnompenh.

Esok paginya seperti yang sudah dijanjikan sebuah tuktuk menjemput kami setelah sarapan, lalu mengantar ke pool bis. Ternyata jaraknya cuma sepelemparan batu, berjalan pun tak masalah. Bis ini hanya terisi empat orang penumpang, tampaknya trayek ke Snuol memang bukan jalur ramai. Perjalanan selama 1,5 jam lalu turun di pool berupa warung diseberang tanah lapang. Karena tampak celingukan layaknya backpacker, awak bis menanyakan apakah tujuan kami akan melintas ke Vietnam. Ketika kami jawab yes, dengan sigap ia memanggil dua ojek.

“Five dollar each,” katanya mantap. Dibayar dimuka.

Jalan aspal yang lebar, mulus dan sepi  sepanjang 15 kilometer mengantarkan kami menuju gerbang imigrasi Kamboja. Hanya truk yang melintas disini, dan mendekati pos imigrasi tampak antrian truk barang yang memanjang hingga satu kilometer di gerbang perbatasan. Pos imigrasi ini tampaknya  hanya dilalui oleh truk-truk niaga. Jelas bukan jalur turis.

Setiba di pos imigrasi Vietnam, tanpa basa basi petugas langsung memberi cap di paspor. Keluar dari kantor imigrasi, sebuah xe om (ojek dalam bahasa Vietnam) langsung menghampiri. Lumayan rejeki pagi-pagi, mungkin begitu pikirnya.

“Five dollar each,” ujarnya seperti sudah bersepakat dengan ojek Kamboja yang tadi. Namun karena bukan pertama kali ke Vietnam, kali ini saya mencoba menawar. Lagipula, sudah tak ada dollar di dompet. Namun bekal mata uang VND (Vietnam Dong) dari sisa perjalanan beberapa waktu lalu masih jaya. Akhirnya disepakati harga 170.000 VND  berdua untuk naik ojek sejauh 18 kilometer ke Loc Ninh . Namun ternyata xeom tak kehilangan jurus, ia pun hanya memakai motornya sendiri.. alhasil terpaksa dibonceng berdua. Xeom ini juga tak mengantar hingga kota, melainkan menepi ke warung di kawasan hutan karet. Lalu nyerocos bicara bahasa Vietnam, disangkanya saya mengerti karena tadi tawar menawar harga.

Namun kurang lebih maksudnya kami coba mengerti, sepertinya bis menuju Ho Chi Minh melewati jalan raya ini. Jadi buat apa jauh-jauh ke Loc Ninh, tunggu saja di warung. Kira-kira begitulah.

“10 dollar,” ujarnya meminta ongkos per orang ke Ho Chi Minh. Lalu ia menunggu di tepi jalan menunggu bis yang lewat menuju Ho Chi Minh. Sementara kami disuguhi teh panas di warung, yang ternyata milik kerabat atau temannya. Sebagai  kesantunan, kami membeli sedikit jajanan yang disediakan di warung.

Setelah menunggu lebih dari setengah jam, sebuah bus antar kota berhenti. Paman ojek sedikit negosiasi dengan kondektur lalu sejumlah VND pun berpindah tangan. Lah, bukannya tadi kami bayar dollar. Ah, rupanya paman ojek ini memang lihai memainkan jurus. Tak apalah, ia sudah membantu mencarikan bis ke Ho Chi Minh dari sebuah tempat middle of nowhere ini. @districtonebdg

 

Perjalanan Darat Melintasi Kamboja

Rute darat kami kali ini (21/11/2016) adalah Bangkok-Siem Reap-Phnompenh-Ho Chi Minh, dengan tujuan utama mengunjungi kompleks candi angkor dan wisata kota di Siem Reap. Bila empat tahun lalu datang dari arah Ho Chi Minh, kali ini menjajagi dari arah Bangkok.

Setelah menginap semalam di Bangkok kami menuju perbatasan Kamboja menumpang kereta ekonomi dari stasiun Hua Lamphong. Bila mendarat dari bandara Don Mueang (DMK), menuju stasiun kereta ini bis naik bis di terminal kedatangan bandara, turun stasiun MRT (subway) Mochit lalu memakai MRT hingga perhentian terakhirnya di Hua Lamphong. Atau lebih mudah lagi, memakai kereta langsung ke Hua Lamphong dari stasiun kereta Don Mueang yang terletak disamping bandara (karcisnya cuma 5 THB !).

Esoknya pukul enam pagi dengan tergesa-gesa karena telat bangun kami bergegas ke stasiun kereta dan membeli tiket ke Aranyaprathet di perbatasan Thai-Kamboja. Harga tiket kereta ekonomi ini sebesar 48 THB yaitu sekitar 18 ribu untuk perjalanan enam jam. Murah bingits…tak heran inilah jalur favorit para turis dari Bangkok menuju Kamboja.

Keluar dari stasiun kereta Aranyaprathet, armada tuk-tuk siap mengantar menuju border. Proses imigrasi berlangsung cepat tanpa ada biaya. Setelah beres dicap paspor di imigrasi Thailand, dilanjutkan berjalan kaki ke pos imigrasi Kamboja. Dari depan pos imigrasi disediakan bis shuttle gratis untuk sampai ke terminal bus kota Poipet dimana bis maupun taxi menuju Siem Reap dan kota-kota lain tersedia. Namun bila kita meluangkan waktu untuk orientasi medan, bis-bis yang lebih murah ongkosnya sebenarnya tersedia di tempat lain. Terminal ini seperti dikhususkan untuk turis asing sehingga biayanya dipatok lebih tinggi. Untuk negara kismin ini, mari kita maklumi saja 🙂

Di perbatasan, sekilas saja sudah terlihat ketimpangan ekonomi kedua negara bertetangga ini. GDP (Gross Domestic Product) Thailand 17x lebih besar dibanding tetangga miskinnya itu. Maklum saja Kamboja  baru sembuh dari carut marut luka perang tak sampai duapuluh tahun lalu kala bunker terakhir Khmer Merah menyerah kepada tentara pemerintah tahun 1998.

Dari kota perbatasan Poipet ke Siem Reap makan waktu paling lama  tiga jam.  Reruntuhan kebudayaan Khmer di Siem Reap menjadi obyek wisata utama di Kamboja dengan komplek candi Angkor sebagai aktor utamanya. Seribu tahun lalu kebudayaan tinggi inilah yang menyinari wilayah Indochina. Namun dengan membludaknya turis kesini, para pengamat yang serius akan melanjutkan kunjungannya menuju ke candi-candi Khmer yang lebih terasing, menjauh dari keriuhan turis yang  terpusat di Angkor Wat, Angkor Thom dan Ta Prom.

Perjalanan darat di Kamboja sangat mengandalkan moda transport bis, karena trayek kereta baru melayani rute Phnompenh-Sihanoukvile dengan pelayanan terbatas. Rute sungai juga bisa melayani Siem Reap-Phnompenh bahkan sampai ke Vietnam, dengan biaya nya berkali lipat namun menjanjikan kesan mendalam.

Setelah melewatkan dua malam di Siem Reap, pada malam ketiga kami menuju Phnompenh lalu melanjutkan ke Ho Chi Minh City melewati perbatasan di Mocbai. Perjalanan bis dari Siem Reap ke Phnompenh memakan waktu selama enam jam, demikian pula Phnompenh-Ho Chi Minh ditempuh dalam waktu relatif sama.

Sebelum perbatasan Vietnam, tepat pada tengah hari kala matahari bertengger di ubun-ubun, bis beristirahat di sebuah rumah makan. Sedikit tips, untuk menyegarkan badan nikmatilah kelapa muda seharga 1 dollar yang berisi jelly dari air kelapanya. Di tengah cuaca Kamboja yang ngajeos, refresment ini terasa menyelamatkan.

Baik Siem Reap maupun Phnompenh tak memiliki terminal bus khusus, sehingga bus-bus antar kota tersebar di poolnya masing-masing. Oleh karena itu lokasi poolnya  di Ho Chi Minh pun berbeda-beda. Tadinya kami berharap akan langsung turun di pool bis kawasan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh tempat para backpacker mangkal. Beberapa operator bus jarak jauh menaikkan dan menurunkan penumpang di kawasan Pham Ngu Lao namun karena poolnya ternyata beda, kami diturunkan di tempat lain entah dimana. Bertujuan ke Pham Ngu Lao, terpaksalah menyegat taxi untuk sampai di jalan favorit ini.

Membandingkan pariwisata Kamboja dengan Thailand atau Vetnam  secara apple to apple  tentu akan terasa kurang fair. Namun walau pariwisata negara-negara tetangganya lebih maju, Kamboja terlalu unik untuk dilewatkan bila kita bicara tentang wisata regional disini. Beberapa wilayah negara Kamboja belum banyak terpublikasi luas, demikian juga banyak jalur darat yang bisa dijelajahi selain jalur populer Siem Reap-Phnompenh.

Beberapa traveler terkemuka mengatakan bahwa alam Kamboja yang sebagian besar masih syahdu ini adalah cerminan Thailand sebelum turis membanjir ke negara itu. Kita bisa membayangkan indahnya. Maka bersegeralah kesana sebelum keheningan itu berubah menjadi hiruk-pikuk seperti kota Siem Reap.  @districtonebdg

 

Sejenak Singgah di Kota Tua Hue

Siang hari kami tiba di Hue disambut oleh gerimis dan kabut, Vietnam memang sedang musim hujan saat itu. Bertambah satu lagi ‘kekecewaan’ kepada bus yang kami tumpangi dari Laos ini, karena perhentian terakhir bus ini bukan di bus station (terminal) melainkan di sebuah toko material!! Sesaat setelah menurunkan barang-barang, kami lalu langsung diserbu oleh banyak tukang ojek yang menawarkan jasa mereka. Gaya tukang ojek disini sama dengan tukang ojek di Indonesia : mencoba ‘membantu’ membawakan barang terlebih dahulu, tetapi mungkin karena berat bawaan kami yang diatas rata-rata mereka mencoba melanggar ‘protap’ ini dan langsung menawarkan jasanya dengan bahasa Vietnam yang tidak kami mengerti.

Setelah berusaha mencari warga yang bisa berbahasa inggris tetapi tidak kami dapatkan akhirnya kami kembali berbahasa isyarat, sadar bahwa tidak ada kendaraan lain selain ojek kami pun menerima tawaran para tukang ojek tersebut untuk mengantarkan kami ke stasiun kereta api, tiga buah motor beserta ransel-ransel besar dan berat akhirnya berjalan dalam gerimis menuju Hue Railway Station untuk mencari tiket menuju Ho Chi Minh (Saigon). Disini beruntung kami menemukan orang yang bisa berbahasa inggris yang membantu kami selama di stasiun, orang yang jujur dan sangat membantu tanpa pamrih menurut saya, seorang pria berumur sekitar 40 tahunan.

Kereta menuju Saigon yang berangkat dari Hanoi akan tiba dan berangkat dari Hue pukul 19.00 waktu setempat. Dengan mempertimbangkan budget yang kami punya kami memilih kelas soft seat, kereta ini menawarkan 4 kelas : bed (soft dan hard), seat (soft dan hard).

Sambil menunggu kereta kami mencoba untuk berkeliling kota Hue menggunakan motor yang kami sewa dengan satu orang penunjuk jalan. Kota tua ini mudah untuk dipahami, patokan utamanya adalah Sungai Perfume yang terletak di tengah membelah kota, kota tua dan benteng di utara dan kota baru, termasuk hotel dan restoran di sisi selatan. Sebagian besar sungai telah dibuat sebagai jalan bagus dan taman dihiasi dengan patung-patung.

Hue adalah sebuah kota di bagian tengah Vietnam dan merupakan bekas ibukota kekaisaran. Hue erat terhubung ke kekaisaran Dinasti Nguyen, yang berbasis di Hue, yang memerintah pada tahun 1804-1945 ketika Kaisar Bao Dai turun tahta mendukung pemerintahan revolusioner Ho Chi Minh.

Kota Hue melewati masa-masa sulit dalam Perang Vietnam ketika direbut oleh VietCong  selama 24 hari dalam serbuan yang dikenal dengan Tet Offensive pada tahun 1968, di mana mereka mengeksekusi sekitar 1.000 orang yang dicurigai bersimpati dengan Selatan (pusat pendudukan Amerika Serikat). Kota ini kemudian menjadi subjek dari serangan pengeboman Amerika Serikat untuk merebutnya kembali. (Hidayat Adiningrat, 2011)

 

Suasana Sepi dan Lengang di Kota Perbatasan Thakhek

Thakhek merupakan sebuah kota kecil dengan bangunan-bangunan tua didalamnya. Suasana kota ini akan mengingatkan kita pada suasana kota kecil di Indonesia 20 puluh tahun lalu. Hanya saja kendaraan yang berseliweran lebih maju dari kota-kota di Indonesia dimana kendaraan double cabin seperi Isuzu D-Max dan Ford Ranger banyak ditemui. Salah satu ciri khas kota ini yaitu pada landmark bangunannya maupun dari segi kulinernya seperti roti Perancis yang dijajakan mulai dari restoran hingga kios-kios di pinggir jalan. Suhu disini cukup ramah  walau matahari bersinar terik pun masih terasa ada sejuk yang menyelinap.

Bila menilik kembali sejarahnya, Prancis menjajah Vietnam, Laos dan Kamboja pada paruh kedua di abad ke-19. Pada tahun 1887 Perancis menggabungkan wilayah Vietnam dan Kamboja untuk menciptakan sebuah koloni yang dikenal dengan French Indochina, Laos sendiri tergabung dalam koloni ini pada tahun 1893. Perancis memberikan kemerdekaan penuh pada tahun 1953 sebagai monarki konstitusional, the Kingdom of Laos. Berakhirnya perang Indochina pertama (1946-1954), mendukung status independen Laos yang mengakibatkan adanya penarikan koloni Perancis di negara tersebut.

Suasana kota Thakhek tidak berbeda jauh dengan kota-kota lainnya di Laos.  Aktivitas masyarakat di kota tidak terlalu banyak. Kebanyakan warga Laos hidup selain dari pekerjaan di pemerintahan adalah dari bertani dan membuka toko-toko di pinggir jalan. Tempat yang dijadikan pusat aktivitas bagi para turis adalah pasar makanan di pinggir sungai Mekong. Menjadi suasana yang menakjubkan ketika menyantap makanan di pinggir sungai Mekong, lalu memandang seberang sungai yang langsung berbatasan dengan kota Nakhon Panom, yang masuk ke dalam wilayah Thailand.

Terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara kota Thakhek di Laos dan kota Nakhon Panom di Thailand. Saat siang mungkin hanya gedung-gedung di Nankhon Panom yang menjadi pembeda antara dua kota di dua negara ini. Namun ketika beranjak malam, kegemerlapan kota Nangkhom Panon, berbanding terbalik dengan kesenyapan dan keremangan cahaya di Thakhek. Laos dan Thailand seakan berlomba membuat gedung bertingkat di pinggir sungai Mekong, namun toh akhirnya negara yang paling kuat ekonominya yang menang.

Thailand lebih maju di bidang ekonomi, namun tentang keamanan, Laos sepertinya lebih unggul. Menarik saat kami melihat kecelakaan motor di jalanan. Bukan kecelakaan yang menarik, namun perilaku masyarakat kota Thakhek sesaat setelah terjadi kecelakaan. Masyarakat Laos adalah masyarakat yang taat pada hukum dinegaranya. Jadi ketika terjadi kecelakaan, mereka tidak saling adu ngotot, mereka biarkan motor yang telah hancur berantakan itu dijalanan, menunggu polisi datang. Sedangkan dua pengendaranya, meskipun salah satu ada yang salah, namun mereka hanya berbincang biasa. Tidak saling ngotot, hal yang tidak saya lihat di Indonesia.

Menurut Bapak Edi, warga Indonesia yang sudah empat tahun tinggal di Thakhek, masyarakat Laos memang taat akan hukum. “Meskipun wanita cantik berpakaian seksi masuk ke hutan sendirian, sepertinya akan aman-aman saja di Laos ini”, katanya sambil tertawa. Namun demikian, bukan masyarakat yang paling berbahaya di Laos, tapi bom-bom yang tersebar luas dimana-mana.

“Dulu saat perang Vietnam, Amerika membombardir kawasan Laos bagian Selatan, karena pasukan Vietnam ada yang menyerang basis Amerika di Vietnam selatan melalui Laos. Dan di antara bom-bom yang dilepaskan itu banyak yang tidak meledak, hanya tertanam di tanah.” tutur Pak Edi. Hal tersebut juga yang akhirnya menjadi masalah serius bagi pertanian di Laos, karena hingga saat ini sudah banyak petani yang menjadi korban bom yang akhirnya meledak di lahan pertaniannya. (2011)

penulis : Alfia Fitri Khairunissa, foto : Maya Rara Tandirerung

 

 

 

Pakse, Kota Persinggahan Menuju Selatan

Hari masih gelap ketika kami dibangunkan oleh kondektur local bus jurusan Thakek-Pakse. Dia memberitahu kami bahwa kami telah sampai di Kota Pakse. Bis tersebut seharga 60.000 kip/orang dan dipesan langsung di terminal Thaekek. Hari itu sekitar pukul 05.30, kami turun dan melihat sekeliling. Ini adalah pertama kalinya kami menginjak kota ini. Hari itu tanggal 2 Desember 2011, hari ketiga kami berada di Laos.

 

Hal yang pertama kami pikirkan adalah penginapan. Tanpa ragu-ragu kami memanggil tuktuk (angkutan umum khas Laos) dan menyuruh sopirnya untuk mengantarkan kami ke penginapan yang sesuai dengan kantong kami. Setelah kami tiba di salah satu penginapan yang tidak terlalu mahal tetapi nyaman, kami segera merebahkan badan dan tertidur sampai tengah hari karena perjalanan panjang yang kami lalui dari Vientiane ke Thakek dan dari Thakek ke Pakse.

Setelah cukup beristirahat, kami mencari  makan siang dan pilihan kami jatuh kepada rumah makan di depan penginapan. Karena teman saya seorang Muslim maka, kami makan makanan yang mengandung ayam. Aman. Kemudian, kami memulai berkeliling kota dengan berjalan kaki dan diteruskan dengan menyewa motor. Kota Pakse merupakan ibu kota dari Propinsi Champasak. Kota ini tidak terlalu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Banyak terdapat guest house dan hotel di pusat kota serta banyak wisatawan yang berkeliaran. Pakse merupakan kota persinggahan bagi wisatawan-wisatawan yang ingin melakukan perjalanan wisata di kawasan selatan negara Laos. Dari Pakse ada beberapa kawasan pariwisata andalan di wilayah Selatanyang dapat diakses dengan mudah seperti Bolaven Plateau, 4000 island (Si Phan Don), Wat Phou dan lain-lain. Beberapa di antaranya menyediakan perjalanan wisata menyusuri Sungai Mekong dengan menggunakan perahu.

Di Pakse hampir setiap guest house atau hotel berhubungan langsung dengan travel agent yang menyediakan trip-trip wisata sehingga sangat mudah untuk mengunjungi kawasan pariwisata yang diinginkan. Wisatawan hanya tinggal bilang mau ke mana dan kapan, maka resepsionis akan segera menelpon travel agent dan kita akan dijemput pada waktu yang telah ditentukan. Pembayaran dapat dilakukan langsung di guest house atau hotel. Selain itu, jika kita datang ke warung internet atau tempat penyewaan motor maka petugas akan memberikan kita peta kota kepada wisatawan agar mudah untuk berkeliling kota. Keren!

Sepanjang barat Kota Pakse dilalui oleh Sungai Mekong. Sore itu kami menyebrangi sungai Mekong melalui sebuah jembatan yang disebut Lao-Japan Bridge. Disebut demikian karena jembatan tersebut merupakan jembatan yang dibangun oleh pemerintah Jepang sebagai tanda persahabatan dengan pemerintah Laos. Selain jembatan tersebut, ada beberapa bangunan di Laos yang dibangun oleh pemerintah Jepang. Jika dari Kota Thaekek setelah  menyebrangi Friendship Bridge maka di seberangnya adalah wilayah Thailand, berbeda dengan menyeberang Lao-Japan Bridge. Setelah menyeberang, maka daerah seberang Sungai Mekong tersebut masih merupakan wilayah negara Laos. Daerah perbatasan Laos dan Thailand masih sekitar 68 km lagi dari jembatan.

Pada malam hari, suasana Kota Pakse hampir mirip dengan Kota Vientiane karena banyak wisatawan asing yang memenuhi jalan, rumah makan dan kafe-kafe. Tetapi hal tersebut hanya sampai sekitar pukul 23.00 karena pada tengah malam, jalanan mulai sepi dan hanya terlihat beberapa pemuda yang duduk di depan rumah mengitari meja untuk mengobrol sambil meneguk bir. Hal ini bisa dibilang sebuah tradisi di Laos.

penulis+foto : Maya Rara Tandirerung

Vang Vieng Surga bagi Hippies Backpacker

Siang itu pusat kota Vang Vieng seperti biasa merupakan tempat yang santai, tidak ada yang tergesa. Turis asing banyak yang hanya sekedar minum dan menyaksikan acara televisi di cafe-cafe yang tersedia. Beberapa lainnya berjalan-jalan dari satu toko ke toko lainnya. Jalanan masih tenang, Sampai satu saat ketenangan pusat kota terganggu…BRAAKKK !!. Terdengar suara benturan cukup keras. Lokasinya hanya beberapa toko dari tempat kami duduk.  Suasana menjadi riuh rendah, dan orang-orang berkumpul di tempat terdengarnya benturan. Ternyata ada turis asing yang menggunakan motor, menabrak motor lainnya yang sedang terparkir.

Tidak lama keramaian itu muncul, orang-orang bubar, kembali pada kesibukannya masing-masing. Beberapa orang yang keluar dari keramaian berjalan sambil tetap menenteng botol birnya. Bahkan ada seorang turis asing (salah satu yang keluar dari keramaian) berhenti di hadapan kami. Sambil melinting ganja, membakarnya, dan berjalan kembali. Setidaknya saya tahu itu ganja dari baunya.

Bau alkohol di setiap sudut pusat kota bukanlah hal aneh di Vang Vieng. Sebagai kota tujuan wisata turis asing di Laos, Vang Vieng memanjakan turis asing dengan minuman-minuman keras berkelas internasional hampir di setiap blok jalanan Vang Vieng. Dengan harga yang relatif murah (perbandingan dengan di Indonesia dan Kuala Lumpur Malaysia) tidak sulit bagi turis asing meminum alkohol kapan pun mereka mau. Jadi tidak aneh jika ada kejadian turis yang sedikit mabuk dan menabrak motor yang terparkir tadi.

Bagaimana dengan ganja? Kami sempat bertanya pada Khouk, salah satu pegawai perusahaan travel di Vang Vieng. Dia menuturkan bahwa memang banyak turis yang menggunakan ganja di Vang Vieng, bahkan beberapa menghisapnya di ruang terbuka. Namun Khouk mengatakan bahwa ganja atau opium merupakan barang terlarang di seluruh Laos. Dan para penggunanya harus berhati-hati jika ada polisi. Namun menurut kami sepertinya tetap aman, karena polisi yang terakhir kami lihat di Vang Vieng adalah beberapa ratus meter dari pusat kota. Menjadi sebuah dilematis, ketika negara miskin seperti Laos yang pusat pendapatannya berada di sektor pariwisata, harus menghadapi turis asing yang sudah merasa terlalu bebas menggunakan ganja atau opium di Vang Vieng.

Namun tidak semua turis asing berlaku seenaknya di Vang Vieng. Kami juga sempat berbincang dengan salah seorang turis asing asal Spanyol. Dia mengatakan bahwa memang banyak turis asing datang kemari, namun beberapa dari mereka memang berlaku kurang sopan. Dia lalu menunjuk salah seorang turis pria yang berjalan tanpa pakaian sambil menenteng bir di pusat kota.

“Turis ya seperti itu”, ucapnya.

Ketika kami tanya mengapa kamu tidak seperti itu, dia hanya tersenyum,  “Saya pikir, saya tidak akan melakukan itu.”

(Hidayat Adiningrat,2011)

Singgah di Vang Vieng

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 12 jam dari Oudomxay, pukul 04.00 pagi kami tiba di kota Vang Vieng. Selama perjalanan, bus yang kami tumpangi seringkali berhenti, dan yang menarik ternyata hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada penumpang yang ingin muntah. Setiap kali bus berhenti, penumpang berjajar dan muntah.

 

Pagi itu, suasana sangat sepi, tidak ada seorang warga pun yang kami temui, hanya beberapa kendaraan yg sedang terparkir di sisi jalan. lalu Kami berjalan untuk mencari penginapan. Akhirnya kami menemukan penginapan Sisombat Guest House, dengan menekan bel, penjaga guest house yg sepertinya baru saja terbangun langsung menawarkan sebuah kamar double bed seharga 50.000 k- (LAK/Lao Kip). Setelah beberapa malam sebelumnya kami tidur di dalam bus, malam ini kami bisa tidur diatas kasur.

Pagi hari kami bertanya pada petugas guest house tentang lokasi dan akses menuju central city. Dia mengatakan bahwa central city berada tidak jauh dari guest house, dan cukup berjalan kaki untuk mencapainya. Ketika kami menanyakan peta kota, penjaga guest house tersebut mengatakan bahwa kami bisa mendapatkannya di central city dan dia sendiri tidak memilikinya.

Lalu, kami keluar dari guest house untuk mencari makan dan melihat keadaan kota Vang Vieng, saat kami keluar dari guest house didepan kami terlihat bentangan tebing andesit memanjang dari utara ke selatan yang konon menurut penjaga guest banyak digunakan untuk paket-paket wisata gua (caving) dan rock climbing.

Setelah sarapan -dengan biaya 15.000 k-, kami berjalan kaki menuju central city of Vang Vieng yang menurut penjaga warung tempat kami makan letaknya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Benar saja, kurang dari 10 menit kami telah tiba di central city of Vang Vieng.

Sesampainya di central city, terlihat di depan ada Laos tourism information. Tetapi ketika kami masuk ke sana, untuk mencari informasi tentang kota ini, kantor tersebut tutup dan tidak ada seorang pun yang bisa kami temui. Di dekat kantor tersebut terdapat penyewaan motor dan sepeda, lalu kami memutuskan untuk menyewa sepeda tersebut untuk berkeliling kota dengan biaya 10.000 k per satu unit sepeda sampai pukul 19.00, di tempat penyewaan sepeda ini pula kami mendapatkan peta kotaVang Vieng dengan cuma-cuma.

Sepanjang jalan di central city, terdapat banyak sekali guest house dan restaurant juga turis-turis asing yang berkeliaran. Seperti kota-kota wisata lainnya di Laos, turis di sini didominasi oleh turis-turis yang berasal dari Eropa. Sekilas, Vang Vieng tampak seperti Bali atau Pangandaran dengan luas wilayah yang lebih kecil tetapi minus pantai.

 

Wisata alam dan petualangan

Kota ini menawarkan banyak paket wisata, terutama wisata alam bebas. Di sini para wisatawan bisa mencoba beberapa objek wisata seperti cave, waterfall, rock climbing, dan tubing. Lokasi-lokasi wisata tersebut jaraknya bervariasi dari central city, dari yang paling dekat yaitu 4 km sampai terjauh 14 km. Untuk mencapai lokasi tersebut, para wisatawan bisa menggunakan tuk-tuk yang banyak tersedia di sini.

Kota Vang Vieng dikelilingi oleh deretan pegunungan yang di sekitarnya terdapat banyak gua dan tebing. Di sisi sebelah barat kota ini terdapat sebuah sungai yang digunakan untuk wisata tubing dari bagian utara sungai sampai ke selatan. Di sisi timur, terdapat hutan yang bisa digunakan untuk wisata cycling and motorbike, untuk rock climbing sendiri lokasinya adalah di Padeng Hill Climb di sebelah Barat kota Vang Vieng melewati sungai.

Masyarakat kota Vang Vieng rata-rata bekerja dalam sektor pariwisata dengan menjual paket-paket wisata, membuka restorant, guest house, penjual cindera mata, atau menyediakan transportasi untuk akses-akses ke lokasi-lokasi wisata. Karena banyaknya wisatawan asing yang datang ke kota ini, masyarakat kota Vang Vieng cukup banyak yang bisa berbahasa inggris, tidak seperti di Oudomxay, di sini kami cukup mudah dalam berkomunikasi.

Untuk masalah harga, paket-paket yang ada tidak dapat ditawar untuk diturunkan harganya, seperti kejadian yang kami lihat di internet cafe, saat salah seorang penjaga internet marah-marah kepada salah satu turis asing yang mencoba menawar biaya telepon yang telah ia gunakan, “Its not about your sucking money!!”, begitu kata-kata yang keluar dari mulut penjaga ‘warnet’ yang marah tersebut.

 

Malam di Vang Vieng

Vang vieng merupakan salah satu kota tujuan wisata di laos. Kota Vang Vieng dapat ditempuh melalui Viantiene menggunakan bus selama 5 jam perjalanan. Seperti kota-kota lainnya di Laos, pusat kota Vang Vieng tidaklah terlalu besar. Namun Vang Vieng memiliki keunggulan pada ekowisata dan wisata petualangannya. Ketika siang, para wisatawan tidak banyak yang melakukan aktivitasnya di pusat kota. Mereka lebih memilih untuk berwisata ke tebing-tebing alam di sekitar kota atau melakukan penelusuran gua.

Langit mulai mendung saat senja datang di Vang Vieng, lampu-lampu di pusat kota mulai terlihat gemerlapnya. Semakin mendekat ke pusat kota, di lokasi yang saat siang sepi itu, sayup-sayup terdengar musik-musik pengiring malam. semakin banyak wisatawan berkulit putih lalu-lalang di pusat kota. Cafe-cafe yang berdiri di sepanjang jalan utama kota pun semakin bersemangat saat malam. Berlatar belakang dinding-dinding tebing nan gagah, kota Vang Vieng mulai memperlihatkan geliat hidupnya.

Menarik melihat kuliner yang disajikan restoran dan pedagang di sepanjang jalan pusat kota. kebanyakan, restoran-restoran di tempat ini menyajikan masakan-masakan khas masyarakat barat. The Rising sun, Jungle bar restourant, dan Vang vieng steak house, merupakan sebagian dari banyak restoran yang khusus menyajikan masakan ala barat. Para pedagang ecerannya pun tidak mau kalah. Makanan-makanan seperti sandwich, pizza, burger pun menjadi komoditas perdagangan yang menggiurkan bagi mereka.

Di sudut lain di pusat kota, seorang ibu tampak asik menonoton TV. Ibu itu tidak banyak kerjaan memang, karena restorannya sepi dari pengunjung. Menyadari kehadiran kami, ibu itu langsung tersenyum dan berbicara dalam bahasa Laos. Kami langsung menimpali dengan bahasa inggris, agar dia tahu kami tidak mengerti apa yang diucapkannya. “Can we look the menu?” Setelah melihat menu kami memesan “two soup noodle with chicken”. Restoran tradisional ini memang kalah laris dengan restoran lain yang menghidangkan makanan ala barat di Vang Vieng. Namun dengan hidangan dua mangkuk bakmi di meja membuat Vang Vieng tidak kehilangan rasa Laosnya. Satu lagi kami teringat tentang Laos,”Do you have beer Lao?” Ibu itu mengangguk. “Oke,We buy one”.   (Hidayat Adiningrat, 2011)

 

 

foto/internet

 

 

Perjalanan Darat di “Indochina Circuit”

img-20150303-00656Perjalanan backpackeran di Indochina akan dihadapkan kepada banyak pilihan dimana kelima negara yang berbatasan darat yaitu Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam memiliki keunikan masing-masing.  Maka untuk menghapus kegalauan pilihan yang beragam itu mengapa tidak melakukan lintas negara sekalian. Kemudahan melintas perbatasan antar negara yang tak memerlukan visa memungkinkan pemegang paspor ASEAN keluar masuk disini.

Bila berencana melakukan perjalanan darat lintas negara, kita bisa memulai dari kota manapun dan melanjutkannya dengan bis atau kereta. Namun kami menyarankan perjalanan dimulai dari Bangkok karena selain letaknya yang strategis, transportasi di Thailand lebih maju dari yang lain.  Selama di kota Bangkok kita akan dimanjakan oleh kecepatan dan kenyamanan transportasi yang terintegrasi.  Tergantung akan pergi kemana kita bisa memilih kereta, bis, subway dan angkutan sungai sebagai angkutan publik. Demikian juga amat mudah untuk menyetop taxi, tuktuk atau lainnya.

Terminal bis Mochit dan stasiun kereta Hua Lamphong adalah hub transport yang paling utama untuk meretas jalan menuju ke perbatasan. Namun banyak pula bis-bis travel dari area backpacker di Khaosan atau dari pool yang siap mengantar hingga jauh ke negeri tetangga. Ke perbatasan manapun kereta dan bis siap mengantar hingga pemberhentiannya yang terakhir. Dari Bangkok setidaknya ada beberapa pilihan untuk menjalani perjalanan darat Indochina circuit  yang mendebarkan. Berikut beberapa pilihan rute darat yang banyak menjadi pilihan turis backpacker:

  1. Selain Bangkok, destinasi wisata Thailand terutama ke Selatan (pantai) dan Utara (pegunungan). Kota-kota utama di Utara seperti Chiangmai dan Chiangrai merupakan jalur masuk dari Utara ke Myanmar dan Laos.  Kota lainnya adalah Udon Thani dan Ubon Ratchathani yang berbatasan dengan Laos, serta Aranyaprathet dengan Kamboja.
  2. Kearah Myanmar bisa memakai bis atau kombinasi kereta dan bis. Myanmar bisa dimasuki dari Maesai atau Maesot. Namun bila hendak meneruskan ke Yangon ambil perbatasan darat di Maesot ( memerlukan visa darat). Myanmar merupakan jalan buntu, setelah puas mengeksplorasi kota-kotanya bila hendak kembali kita hanya bisa melewati perbatasan darat yang sama kecuali tentu memakai pesawat.
  3. Ke arah Laos ada beberapa pilihan dengan jalur utama ke Nongkhai. Selain Nongkhai ada juga perbatasan paling Utara di Bokeo, lalu di Timur adalah Thakek dan Pakse. Perbatasan Nongkhai merupakan yang paling dekat ke ibukota Laos yaitu Vientiane dan karena itu paling hiruk pikuk. Dari Laos perjalanan darat bisa dilanjutkan dengan menerobos pos imigrasi Vietnam di sebelah Utara dan Timur, atau menerobos Kamboja di Selatan.
  4. Kearah Kamboja pilihannya ada Poipet menuju Siem Reap atau Koh Kong ke Battambang. Jalur Siem Reap tentu yang paling popular karena turis ingin mengunjungi Angkor Wat di kota ini. Dari negara yang kerap didaulat sebagai negara candi ini perjalanan darat bisa diteruskan ke Vietnam dan Laos.
  5. Vietnam satu-satunya negara di Indochina yang tak berbatasan darat dengan Thailand, maka untuk memasukinya para backpacker biasanya melalui jalur perbatasan dengan Kamboja di pos imigrasi Mocbai. Jalur selatan ini merupakan yang paling popular, namun dari Laos  pun bisa meretas ke kota Dongkhoi di jalur tengah dan ke Dien Bien Phu di jalur Utara.

img-20150303-00652

@districtonebdg

Mari Melancong ke Indochina

indochinaIndochina adalah wilayah yang terletak antara India dan China, maka darinamanya saja wilayah tersebut dipengaruhi oleh budaya kedua negara besar tersebut. Hingga  kini wilayah ini terpengaruh  oleh dinamika diantara kedua kutub Asia itu dalam banyak hal ; politik, budaya, iklim, ekonomi dll. Sejak kebijakan bebas visa antar negara ASEAN diberlakukan, maka tujuan traveling ke negara-negara tetangga di Indochina semakin terbuka luas. Myanmar lah yang terakhir membebaskan visa untuk pemegang paspor negara ASEAN. Maka lengkaplah sudah bebas visa bagi pemegang paspor Indonesia untuk leluasa bepergian di wilayah Indochina.

Mengapa harus ke Indochina barangkali itu pertanyaannya. Namun mungkin yang lebih tepat adalah mengapa tidak ke Indochina? Tersedia beberapa alasan logis bagi para pelancong sehingga wilayah ini menjadi magnet tersendiri bagi turis dari seluruh penjuru dunia.

  1. Membicarakan backpacker, tentu tak dapat melewatkan kota Bangkok di Thailand. Metropolitan ini bahkan kerap didaulat sebagai ibukota backpacker dunia. Selain Bangkok dan kota-kota besar lainnya seperti Chiangmai, Ho Chi Minh, Hanoi, Siem Reap dll, area backapcaker dengan segala fasilitas pendukungnya tersebar pula hingga ke kota-kota kecil di pelosok yang telah menggeliat pula wisatanya.
  2. Bandara Don Mueang dan Suvarnabhumi merupakan salah satu hub udara terpenting di Asia darimana turis mengalir deras ke Thailand. Tiket penerbangan ke Bangkok relative murah, banyak direct flight dari Jakarta dan dengan low season yang berbeda dengan wisata domestik.
  3. Informasi tentang jalur perjalanan maupun tempat wisata sangat banyak. Sebagai salahsatu wilayah yang paling banyak dikunjungi turis, tak susah mengakses informasi ke spot manapun disini. Kemanapun kita berencana pergi, akan pernah ada orang lain kesana. Bahkan tempat yang paling terpencil pun.
  4. Perjalanan darat antar kota di wilayah ini terbilang cepat dan murah. Maka dengan jalur transportasi yang mulus, perjalanan darat melintasi batas negara di wilayah Indochina tidaklah sulit dan sangat menarik.
  5. Biaya hidup turis disini barangkali merupakan salah satu yang termurah. Tentu ini tergantung dari cara bepergian turis sendiri namun biaya hidup yang murah telah menarik turis dari seluruh penjuru dunia datang kesini.
  6. Kesadaran wisata di negara-negara yang paling miskin pun, cukup tinggi. Mereka sadar bahwa devisa dari turis asing bisa mendongkrak ekonomi.
  7. Bepergian di wilayah ini bisa dibilang sangat aman dan dengan situasi politik yang stabil kini keamanan bagi para turis telah semakin baik. Tentu saja jangan mengambil resiko berlebihan yang tak perlu selama bepergian .

Beberapa point tersebut masih merupakan pertimbangan teknis, belum memperhitungkan keunikan dari pariwisata yang ditawarkan. Setiap negara mempunyai kekhasannya masing-masing, mulai dari kuliner, budaya, atraksi wisata, lansekap alam, sejarah dan banyak lagi. Pertanyaan berikutnya adalah akan pergi kemana di wilayah yang amat luas itu. Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam tentu bukan wilayah yang kecil untuk dijelajahi.  Semenanjung Malaya sebetulnya masuk pula kedalam kawasan ini, namun karena konektivitas daratnya jauh dari negara-negara lain, sah-sah saja bila kota-kotanya sedikit diabaikan kala membicarakan  Indochina circuit.

@districtonebdg

 

Perjalanan Darat Bangkok – Siem Reap via jalur Poipet

poipet-borderTerdapat beberapa perbatasan darat Kamboja dan Thailand, namun yang paling populer adalah melalui Aranyaprathet di Thailand ke Poipet di Kamboja. Menuju kota kecil Aranyaprathet, dari Bangkok bisa menggunakan kereta atau bis. Kali ini (21/11/2016) kami memilih menumpang kereta ekonomi dari stasiun Hua Lamphong. Bila mendarat dari bandara Don Mueang, menuju stasiun kereta ini tinggal naik bis menuju stasiun MRT Mochit lalu memakai MRT hingga perhentian terakhirnya di Hua Lamphong. Atau lebih mudah lagi, memakai kereta langsung ke Hua Lamphong. Stasiun kereta Don Mueang terletak disamping bandara. Transportasi yang maju dan terintegrasi di Bangkok memudahkan perjalanan-perjalanan menjelajahi Indochina.

Bila terbiasa memakai kereta di tanah air tahun 90-an, maka memakai kereta ekonomi ke Aranyaprathet akan terasa familiar. Walau tak ber-AC kondisinya relative nyaman (dan murah). Harga tiket sebesar 48 baht yaitu sekitar 18 ribu untuk perjalanan enam jam. Keluar dari stasiun kereta, armada tuk-tuk siap mengantar menuju border.

Proses imigrasi berlangsung cepat tanpa ada biaya. Setelah beres dicap paspor di imigrasi Thailand, dilanjutkan berjalan kaki ke pos imigrasi Kamboja. Diantara kedua pos imigrasi, kasino-kasino mewah tampak leluasa beroperasi. Agak kontras bila membandingkan keduanya, pos imigrasi Thailand didalam gedung tingkat yang ber-AC dengan bangunan bersahaja pos imigrasi Kamboja yang semi permanen. Sekilas saja sudah terlihat ketimpangan ekonomi kedua negara bertetangga ini.

Tak jauh dari pos imigrasi Kamboja, di sebuah warung terdapat shelter bus untuk mengangkut penumpang ke terminal bus. Naik shuttle bus ini tak dipungut biaya, baru di terminal bis “internasional” Poipet  turis akan menimbang-nimbang akan naik moda transportasi apa ke Siem Reap.  Namun menurut informasi, sebenarnya ada tempat mangkal lain dimana harga-harga tiket bis nya lebih murah dibanding disini.

Siapkan dollar Amerika untuk bertransaksi selama di Kamboja, walau baht tetap diterima dengan hangat di kota perbatasan. Selamat tinggal untuk perjalanan kereta darisini, di Kamboja  kereta hanya melayani rute Phnompenh-Sihanoukville, itupun hanya diakhir minggu saja.  Ongkos sharing taxi 12 dollar dan bis 9 dollar menuju Siem Reap. Dari Poipet perjalanan akan dilewati selama tiga jam melewati Sisophon, lalu tibalah di Siem Reap tempat legendaris lokasi candi-candi masa kejayaan peradaban Khmer berserak ( lihat juga Megahnya Komplek Candi Angkor Wat ).

@districtonebdg