“Bus to Snuol?” kening empunya penginapan sedikit berkerut kala kami menanyakan bus ke kota perbatasan itu. “ I’m not sure…,” lanjutnya, namun ia menjanjikan mencarikan tiket bisnya.
Menuju kota perbatasan Snuol memang sedikit modifikasi dari rencana border crossing dari Kamboja ke Vietnam. Saat ini kami berada di kota Kratie, Kamboja setelah datang dari arah Utara tepatnya dari Nakassang, Laos. Awalnya berencana menuju Phnompenh lalu menuju Vietnam melewati perbatasan Bavet-Mocbai yang merupakan jalur utama arus turis antara Kamboja dan Vietnam.
Namun sejak dari Nakassang, sudah terbayang betapa membosankan perjalanan darat siang hari selama 12 jam menuju Phnompenh. Kalau perjalanan malam tak apalah toh bisa tidur, tapi kalau siang cuma bakal melongo di jalan. Akhirnya diputuskan berhenti di Kratie saja, enam jam sebelum Phnompenh. Hotel Riverside Dolphin yang bersahaja di tepi sungai Mekong menjadi pilihan untuk beristirahat.
Dari Kratie nyatanya ada jalur lain untuk meretas masuk ke Vietnam yaitu Snuol menuju Loc Ninh di Vietnam. Kota kecil ini merupakan jalur pertemuan dengan jalan raya dari arah Ban Lung dan Sen Monorom. Ah kenapa tak mencoba jalur ini, lumayan menghemat enam jam perjalanan, daripada harus melambung ke Phnompenh.
Esok paginya seperti yang sudah dijanjikan sebuah tuktuk menjemput kami setelah sarapan, lalu mengantar ke pool bis. Ternyata jaraknya cuma sepelemparan batu, berjalan pun tak masalah. Bis ini hanya terisi empat orang penumpang, tampaknya trayek ke Snuol memang bukan jalur ramai. Perjalanan selama 1,5 jam lalu turun di pool berupa warung diseberang tanah lapang. Karena tampak celingukan layaknya backpacker, awak bis menanyakan apakah tujuan kami akan melintas ke Vietnam. Ketika kami jawab yes, dengan sigap ia memanggil dua ojek.
“Five dollar each,” katanya mantap. Dibayar dimuka.
Jalan aspal yang lebar, mulus dan sepi sepanjang 15 kilometer mengantarkan kami menuju gerbang imigrasi Kamboja. Hanya truk yang melintas disini, dan mendekati pos imigrasi tampak antrian truk barang yang memanjang hingga satu kilometer di gerbang perbatasan. Pos imigrasi ini tampaknya hanya dilalui oleh truk-truk niaga. Jelas bukan jalur turis.
Setiba di pos imigrasi Vietnam, tanpa basa basi petugas langsung memberi cap di paspor. Keluar dari kantor imigrasi, sebuah xe om (ojek dalam bahasa Vietnam) langsung menghampiri. Lumayan rejeki pagi-pagi, mungkin begitu pikirnya.
“Five dollar each,” ujarnya seperti sudah bersepakat dengan ojek Kamboja yang tadi. Namun karena bukan pertama kali ke Vietnam, kali ini saya mencoba menawar. Lagipula, sudah tak ada dollar di dompet. Namun bekal mata uang VND (Vietnam Dong) dari sisa perjalanan beberapa waktu lalu masih jaya. Akhirnya disepakati harga 170.000 VND berdua untuk naik ojek sejauh 18 kilometer ke Loc Ninh . Namun ternyata xeom tak kehilangan jurus, ia pun hanya memakai motornya sendiri.. alhasil terpaksa dibonceng berdua. Xeom ini juga tak mengantar hingga kota, melainkan menepi ke warung di kawasan hutan karet. Lalu nyerocos bicara bahasa Vietnam, disangkanya saya mengerti karena tadi tawar menawar harga.
Namun kurang lebih maksudnya kami coba mengerti, sepertinya bis menuju Ho Chi Minh melewati jalan raya ini. Jadi buat apa jauh-jauh ke Loc Ninh, tunggu saja di warung. Kira-kira begitulah.
“10 dollar,” ujarnya meminta ongkos per orang ke Ho Chi Minh. Lalu ia menunggu di tepi jalan menunggu bis yang lewat menuju Ho Chi Minh. Sementara kami disuguhi teh panas di warung, yang ternyata milik kerabat atau temannya. Sebagai kesantunan, kami membeli sedikit jajanan yang disediakan di warung.
Setelah menunggu lebih dari setengah jam, sebuah bus antar kota berhenti. Paman ojek sedikit negosiasi dengan kondektur lalu sejumlah VND pun berpindah tangan. Lah, bukannya tadi kami bayar dollar. Ah, rupanya paman ojek ini memang lihai memainkan jurus. Tak apalah, ia sudah membantu mencarikan bis ke Ho Chi Minh dari sebuah tempat middle of nowhere ini. @districtonebdg
Rute darat kami kali ini (21/11/2016) adalah Bangkok-Siem Reap-Phnompenh-Ho Chi Minh, dengan tujuan utama mengunjungi kompleks candi angkor dan wisata kota di Siem Reap. Bila empat tahun lalu datang dari arah Ho Chi Minh, kali ini menjajagi dari arah Bangkok.
Siang hari kami tiba di Hue disambut oleh gerimis dan kabut, Vietnam memang sedang musim hujan saat itu. Bertambah satu lagi ‘kekecewaan’ kepada bus yang kami tumpangi dari Laos ini, karena perhentian terakhir bus ini bukan di bus station (terminal) melainkan di sebuah toko material!! Sesaat setelah menurunkan barang-barang, kami lalu langsung diserbu oleh banyak tukang ojek yang menawarkan jasa mereka. Gaya tukang ojek disini sama dengan tukang ojek di Indonesia : mencoba ‘membantu’ membawakan barang terlebih dahulu, tetapi mungkin karena berat bawaan kami yang diatas rata-rata mereka mencoba melanggar ‘protap’ ini dan langsung menawarkan jasanya dengan bahasa Vietnam yang tidak kami mengerti.
Thakhek merupakan sebuah kota kecil dengan bangunan-bangunan tua didalamnya. Suasana kota ini akan mengingatkan kita pada suasana kota kecil di Indonesia 20 puluh tahun lalu. Hanya saja kendaraan yang berseliweran lebih maju dari kota-kota di Indonesia dimana kendaraan double cabin seperi Isuzu D-Max dan Ford Ranger banyak ditemui. Salah satu ciri khas kota ini yaitu pada landmark bangunannya maupun dari segi kulinernya seperti roti Perancis yang dijajakan mulai dari restoran hingga kios-kios di pinggir jalan. Suhu disini cukup ramah walau matahari bersinar terik pun masih terasa ada sejuk yang menyelinap.
Hari masih gelap ketika kami dibangunkan oleh kondektur local bus jurusan Thakek-Pakse. Dia memberitahu kami bahwa kami telah sampai di Kota Pakse. Bis tersebut seharga 60.000 kip/orang dan dipesan langsung di terminal Thaekek. Hari itu sekitar pukul 05.30, kami turun dan melihat sekeliling. Ini adalah pertama kalinya kami menginjak kota ini. Hari itu tanggal 2 Desember 2011, hari ketiga kami berada di Laos.
Siang itu pusat kota Vang Vieng seperti biasa merupakan tempat yang santai, tidak ada yang tergesa. Turis asing banyak yang hanya sekedar minum dan menyaksikan acara televisi di cafe-cafe yang tersedia. Beberapa lainnya berjalan-jalan dari satu toko ke toko lainnya. Jalanan masih tenang, Sampai satu saat ketenangan pusat kota terganggu…BRAAKKK !!. Terdengar suara benturan cukup keras. Lokasinya hanya beberapa toko dari tempat kami duduk. Suasana menjadi riuh rendah, dan orang-orang berkumpul di tempat terdengarnya benturan. Ternyata ada turis asing yang menggunakan motor, menabrak motor lainnya yang sedang terparkir.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 12 jam dari Oudomxay, pukul 04.00 pagi kami tiba di kota Vang Vieng. Selama perjalanan, bus yang kami tumpangi seringkali berhenti, dan yang menarik ternyata hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada penumpang yang ingin muntah. Setiap kali bus berhenti, penumpang berjajar dan muntah.
Perjalanan backpackeran di Indochina akan dihadapkan kepada banyak pilihan dimana kelima negara yang berbatasan darat yaitu Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam memiliki keunikan masing-masing. Maka untuk menghapus kegalauan pilihan yang beragam itu mengapa tidak melakukan lintas negara sekalian. Kemudahan melintas perbatasan antar negara yang tak memerlukan visa memungkinkan pemegang paspor ASEAN keluar masuk disini.
Indochina adalah wilayah yang terletak antara India dan China, maka darinamanya saja wilayah tersebut dipengaruhi oleh budaya kedua negara besar tersebut. Hingga kini wilayah ini terpengaruh oleh dinamika diantara kedua kutub Asia itu dalam banyak hal ; politik, budaya, iklim, ekonomi dll. Sejak kebijakan bebas visa antar negara ASEAN diberlakukan, maka tujuan traveling ke negara-negara tetangga di Indochina semakin terbuka luas. Myanmar lah yang terakhir membebaskan visa untuk pemegang paspor negara ASEAN. Maka lengkaplah sudah bebas visa bagi pemegang paspor Indonesia untuk leluasa bepergian di wilayah Indochina.
Terdapat beberapa perbatasan darat Kamboja dan Thailand, namun yang paling populer adalah melalui Aranyaprathet di Thailand ke Poipet di Kamboja. Menuju kota kecil Aranyaprathet, dari Bangkok bisa menggunakan kereta atau bis. Kali ini (21/11/2016) kami memilih menumpang kereta ekonomi dari stasiun Hua Lamphong. Bila mendarat dari bandara Don Mueang, menuju stasiun kereta ini tinggal naik bis menuju stasiun MRT Mochit lalu memakai MRT hingga perhentian terakhirnya di Hua Lamphong. Atau lebih mudah lagi, memakai kereta langsung ke Hua Lamphong. Stasiun kereta Don Mueang terletak disamping bandara. Transportasi yang maju dan terintegrasi di Bangkok memudahkan perjalanan-perjalanan menjelajahi Indochina.