Mengintip Cinta Junghuhn di Desa Wisata Kertawangi

Desa Wisata Kertawangi Lembang, KBB sudah diberi SK sebagai Desa Wisata dari tahun 2020, dan sekarang dikelola oleh para pemuda yang tergabung dalam Pokdarwis Kertawangi. Karena terhalang pandemik, off sementara, baru jalan lagi awal tahun ini walau memang belum banyak masyarakat yang tahu. Terbukti, warga yang rumahnya kami tinggali (homestay) saja tidak tahu kalo desa nya sudah jadi Desa Wisata….😅

“Teu terang abdi mah teh, nembe terang ti teteh malihn mah. Mung ti Desa dongkap naroskeun kersa teu pami bumina dijantenkeun homestay pami aya tamu hoyong ngawengi.” Saya senyum2 aja dengernya, bersiap melewatkan malam di Kertawangi.

Fasilitas homestay memang belum memadai bahkan reviewnya jeblok di berbagai aplikasi. Namun bila kita membuka jendela dan memandang gunung Burangrang didepan sekilas akan teringat kisah cinta Junghuhn kepada gunung-gunung disini. Ahli botani dari Jerman jatuh cinta kepada alam Priangan dan dipenghujung nafas terakhirnya pada tanggal 24 April 1864 menyampaikan permintaan terakhirnya kepada dokter sekaligus sahabatnya, Groneman.

“Dapatkah engkau membukakan jendela-jendela itu untukku? Aku ingin berpamitan kepada gunung-gunungku yang tercinta. Untuk terakhir kalinya aku ingin memandang hutan-hutan, sekali lagi aku ingin menghirup udara pegunungan”.

Apakah anda benar-benar mencari penginapan dengan review mentereng atau ingin membawa imajinasi ke suatu masa dimana kalbu tertaut rindu?

Btw, sebenernya konsep Desa Wisata ini sangat bagus untuk menunjang ekoturisme, wisata berkelanjutan, apalagi ada program ‘volunteering’ bertani dan ‘homestay’ berbaur dengan warga. Tapi ini masuknya ke wisata minat khusus ya. Jadi memang harus bisa bedain dulu mana wisata masal, dan mana minat khusus.

Berkunjung ke sini, tentu tidak direkomendasikan dengan menggunakan bis (tempat parkirnya juga gak ada🤭), lebih baik dalam kelompok2 kecil agar ‘goal’ nya tercapai. No rombongan-rombongan. Karena alih2 memajukan wilayah desa, malah nanti lahan pertaniannya rusak karena adanya pergerakan masal.

Yuk, berwisata dengan cerdas❤️

 

Penulis : Tanti Brahmawati

Ngabuburit di Serlok Bantaran Cikapundung

Setelah hampir dua tahun tidak kesini,  hari Rabu tanggal 27 April 2022 kami kembali berkesempatan mampir ke Serlok Bantaran di tepi sungai Cikapundung tepatnya daerah Babakan Siliwangi. Berhubung bulan puasa,  sekalian ngabuburit dengan refreshing ditepi sungai.

Sebetulnya tak selama itu juga mengabaikan sungai Cikapundung namun beberapa tahun ini memang lebih sering mengunjungi camp Cika-Cika yang bertempat lebih ke hulu. Menjalin silaturahmi dengan berbagai komunitas pelestari sungai memang mengasyikan.

Serlok Bantaran berlokasi di pinggir sungai, bangunan yang didominasi kayu dan bambu itu, memiliki penampungan mata air, pembenihan ikan lokal dan pembibitan bambu. Setidaknya sudah ada 4 jenis ikan lokal dan 18 jenis bambu yang dibudidayakan di sana.

Dari jejak digital nama Serlok Bantaran baru muncul pada tahun 2018, walau tempat ini sudah berdiri mungkin sejak 2014 kalau tidak salah. Demikian juga komunitas-komunitasnya juga sudah lebih lama lagi namun dengan berbagai dinamika yang ada kini bangunan apik di tepi sungai Cikapundung ini lebih dikenal dengan nama Serlok Bantaran.

Pemkot Bandung bersama komunitas Serlok Bantaran diketahui kini tengah menata sentra kegiatan pengembangan “Urban Biodiversity – Sungai Cikapundung”.

Gunung Haruman dalam Bayang – bayang

Ke arah ini sebetulnya bukan trek yang populer,  orang-orang lebih sering mendaki puncak lainnya yaitu gunung Puntang dan Malabar. Seakan Haruman hanya dalam bayang-bayang gunung lainnya. Tidak heran treknya sepi dan kadang jalurnya kurang jelas.

Wisata Alam Gunung Puntang berada di Desa Cimaung, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Dari pusat Kota Bandung kurang lebih memerlukan waktu sekitar 2 jam untuk mencapai bumi perkemahan ini. Setelah melewati alun-alun Banjaran, jalan yang dituju adalah menuju Pangalengan lalu setelah sampai di pertigaan Cimaung belok ke kiri sejauh 9 kilometer hingga buntunya jalan.

Dulu pernah berdiri stasiun pemancar Radio Malabar  yaitu sebuah stasiun radio yang menjadi pusat komunikasi pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya pada periode 1917- 1929. Konon, siaran radio dari tempat ini dapat terdengar hingga ke negeri Belanda yang berjarak 12.000 km jauhnya. Hingga kini di kaki Gunung Puntang masih bisa ditemukan puing-puing bangunannya. Ikon lain di tempat ini, salah satunya adalah sisa struktur dinding kolam berbentuk hati yang kini dikenal dengan nama Kolam Cinta.

Dari buper ini kita bisa mendaki ke gunung Haruman yaitu dengan sejenak mengikuti jalur kearah curug Siliwangi, lalu ambil jalur yang kanan saat bertemu persimpangan. Ke arah ini sebetulnya bukan trek yang populer,  orang-orang lebih sering mendaki puncak lainnya yaitu gunung Puntang dan Malabar. Seakan Haruman hanya dalam bayang-bayang gunung lainnya. Tidak heran treknya sepi dan kadang jalurnya kurang jelas. Namun medannya yang zigzag sebetulnya lebih ramah daripada jalur pendakian puncak lain. Cuma ya itu,  kadang hilang tertutup sampah hutan atau semak.

Karakter cuaca disini bisa dibilang basah, kabut dan hujan senantiasa menyapa. Saat hiking atau mendaki siap-siap lah membawa raincoat atau ponco. Begitu juga waktu kami mendaki Haruman, disambut gerimis dan kabut kala naik serta dilepas hujan besar saat turun. (2012)

Railway Adventure ke Kampung Adat Cigumentong

Kampung Cigumentong dapat dikatakan terpencil, sebab lokasinya yang berada di Kawasan Gunung Kareumbi membuat wilayah tersebut jarang dijamah oleh orang. Hingga kinipun kawasan Gunung Kareumbi merupakan wilayah Hutan Konservasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat.

Meski terbilang terisolir namun sejak tahun 1884, Kampung Cigumentong sudah dihuni segelintir warga. Lalu pada tahun 1919, seorang Administratur dari Pemerintah Hindia Belanda datang ke kampung ini. Administratur tersebut bernama Mr Jansen atau warga kampung memanggilnya dengan sebutan Tuan Block. Sampai meninggalnya Tuan Block tinggal di sini dan menjadi bagian sejarah kampung ini dengan ditemukannya makam beliau.

Kampung dibalik gunung ini mengusik perhatian saat pertama survey Kareumbi tahun 2018 yang lalu, seperti dibisikkan oleh angin hutan. Bukan deng,  karena melihatnya di Gmap wkwk… Nah, walau kala itu tak sempat dikunjungi namun penasaran untuk suatu saat akan kesana.

Tahun 2019 sempat mengadakan trip ke Kareumbi, namun baru pada Februari 2022, dapat menuntaskan hajat ke kampung misterius ini. Seperti juga dulu,  perjalanan dimulai dari stasiun Bandung lalu turun di stasiun Cicalengka.  Setelah carter angkot ke ujung desa Sindangwangi,  lalu berjalankaki ke kampung Cigumentong sekitar dua kilometer. Taman Buru Kareumbi sendiri sedang tidak buka karena PPKM gara-gara si Covid.

Walau bertajuk kampung adat,  tak banyak yang bernuansa adat disini. Sebuah bale dari bambu sedikit mewakili namun terkesan  kurang terawat. Akhirnya rombongan lebih terkonsentrasi diwarung yang terletak disamping bale ini. Maklum ternyata sudah masuk jam makan siang.

Teteh warung pun dengan sigap meladeni pesanan cuanki yang bertubi-tubi. Ternyata di kampung terpencil pun ada cuanki ya hihi.. Lalu ada keajaiban apa lagi di warung tengah hutan ini?  Olala ternyata tampak ada kulkas juga didalam. Bagaimana ngangkutnya kesini?

“Diangkut  ngangge motor, ”  jawab teteh warung. Walau Cigumentong baru dialiri listrik enam bulan lalu,  si teteh rupanya tak menunda-nunda kemajuan teknologi. @districtonebdg

 

Diintip Macan di Tahun Macan: Curug Cisaronge Story

Kami pun meneruskan berjalan, cenderung menanjak, melewati hutan yang semakin rapat, melewati setapak sempit dengan sisi kiri jurang dan kanan lereng tebing dengan hutan yang gelap dan rimbun sampai akhirnya suara gemericik air yang semakin jelas mendekat. Rupanya kami sudah tiba di curug Cisaronge.

When the students are ready,  the teacher will appear

 

Perjalanan hiking kali ini agak berbeda. Awalnya saya, Melly, Jule, Tatu, Desi, Meni, dan Riris ingin memanfaatkan  liburan Imlek dengan hiking sambil bersilaturahmi dengan warga  Desa Cibeusi yang sudah kami anggap sebagai our second home. Bersilaturahmi dengan  warga di curug Cibareubeuy atau sekedar ikut mandi melepas penat di curug Cibihak memang sudah seperti rutinitas para d1vais. Tapi kemudian timbul ide untuk menyambangi curug lain saat Cibareubeuy sudah semakin ramai dan Cibihak sudah bukan lagi seperti curug milik pribadi.

Berawal dari hasil survey team District One ke Curug Ciregoh di tahun 2018 lalu. Namun tidak seperti hasil survey lain yang langsung ditawarkan trip,  DO seperti menunda-nunda trip ke curug Ciregoh. Seperti hare-hare  bila ditanya kapan ada trip ke Ciregoh. Ada apakah?

Kami dari grup D1VA seperti tertantang juga tidak mau ketinggalan  untuk mengetahui keberadaan curug tersebut, apalagi mendengar sekarang sudah bisa disambangi turis hiking.

Rencana pun dibuat mendadak, 3 hari sebelumnya. Dengan mengandalkan Andri,  warga lokal untuk mengantar kami yang menurutnya curug Ciregoh bisa diakses dan tembus dari curug Cibihak. Walau enggan leading trip,  DO tetap menurunkan salah satu guide nya, Adlan, untuk mendampingi.

“Besok buat melapis safety aja,” pesan yang diterima Adlan dari komandan.

Trek yang diambil via curug Cibihak sebetulnya berbeda dengan info survey yang menyebutkan jalur ke Ciregoh tidak melewati curug ini. Tapi, hey, siapa tau ada jalur lain?

Pagi-pagi di hari Selasa,kami pun penuh semangat berkemas untuk melakukan hiking. Tidak ada sesuatu yang aneh saat berjalan menuju ke arah  Curug Cibihak kecuali melihat Elang yang mengudara tinggi di langit sedikit mendung, pemandangan yang sebenarnya  jarang saya lihat bila mengunjungi wilayah ini.

Kami beristirahat sebentar di curug Cibihak setelah kurang lebih berjalan kaki 45 menit dari Cibeusi. Rombongan berjumlah total 9 orang ini pun meneruskan langkah menanjak ke punggungan bukit yang lebih tinggi.

Sekitar  30 menit kemudian kami tiba di sebuah pondok kosong  tempat mengolah  gula aren. Gelap dan terasa dingin.  Warga lokal yang mengantar kami memberitahukan bahwa perjalanan masih panjang karena harus melewati curug Cisaronge dahulu sebelum ke destinasi akhir. Kami pun meneruskan berjalan, cenderung menanjak, melewati hutan yang semakin rapat, melewati setapak sempit dengan sisi kiri jurang dan kanan lereng tebing dengan hutan yang gelap dan rimbun sampai akhirnya suara gemericik air yang semakin jelas mendekat. Rupanya kami sudah tiba di curug Cisaronge. Tidak berlama-lama di sini, karena terburu-buru ingin melanjutkan perjalanan.

Dengan menyebrangi curug kecil berair deras tersebut, kami pun  terus  berjalan meneruskan jalur setapak  rimbun sampai tiba di area tanpa setapak sama sekali. Andri dan Adlan pun mencoba menebas ranting pohon dan semak agar bisa dilewati.   Area  tersebut berupa  lereng dengan kemiringan yang membuat kami agak bersusah payah mencari  pijakan  maupun ranting kuat sebagai pegangan. Drama jatuh terjerembab pun menjadi bumbu cerita hiking kali ini tapi kami selalu ceria dan bersemangat melanjutkan perjalanan. Mungkin karena perut kami selalu diisi, jadi baterenya gak pernah mati…hahaha…

Perjalanan  terasa stuck ketika pergerakan semakin lambat. Kami semakin kehilangan jalur dan tak tau arah. Adlan mencoba berjalan paling depan untuk melihat dulu jalur yang aman untuk dilalui. Beberapa menit kemudian dia kembali dan bilang kalo  jalur yang kita ambil bukan jalur yang seharusnya alias tersesat, waduh….karena di depan jalur yang kami ambil terhalang  lereng batu dan jurang.  Adlan memberikan masukan,  “Sangat beresiko bila dilanjutkan, apalagi jam segini kita masih di sini.  Kalo memaksakan, apalagi  kita sendiri  tidak tau track di depan nanti seperti apa, akan repot bila sore semakin tiba”.  Akhirnya saya memutuskan mengajak teman-teman untuk balik kanan dan bermain air di Cibihak saja. “Apa mending di curug Cisaronge aja dulu kita buka kompor dan bikin kopi?” Andri memberikan ide. “Tidak, lebih baik di Cibihak saja” saya bersikeras. Entah kenapa saya merasakan sesuatu yang aneh ketika berada di Curug Cisaronge yang gelap, dingin, dan terasa berbeda tersebut.

Ketika kami berjalan balik, grup terbagi dua, saya di barisan terakhir bersama Riris, Desi, Adlan dan Jule. Sementara Tatu, Melly, Meni, dan Andri  ada di depan  berjarak 10 meteran dengan grup belakang. Kurang lebih setelah 15 menit berjalan , tepatnya sebelum curug Cisaronge, saya mendengar suara yang familiar dari balik hutan yang rapat. Suara yang saya hafal tapi tidak mau menyimpulkan terburu-buru karena tidak yakin dan takut membuat gugup teman yang lain.  Saya mencoba melirik sedikit ke  arah suara, sambil bertanya pada Jule yang berada di depan saya, “Jul, kamu denger suara-suara aneh gak”. Rupanya Jule juga sedang  berpikir akan suara tesebut “ iya, ada suara, suara apa ya” . Kami berdua terdiam, suara itu kembali ada, terasa dekat di telinga saya dan Jule. “Tuh Jul, ada lagi”. Jule pelan berbisik “Hooh uy, sebelah kiri” Saya menoleh ke Adlan yang berada di belakang saya, “ Denger suara gak dari sebelah kiri”. Dia jawab “sepertinya yang teteh maksud suara mesin pesawat terbang mungkin teh”  ” Lalu saya bilang ke Jule, “Jul, ternyata itu suara pesawat terbang kata Adlan ” karena memang saat bersamaan ada suara menggaung  yang merambat di atas kami, bergemuruh seperti suara mesin pesawat. Jule tampak tenang mendengarnya. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali dengan tenang.

Setelah melewati curug Cisaronge lagi, jalur setapak pun mulai terbuka terang. Lalu saya mendekat ke Riris . Riris berujar,  “Tadi denger suara aneh gak teh? Kayak suara gergaji kayu, tapi cuman dua kali, terus seperti suara mesin, tapi masa iya juga itu suara mesin gergaji, bingung suara apa, tapi mirip gitulah, aku sih diem aja, gak mau mikir macem-macem”.

Desi pun menimpali “Desi juga denger, tapi diem aja gak berani ngomong,  berdoa aja terus dalam hati”

Setelah tiba di Cibihak, grup depan yang rupanya tidak mendengar suara tersebut  langsung nyebur mandi menikmati segarnya air curug. Sementara kami grup belakang lebih senang membuka bekal kami, memasak air panas, menyeduh kopi, dan membuat perapian. “Kita bikin perapian, biar dia tidak mendekat” Adlan berinisiatif.

Setelah beres kami berjalan pulang ke saung sawah tempat kami memesan liwet untuk makan siang (tepatnya makan sore karena kami  makan jam 4 sore, hahaha). Di sana saya baru mengabarkan perihal kejadian saat tadi di lereng ke teman-teman yang berada di grup depan. Juga memberithau pada pemilik saung apa yang kami alami. Saya bilang padanya sepertinya terlalu beresiko kalo membawa turis hiking ke Curug Cisaronge.

Menurut pemilik saung pula kami tahu kalo wilayah ini bukan perlintasan pesawat terbang. Waduh, tambah kacau sih ini. Untungnya kami sudah di berada di lokasi penduduk.

Dalam perjalanan pulang, di mobil tidak hentinya membicarakan pengalaman luar biasa ini.  Iseng-iseng di You Tube kami search suara macan, OMG ternyata yang kami dengar persis sekali dengan suara macan tutul.  Semakin kami yakin apa yang kami dengar adalah suara si  raja hutan.

Alhamdulillah, kami semua baik-baik saja. Saya masih kagum terhadap teman-teman D1VA yang bisa tetap tenang dan tidak panik.  Sama halnya saya pun saat itu merasa tenang, dalam hati saya merasakan  bahwa dia hanya ingin memberitahu bahwa itu wilayah territorinya, tolong jangan dimasuki.

It will be our unforgetable hiking experience . Begitulah, hiking di hari Imlek, disambut suara pemilik shio 2022 di tempat favoritenya, curug  Cisaronge. Ada yang tau kira-kira ini pertanda apa?hehehe

Bandung, 4 Februari 2022

Penulis,

Tanti Brahmawati

Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut.

Kegiatan Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921 dengan tema Konservasi – Seke – Tradisi diselenggarakan pada hari Rabu,  29 Desember 2021 atas inisiasi Komunitas CAI dan Karang Taruna Ledeng, juga bekerjasama dengan beberapa komunitas pegiat pelestari alam dan instansi terkait di pemerintahan kota Bandung.

Acara yang dihadiri oleh Plt. Walikota Bandung Bapak Yana Mulyana ini ditutup dengan adanya nota kesepakatan antara pihak-pihak pemerintah terkait untuk segera membuat suatu kebijakan dan komitmen yang tangguh dalam hal menjaga kelestarian bangunan heritage peninggalan Hindia Belanda tersebut. Ini harus dilakukan agar tidak terbengkalai seperti sebelumnya.

Gedong Cai saat ini masih berfungsi sebagai benteng pelindung reservoir mata air di Bandung Utara, namun proses urbanisasi di KBU yang hilang kendali membuat keberadaannya terancam akan bahaya longsor.

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut. Ketika ditemukan beberapa Seke (mata air) di daerah Ledeng, lalu dibangunlah semacam water station dengan pipa besar yang ditanam dalam tanah untuk mengalirkan air ke seluruh penjuru kota Bandung.

Mengutip pidato Direktur PDAM Tirtawening Sonny Salimi S.ST.MT, pada acara tersebut, Gedong Cai ini pertama kali dimanfaatkan oleh PDAM pada tahun 1977 dengan debit air 50lt/dtk, skrg menurun jadi 22lt/dtk, yang dimanfaatkan PDAM skrg ini hanya 10lt/detik, itu pun untuk mengairi kurang lebih 800 pelanggan di wilayah Cipaku dan Ciumbuleuit saja. Sisanya digunakan warga Cidadap dan sekitarnya.

Saat ini, walau debitnya berkurang, tempat ini masih mengalirkan air bersih untuk wilayah pemukiman sekitar Ledeng, Cidadap, Cipaku, dan Ciumbuleuit.

Mari kita jaga seke-seke di sekitarnya agar debit airnya semakin meningkat kembali, sehingga pasokan air bersih untuk kota Bandung bisa meningkat kembali. @BrahmaTanti

Sekeping Surga Dibelakang Terminal Kumuh

Di sekitar Cidadap Girang, Bandung atau biasa dikenal dengan kawasan Ledeng tersebar beberapa seke atau mata air yang tak pernah kering. Selain seke-seke ini ada beberapa anak sungai salah satunya Sungai Cipaganti yang punya potensi wisata.

Menurut catatan, kawasan belakang terminal Ledeng ini mulanya bernama Kampung Cibadak. Secara epistimologi, nama ‘Cibadak’ berarti ‘Cai Badag’ atau air yang melimpah. Agak ironis bila melihat kondisi terminal Ledeng sekitarnya yang kumuh.

Masa pemerintah Belanda, sumber mata air yang melimpah dari tempat ini dibuatkan bangunan pelindung untuk kemudian disadap dan dialirkan melalui saluran pipa besar yang ditanam di dalam tanah. Bangunan pelindung itu dikenal dengan nama Gedong Cai.

Bertujuan melakukan penghijauan, sejak 2019 Komunitas CAI hadir melanjutkan program revitalisasi lingkungan di sekitar Gedong Cai. Beragam tumbuhan mereka tanam di sekitar Sungai Cipaganti, salah satunya tanaman bambu.

Hasilnya, puluhan bambu endemik langka, seperti bambu 22, bambu ater, bambu bitung, dan bambu hitam ada di sini. Selain bambu, ditanam juga pohon penyerap air, misalnya kopi, beringin, pohon endemik seperti karung serta patrakomala, atau buah-buahan seperti mangga dan nangka.

Sebagai bentuk support atas tujuan mulia tersebut, pada hari Sabtu 4 Desember 2021 bertempat di cafe 25 Arcamanik D1VA mengundang komunitas CAI untuk berdiskusi sekaligus nonton bareng film pendek “Preserving the Seke” produksi ZBX yang menceritakan kawasan tersebut. Film pendek yang disutradarai Irwan Zabonk ini mendapat apresiasi dalam festival film di New York. @districtonebdg

Merayap ke Kawah Saat, Bersimpuh ke Gunung Sepuh

Tak lama setelah ditemukan Junghuhn tahun 1837 belerang yang berlimpah di Kawah Putih gunung Patuha dieksploitasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Pabrik belerang Zwavel Ontgining Kawah Putih didirikan di dekat kawah. Belerang yang ditambang kemudian diangkut menggunakan kereta. Belanda membangun rel kereta dari Kawah Putih hingga Ciwidey lalu ke Bandung.

Konon asal mula nama Gunung Patuha ini bermula dari kata sepuh yang dalam bahasa Indonesia disebut Pak Tua. Lambat laun, kata Pak Tua berubah menjadi Patuha. Masyarakat luas baru bisa menikmati keindahannya sejak tahun 1987 setelah Perhutani mengembangkannya menjadi objek wisata.

Mulanya wisata alam Kawah Putih merupakan objek wisata rintisan dengah harga tiket sangat terjangkau, namun kini menjelma menjadi salahsatu obyek wisata alam dengan tiket termahal di Jawa Barat. Ironis ya.

Saat trip ke Kawah Saat ini dilakukan bulan November 2021, tiap peserta total harus merogoh kocek  untuk tiket masuk sebesar 65ribu rupiah (via Kawah Putih),  terdiri dari tiket masuk 27rb, kendaran ontang-anting pp 27rb dan wahana Sunan Ibu 11rb. Belum parkir mobilnya loh ya.. Bila ingin lebih hemat, bisa lewat Punceling yang mematok tiket 15rb atau Cipanganten tiket 10rb, namun dijamin akan lebih menguras tenaga. Yo wis ges.. toh kini sudah bukan masanya lagi mencari capek tapi cari rute terpendek untuk menghemat kalori.

Nah bila ingin mendaki gunung Patuha,  harus siap dengan cuaca yang cepat berubah. Matahari bersinar terang  bukan jaminan sejam kedepan tak akan diguyur hujan. Kabut datang dan pergi,  seringkali tebal menyelimuti. Sejak beranjak dari kawasan Kawah Putih,  trek yang dilalui merupakan hutan basah, aroma belerang kadang tercium dengan kuat bila arah angin menuju trek. Bila cuaca buruk jangan memaksakan untuk ke puncak,  cukuplah sekitar Kawah Saat saja.

Gunung Patuha dengan Kawah Putihnya mempunyai tempat tersendiri dihati saya, setelah pertama mendakinya tahun 1992. Sebuah life changing, yang membangunkan karakter. Saya yakin beberapa orang yang berada disana saat itu,  merasakan hal yang sama. Ehh..malah ngelantur

Walau tak terlalu sering kesana juga, saya cukup hapal medannya dan bisa mengatakan bahwa gunung Patuha tak hanya Kawah Putih bahkan sayang bila hanya ke Kawah Putih saja. Banyak tempat indah disana yang kini makin mudah dicapai oleh siapapun seperti Sunan Ibu, Sunan Rama dan Kawah Saat.

Tentu saja, pihak pengelola telah menambahkan wahana-wahana wisata baru disekitar Kawah Putih seperti sunrise point, jembatan ponton, skybridge dan sebagainya yang akan terus bertambah. Namun bila dibanding kharisma gunung itu sendiri, berbagai wahana buatan sungguh tak berarti. Bukalah hati maka kita akan terpesona merasakan sebuah aura kekuatan maha dari sang alam yang menjalari seluruh tubuh. @districtonebdg

Curug Wangun Primadona Baru Wisata Alam Subang

Curug Wangun terletak di desa Buniara, kecamatan Tanjungsiang, Subang. Bila dari Jakarta atau Bandung, dari Jalan Cagak ambil arah menuju Cisalak lalu setelah memasuki desa Buniara melaju terus sekitar 3 kilometer menuju kampung Citombe. Kondisi jalan desa menuju lokasi rusak pada beberapa titik dengan kontur menanjak tajam pada beberapa bagian. Hati-hati ketika melewati tanjakan/turunan tajam terebut pada musim hujan, karena jalan menjadi licin.

Dari parkiran mobil perjalanan dilanjutkan melewati jalan setapak menuju curug dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Terdapat dua jalur menuju curug namun hanya satu yang terpelihara. Tetapi bila ingin menghindari trek pulang pergi,  tak ada salahnya jalur loop ini dicoba selama tetap menjaga kehati-hatian.

Curug ini sebenarnya sudah pernah dibuka tahun 2005 lalu, namun kemudian tak terurus. Baru kemudian Oktober 2017 lalu, warga masyarakat bersama Kompepar berinisiatif membuka kembali dan kemudian diresmikan 2018 sebagai bagian KPH Bandung Utara.

Terdapat tiga undak Curug dengan ketinggian yang berbeda. Curug yang pertama memiliki tinggi sekitar 120 meter, Curug yang kedua memiliki tinggi sekitar 60 meter, dan Curug yang ketiga atau Curug yang paling atas memiliki ketinggian sekitar 40 meter. Maka totalnya kurang lebih sekitar 220 meter namun karena bentuknya yang berundak tidak terlihat setinggi itu. @districtonebdg

Curug Gawang Potensi Wisata di Sindangkerta

Kecamatan Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat, berada di wilayah perbukitan dimana mata pencaharian penduduk dari dulu hingga sekarang mayoritas dibidang agraris. Kata Sindangkerta diambil dari kata “Sindang” dan “Kerta”, Sindang berarti kesini sedangkan Kerta berasal yaitu Prajurit.

Pada Zaman perang kemerdekaan Sindangkerta menjadi salah satu tempat beristirahatnya para pahlawan pejuang Indonesia. Benteng dan markas para pejuang terdapat di Cisandawut tepatnya di kampung Malaka yang sekarang menjadi Sekolah Dasar Negeri Cisandawut 1.

Potensi wisata di Sindangkerta cukup banyak dan menjanjikan bila dikelola dengan serius. Sebut saja misalnya curug Sawer,  curug Gawang, curug Panyandaan dan banyak lagi.  Kali ini team D1VA berkesempatan ngaprak  curug Gawang yang terletak di Kp Cimanggu,  Wangunsari. Dari jembatan Cilame menuju lokasi dibutuhkan sekitar 1.5 jam berkendara. Akses jalan menuju lokasi cukup menanjak tapi mulus. Karena Curug Gawang ini jarang dieksplor orang — tidak ada petunjuk  yang jelas menuju lokasi. Bila ragu sebaiknya berhenti dan bertanya arah.

Jika dilihat dari kejauhan bentuk aliran curug akan membentuk aliran segitiga sama kaki. Tepat di bagian bawah tebing, ada cerukan yang membentuk seperti  gua kecil. Saat matahari bersinar terik,  cipratan air sekitar gua akan membentuk pelangi yang indah. Sayang saat kami kesini di penghujung bulan Oktober 2021 barusaja diguyur hujan lebat.

Berjalan kaki kesini disaat musim hujan perlu ekstra berhati-hati karena licin. Jalur paving blok yang dibuat untuk memudahkan justru dihindari karena licin. Ini perlu menjadi perhatian,  perlukah dibuat jalur paving blok,  alih-alir jalur tanah alami saja. @districtonebdg