Medan Pendakian yang Unik di Gunung Rakutak

rakutak3

Petualangan kali ini lebih seperti reuni mereka yang dulu pernah berkegiatan di alam bebas, katakanlah 15 – 20 tahun lalu. Sehingga tak heran kini yang dikejar bukanlah aroma petualangan ekstrim , namun lebih suasana nostalgia. Kini mereka bukanlah sebagai pelajar atau mahasiswa lagi, namun dari dari beragam profesi dengan istri dan anak yang menunggu di rumah. The expendables,  mereka yang sudah terbuang dari dunia petualangan.

Sudah bisa ditebak, kondisi fisik mereka pun sudah jauh menurun dari masa-masa primetime-nya. Wawan sebagai veteran pendaki gunung dengan iri memandang Imam, mahasiswa yang mendampingi, dengan enteng berjalan membawa semicarrier yang padat sembari santai merokok.

“Baheula mah urang ge kenca katuhu ngudud na…”  ia menghibur diri.

Perjalanan sendiri tak dimulai terburu-buru hingga hari beranjak menuju siang. Hampir dua jam delay dari itenary yang sudah dirancang. Menjelang tengah hari, perjalanan baru dimulai. Matahari terik di ubun-ubun, untung semua membawa topi. Pengalaman, barangkali itu saja  bekal mereka kembali gunung-gunungan kali ini. Walau kick off pendakian delay hingga dua jam, mereka dapat memperkirakan sudah akan kembali ke desa sebelum gelap. Maklum saja, tak satupun membawa senter. Alamak..

Tak sampai setengah jam, nafas ngos-ngosan  sudah terdengar. Peluh membanjir deras. “Jrit..nepi kadenge detak jantung sorangan,” Bais membuka suara.

“Aduh..sugan teh arek fun trekking..” keluh Ervan.  Ini semacam sinyal untuk beristirahat, yang segera disambut bahagia oleh yang lain. Tak ada yang dikejar dalam pendakian ini, puncak bukan lagi tujuan utama, sunrise bukan lagi kemewahan. Kini adalah masanya kebersamaan, lalu untuk apa bergegas. Hampir tiap 100 meter mereka berhenti 🙂

Medan pendakian Rakutak relatif landai sehingga memberi cukup banyak kesempatan menarik nafas sebelum memasuki medan terjal didepan, terutama menjelang puncak kesatu. Daya tarik Rakutak adalah jalur yang berupa bibir jurang yang menghubungkan puncak-puncaknya. Walau hampir semua gunung akan memiliki kontur demikian, jalur yang dijuluki para pendaki Rakutak sebagai siratul mustaqim ini sangat unik. Saya senang menyebut setiap  jalur curam sebelum puncak  sebagai “Hillary step”.

Pemandangan terhampar bebas sepanjang jalur yang beresiko ini. Tampak hamparan hutan yang masih tak terjamah dibawahnya. Pendakian ke gunung berketinggian 1922 meter dpl  ini juga masih sepi dari pengunjung, dengan demikian masih relatif bersih dari sampah. Walau di area bermalam sudah mulai  tampak gejala-gejala mengkhawatirkan dari para pendakiyang malas membawa sampahnya kembali.

Matahari sedang bersinar hangat saat rombongan tiba di puncak dan membongkar perbekalan yang dibawa. Sementara para fotografer mendokumentasikan keindahan alam Rakutak dari puncaknya, kompor Trangia pun digelar untuk memasak mie serta minuman panas kopi dan teh. Tak ada yang lebih menyenangkan selain memberi sentuhan abadi  di puncak perjalanan. Acara memasak ini ibarat sebuah ritual, sebuah upacara singkat namun akan dikenang abadi. Waktu mereka tak banyak, hanya 30 menit sebelum turun kembali.  Ritual setengah jam ini akan  menjadi tak terlupakan sepanjang hidup, seperti juga momen-momen saat dulu berdiri di kemegahan puncak-puncak gunung lain. Seberapa banyak kita mempunyai momen-momen indah yang dikenang abadi?

Bagi sebagian dari mereka,  perjalanan kecil ini seolah menyentak alam bawah sadarnya dengan keras. Belasan tahun lalu ketika merasa sudah pensiun dari petualangan, tak satupun menyangka akan ada momen untuk kembali melakukan hal yang sama. Kini dengan alam pikir yang sudah lebih bijak dari masa adrenalin junkies dulu, sebuah halaman baru membentang didepan mereka. Itulah halaman kosong yang akan mereka warnai dan ruang hampa yang akan mereka isi dengan rasa yang pernah dikenal dulu. Sebuah pemahaman baru tentang alam, tentang hubugannya dengan manusia, dan terutama tentang diri mereka sendiri.  @districtonebdg

 

Regional Summits

Tak perlu melalui sebuah expedisi besar berbiaya aduhai, melainkan dengan pendakian hit and run ala backpacker.

 

Tak ada salahnya bila dalam melakukan pendakian gunung kita melebarkan minat pendakian ke kawasan lainnya. Tentunya akan banyak pengalaman baru karena akan menemukan karakter gunung yang berbeda-beda bila mendaki di kawasan yang berlainan. Sehingga akan didapatlah koleksi puncak-puncak kawasan yang akan lebih memperkaya wawasan pendakian. Pendakian gunung-gunung di kawasan ASEAN, misalnya, bukanlah sesuatu yang mustahil dicapai, bahkan oleh turis sekalipun. Tak perlu melalui sebuah expedisi besar berbiaya aduhai, melainkan dengan pendakian hit and run ala backpacker.

Dalam skala regional pendakian puncak gunung di negara lain pun bukanah hal yang terlampau ribet. Memilih puncak gunung yang potensial di negara-negara ASEAN anda tinggal  mengetik “highest mountain in ASEAN” pada Google. Anda akan menemukan gunung salju Hkakabo Razi di kawasan Himalaya Myanmar yang memiliki ketinggian 5.000 an meter, Kinabalu (4.095 mdpl) di Sabah-Malaysia, di Thailand (2.565 mdpl), di Laos (2.819 mdpl), Mt.Fansipan (3.143 ) di Vietnam dan Mt.Apo (2.954)) di Mindanao-Philipina dan tentu saja banyak gunung di Indonesia mulai dari Semeru (3.626 mdpl) hingga puncak Carstenz (4.884 mdpl).

Namun mendaki gunung Hkakabo Razi sepertinya akan terlalu njelimet dan kurang populer hingga pemuncakan pertamanya baru terjadi tahun 1997 oleh pendaki Jepang. Itupun ia mengakui enggan untuk kesana lagi karena selain waktu tempuhnya lama, perijinan sulit, biaya semahal mendaki Everest, juga tak terlalu prestisius sehingga diabaikan oleh para pendaki profesional.  Dengan biaya ekspedisi yang mencapai $ 65,000 kala itu, siapapun akan lebih baik mendaki beberapa puncak dari  seven summits saja sekalian. Namun anda bisa menggantinya dengan puncak-puncak lain di Myanmar yang lebih terjangkau biaya pendakiannya seperti Phonyin atau Phangran Razi yang berketinggian diatas 4.000-an meter juga. Kawasan pegunungan di Myanmar Utara ini merupakan bagian Timur dari pegunungan Himalaya, sehingga bila mendakinya seperti telah “menangkap” ekor dari pegunungan Himalaya yang legendaris itu.

Di  Singapura jelas tak ada gunung yang bisa didaki karena hutannya pun dari beton, bahkan mungkin gedung-gedung disana lebih tinggi dari gunung yang ada di daratannya. Demikian pula Brunei dan Timor Leste yang masih dapat dianggap menyatu dengan pulau-pulau besarnya. Kamboja pun selain masih belum bebas dari ranjau darat, tak memiliki puncak menawan diatas 3.000 an meter. Anda juga mungkin tak akan bersemangat melihat foto Doi Inthanon (2.565) puncak tertinggi  Thailand yang berupa tempat ziarah dan wisata, sementara puncak gunung Phou Bia (2.819) di Laos selain bekas medan konflik suku Hmong  juga merupakan daerah militer terlarang. Ada kesan ditutupi informasinya oleh pemerintah sehingga lebih baik jangan membahayakan diri sendiri.

Namun gunung Fansipan (3.143 mdpl)  di Vietnam akan tampak sulit untuk  dilewatkan begitu saja. Selain  tak terlalu mahal akomodasinya juga karena merupakan puncak tertinggi di Indochina. Sementara itu Mt. Apo (2.954) mdpl) di pulau Mindanao, Philipina juga perlu dipertimbangkan walau bisa disimpan dulu di urutan akhir karena biaya penerbangan ke kota terdekatnya, Davao, bisa lebih mahal daripada ke kota Kinabalu maupun Hanoi.

Setelah puncak-puncak ASEAN dilengkapi maka tak ada salahnya dilirik juga adalah puncak-puncak di bumi sebelah Selatan yaitu di Australia dan Selandia Baru. Gunung Kosciuzko bahkan merupakan sebuah puncak benua walau ketinggiannya hanya 2.228 meter diatas permukaan laut –kurang lebih setinggi gunung Bukittunggul di Bandung lalau ada juga Mount Cook (3.724 mdpl) di New Zealand. Bila anda pernah mendaki gunung manapun di Indonesia kelihatannya menggapai puncak Kosciuzko tak akan terlalu memberatkan. Ini tentu saja bila kita memiliki dana extra untuk jalan-jalan, karena perjalanan akan lebih mahal bila melancong kesana dan tak bebas visa seperti negara-negara ASEAN.

Mendaki puncak gunung manapun merupakan pilihan seseorang, tak ada yang memaksa harus mendaki sebuah gunung. Siapa pun bebas memilih pengkategoriannya masing-masing bahkan tak usah ada kategori sama sekali, karena mendaki gunung hanyalah sesederhana mendaki sebuah gunung. Seperti kata Mallory, because it is there. Namun dengan sedikit romantisme anda juga dapat membuatnya menjadi sebuah rangkaian pendakian yang agung dan indah, suatu tema petualangan yang bisa menginspirasi kehidupan. Sesuatu yang layak diperjuangkan.

Dalam skala lebih kecil pun kita bisa membagi nusantara ini ke dalam tujuh kawasan kepulauan besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali-Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Maka didapatlah tujuh puncak yang boleh-boleh saja kita katakan seven summits juga.

Ini mirip seven summits yang mendunia itu, namun  dengan skala lebih kecil yaitu nusantara. Maka kita akan mendapatkan Gunung Semeru di pulau Jawa (3.676 mdpl) , Gunung Kerinci (3.805 mdpl) di pulau Sumatera, Gunung Kinabalu (4.095 mdpl) di pulau Kalimantan, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di kepulauan Nusa Tenggara, pegunungan Latimojong (3.478 mdpl) di Sulawesi, Gunung Binaiya  (3.200 mdpl) di kepulauan Maluku, dan Pegunungan Jayawijaya (4.884 mdpl) di Papua.

@districtonebdg

Pesona Sepanjang Trans Sulawesi

10352592_10203172061975184_3015156268942183030_nSemua bermula dari beberapa job yang datang bertubi-tubi dan semuanya bertempat di bumi Sulawesi. Mulai dari Gowa di Selatan hingga Buol di Utara dan Luwuk di ujung Timur. Ah, kenapa tidak, sudah lama nian tak mengunjungi bumi Sulawesi yang indah sejak terakhir pada jaman masa kuliah dan kini sudah tahun 2012. Tentu saja kali ini bukan untuk bercengkerama dengan kabut dan udara dingin di puncak gunung melainkan sebuah perjalanan overland berhari-hari yang tetap dapat menguras fisik yang tidak bugar. Perjalanan yang makan waktu berhari-hari ini melewati jalur pantai sepanjang pesisir Barat pulau Sulawesi dan jalur pegunungan di wilayah Tengah.

Sejak meninggalkan Makassar menuju ke Utara, perjalanan sepanjang pantai membawa kami melewati kota-kota kecil yang tumbuh menggeliat seperti Maros, Pangkep dan Barru. Semakin ke atas perjalanan melewati Pare-pare, Pinrang lalu kemudian berhenti di Polewali Mandar. Setelah menginap di kota pantai ini, perjalanan lalu dilanjutkan menuju kota pegunungan Mamasa.

Setelah didominasi oleh pemandangan pantai sepanjang Makassar hingga Polewali Mandar, kini medan berganti dengan jalan berliku merayapi pegunungan menuju Mamasa yang terpencil di pegunungan. Perjalanan menuju kota yang sering tertutup kabut ini melewati jalan yang berliku menembus hutan perawan di pebukitan. Sayang jalan menuju Mamasa tak bisa dibilang bagus, karena masih banyak yang berupa kubangan dan dibeberapa tempat tampak sejumlah longsoran menutupi bagian jalan. Di kota pegunungan ini berakhirlah perjalanan etape I, karena darisini kami kembali turun ke Selatan menuju Makassar. Didapat kabar bahwa dari Mamasa terdapat jalan menuju Rante Pao, namun entah bagaimana kondisi jalannya sedangkan menuju Mamasa saja sudah rusak.

Etape berikutnya tak dimulai dari Makassar melainkan dari kota Palu menuju wilayah Utara dan Timur, sehingga bolehlah disebut etape II. Pada rute ini kendaraan melaju mengikuti liuk-liuk jalan yang cukup mulus sepanjang bibir pantai yang keindahannya akan membuat siapapun takjub. Horison membatasi birunya Laut Sulawesi yang menghantar deburan-deburan ombak ke pesisir. Pantai tampak begitu bening dengan pasir yang bersih dan nyiur yang melambai genit sehingga memaksa kami berhenti sejenak dibeberapa lokasi untuk sekedar melebur pada keindahan pantai dan mengabadikannya kedalam memori kamera DSLR. Pemandangan begitu indah sehingga tampaknya tak diperlukan aplikasi photoshop untuk mengeditnya.

Etape ini bermula dari Palu menuju Donggala, lalu perjalanan sepanjang pantai yang indah dari kota ini membawa kami kembali melewati Palu untuk terus menuju Toli-toli lalu berhenti Buol. Sebuah penginapan di pinggir pantai yang tenang menjadi tempat kami beristirahat

“Dahulu Buol merupakan hutan lebat, kayu-kayunya sebesar ini,” kata pengelola penginapan membentangkan tangannya. Ia sebelumnya pernah menjadi seorang grader di perusahaan logging di era kejayaan industri kayu disini.

Sisa-sisa kelebatan hutan memang masih terlihat di pinggiran, namun jelaslah bahwa sektor perkebunan dan tambang kini yang menjadi primadona disini. Entah berapa puluh ribu hektar hutan yang dibuka untuk perkebunan sawit disini.

“Tak ke Manado sekalian?” tanyanya saat tahu kami datang jauh dari Makassar. Waduh kapan pulangnya kalau begitu, pikir kami.

Setelah beristirahat di Buol, kembali kami turun ke Tengah untuk menuju Poso untuk kemudian terus melaju ke arah Timur demi bersua pelabuhan Luwuk yang legendaris. Kami tak melewati Palu namun mengambil jalan yang lebih ke Timur yaitu sejenak beristirahat di Perigi Moutong. Darisini perjalanan dilanjutkan menuju Poso yang selalu tampak menyimpan bara dalam sekam. Kontras sekali dengan keindahan pebukitan coklat menghijau disekitarnya yang memendam kedamaian. Menuju ke arah Timur terlewati kota-kota kecil yang bertumbuh seperti Uekuli, Ampana,dan Bolaang. Perjalanan terhenti di kota pelabuhan Luwuk yang ramai, yang merupakan akhir dari perjalanan etape II karena setelah menginap disini kami berbalik arah lagi menuju Palu.

Secara umum kondisi jalan trans Sulawesi cukup baik, ditambah pemandangan pantai yang indah menjadikan perjalanan menjadi tak membosankan. Tentu saja perlu dimaklum bila kondisi jalan bergelombang bila terpaksa melewati jalan desa. Keamanan juga tampaknya tak terlalu menyeramkan dibanding perjalanan malam hari di beberapa tempat di trans Sumatera dan Kalimantan. Tentu hal yang berbeda bila dalam kondisi konflik.

Walaupun beberapa kali jalan dibelokkan ke kampung karena perbaikan jembatan dan melewati jalan berlumpur, rasanya tak diperlukan mobil khusus untuk melintasi jalur Trans Sulawesi yang kami lalui. Sebuah mobil rental biasa dengan kondisi segar dan driver dengan pemahaman jalur yang baik sudah cukup memadai. Dan tentu saja, sebuah hasrat untuk bertualang ke tempat-tempat baru. @districtonebdg

 

Mengunjungi Canton Fair di Guangzhou

 

imagesPesawat Garuda mendarat sekitar pukul dua siang di bandara internasional Baiyun, Guangzhou. Waktu yang cukup ideal untuk melakukan pergerakan selanjutnya. Berbeda bila mendarat malam hari memakai AirAsia, dimana kehidupan terasa berhenti saat hari mulai gelap di kota ini.
“Make Garuda mah teu karasa penerbangan opat jam oge,” ujar Bar.
“Enya, teu kawas make AirAsia cengo dijalan,” sambut Dunga menyatakan persetujuannya.

Wah, keren sekali backpakeran pake Garuda kedua kawan kita ini ya, padahal biasanya bergelantungan di maskapai budget seperti AirAsia dan Tiger Airways. Tak disengaja sebetulnya, saat telah memutuskan akan bertolak ke Guangzhou tiket pp AirAsia adalah seharga 4,3 juta. Dunga mengusulkan membeli tiket Garuda saja yang kebetulan sedang promo degan harga 5,3jt. Masuk akal, karena bila menggunakan AirAsia pasti transit di Kuala Lumpur sekitar 5 jam, dan baru tiba  sekitar pukul sembilan malam.  Ketibaan malam hari di negeri orang yang belum terlalu familiar tentu kurang mereka sukai sehingga pilihan ini sepertinya lebih cocok. Lagipula lumayan menghemat makan  sekali.

Dari bandara Baiyun mereka segera menuju Pazhou, tempat diadakannya Canton Fair. Perjalanan ini cukup jauh, memakai subway dengan sekali pergantian line kereta di stasiun Kacun. Setengah jam kemudian mereka pun tiba di Pazhou dan segera terkagum-kagum dengan skala bangunan dikawasan ini.

“China mah sok tara kagok mun nyieun nanaon teh,” decak Bar kagum. Namun kini yang lebih penting adalah mencari penginapan yang sudah dipesan Dunga di web HostelBooker. Ini pun ternyata tak begitu saja mudah ditemukan, karena penginapan terletak di lantai delapan sebuah gedung apartemenrumah susun. Kamar 803 tepatnya. Bila orang-orang bisa memahami sedikit bahasa Inggris saja, mungkin tak akan memakan waktu lama menemukannya. Namun tanpa petunjuk, baru sejam lebih tempat itu ditemukan. Itupun  setelah ada satpam yang berbaik hati mengantar, tanpa saling bisa komunikasi sepatah kata pun.

“Mun teu kapanggih mah sare di taman we lah,” sempat Dunga memberikan usulnya yang sering tergolong ekstrim itu. Bar menolak mentah-mentah ide itu. Memangna urang pot kembang, pikirnya.

Hari ini  mereka belum berencana memasuki arena Canton Fair karena  sudah menjelang sore, setelah mendapatkan kamar di dormitory yang dituju mereka mengisi waktu dengan berjalan-jalan. Tak banyak yang bisa dilihat di Pazhou, karena kawasan ini sepertinya dibangun khusus gedung-gedung untuk pameran internasional. Tanpa ada pameran, kawasan ini seperti blok kota yang mati.  Namun sepertinya tak perlu khawatir hal itu akan menjadi kenyataan, karena akan selalu ada pameran disini. Kegiatan bongkarmuat selalu riuh pada malam hari, mengangkut material yang dipakai oleh pameran. Walau arena Canton Fair  juga khusus dibangun berupa bangunan futuristik yang menyerupai gelombang air, namun di sekeliling arena Canton Fair banyak pula gedung-gedung tempat pameran yang megah. Pameran dari satu gedung ke gedung yang lain, demikianlah sepertinya kehidupan di kawasan Pazhou ini.

Esoknya barulah mereka kasak-kusuk mencari informasi untuk bisa menghadiri even kolosal itu. Selidik punya selidik ternyata tidak gratis, harus registrasi dengan persyaratan membawa kartu nama, pas foto dan biaya pendaftaran sebesar 100 CNY (sekitar Rp 200,000). Selain menyertakan identitas paspor tentu saja.

Mereka sempat tercenung, karena tak membawa persyaratan yang diperlukan. Yah, nasi sudah menjadi buryam karena kemalasan untuk browsing informasi dan terbiasa grasak-grusuk saat bepergian.

“Cabut we foto tina visa,” Bar tak ragu mencongkel foto visanya. Lalu mereka memeriksa dompetnya masing-masing, siapa tahu masih ada kartu nama terselip.

“Aya tapi ngan hiji euy,” katanya. Ternyata masih ada kartu nama jadul, sayang dompet Dunga tak memunculkan keajaiban serupa.
“Euweuh euy..jigana dina dompet hiji deui teu kabawa,” keluh Dunga hopeless.

“Engke pas pendaftaran bejakeun we hiji kartu nama keur duaan,” usul Dunga. Apa boleh buat, semoga petugas registrasi bisa menerima.

Sebelum gate registrasi, banyak anak-anak muda sepertinya mahasiswa yang menawarkan jasa penerjemah. Jadi tak perlu khawatir bila tak paham bahasa China, banyak pelajar disini yang siap menerjemahkan keperluan komunikasi pengunjung dengan penjaga stand pameran.

“Teu kudu make penerjemah lah,” ujar Dunga percaya diri,” yeuh make ieu we pasti ngarti.” Dunga menunjukkan kalkulator yang dibawanya. Bar agak sangsi namun sepakat karena uangnya pun sudah tersedot oleh registrasi yang mencapai 100CNY.

Sebelum masuk mereka mengisi semacam formulir, lalu kartu nama dan foto dijepret pada formulir itu. Apabila tak membawa foto ternyata ada sesi pemotretan, tentu dengan biaya tambahan.  Kekurangan katu nama pada formulir Dunga ternyata bisa dimaklumi oleh petugas registrasi, sehingga akhirnya tercetaklah boarding pass untuk memasuki pameran. Merekapun lega.

Canton Fair adalah pameran perdagangan yang diselenggarakan pada musim semi dan musim gugur musim setiap tahun sejak musim semi tahun 1957 di Canton (Guangzhou), China. Sejak tahun 2007  namanya diganti menjadi  China Import and Export Fair. Even ini merupakan pameran perdagangan terbesar di Cina. Di antara pameran-pameran dagang terbesar China lainnya, ia memiliki sebagian terbesar produk, kehadiran terbesar, dan jumlah terbesar transaksi bisnis yang terjadi.

Canton Fair diresmikan pada musim semi 1957 dengan waktu penyelenggaraan dua kali setahun ini diprakarsai oleh Departemen Perdagangan RRC dan Pemerintah Rakyat Provinsi Guangdong. Waktu penyelenggaraannya setiap musim semi (April-Mei) dan musim gugur (oktoer-November). Sejak dimulainya pada tahun 1957, Canton Fair telah diselenggarakan sebanyak  114 kali. Artinya, selama lebih dari setengah abad, dukungan dan kepercayaan dari pembeli di luar negeri dan peserta pameran tak pernah terganggu oleh isu-isu diluar perdagangan. Area pameran terbagi dalam tiga gedung yang megah dengan arsitektur futuristik seluas  total 1,16 juta meter persegi dengan  jumlah peserta pameran dari dalam dan luar negeri lebih dari 24.000. @districtonebdg

Perjalanan Empat Puluh Jam Dari Utara Ke Selatan Vietnam

10268413_508279635962015_2750692301835215171_n By Andreas Polin Situmorang

C: just hard seat no air conditioner, slow train, it needs fourty hour to Saigon..
“Waktu kami tidak banyak, kami harus cepat kembali ke Saigon, pikirku.”
“Kami saling berhadapan, bertatapan dan saling mengangguk, pertanda setuju”
M: “Ok, i take it two tickets”
Begitu kira2 percakapan saya dengan petugas ticketing di stasiun Hanoi.
Harga tiket memang murah mengingat jarak tempuh yang sangat jauh. hanya 650.000 VND/ orang (sekitar 380rb Rupiah), dibanding kelas Soft seat 1.250.000 VND. Ada banyak macam kelas penumpang yang disediakan, yaitu; hard seat non ac, hard seat w/ ac, soft seat w/ ac & soft sleeper. Perbedaan tiap kelas terlampau jauh harganya..
Saat menempuh Saigon-Dong Hoi-Hanoi, kebetulan kami mendapatkan tiket dengan kelas soft seat w/ac, untuk kelas ini kurang lebih sama dengan kelas bisnis di Indonesia..
Ini hari ke enam saya di Vietnam bersama Stefanus yang merupakan perjalanan backpacker saya pertama kali ke negeri orang. Sebelum berada di Hanoi, saya terlebih dahulu mengunjungi Taman Nasional Phong Nha Ke Bang di Provinsi Quanh Binh.
Singkat cerita, waktu untuk boarding pun sudah tiba, kami berdua mulai masuk ke gerbong yang ditentukan.
Jreeng.. Buset ekstrim amat! Bangkunya benar2 “Hard”, Keras cui! Ditambah bentuknya yang 90˚ (gimana cara tidurnya nih).
Suhu di Hanoi yang mencapai 39˚, membuat para penumpang kelas ekonomi ini seperti sedang dikukus. Para pria-pria macho bak bruce lee dengan pede bertelanjang dada, berharap mengurangi keringat yang diproduksi. Kipas angin tidak membantu sama sekali. Satu lagi, yang membuat semakin sempurna, toilet!
Orang-orang membawa banyak macam, karung-karung besar, ada yang membawa beras, sembako, makanan berat dan material2 aneh lain. Yak, seperti hendak mengembara jauh, benar saja Hanoi-Saigon berjarak sekitar 1800 km. Kondisi ini tentu saja begitu kontras dengan kereta kelas soft seat. Kalau begini rasanya sudah seperti penjara berjalan dengan masa kurungan selama 40 jam..
Duong Sat Vietnam kalau di (Indonesia PT.KAI), menawarkan perjalanan dari ujung selatan ke ujung utara dan sebaliknya. Kereta pasti berhenti di stasiun-stasiun besar, jadi jangan takut mengelilingi negeri paman Ho ini dengan menggunakan kereta api. Kalau di Indonesia penumpang biasanyaa menunggu kereta langsung di peron stasiun, tetapi di Vietnam penumpang harus tetap menunggu di lobby sampai kereta kita benar-benar datang. di Vietnam stasiun itu artinya “GA”, Ga Hanoi, Ga Sai Gon, Ga Nha Trang, dst
Sepanjang perjalanan kereta melintas melewati pemandangan yang menarik, kereta menembus terowongan tua ditengah perbukitan, hamparan sawah yang melimpah, muara-muara, dan megahnya kawasan karst di daerah Ninh Binh Province.
Kereta melipir mengikuti kontur dipinggir kanan Vietnam sehingga penumpang bisa melihat Pantai barat vietnam dan lautan cina selatan..
Pada kelas ekonomi ini. semakin malam, kondisi kereta semakin mengerikan, penumpang makin beringas, mereka berlomba-lomba untuk mencoba posisi setidak sopan mungkin.. lebih parah daripada kondisi kereta ekonomi di Indonesia, tikar digelar, mereka tidur diantara kedua bangku yang saling berhadapan, ada yang tidur bawah bangku persis malahan..
Kalo waktu ngga mepet dan uang mencukupi, saya sarankan menggunakan kelas soft seat atau bahkan naik pesawat saja…
Kalau pada musim dingin mungkin kereta lebih nyaman, kalau kemarau panasnya sangat terasa.
Jangan lupa bawa perbekalan untuk didalam kereta. Satu cara ampuh untuk tetap Survive di kereta hard seat non ac vietnam, SABAR.. ingat saja, “segala sesuatu yang dimulai pasti ada akhirnya” hehehe…
Wanna try?

Bangkok Eksplore II

10302027_10203796430855072_7031368175738892181_nSiam merupakan sebuah pusat pertokoan yg sangat sibuk & ramai. Kami pun berjalan menikmati keramaian dengan pelukan mentari siang hari yg menyengat.
Selepas dari wilayah Siam, kami melihat dari jauh banyak tenda2 dome didirikan di tengah pedagang kaki lima.
Rupanya tenda dome itu berisi para demonstran Bangkok Shutdown, hmm… Bangkok masih bergejolak rupanya, beberapa jalanan sekitar masih diblokir oleh ban2 bekas yg ditumpuk. Pos pos tentara bertebaran dimana2, sementara beberapa demonstran berorasi.
Saat itu sudah lewat tengah hari, kami pun memutuskan untuk makan siang di salah satu warung kaki lima yg terletak di sekitar tenda2 para demonstran sambil ingin sedikit menikmati suasana saat itu.
Usai makan siang kami berniat menuju Sukhumvit, karena kaki mulai tidak bisa diajak kompromi, maka kami memutuskan untuk menggunakan Tuktuk, sebuah alat transportasi sejenis Bajaj.
Tapi kami heran, beberapa Tuktuk yg kami stop seperti enggan mengantarkan kami ke Sukhumvit, klo pun ada mereka memasang tarif tinggi. Karena budget terbatas, kami pun melanjutkan dengan berjalan kaki kembali.
Di tengah perjalanan kami melihat mobil patroli polisi banyak berseliweran dengan membunyikan sirine, di sisi lain beberapa militer dalam posisi siaga. Saat melewati salah satu persimpangan jalan protokol, saya melihat para demonstran mulai merangsek, bergerak ke arah pusat kota, sebagian berjalan kaki sebagian lagi mengendarai bus sambil berorasi.
Suasana cukup mencekam ditambah dengan cuaca yg berubah mendung diiringi angin yg semakin berhembus kencang.
Ketika tiba di Monumen Raja Rama I, saya melihat para demonstran tumpah ruah di situ.
Sementara cuaca semakin mendung, awan hitam menggelayut di udara, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel di Khaosan Rd. Kami pun menyetop Tuktuk, kali ini pengemudi Tuktuk mau mengantar kami ke arah sebaliknya dari Sukhumvit, rupanya para supor Tuktuk menghindari jalanan yg dilalui para demonstran.
Tuktuk pun melaju kencang mengantar kami dengan tanpa banyak tawar menawar. Di tengah perjalanan hujan turun dengan deras diiringi angin kencang.
Setiba di Khaosan Rd, kami langsung berlari menembus derasnya hujan menuju hotel. Dan perjalanan hari itu diakhiri dengan pakaian yg basah kuyup…
Sungguh hari yg luar biasa bagi saya, rasa lelah & letih terbayar oleh sensasi petualangan ala backpacker di sebuah kota di negeri gajah putih, Bangkok yg eksotis…

Bangkok Eksplore I

10363938_10203796430815071_7370428090637771224_nCuaca pagi yg cerah menaungi kota Bangkok, saya & Bobby melangkahkan kaki dari hotel untuk memulai aktifitas.
Target awal adalah sarapan! Sbg charging energi untuk mengeksplorasi jalanan kota Bangkok.
Berbekal air mineral botol, map & kompas kami keluar kawasan Khaosan Rd. Bobby sang spesialis mapping mulai menggelar peta dan menetukan arah yg akan dituju.
Ada satu misi yg dituju pada perjalanan kami kali ini. Kami harus orientasi medan untuk sebuah event yg sudah lama menjadi obsesi kami, komunitas District One, yaitu ekspedisi Backpacker Indochina.
Setengah jam sudah kami berjalan, saat melewati sebuah kawasan, kami melihat jajaran toko yg menjual perlengkapan Army Look.
Sekilas saya teringat kawasan Jatayu ata Malabar di Bandung yg banyak menjual perlengkapan sejenis itu.
Lalu kami masuki salah satu toko di situ sekedar belanja mata, wow!! Keren2, semua barang mempunyai merk yg memang sudah kami kenal sebagai spesialis Tactical Army Series.
Sebelum kami kepincut lebih jauh, segera kami lanjutkan perjalanan menelusuri kota. Tidak berapa jauh kami menemukan sebuah kedai makanan, hmm…harum masakannya menggugah perut yg memang sudah menggeliat. “Hallo” sapa pelayan kedai saat kami masuk. “Hallo” balas kami. “What do you have for eat?” Tanya saya dengan bahasa Inggris tingkat Tarzan. Rupanya kedai itu baru buka & masih bebenah, perlu diketahui aktifitas di kota Bangkok rata2 dimulai pukul 10.00 waktu setempat.
Si pelayan ternyata tidak bisa berbahasa Inggris, dia menunjuk ke arah etalase yg berisi berbagai macam jenis baso & mie. “Is this beef or pork?” Tanya saya. Si pelayan yg berjumlah dua orang saling pandang, bingung. “Ok, is this” saya acungkan dua telunjuk ke kepala seperti tanduk sambil bersuara “mooo…” Or “grok !..?”
Akhirnya mereka mengerti dan menunjuk ke salah satu tumpukan baso..”This is mooo…”. “Ok, I want this” ujar saya. Hehehe rupanya untuk backpackeran tidak selalu harus bisa bahasa Inggris tingkat fluent, Inggris Tarzan asal saling mengerti, interaksi pun lancar…
Usai mengisi perut, perjalanan kembali kami lanjutkan. Tujuan selanjutnya adalah Wat Pho, sebuah kuil Budha yg di dalamnya terdapat patung sleeping Budha dengan ukuran raksasa.
Saat masuk kami harus membeli ticket seharga 100 Baht.
Wat Pho ini dibangun oleh Raja Petraja dan kemudian dilanjutkan oleh Raja Rama I kerajaan pertama dari periode Rattanakosin.
Di dalam kompleks kuil banyak sekali tourist2 asing yg berkunjung. Rata2 mereka ikut dalam rombongan agen wisata.
“Wah, ada orang Indonesia nih”. Ujar Bobby tiba2, terlihat dari salah satu rombongan ada yg memakai dress code bertuliskan “Semen Tonasa”. Kami lalu menghampiri salah satu dari mereka. “Dari Indonesia pak?” Sapa saya. “Iya, bapak Indonesia juga?” Balasnya. Hehehe, kita berjabat tangan. Bersua rekan satu negara di negeri orang terasa menyenangkan.
Cukup lama kami berkeliling di dalam kompleks Wat Pho sampai akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Matahari sudah di atas ubun2 saat itu, tujuan kami selanjutnya adalah kawasan china Town. Kawasan ini terletak di tengah2 pusat perdagangan elektronik, onderdil kendaraan, dll. Mengingatkan saya pada kawasan Pecinan di Bandung seputar Jl. ABC, Pasar Baru & Banceuy.
Tidak jauh dari China Town terdapat stasiun MRT (Mass Rapid System) atau Subway salah satu alat transportasi di Bangkok selain BTS (Bangkok Train System) atau Skytrain.
Setelah membeli ticket seharga 42 Baht, kami mengendarai MRT dengan tujuan Chatuchak Park, sebuah kawasan perdagangan yg hanya ada pada saat weekend.
Tiba di Chatchak, kami melanjutkan perjalanan menuju Siam dengan menggunakan BTS.
Wah, saya serasa menjadi Antareja terus berubah menjadi Gatotkaca, dari grusukan di dalam tanah terus terbang ke langit hehehe,,,

Mekong, Mother of Rivers

10277581_10202941962462840_5961022317567852782_n

Matahari mulai meredup di Vinh Long, saat perahu yang kami tumpangi menepi ke sebuah pasar yang terletak di tepi sungai. Setelah seharian menyusuri delta sungai Mekong dari Cai Be, kini para penumpang perahu naik ke daratan. Kota Vinh Long merupakan salah satu dari sekian banyak kota kecil di tepi sungai di delta Mekong, Vietnam. Kota-kota lain adalah Cai Be, My Tho, Can Tho dan sebagainya.

Semakin mendekati tepian sungai legendaris ini, semakin kita akan merasakan aura kekuatannya. Sejenak dalam suasana temaram menjelang senja, di tepian sungai yang amat disanjung ini, siapapun akan merasakan sebuah koneksi yang samar ke para pionir terdahulu yang pernah menjelajahi sungai ini. Saya mencoba membayangkan sensasi serupa yang dirasakan oleh para anggota ekspedisi Lagrée-Garnie dari Prancis hampir 150 tahun sebelumnya kala melakukan penjelajahan sungai Mekong pertama kalinya.

Suasana yang mulai meremang memunculkan semacam dejavu.  Senja di sungai raksasa ini mengingatkan pada perjalanan beberapa bulan sebelumnya di Vientianne, ibukota Laos. Sensasi yang serupa juga dirasakan di tepian sungai ini kala menatap senja yang meluruh perlahan di kota Thakek, Laos. Kini di wilayah Selatan negara Vietnam, aliran sungai raksasa ini seakan kembali menghampiri.

Perjalanan darat di negara-negara Indochina seperti tak terlepaskan dari aliran sungai legendaris ini, riaknya seakan selalu berada disamping mengawasi kita. Kala menyeberang dari Nakhon Phanom (Thailand) menuju Thakek kita juga akan melewati sungai ini. Juga kala menyeberang dari Nong Khai (Thailand) ke Vientiane. Dalam perjalanan darat lintas negara antara Vietnam-Kamboja, yaitu dari Ho Chi Minh menuju Phnompenh bis akan terhenti sejenak di Neak Luong, Kamboja. Sejumlah kendaraan antri di tepi sungai menunggu giliran dimuat ke dalam kapal ferry untuk menyeberangi sungai Mekong.

Melihat dari dekat sungai Mekong dari kota-kota yang dilaluinya seperti Vientiane, Thakek, Phompenh hingga Vinh Long semakin membuat saya takjub pada skala dari sungai ini dan semakin menghormatinya. Aliran sungai besar yang terdekat dari kota tempat tinggal saya adalah sungai Citarum. Dibandingkan monster ini, sungai terbesar di Jawa Barat yang sanggup menghidupi listrik se-Jawa Bali itu ibarat sebuah parit.

“Aliran sungai Mekong kini sedang surut,” ujar Trung Van Thao, pemandu di Vietnam yang membawa kami di delta Mekong ini, “ bila sedang banjir kita hampir tak bisa melihat daratan.”

Mengunjungi Indochina, sepertinya kemanapun kita akan berjumpa dengan aliran sungai Mekong atau anak-anak sungainya. Detak kehidupan di negara-negara Indochina sangat dipengaruhi oleh denyut sungai legendaris ini, tak salah bila sungai Mekong menjadi merupakan ikon kawasan tersebut. Tak lengkap rasanya bila mengunjungi Indochina tanpa merasakan sensasi keberadaan sungai raksasa yang lebarnya bisa mencapai tiga kilometer ini.

“Bila sungai Mekong banjir, maka sungai-sungai lain seperti Tonle Sap pun ikut meninggi. Bisa beberapa meter, “ ujar pemandu perahu di Tonle Sap, Kamboja.

Nama sungai Mekong berasal dari rumpun bahasa Thai yaitu “Mae Nam Khong” yang bermakna ibu dari sungai-sungai. “Mae” berarti ibu, dan “nam” berarti air. Sungai raksasa ini mengalir melalui enam negara sebelum bermuara di Laut Cina Selatan. Sungai Mekong dengan panjang 4.909 km merupakan sungai terpanjang ke-12  di dunia dan terpanjang ketiga di Asia. Sebagai perbandingan sungai terpanjang di Indonesia adalah sungai Kapuas di Kalimantan Barat dengan panjang 998 km.

Hulu dari aliran sungai raksasa ini terletak di Dataran Tinggi Tibet, dari sanalah aliran air raksasa ini mengalir melalui China di provinsi Yunnan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam. Sungai adalah rute perdagangan utama menghubungkan provinsi China barat daya Yunnan ke Laut Cina Selatan melalui Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam, sehinga merupakan akses yang sangat berharga bagi kota-kota disekitarnya untuk mencapai laut dan perdagangan internasional.

“Tanpa sungai Mekong, negara kami akan benar-benar terisolasi,” jelas Mee seorang pemandu di Thakek, Laos menekankan pentingnya sungai ini bagi negaranya. Laos merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tak terhubung ke laut, sehingga peranan sungai Mekong sangat vital bagi negara ini.

Sungai Mekong sangat mempengaruhi denyut kehidupan dan perekonomian ketujuh negara yang dilaluinya. Sebuah perubahan dalam aliran sungainya di suatu negara akan berdampak besar di negara lain, bahkan bisa mempengaruhi iklim dunia. Inilah yang menjadi tantangan ke depan bagi ketujuh negara yang wilayahnya dilalui oleh sungai Mekong. @districtonebdg

Terbawa Santai di Vientianne

oleh Ario PB Rachman

10154091_10202934083985883_2205435077118712380_nMemasuki Ibukota Laos, Vientianne (atau Vian Chang) seperti flashback Jakarta pada tahun 1960 – 1970an. Mungkin yang tidak sesuai dengan semangat flashback adalah banyaknya mobil-mobil luar negeri keluaran terbaru yang berseliweran di jalan yang seperti menyadarkan kami bahwa ini bukan perjalanan ‘back to the past’. Jalan-jalan yang sepi dan suasana samping jalan yang masih diselingi oleh tanah-tanah kosong dan rerumputan liar menambah ke eksotisan kota ini, ditambah dengan bangunan-bangunan klasik era pendudukan Perancis yang seakan menyapa kami dengan tatapan angkuhnya menandakan bahwa kuatnya aroma klasik kota ini yang hampir tidak tersentuh modernisasi. Tentu saja hal ini berubah ketika kami melewati pusat kota dan bergerak menuju kawasan padat wisatawan seperti di daerah Fa Ngum Rd, Luang Prabang Rd, Lane Xang rd. Banyak hotel megah dan mesin-mesin ATM seakan hendak menutupi keindahan klasik dari kota yang berpenduduk 822.433 ribu jiwa ini.

Patuxai Monument
Di ujung Kaysone Phomvihane Rd, kami disambut oleh sebuah bangunan yang mirip dengan ‘Arch de Triomphe’ nya Perancis, Patuxai atau Patuxay. Bangunan ini dibangun pada tahun 1957 dan selesai pada tahun 1968. Dahulu monumen ini bernama Anousavali yang berarti “Kenangan”. Setelah Komunis Pathet Lao menguasai Laos, nama monumen ini dirubah menjadi Patuxai, artinya “Gerbang Kemenangan”. Bangunan yang konon juga dibangun dengan dana dari Amerika Serikat untuk membangun sebuah landasan udara pada era Perang Vietnam di 1960an. Pemerintahan Laos malah membangun monumen ini dengan dana dari AS. Akhirnya kadang monumen ini disebut juga sebagai ‘Vertical Runway’. Lepas dari Patuxai, kami memasuki Setthathirath Rd, dan berbelok ke Manthathurath st., tempat dimana kami menginap, di Samsenthai hotel. Keadaan di sini dan terutama Fa Ngum rd sangat berbeda dengan keadaan di luar kota Vientianne. Disini terlihat sangat modern dan penuh wisatawan manca negara, tidak berbeda jauh dengan Bali pada high season.

Chao Anuvong Park
Hari pertama kami lakukan dengan berjalan-jalan di tepi sungai Mekong, yang dijadikan taman besar oleh pemerintah kota Vietianne, yang membentang sepanjang jalan Fa Ngum rd., dan pandangan kami tertuju pada sebuah patung besar di tepi sungai Mekong menghadap ke perbatasan Thailand, dengan tangan kiri memegang pedang dan tangan kanan menjulur ke bawah depan dengan posisi 45 derajat seakan membuat batasan. Ternyata patung tersebut adalah patung Chao Anuvong, salah satu Raja di Vientianne pada masa kerajaan Lan Xang (1767 – 1829). Taman tersebut didedikasikan atas namanya, yaitu Chao Anuvong Park. Banyak orang Laos menyebut Raja Chao Anuvong adalah pahlawan, yang memberontak dari Kerajaan Siam (Thailand), dan mati dalam penjara kerajaan Thailand setelah pasukannya dikalahkan dan Vientianne diratakan sebagai hukuman atas pemberontakannya. Tangan kanan yang menjulur ke depan dengan posisi menghadap ke wilayah Thailand di tepi sungai Mekong seakan menyeru dengan gerakan tubuh kepada rakyat Thailand dengan arti “This is My Land”. Taman dan Patung diresmikan oleh Presiden Laos pada tahun 2010. Figur Chao Anavong ini menandakan bahwa memang masyarakat Laos membutuhkan figur ‘heroes’ dengan mengaitkan cerita masa keemasan kerajaan Lan Xang dengan pemerintahan sekarang (pendiri Pathet Lao, merupakan pangeran dari kerajaan Lan Xang juga) sehingga sejarah mulai dari Kerajaan Lan Xang (Sejuta Gajah dan Payung Putih) sampai ke pemerintahan Lao PDR sekarang berkaitan erat.

Restoran Halal dan Mesjid
Kembali ke daerah Fa Ngum Rd (ternyata nama-nama jalan disini adalah nama-nama raja Laos pada periode kerajaan Lan Xang), ada 2 restoran muslim yang sudah terkenal namanya di pelbagai blog pribadi dan buku wisata untuk wisatawan muslim atau yang tidak suka babi. Restoran Fathima terletak di Fa Ngum Rd (dari hotel kami berjarak 70 meter) keluar dari Mathaturath st ke arah Fa Ngum rd lalu berbelok ke kiri. Sementara Restoran lain adalah Noor Restaurant, dari Mathathurath st ke arah Fa Ngum Rd berbelok ke kanan, sekitar 200 meter. Perbedaan dari keduanya adalah di Fathima, ada personel restaurant yang bisa berbahasa Malay, sehingga komunikasi akan dapat berjalan dengan baik, sementara di Noor, hanya bisa berbahasa Inggris.
Seperti yang telah dibahas dalam beberapa blog, Vientianne memiliki sebuah mesjid yang dibangun oleh komunitas Islam di Vientianne, kebanyakan dari India dan burma. Mesjid ini terletak di jalan kecil seberang National Library of Vientianne, di Setthatirath Rd., masuk ke gang kecil dan terletak di sebelah kiri jalan. Sayang, pada saat kami meninjau lokasi tersebut, tidak banyak orang yang sedang beribadah di sana, sehingga kami tidak mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang keberadaan mesjid tersebut.

Pasar Kaget Malam Minggu di Chao Anuvong Park
Seperti halnya Gasibu di Bandung, ternyata pada malam minggu terdapat pasar kaget di Chao Anuvong Park, yang lokasi pasar malamnya terletak tak jauh dari Restoran Hor Kang. Pengunjung dari pasar malam ini bukan hanya penduduk dari sekitar Fa Ngum rd, akan tetapi juga turis manca negara. Berbagai pernak-pernik dijual disini dan tentunya dengan harga yang miring dibandingkan dengan barang yang sama diperdagangkan di mall seperti mall yang terletak di samping Morning Market (Tallasau). Barang-barang yang diperdagangkan seperti cendera mata, ukiran, kain-kain tradisional khas Laos, sendal, kaus oblong dan sampai kepada jaket-jaket tentara peninggalan US Army. Akan tetapi untuk komoditi yang terakhir ini, jangan salah menilai bahwa ini merupakan jaket replika. Ini jaket jatah asli Angkatan Bersenjata Amerika dengan beberapa cap dan jahitan otentik serta nama pengguna terdahulu, lengkap dengan tanda kepangkatan dan badge dimana sang empunya dulu bertugas. Minat masyarakat Laos terhadap jaket militer AS ini cukup tinggi, di tandai dengan seringnya kami menemukan orang seperti pengendara Tuk-tuk memakainya. Akan tetapi harganya juga cukup mahal. Rekan penulis mencoba bertanya berapa harga sebuah jaket long-coat US Army di pasar ini, dan harga pembukanya adalah sebesar 750.000 Kip atau 862.500 Rupiah.

Eksotisme Kota Tua Luang Prabang

oleh Stefanus Wong

1480659_10202925796898711_287437094117783424_nLuang Prabang merupakan kota bekas pusat pemerintahan kerajaan diabad XIII di mana segala aktivitas pemerintahan kerajaan berjalan disini dan sekarang merupakan sebuah situs warisan dunia yang diakui dan dilindungi UNESCO sebagai tempat yang memiliki sejarah unik. Sebuah kota yang terletak di utara Laos dan kurang lebih 450 km dari ibu kota vientiane, menyimpan sebuah karya keindahan tatanan kota yang dipadu dari dua latar belakang budaya yang berbeda yaitu budaya setempat dengan budaya barat, khususnya Perancis.

Perjalanan yang kami tempuh berawal dari Vientiane melalui terminal antar propinsi yang melayani ke jurusan utara Laos. Dengan ongkos 140 ribu kip per orang, kami naik bus VIP ke Luang Prabang. Jarak 450 km kedua kota biasanya ditempuh sekitar 11 jam. Sepanjang perjalanan, bus melewati perjalanan yang cukup lancar karena dengan perbandingan penduduk yang sedikit tidak banyak kendaraan pribadi yang melintas sepanjang perjalanan ini. Perjalanan harus melewati lika-liku tikungan pegunungan sehingga cukup membuat perut terkocok dan mual jadi disarankan meminum obat anti-mabok sebelum berangkat.

Setibanya di Luang Prabang, kami segera disambut dengan hawa dingin kota tua ini. Walaupun kota berelevasi 200-an meter dari permukaan laut namun hawa dingin terhembus dari pegunungan yang mengelilingi kota Luang Prabang. Berjalan-jalan ditengah kota ini kami merasakan kenyamanan kota yang rapi, bersih, sejuk serta penduduk yang ramah.

Kota yang dikenal dengan perpaduan dua budaya dalam gaya arsitektur di mana kota ini disamping memiliki gaya bangunan modern Eropa Barat abad 18 juga masih berdiri kokoh bangunan tua kerajaan abad 13.
Disinilah letak keunikan kota tua ini karena masih menyimpan seni gaya bangunan dua budaya berbedaya yang masih terawat dengan baik. Kita bisa melihat dari bangunan pertokoan dan perhotelan di tengah kota dengan gaya modern eropa barat serta bangunan kuil serta museum-museum merupakan bangunan yang bercorak setempat.

Di kota ini juga masih menjalankan upacara sedekah biksu. Setiap pagi, para biksu akan keluar dari kuil dengan membawa semacam keranjang yang gunanya untuk mengisi sedekah dari orang yang akan mengasihnya. Warga setempat percaya bahwa dengan memberi sedekah kepada biksu, maka mereka akan mendapatkan rejeki yang lebih besarnya nilainya dari pemberian mereka. Tidak hanya penduduk setempat, para wisatawan pun juga turut ikut melaksanakan upacara ini dan dengan posisi berlutut menyiapkan sedekah yang berupa makanan dan uang untuk memberi para biksu yang akan lewat sepanjang trotoar. Para biksu yang berbaris rapi dengan dimulai dari biksu paling tua hingga biksu yang paling muda berjalan sepanjang trotoar untuk mencari sedekah dari kebaikan orang-orang. Upacara yang sangat unik ini banyak juga dimanfaatkan para wisatawan untuk mengambil gambar mereka.
Ditengah kota Luang Prabang ada satu tempat yang dikenal dengan nama Phou Si, merupakan daerah yang landai dan diatas bukit ini ada kuil yang juga dikenal dengan nama kuil Phou Si, konon katanya dikuil ini ada patung Buddha tidur terbesar di Laos. Dari daerah ini juga bisa melihat secara jelas kota Luang Prabang karena di bukit inilah merupakan tempat tertinggi di tengah kota Luang Prabang.

Tidak jauh dari Phou Si, masih dalam jalan yang sama yaitu jalan Sisavangvong, ada pasar malam yang berjualan berbagai macam souvenir, sutra, pakaian dan makanan-minuman. Disinilah tempat para turis berbelanja dan menghabiskan uang. Selain itu, keindahan malam kota ini bisa dinikmati dengan makan di pinggir sungai Mekong dan dengan penerangan lampu yang redup serta udara yang sejuk, sangat mendukung dalam suasana nyaman untuk melepas lelah.

Secara umum, kota Luang Prabang merupakan kota yang menarik untuk dikunjungi turis karena selain menyimpan karya-karya arsitektur yang indah, kota ini juga terdapat gua yang banyak ukiran Budha serta memiliki air terjun yang indah. (2011)