Sekilas Cerita TKI di Sabah

sawit

Di hari terakhir di kota Kinabalu, Tomy bersikukuh mencari masakan Indonesia. Toh, walau ada rumah makan Melayu namun citarasanya belum sreg menurut ukuran kami. Setelah berkeliling-keliling akhirnya ketemu juga yang cocok rasanya, murah dan pelayannya lancar berbahasa Indonesia yaitu : warteg! Ya jelas saja, semua pegawainya orang Jawa yang bekerja disana. Namanya saja rumah makan Jawa. Klop..!

“Mas, bayarnya pake ini aja ya,” gurau Tomy seusai makan seraya menyodorkan uang rupiah limapuluh ribuan.

“Lha ndak bisa to mas,” kata pelayannya senyum-senyum.

“Sampeyan Jawanya dari daerah mana?” tanya Tomy lagi.

“Dari Lamongan, mas,” kata si mas.

“Nanti kalo sudah selesai kerja disini mau pulang atau jadi orang Malaysia?” tanya Tomy.

“Ya pulang toh mas wong anak istri masih di Jawa,” ujarnya. Ternyata si mas ini bukan termasuk TKI yang rentan dari sisi nasionalisme.

Warga negara Indonesia yang mencari rejeki di Kinabalu, dan Sabah umumnya cukup banyak. Dibanding pekerja lain dari Bangladesh, Nepal dan Vietnam para majikan di Malaysia lebih menyukai tenaga kerja asal Indonesia (TKI) karena faktor kesamaan budaya, bahasa dan agama yang merupakan kelebihan yang menyebabkan keperluan akan TKI formal sebagai primadona dalam pemenuhan kebutuhan pekerja asing di Sabah.

Menurut catatan Konjen di Kinabalu, WNI legal yang tinggal di Sabah sebanyak 208.792 orang. Sementara untuk TKI ilegal tercatat 217.367 WNI tidak berdokumen. Hingga kini, sudah ada pemutihan TKI ilegal dengan keluarganya melalui pemberian paspor sekitar 200 ribu orang. Ada sekitar 45 ribu anak-anak TKI dan keluarganya yang buta huruf di Sabah, tutur Soepoeno yang tiap minggu turun berdialog dengan TKI di Semenanjung Sabah.

Banyaknya TKI bermasalah disebabkan pintu-pintu masuk dan ke luar ilegal di sepanjang perbatasan Kaltim-Sabah. Rata-rata 2.000 orang per hari masuk ke Tawau dari Kalimantan Timur. Mereka masuk wilayah Malaysia tanpa izin dan tinggal melebihi waktu yang ditentukan. Selain itu juga melanggar kontrak kerja dan izin kerja. Meskipun memiliki paspor sah yang dikeluarkan oleh pewakilan negara masing-masing tetapi tidak dilengkapi izin keluar-masuk wilayah Malaysia.

Di Sabah, ada 4 (empat) masalah utama TKI, yaitu masalah dokumen keimigrasian, pendidikan, perkawinan siri, dan gaji yang rendah. TKI di Sabah sangat rentan dari sisi nasionalisme kebangsaan Indonesia. Dari penelitian yang pernah dilakukan terhadap para pekerja di perkebunan sawit di Sabah, 63 persen responden memilih akan menjadi warga negara Malaysia bila ada kesempatan.

@districtonebdg

Hotel Tertinggi di Asia Tenggara

Laban Rata resthouse and Mt Kinabalu

Jangan bayangkan hotel Stamford, Singapura yang berketinggian 226 meter atau Baiyoke Sky, Bangkok yang menjulang setinggi 304 meter.  Menginap di hotel-hotel itu biayanya tentu selangit untuk ukuran backpacker. Yang dimaksud adalah Laban Rata Resthouse di Taman Nasional Kinabalu, Malaysia. Hotel ini  terletak pada ketinggian  3.272 meter di atas permukaan laut. Jadi, bila menginap disini kita sudah lebih tinggi dari puncak gunung Lawu (3.265 meter dpl) di Jawa Timur. Tak terlalu salah bukan?

Tak perlu khawatir dengan akomodasi karena hotel cukup nyaman dimana tersedia tempat tidur susun, selimut hangat, air panas, pemanas ruangan, dan restoran buffet dengan hidangan ala western maupun Asia.  Syaratnya hanya satu, untuk menginap disini kita harus mengeluarkan keringat sebelum sampai di Laban Rata Resthouse, karena perjalanan menuju ke tempat ini memerlukan waktu 6-7 jam dari Timpohon Gate, pintu masuk start pendakian Taman Nasional Kinabalu,.  Tak perlu membawa perlengkapan naik gunung yang berat, karena semua keperluan sudah. Cukup membawa daypack berisi perlengkapan pribadi.

Kompleks penginapan ini sebetulnya adalah  peristirahatan untuk melakukan pendakian ke puncak gunung Kinabalu keesokan harinya. Namun tentu saja kita bebas untuk menentukan apakah melanjutkan pendakian tiga jam ke puncak atau meneruskan tidur.

Tak ada salahnya melancong ke ibukota negara bagian Sabah ini karena kita akan mendapatkan suasana berbeda yang tak kalah menariknya dimana kota pesisir tertata apik seraya memiliki pula beragam tujuan wisata pegunungan untuk menyambut turis. Wisata alam merupakan andalan pariswisata disini dengan Taman Nasional Kinabalu sebagai daya tarik utamanya. @districtonebdg

Keunikan Danau Tonle Sap di Kamboja

crocodile-farm-tonle-Sap

Danau Tonle Sap yang terletak di provinsi Siem Reap, Kamboja merupakan danau air tawar terbesar di Asia Tenggara. Ketika musim penghujan, air mengalir  masuk dari sungai Mekong dan mengisi danau Tonle Sap sehingga luasnya membengkak hingga  16.000 kilometer persegi dengan kedalaman mencapai 9 meter.  Sebaliknya di akhir musim penghujan, aliran air kembali berbalik dan ikan terbawa ke aliran air Mekong.

Dari kota Siem Reap, perjalanan menuju tepi danau Tonle Sap yang berjarak 11 kilometer akan memakan waktu sekitar 20 menit menggunakan tuktuk dengan melewati jalan yang relatif baik. Karena keterbatasan waktu, sebagian besar wisatawan yang datang ke Siem Reap biasanya hanya mengamati kehidupan di Tonle Sap disekitar  floating village  Khneas Chong yang dihuni oleh penduduk keturunan Vietnam.

Sejak tahun 1997 Tonle Sap telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai cagar biosfer dimana wisatawan dapat menjumpai  beberapa satwa liar yang paling menakjubkan di kawasan ini. Selain beraneka burung, juga beragam kehidupan air yang unik. Yang  paling terkenal adalah  legenda ikan lele raksasa yang dikabarkan masih banyak terdapat disini, konon bisa tumbuh sampai delapan meter.

Beberapa anak kecil akan langsung meloncat ke perahu yang melaju cepat itu dengan membawa softdrink, dan menjajakan barang dagangan mereka. Usaha yang penuh risiko demi mencari rezeki, namun tampaknya mereka sudah terlalu biasa melakukan hal tersebut sehingga tak ada kekhawatiran sama sekali. Di tengah danau perahu motor akan singgah di sebuah rumah makan terapung, kita dapat beristirahat seraya menikmati pemandangan danau yang luas. Beberapa rumah makan memiliki peternakan buaya dalam sebuah karamba besar. Kerajinan kulit buaya seperti tas, memang banyak terdapat di kota Siem Reap. Walau tak diwajibkan, pemilik tempat akan sangat menghargai bila kita membeli minuman atau makanan setelah melihat-lihat disana.  Bila berminat wisatawan pun dapat membeli beberapa jenis suvenir yang tersedia disana.

Namun tiket masuk bagi wisatawan cukup tinggi yaitu USD 20 per orang, sudah termasuk berkeliling di sekitar danau memakai perahu motor namun belum termasuk tip sewajarnya(2012). Saat berkunjung kembali tahun 2016, rupanya ada kreatifitas baru dalam atraksi wisata di Tonle Sap yaitu menawarkan wisata sampan ke dalam vegetasi mangrove di tepi danau. Namun lagi-lagi harganya cukup mahal yaitu USD 20/per orang untuk bersampan selama kurang lebih setengah jam. Walau tak wajib dan lebih merupakan pemberdayaan komunitas, tetap saja harga tersebut terasa berlebihan. (Bandingkan dengan tiket Angkor Wat seharga USD 20 untuk seharian!)

Selain itu, motorboat juga akan mengajak turis mengunjungi sekolah terapung. Disini diharapkan turis memberi sumbangan beras untuk makan, yang bisa dibeli di toko terapung. Ada dua jenis karung beras yaitu 30 kg (USD 30) dan 50 kg (USD 50). Tentu ini lebih merupakan donasi sukarela namun bila anda tak merencanakan hal tersebut, biaya wisata ke Tonle Sap bisa jauh membengkak.

Yang terparah kini guide tak segan-segan meminta tip yang besar, hal yang merugikan citra wisata danau Tonle Sap. Saat kami kesini mereka mengharapkan tip 1000 baht seorang untuk guide dan driver. Tentu tip yang tak masuk akal itu serta merta kami tolak. Bila ingin menghindari tawaran-tawaran yang tak direncanakan sebaiknya anda mengikuti paket tour dari operator di Siem Reap, ketimbang pergi sendiri. @districtonebdg

Panorama Dataran Tinggi Bolaven Plateu, Laos

bolaven

Pada pukul 8.00 pagi dari kota Phakse kami dijemput oleh mobil travel yang akan membawa ke Bolaven Plateau. Cukup membayar 160.000 kip/orang, kami akan dibawa berkeliling dari pukul 8 pagi sampai pukul 6 sore menyusuri dataran tinggi Bolaven yang merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup terkenal di Laos. Perjalanan kami dimulai dari sebuah perkebunan teh yang disebut Ongya Tea Plantation. Perkebunan teh tersebut adalah milik sepasang suami istri yang sudah terbilang tua. Setiap hari perkebunan mereka dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan yang akan menikmati dataran tinggi Bolaven. Walaupun tidak terlalu luas, perkebunan tersebut menyajikan pemandangan yang bagus dan udara yang sangat segar.

Tur di perkebunan ini juga akan  memperlihatkan proses pembuatan teh. Setiap wisatawan juga dipersilahkan untuk menikmati segelas teh yang diproses langsung di tempat tersebut. Segelas teh hangat dan baunya wangi sangat pas untuk udara yang cukup dingin khas perkebunan teh.

Dari Ongya Tea Plantation, kami dibawa menuju Tad Fane Waterfall. Air terjun yang disebut air terjun kembar ini setinggi hampir 120 meter. Disebut air terjun kembar karena terdiri dari dua air terjun yang terbentuk dari dua aliran air yang berbeda dan membentuk satu aliran yang kemudian menuju ke Sungai Mekong. Air terjun Tad Fane hanya bisa dinikmati dari jauh karena untuk mencapainya, kita harus menuruni tebing dan memakan waktu yang agak lama sedangkan travel agent sendiri telah menetapkan harus berapa lama kita berada di situ. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang lainnya yaitu  Gnenuang Waterfall.

Berbeda dengan Tad Fane, Gnenuang Waterfall dapat dinikmati dari dekat. Disediakan tangga untuk turun ke tempat aliran air tersebut jatuh. Di sekelilingnya terdapat taman dan hutan yang dapat digunakan bersantai. Tidak hanya wisatawan asing, saat kunjungan kami, banyak wisatawan lokal yang datang untuk menikmati keindahan air terjun ini. Setelah cukup lama menikmati Gnenuang Waterfall, kami menyusuri jalan terus ke timur melewati daerah bernama Pa Xong. Tibalah kami di Pa Xong coffee plantation, sebuah perkebunan kopi yang cukup besar. Di sana kami melihat puluhan orang membagi tugas untuk mengolah kopi yang baru dipetik.

Kopi yang baru dipetik ditumpuk kemudian dilepas kulitnya dengan menggunakan mesin sederhana, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bak dan di sana ada beberapa orang yang bertugas untuk membersihkan kopi tersebut sampai benar-benar bersih. Setelah bersih dari kulitnya, maka kopi tersebut kemudian dijemur di bawah terik matahari lalu disangrai (digoreng tanpa minyak) dan digiling menghasilkan kopi bubuk yang rasanya sangat enak. Kami dipersilahkan mencicipi kopi yang langsung diolah di Pa Xong Coffee Plantation. Kopinya enak dan wangi. Tidak heran jika kopi tersebut juga diekspor ke negara-negara lain.

by Maya Rara Tandirerung / @mayarararocks

Perempuan Bekerja di Ladang, Laki-laki di Rumah

bolaven2

Desa Khok Pung Thai terletak sekitar 103 km dari Kota Pakse, Lao PDR. Desa yang ditinggali oleh suku Katou ini terletak di pinggir jalan tetapi yang unik, masyarakatnya tidak bisa menggunakan bahasa Laos yang sehari-hari dipakai oleh masyarakat Laos pada umumnya. Mereka menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Ada satu orang yang lancar berbahasa Inggris sehingga ia ditunjuk untuk menjadi local guide bagi wisatawan yang datang. Di Desa Khok Pung Thai ini, terdapat satu sekolah alternatif di mana guru-gurunya didatangkan dari Thailand, Singapura, Prancis dan beberapa negara yang bekerja sama dengan pemerintah Laos.

Desa ini merupakan salah satu desa yang sedang dalam proses pengembangan yang ditinjau langsung oleh pemerintah Laos. Masyarakat Katou masih sangat menjaga adat istiadat mereka. Mereka hampir semuanya menganut kepercayaan kepada roh-roh. Pada umur 30-40 masyarakat di desa ini sudah harus membuat peti mati untuk persiapan. Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, maka orang tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam peti karena dianggap mendatangkan sial. Jenazahnya akan diletakkan di dalam hutan sampai waktu di mana sial yang dibawa sudah hilang.

Yang unik lagi, di desa ini perempuanlah yang bekerja di ladang dan menjadi petani sedangkan kaum laki-laki tinggal di rumah untuk merebus air untuk istri-istri mereka. Menurut local guide yang menemani kami, inilah salah satu alasan mengapa di desa tersebut perempuan lebih berumur panjang daripada laki-laki. Disini sudah lazim bila perempuan sejak umur 14 tahun sudah merokok. Rokok yang mereka gunakan adalah tembakau yang dibakar pada sebuah bambu yang berdiameter sekitar 2 cm. Setiap laki-laki dari masyarakat Katou boleh mempunyai maksimal 4 orang istri. Bahkan ada sebuah rumah yang dihuni oleh 68 orang. Wow!

Rumah mereka adalah rumah panggung yang dibuat untuk mencegah binatang masuk ke dalam rumah. Makanan mereka ada nasi ketan yang diolah masih dengan cara tradisional yaitu ditumbuk. Sisa-sisa dari padi yang ditumbuk akan diberikan kepada peliharaan mereka seperti babi dan ayam yang bebas berkeliaran di sekitar rumah. Lauk mereka adalah daging babi dan daging anjing. Mereka sangat jarang makan daging ayam karena ayam menurut mereka lebih baik untuk dipelihara. Untuk mengambil air mereka mempunyai satu sumur terbuka yang digunakan untuk masyarakat desa untuk mencuci pakaian dan mandi. Ketika saya menanyakan di mana toilet, dengan senyum local guide tersebut “In the forest”. Hahahaha..

by  Maya Rara Tandirerung  / @mayarararocks

Suatu hari di Masjid Biru, Ho Chi Minh City

blue-Mosque-04

Sebuah bangunan  dengan arsitektur dan lansekap yang unik tampak familiar menyempil diantara belantara gedung2 bertingkat di sudut kota Ho Chi Minh, tepatnya di distrik 1 Dong Khoi yang sibuk dan padat. Warna biru kombinasi putih mendominasi penampakan bangunan ini. Cukup rapih dan terawat walau warna birunya sudah mulai agak kusam. Tampak empat menara atau minaret menjulang di keempat sudut bangunan utama.Tidak ada kubah besar namun di setiap pucuk minaret terdapat semacam kubah2 kecil berwarna keemasan.

Pintu-pintu atau gerbang masuk kedalam gedung yang berderet sebanyak tujuh buah dengan lengkungan khas timur tengah menegaskan bahwa ini bukanlah gedung yang biasa akan kita temukan di Vietnam. Pekarangannya cukup luas, bersih, cukup terawat dan pastinya teduh dengan pohon sarat dahan berdaun banyak. Tidak salah lagi, itu adalah Saigon Central Mosque atau Blue Mosque atau Jamiah Al Muslimun, salah satu mesjid terbesar yang ada di Vietnam. Saya sejenak cukup takjub dengan pemandangan yang ada.

Bangunan mesjid ini didirikan pada tahun 1935 oleh para pedagang dari India yang telah bermukim di kota itu. Tahun dimana Vietnam belum merdeka dari kolonialisme Perancis, begitupun India yang masih belum lepas dari kolonialisme Inggris. Sehingga nampaknya wajar, Saigon ketika itu, sebagai kota pelabuhan dan perdagangan terbesar di sisi selatan Vietnam, sangat menarik sehingga mengundang para saudagar dari mancanegara, yang berbeda etnis dan agama ini, untuk datang bahkan hingga bermukim di kota itu. Beberapa keturunan India muslim saat ini masih merupakan bagian dari komponen komunitas muslim di Vietnam selain juga keturunan Melayu. Walaupun demikian, etnis lokal Cham masih menjadi jemaah muslim mayoritas di Vietnam.

Setelah melewati pekarangan dengan taman yang asri, sebuah tangga lebar dengan anak tangga yang cukup banyak sudah menanti untuk mengantar kami memasuki masjid. Setelah menaiki tangga, tepat di sayap kanan terlihat sebuah kolam dengan dikelilingi pancuran air yang nampaknya adalah tempat untuk membersihkan diri atau bersuci mengambil wudhu. Seperti biasa, alas kaki sudah harus dilepaskan disini.

Yang juga menarik dari masjid ini, selain ciri khas dan warna birunya, adalah adanya gedung madrasah atau sekolah agama persis di halaman belakang mesjid. Nampaknya komplek masjid ini dari awal memang benar-benar dirancang sebagai enclave komunitas muslim di Ho Chi Minh. Namun sayang, berbeda dengan mesjidnya,  bangunan ini nampak kurang terawat. Bangunan ini berlantai tiga, ada tulisan Madrasah Noorul Imaan Islamic School di lantai kedua dengan lambang bintang yang khas diatasnya.

by Luthfi Rantaprasaja / @loerant

Priangan Si Jelita

 

“Tuhan menciptakan Tanah Priangan tatkala sedang tersenyum” (MAW Brouwer)

 

Tanah Priangan dikenal sebagai  bumi yang elok, serupa wajah feminin dan jelita dari gadis Priangan yang kerap dituangkan dalam lukisan naturalis. Priangan atau sering disebut juga Parahyangan berarti Tempat Para Dewa. Daerah ini mencakup kawasan bagian tengah Jawa Barat yang keadaan geografisnya bergunung-gunung dan banyak sungai mengalir sehingga menjadikannya daerah yang amat subur.

Wilayahnya sekarang ini kurang lebih meliputi Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Cianjur. Bentang alam yang elok ini semakin memabukkan ketika ditunjang oleh budaya yang halus dan penuh cita rasa. Tak heran hingga kini pun bumi Priangan selalu menjadi tujuan wisata bagi masyarakat daerah lain.

 

Sejarah Priangan

Pada masa silam letusan gigantik dari Gunung Tangkuban Perahu  telah membendung aliran sungai Citarum purba di daerah Padalarang sehingga genangannya membentuk Danau Bandung purba yang sangat luas yaitu sekitar 50 km x 30 km persegi. Setelah lama tergenang pada akhirnya aliran air Danau Purba di cekungan Bandung mendapatkan pelepasan melalui proses erosi di celah-celah hogback ( Sunda : pasir ipis ). Maka terciptalah lembah yang masif dan subur dari sisa-sisa genangan air danau tersebut

Penduduk Priangan terdiri atas asimilasi pribumi dan pendatang. Penduduk asli diperkirakan merupakan keturunan dari komunitas yang telah lama menetap sejak masa Danau Purba. Sementara arus migrasi pendatang memasuki wilayah Priangan dari wilayah di sekitarnya dimana tanah yang subur dan berlimpahnya air merupakan daya tarik utama selain kondisi politik yang terjadi pada masa kerajaan. Arus migrasi penduduk ke Priangan semakin tercatat sejak masa bertahtanya kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Sistem persawahan dan pertanian komoditas yang berkembang – antara lain akibat sistem Priangan Stelsel pada jaman VOC- telah menumbuhkan pusat kegiatan ekonomi sehingga pendatang yang berasal dari etnis Cina, Arab dan Eropa semakin banyak datang ke Priangan. Pada abad XIX pertumbuhan penduduk di Priangan lebih banyak disebabkan oleh arus migrasi dibandingkan pertumbuhan alami.

Sebagai wilayah sentral kawasan Priangan, kota Bandung mewarisi banyak tradisi dan peninggalan masa lalu dari tanah Para Dewa tersebut. Seperti di masa silam, hingga kini pun kota Bandung senantiasa sukacita menyambut kedatangan para wisatawan pemuja cita rasa. Dengan caranya sendiri kota yang dijuluki Paris van Java ini menginspirasi para tamunya. Maka tak heran ketika konotasi Priangan kini sering dialamatkan kepada gemulainya kota Bandung.

 

Menemukan kembali legenda

Namun siapa pun harus bersiap kecewa bila berharap merasakan getar legenda dewi-dewi Priangan di tengah-tengah konsumerisme dan kosmetika kota. Geliat metropolitan kota Bandung tak ada bedanya dengan hedonisme kota-kota besar lainnya. Tak akan banyak inspirasi hidup yang ditawarkan mall-mall yang menjamur di setiap sudut kota. Mengikuti gaya hidup metropolis bagaikan menegak air garam dikala haus, hanya membuat rasa kehausan itu semakin mencengkeram.

Bila ingin menemukan kembali keanggunan tanah Priangan maka yang harus dilakukan adalah menghindar dari hingar-bingar metropolisnya. Pergilah bercengkerama dengan alam dan masyarakat di sudut-sudut pedesaan dan pinggir hutan. Sewaktu-waktu Sang Dewi akan menyibakkan keindahan yang selama ini silap dirasa oleh indra. Bila anda beruntung mendapatkannya, momen itu akan merupakan salah satu inspirasi berharga dalam hidup.

 

Namun bila  tak sempat mencumbui keindahan alam Priangan yang perawan, ada cara yang mungkin membantu anda menggapai Sang Dewi. Saat berjalan-jalan berkeliling kota dan desa,  bukalah hati anda. Tersenyum saat berpapasan dengan orang yang tak anda kenal, mengalah, memberi kesempatan dan membagikan setitik rejeki anda pada para fakir. Dengan melakukannya, bukan hanya anda mendekat pada keanggunan para dewi, namun bahkan keindahan itu telah menitis. Siapapun yang bertemu dengan anda, akan merasakan kehangatan Sang Dewi dan keindahan masa keemasan  Priangan. Sebuah momen yang menghangatkan kehidupan dan tak akan berlalu begitu saja. @districtonebdg

Pesona Sepanjang Trans Sulawesi

10352592_10203172061975184_3015156268942183030_nSemua bermula dari beberapa job yang datang bertubi-tubi dan semuanya bertempat di bumi Sulawesi. Mulai dari Gowa di Selatan hingga Buol di Utara dan Luwuk di ujung Timur. Ah, kenapa tidak, sudah lama nian tak mengunjungi bumi Sulawesi yang indah sejak terakhir pada jaman masa kuliah dan kini sudah tahun 2012. Tentu saja kali ini bukan untuk bercengkerama dengan kabut dan udara dingin di puncak gunung melainkan sebuah perjalanan overland berhari-hari yang tetap dapat menguras fisik yang tidak bugar. Perjalanan yang makan waktu berhari-hari ini melewati jalur pantai sepanjang pesisir Barat pulau Sulawesi dan jalur pegunungan di wilayah Tengah.

Sejak meninggalkan Makassar menuju ke Utara, perjalanan sepanjang pantai membawa kami melewati kota-kota kecil yang tumbuh menggeliat seperti Maros, Pangkep dan Barru. Semakin ke atas perjalanan melewati Pare-pare, Pinrang lalu kemudian berhenti di Polewali Mandar. Setelah menginap di kota pantai ini, perjalanan lalu dilanjutkan menuju kota pegunungan Mamasa.

Setelah didominasi oleh pemandangan pantai sepanjang Makassar hingga Polewali Mandar, kini medan berganti dengan jalan berliku merayapi pegunungan menuju Mamasa yang terpencil di pegunungan. Perjalanan menuju kota yang sering tertutup kabut ini melewati jalan yang berliku menembus hutan perawan di pebukitan. Sayang jalan menuju Mamasa tak bisa dibilang bagus, karena masih banyak yang berupa kubangan dan dibeberapa tempat tampak sejumlah longsoran menutupi bagian jalan. Di kota pegunungan ini berakhirlah perjalanan etape I, karena darisini kami kembali turun ke Selatan menuju Makassar. Didapat kabar bahwa dari Mamasa terdapat jalan menuju Rante Pao, namun entah bagaimana kondisi jalannya sedangkan menuju Mamasa saja sudah rusak.

Etape berikutnya tak dimulai dari Makassar melainkan dari kota Palu menuju wilayah Utara dan Timur, sehingga bolehlah disebut etape II. Pada rute ini kendaraan melaju mengikuti liuk-liuk jalan yang cukup mulus sepanjang bibir pantai yang keindahannya akan membuat siapapun takjub. Horison membatasi birunya Laut Sulawesi yang menghantar deburan-deburan ombak ke pesisir. Pantai tampak begitu bening dengan pasir yang bersih dan nyiur yang melambai genit sehingga memaksa kami berhenti sejenak dibeberapa lokasi untuk sekedar melebur pada keindahan pantai dan mengabadikannya kedalam memori kamera DSLR. Pemandangan begitu indah sehingga tampaknya tak diperlukan aplikasi photoshop untuk mengeditnya.

Etape ini bermula dari Palu menuju Donggala, lalu perjalanan sepanjang pantai yang indah dari kota ini membawa kami kembali melewati Palu untuk terus menuju Toli-toli lalu berhenti Buol. Sebuah penginapan di pinggir pantai yang tenang menjadi tempat kami beristirahat

“Dahulu Buol merupakan hutan lebat, kayu-kayunya sebesar ini,” kata pengelola penginapan membentangkan tangannya. Ia sebelumnya pernah menjadi seorang grader di perusahaan logging di era kejayaan industri kayu disini.

Sisa-sisa kelebatan hutan memang masih terlihat di pinggiran, namun jelaslah bahwa sektor perkebunan dan tambang kini yang menjadi primadona disini. Entah berapa puluh ribu hektar hutan yang dibuka untuk perkebunan sawit disini.

“Tak ke Manado sekalian?” tanyanya saat tahu kami datang jauh dari Makassar. Waduh kapan pulangnya kalau begitu, pikir kami.

Setelah beristirahat di Buol, kembali kami turun ke Tengah untuk menuju Poso untuk kemudian terus melaju ke arah Timur demi bersua pelabuhan Luwuk yang legendaris. Kami tak melewati Palu namun mengambil jalan yang lebih ke Timur yaitu sejenak beristirahat di Perigi Moutong. Darisini perjalanan dilanjutkan menuju Poso yang selalu tampak menyimpan bara dalam sekam. Kontras sekali dengan keindahan pebukitan coklat menghijau disekitarnya yang memendam kedamaian. Menuju ke arah Timur terlewati kota-kota kecil yang bertumbuh seperti Uekuli, Ampana,dan Bolaang. Perjalanan terhenti di kota pelabuhan Luwuk yang ramai, yang merupakan akhir dari perjalanan etape II karena setelah menginap disini kami berbalik arah lagi menuju Palu.

Secara umum kondisi jalan trans Sulawesi cukup baik, ditambah pemandangan pantai yang indah menjadikan perjalanan menjadi tak membosankan. Tentu saja perlu dimaklum bila kondisi jalan bergelombang bila terpaksa melewati jalan desa. Keamanan juga tampaknya tak terlalu menyeramkan dibanding perjalanan malam hari di beberapa tempat di trans Sumatera dan Kalimantan. Tentu hal yang berbeda bila dalam kondisi konflik.

Walaupun beberapa kali jalan dibelokkan ke kampung karena perbaikan jembatan dan melewati jalan berlumpur, rasanya tak diperlukan mobil khusus untuk melintasi jalur Trans Sulawesi yang kami lalui. Sebuah mobil rental biasa dengan kondisi segar dan driver dengan pemahaman jalur yang baik sudah cukup memadai. Dan tentu saja, sebuah hasrat untuk bertualang ke tempat-tempat baru. @districtonebdg

 

Mengunjungi Canton Fair di Guangzhou

 

imagesPesawat Garuda mendarat sekitar pukul dua siang di bandara internasional Baiyun, Guangzhou. Waktu yang cukup ideal untuk melakukan pergerakan selanjutnya. Berbeda bila mendarat malam hari memakai AirAsia, dimana kehidupan terasa berhenti saat hari mulai gelap di kota ini.
“Make Garuda mah teu karasa penerbangan opat jam oge,” ujar Bar.
“Enya, teu kawas make AirAsia cengo dijalan,” sambut Dunga menyatakan persetujuannya.

Wah, keren sekali backpakeran pake Garuda kedua kawan kita ini ya, padahal biasanya bergelantungan di maskapai budget seperti AirAsia dan Tiger Airways. Tak disengaja sebetulnya, saat telah memutuskan akan bertolak ke Guangzhou tiket pp AirAsia adalah seharga 4,3 juta. Dunga mengusulkan membeli tiket Garuda saja yang kebetulan sedang promo degan harga 5,3jt. Masuk akal, karena bila menggunakan AirAsia pasti transit di Kuala Lumpur sekitar 5 jam, dan baru tiba  sekitar pukul sembilan malam.  Ketibaan malam hari di negeri orang yang belum terlalu familiar tentu kurang mereka sukai sehingga pilihan ini sepertinya lebih cocok. Lagipula lumayan menghemat makan  sekali.

Dari bandara Baiyun mereka segera menuju Pazhou, tempat diadakannya Canton Fair. Perjalanan ini cukup jauh, memakai subway dengan sekali pergantian line kereta di stasiun Kacun. Setengah jam kemudian mereka pun tiba di Pazhou dan segera terkagum-kagum dengan skala bangunan dikawasan ini.

“China mah sok tara kagok mun nyieun nanaon teh,” decak Bar kagum. Namun kini yang lebih penting adalah mencari penginapan yang sudah dipesan Dunga di web HostelBooker. Ini pun ternyata tak begitu saja mudah ditemukan, karena penginapan terletak di lantai delapan sebuah gedung apartemenrumah susun. Kamar 803 tepatnya. Bila orang-orang bisa memahami sedikit bahasa Inggris saja, mungkin tak akan memakan waktu lama menemukannya. Namun tanpa petunjuk, baru sejam lebih tempat itu ditemukan. Itupun  setelah ada satpam yang berbaik hati mengantar, tanpa saling bisa komunikasi sepatah kata pun.

“Mun teu kapanggih mah sare di taman we lah,” sempat Dunga memberikan usulnya yang sering tergolong ekstrim itu. Bar menolak mentah-mentah ide itu. Memangna urang pot kembang, pikirnya.

Hari ini  mereka belum berencana memasuki arena Canton Fair karena  sudah menjelang sore, setelah mendapatkan kamar di dormitory yang dituju mereka mengisi waktu dengan berjalan-jalan. Tak banyak yang bisa dilihat di Pazhou, karena kawasan ini sepertinya dibangun khusus gedung-gedung untuk pameran internasional. Tanpa ada pameran, kawasan ini seperti blok kota yang mati.  Namun sepertinya tak perlu khawatir hal itu akan menjadi kenyataan, karena akan selalu ada pameran disini. Kegiatan bongkarmuat selalu riuh pada malam hari, mengangkut material yang dipakai oleh pameran. Walau arena Canton Fair  juga khusus dibangun berupa bangunan futuristik yang menyerupai gelombang air, namun di sekeliling arena Canton Fair banyak pula gedung-gedung tempat pameran yang megah. Pameran dari satu gedung ke gedung yang lain, demikianlah sepertinya kehidupan di kawasan Pazhou ini.

Esoknya barulah mereka kasak-kusuk mencari informasi untuk bisa menghadiri even kolosal itu. Selidik punya selidik ternyata tidak gratis, harus registrasi dengan persyaratan membawa kartu nama, pas foto dan biaya pendaftaran sebesar 100 CNY (sekitar Rp 200,000). Selain menyertakan identitas paspor tentu saja.

Mereka sempat tercenung, karena tak membawa persyaratan yang diperlukan. Yah, nasi sudah menjadi buryam karena kemalasan untuk browsing informasi dan terbiasa grasak-grusuk saat bepergian.

“Cabut we foto tina visa,” Bar tak ragu mencongkel foto visanya. Lalu mereka memeriksa dompetnya masing-masing, siapa tahu masih ada kartu nama terselip.

“Aya tapi ngan hiji euy,” katanya. Ternyata masih ada kartu nama jadul, sayang dompet Dunga tak memunculkan keajaiban serupa.
“Euweuh euy..jigana dina dompet hiji deui teu kabawa,” keluh Dunga hopeless.

“Engke pas pendaftaran bejakeun we hiji kartu nama keur duaan,” usul Dunga. Apa boleh buat, semoga petugas registrasi bisa menerima.

Sebelum gate registrasi, banyak anak-anak muda sepertinya mahasiswa yang menawarkan jasa penerjemah. Jadi tak perlu khawatir bila tak paham bahasa China, banyak pelajar disini yang siap menerjemahkan keperluan komunikasi pengunjung dengan penjaga stand pameran.

“Teu kudu make penerjemah lah,” ujar Dunga percaya diri,” yeuh make ieu we pasti ngarti.” Dunga menunjukkan kalkulator yang dibawanya. Bar agak sangsi namun sepakat karena uangnya pun sudah tersedot oleh registrasi yang mencapai 100CNY.

Sebelum masuk mereka mengisi semacam formulir, lalu kartu nama dan foto dijepret pada formulir itu. Apabila tak membawa foto ternyata ada sesi pemotretan, tentu dengan biaya tambahan.  Kekurangan katu nama pada formulir Dunga ternyata bisa dimaklumi oleh petugas registrasi, sehingga akhirnya tercetaklah boarding pass untuk memasuki pameran. Merekapun lega.

Canton Fair adalah pameran perdagangan yang diselenggarakan pada musim semi dan musim gugur musim setiap tahun sejak musim semi tahun 1957 di Canton (Guangzhou), China. Sejak tahun 2007  namanya diganti menjadi  China Import and Export Fair. Even ini merupakan pameran perdagangan terbesar di Cina. Di antara pameran-pameran dagang terbesar China lainnya, ia memiliki sebagian terbesar produk, kehadiran terbesar, dan jumlah terbesar transaksi bisnis yang terjadi.

Canton Fair diresmikan pada musim semi 1957 dengan waktu penyelenggaraan dua kali setahun ini diprakarsai oleh Departemen Perdagangan RRC dan Pemerintah Rakyat Provinsi Guangdong. Waktu penyelenggaraannya setiap musim semi (April-Mei) dan musim gugur (oktoer-November). Sejak dimulainya pada tahun 1957, Canton Fair telah diselenggarakan sebanyak  114 kali. Artinya, selama lebih dari setengah abad, dukungan dan kepercayaan dari pembeli di luar negeri dan peserta pameran tak pernah terganggu oleh isu-isu diluar perdagangan. Area pameran terbagi dalam tiga gedung yang megah dengan arsitektur futuristik seluas  total 1,16 juta meter persegi dengan  jumlah peserta pameran dari dalam dan luar negeri lebih dari 24.000. @districtonebdg

Perjalanan Empat Puluh Jam Dari Utara Ke Selatan Vietnam

10268413_508279635962015_2750692301835215171_n By Andreas Polin Situmorang

C: just hard seat no air conditioner, slow train, it needs fourty hour to Saigon..
“Waktu kami tidak banyak, kami harus cepat kembali ke Saigon, pikirku.”
“Kami saling berhadapan, bertatapan dan saling mengangguk, pertanda setuju”
M: “Ok, i take it two tickets”
Begitu kira2 percakapan saya dengan petugas ticketing di stasiun Hanoi.
Harga tiket memang murah mengingat jarak tempuh yang sangat jauh. hanya 650.000 VND/ orang (sekitar 380rb Rupiah), dibanding kelas Soft seat 1.250.000 VND. Ada banyak macam kelas penumpang yang disediakan, yaitu; hard seat non ac, hard seat w/ ac, soft seat w/ ac & soft sleeper. Perbedaan tiap kelas terlampau jauh harganya..
Saat menempuh Saigon-Dong Hoi-Hanoi, kebetulan kami mendapatkan tiket dengan kelas soft seat w/ac, untuk kelas ini kurang lebih sama dengan kelas bisnis di Indonesia..
Ini hari ke enam saya di Vietnam bersama Stefanus yang merupakan perjalanan backpacker saya pertama kali ke negeri orang. Sebelum berada di Hanoi, saya terlebih dahulu mengunjungi Taman Nasional Phong Nha Ke Bang di Provinsi Quanh Binh.
Singkat cerita, waktu untuk boarding pun sudah tiba, kami berdua mulai masuk ke gerbong yang ditentukan.
Jreeng.. Buset ekstrim amat! Bangkunya benar2 “Hard”, Keras cui! Ditambah bentuknya yang 90˚ (gimana cara tidurnya nih).
Suhu di Hanoi yang mencapai 39˚, membuat para penumpang kelas ekonomi ini seperti sedang dikukus. Para pria-pria macho bak bruce lee dengan pede bertelanjang dada, berharap mengurangi keringat yang diproduksi. Kipas angin tidak membantu sama sekali. Satu lagi, yang membuat semakin sempurna, toilet!
Orang-orang membawa banyak macam, karung-karung besar, ada yang membawa beras, sembako, makanan berat dan material2 aneh lain. Yak, seperti hendak mengembara jauh, benar saja Hanoi-Saigon berjarak sekitar 1800 km. Kondisi ini tentu saja begitu kontras dengan kereta kelas soft seat. Kalau begini rasanya sudah seperti penjara berjalan dengan masa kurungan selama 40 jam..
Duong Sat Vietnam kalau di (Indonesia PT.KAI), menawarkan perjalanan dari ujung selatan ke ujung utara dan sebaliknya. Kereta pasti berhenti di stasiun-stasiun besar, jadi jangan takut mengelilingi negeri paman Ho ini dengan menggunakan kereta api. Kalau di Indonesia penumpang biasanyaa menunggu kereta langsung di peron stasiun, tetapi di Vietnam penumpang harus tetap menunggu di lobby sampai kereta kita benar-benar datang. di Vietnam stasiun itu artinya “GA”, Ga Hanoi, Ga Sai Gon, Ga Nha Trang, dst
Sepanjang perjalanan kereta melintas melewati pemandangan yang menarik, kereta menembus terowongan tua ditengah perbukitan, hamparan sawah yang melimpah, muara-muara, dan megahnya kawasan karst di daerah Ninh Binh Province.
Kereta melipir mengikuti kontur dipinggir kanan Vietnam sehingga penumpang bisa melihat Pantai barat vietnam dan lautan cina selatan..
Pada kelas ekonomi ini. semakin malam, kondisi kereta semakin mengerikan, penumpang makin beringas, mereka berlomba-lomba untuk mencoba posisi setidak sopan mungkin.. lebih parah daripada kondisi kereta ekonomi di Indonesia, tikar digelar, mereka tidur diantara kedua bangku yang saling berhadapan, ada yang tidur bawah bangku persis malahan..
Kalo waktu ngga mepet dan uang mencukupi, saya sarankan menggunakan kelas soft seat atau bahkan naik pesawat saja…
Kalau pada musim dingin mungkin kereta lebih nyaman, kalau kemarau panasnya sangat terasa.
Jangan lupa bawa perbekalan untuk didalam kereta. Satu cara ampuh untuk tetap Survive di kereta hard seat non ac vietnam, SABAR.. ingat saja, “segala sesuatu yang dimulai pasti ada akhirnya” hehehe…
Wanna try?