Terbawa Santai di Vientianne

oleh Ario PB Rachman

10154091_10202934083985883_2205435077118712380_nMemasuki Ibukota Laos, Vientianne (atau Vian Chang) seperti flashback Jakarta pada tahun 1960 – 1970an. Mungkin yang tidak sesuai dengan semangat flashback adalah banyaknya mobil-mobil luar negeri keluaran terbaru yang berseliweran di jalan yang seperti menyadarkan kami bahwa ini bukan perjalanan ‘back to the past’. Jalan-jalan yang sepi dan suasana samping jalan yang masih diselingi oleh tanah-tanah kosong dan rerumputan liar menambah ke eksotisan kota ini, ditambah dengan bangunan-bangunan klasik era pendudukan Perancis yang seakan menyapa kami dengan tatapan angkuhnya menandakan bahwa kuatnya aroma klasik kota ini yang hampir tidak tersentuh modernisasi. Tentu saja hal ini berubah ketika kami melewati pusat kota dan bergerak menuju kawasan padat wisatawan seperti di daerah Fa Ngum Rd, Luang Prabang Rd, Lane Xang rd. Banyak hotel megah dan mesin-mesin ATM seakan hendak menutupi keindahan klasik dari kota yang berpenduduk 822.433 ribu jiwa ini.

Patuxai Monument
Di ujung Kaysone Phomvihane Rd, kami disambut oleh sebuah bangunan yang mirip dengan ‘Arch de Triomphe’ nya Perancis, Patuxai atau Patuxay. Bangunan ini dibangun pada tahun 1957 dan selesai pada tahun 1968. Dahulu monumen ini bernama Anousavali yang berarti “Kenangan”. Setelah Komunis Pathet Lao menguasai Laos, nama monumen ini dirubah menjadi Patuxai, artinya “Gerbang Kemenangan”. Bangunan yang konon juga dibangun dengan dana dari Amerika Serikat untuk membangun sebuah landasan udara pada era Perang Vietnam di 1960an. Pemerintahan Laos malah membangun monumen ini dengan dana dari AS. Akhirnya kadang monumen ini disebut juga sebagai ‘Vertical Runway’. Lepas dari Patuxai, kami memasuki Setthathirath Rd, dan berbelok ke Manthathurath st., tempat dimana kami menginap, di Samsenthai hotel. Keadaan di sini dan terutama Fa Ngum rd sangat berbeda dengan keadaan di luar kota Vientianne. Disini terlihat sangat modern dan penuh wisatawan manca negara, tidak berbeda jauh dengan Bali pada high season.

Chao Anuvong Park
Hari pertama kami lakukan dengan berjalan-jalan di tepi sungai Mekong, yang dijadikan taman besar oleh pemerintah kota Vietianne, yang membentang sepanjang jalan Fa Ngum rd., dan pandangan kami tertuju pada sebuah patung besar di tepi sungai Mekong menghadap ke perbatasan Thailand, dengan tangan kiri memegang pedang dan tangan kanan menjulur ke bawah depan dengan posisi 45 derajat seakan membuat batasan. Ternyata patung tersebut adalah patung Chao Anuvong, salah satu Raja di Vientianne pada masa kerajaan Lan Xang (1767 – 1829). Taman tersebut didedikasikan atas namanya, yaitu Chao Anuvong Park. Banyak orang Laos menyebut Raja Chao Anuvong adalah pahlawan, yang memberontak dari Kerajaan Siam (Thailand), dan mati dalam penjara kerajaan Thailand setelah pasukannya dikalahkan dan Vientianne diratakan sebagai hukuman atas pemberontakannya. Tangan kanan yang menjulur ke depan dengan posisi menghadap ke wilayah Thailand di tepi sungai Mekong seakan menyeru dengan gerakan tubuh kepada rakyat Thailand dengan arti “This is My Land”. Taman dan Patung diresmikan oleh Presiden Laos pada tahun 2010. Figur Chao Anavong ini menandakan bahwa memang masyarakat Laos membutuhkan figur ‘heroes’ dengan mengaitkan cerita masa keemasan kerajaan Lan Xang dengan pemerintahan sekarang (pendiri Pathet Lao, merupakan pangeran dari kerajaan Lan Xang juga) sehingga sejarah mulai dari Kerajaan Lan Xang (Sejuta Gajah dan Payung Putih) sampai ke pemerintahan Lao PDR sekarang berkaitan erat.

Restoran Halal dan Mesjid
Kembali ke daerah Fa Ngum Rd (ternyata nama-nama jalan disini adalah nama-nama raja Laos pada periode kerajaan Lan Xang), ada 2 restoran muslim yang sudah terkenal namanya di pelbagai blog pribadi dan buku wisata untuk wisatawan muslim atau yang tidak suka babi. Restoran Fathima terletak di Fa Ngum Rd (dari hotel kami berjarak 70 meter) keluar dari Mathaturath st ke arah Fa Ngum rd lalu berbelok ke kiri. Sementara Restoran lain adalah Noor Restaurant, dari Mathathurath st ke arah Fa Ngum Rd berbelok ke kanan, sekitar 200 meter. Perbedaan dari keduanya adalah di Fathima, ada personel restaurant yang bisa berbahasa Malay, sehingga komunikasi akan dapat berjalan dengan baik, sementara di Noor, hanya bisa berbahasa Inggris.
Seperti yang telah dibahas dalam beberapa blog, Vientianne memiliki sebuah mesjid yang dibangun oleh komunitas Islam di Vientianne, kebanyakan dari India dan burma. Mesjid ini terletak di jalan kecil seberang National Library of Vientianne, di Setthatirath Rd., masuk ke gang kecil dan terletak di sebelah kiri jalan. Sayang, pada saat kami meninjau lokasi tersebut, tidak banyak orang yang sedang beribadah di sana, sehingga kami tidak mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang keberadaan mesjid tersebut.

Pasar Kaget Malam Minggu di Chao Anuvong Park
Seperti halnya Gasibu di Bandung, ternyata pada malam minggu terdapat pasar kaget di Chao Anuvong Park, yang lokasi pasar malamnya terletak tak jauh dari Restoran Hor Kang. Pengunjung dari pasar malam ini bukan hanya penduduk dari sekitar Fa Ngum rd, akan tetapi juga turis manca negara. Berbagai pernak-pernik dijual disini dan tentunya dengan harga yang miring dibandingkan dengan barang yang sama diperdagangkan di mall seperti mall yang terletak di samping Morning Market (Tallasau). Barang-barang yang diperdagangkan seperti cendera mata, ukiran, kain-kain tradisional khas Laos, sendal, kaus oblong dan sampai kepada jaket-jaket tentara peninggalan US Army. Akan tetapi untuk komoditi yang terakhir ini, jangan salah menilai bahwa ini merupakan jaket replika. Ini jaket jatah asli Angkatan Bersenjata Amerika dengan beberapa cap dan jahitan otentik serta nama pengguna terdahulu, lengkap dengan tanda kepangkatan dan badge dimana sang empunya dulu bertugas. Minat masyarakat Laos terhadap jaket militer AS ini cukup tinggi, di tandai dengan seringnya kami menemukan orang seperti pengendara Tuk-tuk memakainya. Akan tetapi harganya juga cukup mahal. Rekan penulis mencoba bertanya berapa harga sebuah jaket long-coat US Army di pasar ini, dan harga pembukanya adalah sebesar 750.000 Kip atau 862.500 Rupiah.

Eksotisme Kota Tua Luang Prabang

oleh Stefanus Wong

1480659_10202925796898711_287437094117783424_nLuang Prabang merupakan kota bekas pusat pemerintahan kerajaan diabad XIII di mana segala aktivitas pemerintahan kerajaan berjalan disini dan sekarang merupakan sebuah situs warisan dunia yang diakui dan dilindungi UNESCO sebagai tempat yang memiliki sejarah unik. Sebuah kota yang terletak di utara Laos dan kurang lebih 450 km dari ibu kota vientiane, menyimpan sebuah karya keindahan tatanan kota yang dipadu dari dua latar belakang budaya yang berbeda yaitu budaya setempat dengan budaya barat, khususnya Perancis.

Perjalanan yang kami tempuh berawal dari Vientiane melalui terminal antar propinsi yang melayani ke jurusan utara Laos. Dengan ongkos 140 ribu kip per orang, kami naik bus VIP ke Luang Prabang. Jarak 450 km kedua kota biasanya ditempuh sekitar 11 jam. Sepanjang perjalanan, bus melewati perjalanan yang cukup lancar karena dengan perbandingan penduduk yang sedikit tidak banyak kendaraan pribadi yang melintas sepanjang perjalanan ini. Perjalanan harus melewati lika-liku tikungan pegunungan sehingga cukup membuat perut terkocok dan mual jadi disarankan meminum obat anti-mabok sebelum berangkat.

Setibanya di Luang Prabang, kami segera disambut dengan hawa dingin kota tua ini. Walaupun kota berelevasi 200-an meter dari permukaan laut namun hawa dingin terhembus dari pegunungan yang mengelilingi kota Luang Prabang. Berjalan-jalan ditengah kota ini kami merasakan kenyamanan kota yang rapi, bersih, sejuk serta penduduk yang ramah.

Kota yang dikenal dengan perpaduan dua budaya dalam gaya arsitektur di mana kota ini disamping memiliki gaya bangunan modern Eropa Barat abad 18 juga masih berdiri kokoh bangunan tua kerajaan abad 13.
Disinilah letak keunikan kota tua ini karena masih menyimpan seni gaya bangunan dua budaya berbedaya yang masih terawat dengan baik. Kita bisa melihat dari bangunan pertokoan dan perhotelan di tengah kota dengan gaya modern eropa barat serta bangunan kuil serta museum-museum merupakan bangunan yang bercorak setempat.

Di kota ini juga masih menjalankan upacara sedekah biksu. Setiap pagi, para biksu akan keluar dari kuil dengan membawa semacam keranjang yang gunanya untuk mengisi sedekah dari orang yang akan mengasihnya. Warga setempat percaya bahwa dengan memberi sedekah kepada biksu, maka mereka akan mendapatkan rejeki yang lebih besarnya nilainya dari pemberian mereka. Tidak hanya penduduk setempat, para wisatawan pun juga turut ikut melaksanakan upacara ini dan dengan posisi berlutut menyiapkan sedekah yang berupa makanan dan uang untuk memberi para biksu yang akan lewat sepanjang trotoar. Para biksu yang berbaris rapi dengan dimulai dari biksu paling tua hingga biksu yang paling muda berjalan sepanjang trotoar untuk mencari sedekah dari kebaikan orang-orang. Upacara yang sangat unik ini banyak juga dimanfaatkan para wisatawan untuk mengambil gambar mereka.
Ditengah kota Luang Prabang ada satu tempat yang dikenal dengan nama Phou Si, merupakan daerah yang landai dan diatas bukit ini ada kuil yang juga dikenal dengan nama kuil Phou Si, konon katanya dikuil ini ada patung Buddha tidur terbesar di Laos. Dari daerah ini juga bisa melihat secara jelas kota Luang Prabang karena di bukit inilah merupakan tempat tertinggi di tengah kota Luang Prabang.

Tidak jauh dari Phou Si, masih dalam jalan yang sama yaitu jalan Sisavangvong, ada pasar malam yang berjualan berbagai macam souvenir, sutra, pakaian dan makanan-minuman. Disinilah tempat para turis berbelanja dan menghabiskan uang. Selain itu, keindahan malam kota ini bisa dinikmati dengan makan di pinggir sungai Mekong dan dengan penerangan lampu yang redup serta udara yang sejuk, sangat mendukung dalam suasana nyaman untuk melepas lelah.

Secara umum, kota Luang Prabang merupakan kota yang menarik untuk dikunjungi turis karena selain menyimpan karya-karya arsitektur yang indah, kota ini juga terdapat gua yang banyak ukiran Budha serta memiliki air terjun yang indah. (2011)

Tak Cuma Ada Angkor Wat di Siem Reap

10170901_10202894603998908_8098796777097426862_n

 

Lebih dari satu juta wisatawan mengunjungi kota Siem Reap di Kamboja setiap tahunnya, dimana Angkor Wat merupakan tujuan utamanya. Daya tarik utama Siem Reap memang komplek kuil kuno Angkor Wat yang merupakan Situs Warisan PBB, bahkan mayoritas turis yang datang ke Kamboja adalah untuk mengunjungi Angkor Wat. Komplek candi ini terdiri dari ratusan struktur bangunan dari abad 9 hingga ke-14 yang menceritakan perjalanan kekuasaan kerajaan Khmer.

Namun Angkor Watt bukan satu-satunya atraksi wisata disini. Sejak tahun 1997 Tonle Sap ditetapkan sebagai cagar biosfer UNESCO, dimana wisatawan dapat menjumpai beberapa satwa liar yang paling menakjubkan di kawasan ini. Selain beraneka burung, juga beragam kehidupan air yang unik. Yang paling terkenal adalah legenda ikan lele raksasa yang dikabarkan masih banyak terdapat disini, konon bisa tumbuh sampai delapan meter. Namun  tiket masuk cukup tinggi yaitu USD 20 per orang (2012), sudah termasuk berkeliling di sekitar danau memakai perahu motor.

Pusat keramaian kota Siem Reap sendiri berada di sekitar kawasan Old Market, atau Chas Psah. Ini adalah pasar tempat berbelanja suvenir yang murah meriah. Bila anda berbakat tawar menawar, bisa mendapat barang dengan harga murah disini. Saat Old Market tutup pada sore hari, Night Market yang terletak tak jauh dari sini baru saja buka dan akan tutup pada tengah malam. Sementara itu di kawasan backpacker yang tak jauh dari Old Market, pub dan café terus buka hingga dini hari. Selain terdapat pasar souvenir di kawasan Old Market juga terdapat banyak hotel, restoran dan toko yang memanjakan para turis. Disaat kawasan Siem Reap lain sudah terlelap, tempat ini akan tetap ramai hingga lewat tengah malam.

Wisatawan muslim yang datang ke kota besar di Kamboja seperti Siem Reap bisa merasakan atmosfer kuliner yang cukup bersahabat. Di Siem Reap sendiri rumah makan halal cukup mudah ditemui disamping terdapat restoran cepatsaji internasional. Di jalan utama Siem Reap yaitu Sivutha Boulevard terdapat rumah makan India Curry Walla, Maharajah, KFC, vegetarian restoran dan jajanan sea food. Namun bila benar-benar ingin meyakini kehalalan masakan silakan mengunjungi sebuah rumah makan yang agak jauh keluar dari keramaian yaitu di Stoung Thymey Village, tepatnya di samping mesjid Neak Mah (An Nikmah).

Pada hari Jumat, mesjid An Nikmah dipenuhi oleh umat muslim yang beribadah sholat Jumat, sehingga suasananya terasa di kampung sendiri. Selain mesjid ini, ada pula mesjid lain di Siem Reap yaitu di jalan raya ke arah danau Tonle Sap namun mesjidnya tak sebesar Mesjid An Nikmah. @districtonebdg

1174974_10202894606398968_1011551762743377751_n

Thakek – Hue dengan Bis Bermuatan Arang

Oleh Hidayat Adhiningrat

10011321_10202896274520670_3289862934244830693_n”Telepon saya kalau kendaraannya tidak ada”, pesan om Edi, seorang warga Indonesia yang bekerja dan tinggal di Thakek. Ia dengan segala kebaikannya telah sangat membantu kami dalam petualangan ini. Trayek kendaraan dari Thakek (Laos) ke Hue (Vietnam) ini memang tergolong masih baru, belum sampai satu tahun, karena itu ia sendiri masih sedikit sangsi . Ia harus pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 19.00.

Cukup lama kami menunggu kendaraan yang tak kunjung tiba, diam-diam kami mulai khawatir bahwa ‘minivan’ ini tidak akan ada, hampir satu setengah jam kami menunggu sampai ketika di parkiran dengan plang yg tertulis “Thakek-Hue” ini tiba kendaraan yang kami tunggu-tunggu, dan bukan mini van melainkan sebuah bus ‘reot’.

Dengan ‘bahasa isyarat’ -karena kondektur dan supirnya tidak bisa berbahasa inggris- kami coba meyakinkan bahwa bus ini memang menuju Hue, setelah yakin kami memasukan barang ke dalam bus. Didalam bus terdapat sembilan orang penumpang, dari terminal Thakek ini naik lima orang penumpang yaitu kami bertiga dan dua orang turis dari Spanyol sehingga total jumlah penumpang adalah 14 orang, setelah kursi kami isi didalam bus tersisa dua kursi lagi, bagian belakang kosong tanpa kursi!!

“Ah, sudahlah”, kami pikir yang penting kami bisa sampai ke Hue, lagi pula keadaan kami sudah sangat lelah sisa penelusuran kemarin, sekarang saatnya tidur.
Sempat mengobrol sebentar di dalam bus tidak lama kami bertiga tertidur dengan lelap, perjalanan malam hari ini sangat menguntungkan karena kami bisa beristirahat di perjalanan, begitu kira-kira yang ada dalam pikiran kami.

Tapi, ketika kami mulai terlelap kondektur membangunkan kami semua –dengan bahasa Laos tentunya-, kami kaget, sambil masih mengantuk dan bingung saya memperhatikan keadaan sekitar dan saya semakin bingung karena kami ada ditengah hutan!! Lebih kaget lagi ketika turun, di bawah “berbaris” sekitar 6 orang menggunakan penutup muka dan berpakaian lengan panjang, lalu kami dibawa ke sebuah gubuk dengan sebuah perapian di sisinya. Dalam kebingungan saya berpikir yang bukan-bukan, bayangan mengenai Perang Asia Tenggara muncul, jangan-jangan kami diculik kelompok separatis? Jangan-jangan kami akan dibunuh? Dan pikiran-pikiran aneh lainnya muncul di otak saya.

Setelah kesadaran kami mulai pulih, kami mulai memperhatikan keadaan sekitar dengan saksama dan ternyata di balik pepohonan terdapat jalan raya dan Sembilan penumpang selain kami dan turis Spanyol tadi terlihat ‘nyaman-nyaman’ saja, sedikit demi sedikit pikiran yang bukan-bukan itu terkikis, sepertinya saya terlalu berlebihan dalam berprasangka.

Dua orang turis Spanyol itu mendatangi kami, dengan berbahasa inggris mereka meminta kami untuk bertanya pada supir dan kondektur mengenai apa yang sedang terjadi, kenapa kita berhenti di tempat ini? Mereka meminta kita karena lagi-lagi –seperti yang terjadi sebelumnya- kita dianggap warga lokal. Tentu saja kami menolak, karena memang kami tidak bisa berbahasa Laos tetapi kami juga ingin tahu apa yang sebenarnya membuat kami terhenti di sini? Kami perhatikan tidak ada yang mereka kerjakan kecuali mengobrol, dengan menggunakan ‘bahasa isyarat’ kami coba bertanya lalu dijawab oleh mereka dengan bahasa Laos dan ‘bahasa isyarat’ lalu kami mengangguk-angguk dan tetap tidak mengerti.

Sekitar setengah jam kemudian akhirnya terjawab sudah pertanyaan kami, ternyata bus ini berhenti untuk mengangkut arang-arang yang akan dibawa menuju Hue + sapu ijuk dan jumlahnya membuat bus terisi penuh didalam + atap bus yang juga sangat penuh, jadilah malam itu kami 14 orang penumpang dengan arang dan sapu membelah malam menuju Vietnam.

Keesokan paginya kami tiba di perbatasan Laos-Vietnam (Lao Bao), sepertinya kami tiba terlalu pagi karena kami harus menunggu pintu perbatasan yang baru terbuka pukul 07.00 waktu setempat. Setelah pintu perbatasan dibuka kami melakukan pengecekan imigrasi untuk keluar dari Laos, pelayanan imigrasi di perbatasan ini mengingatkan saya ketika mengurus pajak motor di SamSat dulu sebelum ‘perbaikan’ : siapa duluan menyerobot antrian dan siapa yang calo nya paling hebat maka dia yang selesai terlebih dahulu. Keadaan ini tampaknya membuat kesal kawan kami dari Spanyol itu, dalam perjalanan menuju kantor imigrasi Vietnam untuk pengecekan imigrasi memasuki Vietnam dia bertanya : “your country is better, right??” dan kami jawab “of course” walau sebenarnya keyakinan kami masih setengah-setengah (bule-bule ini rencananya akan langsung ke Bali setelah dari Vietnam).

Sebelum masuk ke loket imigrasi, kami bertiga –ya, hanya kami bertiga- dihentikan oleh petugas dan dibawa menuju sebuah ruangan lalu di sana kami dicek oleh sebuah alat dan dipersilahkan kembali ke antrian, saat keluar ruangan kami membaca nama ruangan tersebut dan disana tertulis “ruangan kesehatan”, tampaknya keadaan kami yang kucel ditambah coreng moreng akibat arang di dalam bus membuat kami disangka “pembawa penyakit”. Keadaan di loket imigrasi Vietnam agak lebih baik daripada loket imigrasi Laos, setidaknya antrean di sini lebih teratur. Setelah pengecekan imigrasi selesai perjalanan menuju Kota Hue dilanjutkan, selamat tinggal Laos. (2011)

 

Mengintip Kehidupan Suku Akha di Thailand Utara

oleh : Retno Gita Erliana

10250136_10202879935472204_2719570983271228570_nPerjalanan di bis malam membuka petualangan kami, menuju utara Thailand. Sejak awal kami berencana, bertualang menembus hutan tropis Thailand di antara perkampungan hill tribe bagi kami terasa melebihi sensasi wisata city tour di Bangkok. Stasiun bis Mochit, tempat bis malam menuju Chiang Rai yang akan kami tuju, mudah dijangkau dari stasiun BTS dan MRT Mochit. Hanya 50 baht bila menggunakan taksi. Jadual keberangkatan dan harga tiket bis ke hampir seluruh propinsi Thailand pun relatif mudah diakses di 1stopbangkok.com. Begitu lah.. petualangan kami dimulai dengan menapaki Paholyothin Road ke utara menjelang malam hari itu.

Setelah 12 jam, sampai juga kami di terminal bus Chiang Rai. Pagi buta yang sunyi. Tujuan selanjutnya adalah Mae Sai. Kami putuskan untuk beristirahat dan sarapan di warung mie pojok terminal, sambil bertanya kendaraan menuju Mae Sai. Meski bekal petunjuk sudah kami kantongi, cukup sulit rasanya karena hambatan bahasa. Chiang Rai adalah ibu kota propinsi yang jauh berbeda dengan Bangkok. Setidaknya, gestur dan bahasa Inggris sederhana mudah dipahami penduduk Bangkok, jadi tak perlu khawatir bila kehilangan arah di ibukota Thailand tersebut.

Namun Chiang Rai bukan Bangkok, sampai tidak sengaja kami dipertemukan dengan seorang farang (bangsa kaukasoid dalam bahasa Thai) yang fasih berbahasa Thai, dan Inggris tentunya. Berkat bantuannya, kami segera menaiki songthew (angkot berbanjar dua mirip bemo) menuju stasiun bus lama yang akan membawa kami ke Mae Sai. Setibanya di sana, kami segera menaiki bus menuju Mae Sai. Saat itu sekitar pukul tujuh pagi, dan tak seorang pun dari kami yang mandi pagi, toh penumpang lain pun tak peduli.

Setiba di Mae Sai, kami menunggu songthew yang akan membawa kami menuju Pasang, terminal di pertigaan ke Mae Salong dan Thaton. Di sini saya baru menyadari, setiba di Chiang Rai, kami hanya tiga kali bertemu turis farang. Tidak seperti daerah wisata di Bangkok, Pataya, Phuket, atau bahkan Chiang Mai, turis kaukasoid mahal ditemui di Chiang Rai. Kota ini begitu senyap, sementara Bangkok amat metropolis dan futuristik. Bila Anda menyukai hiburan malam dan dentuman musik, nampaknya Chiang Rai bukan pilihan tepat.

Di tengah lamunan saya, tiba-tiba si supir mengisyaratkan kami untuk segera menaiki mobilnya, tanda akan segera berangkat. Oya, songthew hanya melaju bila isi penumpang sudah memenuhi baris kursi, atau sesuai dengan jumlah yang dikehendaki supirnya. Kami cukup beruntung pagi itu, meski hanya beberapa orang di kursi penumpang, penyupirnya bersedia mengantarkan kami, sepasang turis farang, dan tiga orang penduduk lokal menuju Pasang. Tiba di Pasang, segera kami mencari songthew ke arah Thaton, dan berhenti di Ban Lorcha, miniatur perkampungan Akha, salah satu kelompok etnis di utara Thailand.

Dengan tiket seharga 80 baht, kami diizinkan masuk wilayah perkampungan Akha dengan ditemani seorang guide. Beberapa jenis jerat untuk binatang buruan menjadi display pertama bagi pengunjung. Etnis Akha bersama dengan kelompok etnis minoritas lain seperti Karen, Lahu, Padhong, dan lainnya; mendiami dataran tinggi utara Thailand, Burma, Laos, dan Vietnam sejak ratusan tahun yang lalu. Etnis Akha dipercaya sebagai bermigrasi dari Tibet, memasuki Propinsi Yunan di selatan China, dan menyebar di wilayah Indocina.

Di wilayah Thai, sistem ekonomi ladang berpindah, berburu dan meramu yang menjadi ciri khas orang Akha, berubah seiring dengan kebijakan pemerintah Thai untuk melokalisasi pemukiman Akha dan pelarangan ladang opium yang membanjiri Thailand di sekitar tahun 70-80an, meskipun hill tribe di sini bertanam opium untuk kepentingan medis dan hanya digunakan dalam kelompoknya saja. Sejak saat itu, etnis Akha dan etnis minoritas lain di Thailand hanya bisa bercocok tanam sesuai dengan jenis tanaman yang diperbolehkan pemerintah Thai, seperti tanaman buah dan teh di daerah Mae Salong.

Setelah kami sempat dipertontonkan tentang cara kerja penjerat binatang buas, guide kami memandu kami menuju kumpulan ibu-ibu paruh baya dalam kemasan pakaian tradisional Akha yang siap menari setiap kali ada pengunjung yang hadir di sana. Sementara beberapa orang lelaki yang mengiringi musik tarian, berkaos t-shirt dan celana katun. Kecuali si guide kami yang masih memakai pakaian khas lelaki Akha, saya kemudian kembali berpikir akan nasib perempuan yang tereksploitasi demi keuntungan wisata. Selain tarian tradisional Akha, seorang perempuan yang masih berpakaian lengkap, duduk manis sambil menenun kain di rumah beratap dedaunan. Selintas tampak jelas ia beraksi dan siap tersenyum di hadapan jepretan kamera kami. Imitasi, karena di rumah seberang tampak motor bebek terparkir rapi.

Sehabis touring mengitari perkampungan Ban Lorcha, kami kembali ke gerbang utama. Bagi yang berniat membeli oleh-oleh untuk kembali pulang ke tanah air, pengunjung bisa membeli beragam buah tangan kerajinan Akha, seperti tas, gelang, manik, pakaian, kain tenun, dsb. Tapi jangan heran kalau harganya selangit. Sebagai bangsa yang sangat bergantung dengan wisata, semua bisa jadi komersil di negara ini.

Udom Xai, the Heart of Northern Laos

oleh Rausyan Fikry Muhammad

10252114_731777663520558_4738265010627416401_n“There is so far, and the road is bad. And I tell you something, in Oudom Xay, nothing to see”, demikian penuturan supir taxi di terminal utara Vientiane saat kami berbincang dengannya.

Ya, sepintas kota di sebelah Utara Laos ini memang sangat terpencil dan tak banyak dikenal oleh wisatawan. Tak heran bila supir tasi itu terkejut mendengar tujuan kami. Namun dengan semangat let’s get lost, penuturan supir taxi itu justru membuat adrenalin terpacu. Menurut penuturan supir taksi yang membawa kami ke terminal utara, untuk sampai di Oudom Xay dari Viantiene, membutuhkan waktu sekitar 15 jam berkendara.

Suasana terminal utara Viantiene ini cenderung sepi dan gersang. Sore itu, hanya beberapa bus saja yang terparkir di terminal ini. Bebeberapa turis asing terlihat menunggu bus berangkat, perkiraan kami, mereka akan menuju Luang Prabang atau Vang Vieng, bukan ke Oudom Xay seperti kami. Untuk menuju Oudom Xay kami membeli tiket bus menuju Borkeo, dan berencana turun di Oudom Xay, salah satu kota yang dilewati trayek bus tersebut.

Sengaja kami membeli tiket keberangkatan malam dari Viantiene, agar di dalam bus kami dapat beristirahat. Jadi dengan bus yang berangkat pukul 18.00, perkiraan kami sampai di kota Oudom Xay adalah pukul 10.00, pagi. Konsekwensinya tidak banyak yang dapat kami lihat sepanjang perjalanan malam itu.

Pemandangan baru terlihat disisi-sisi jalan ketika kami bangun pukul 06.00 keesokan harinya. Pandangan pertama adalah bukit-bukitan yang berjajar memanjang ke utara. Di samping kanan bus langsung berbatasan dengan anak sungai Mekong yang lebar. Bus seakan menelusuri sisi sungai yang tanpa pembatas jalan, karena dihimpit tebing terjal di sebelah kiri jalan. Dengan lebar jalan yang sempit, perjalanan menuju Oudom Xay ini cukup berbahaya, karena bus yang kami tumpangi pun hampir tergelincir menuju sungai.

Satu jam kemudian, bus beristirahat di sebuah kota kecil Pak Mong. Sebuah kota yang dikelilingi bukit-bukit rimbun, tampak tak banyak dihuni oleh penduduk. Ketika kami turun dari bus, udara sejuk dan dingin yang menyentuh, mengingatkan pada kampung halaman di Bandung. Pak Mong merupakan kota transit bus-bus yang akan menuju Borkeo dari arah selatan atau Viantiene dari utara. Di kota ini, penumpang bisa membeli oleh-oleh. Namun sepagi ini belum banyak toko yang buka.

Selepas Pak Mong, jalan menuju Oudom Xay semakin menyempit dan semakin rusak. Menembus bukit-bukit terjal yang menanjak, bus akhirnya menemukan titik puncaknya. Bus yang kami tumpangi mogok berkali-kali dalam perjalanan. Menarik apa yang kami saksikan di dalam bus. para penumpang yang seluruhnya warga Laos, kecuali kami, malah tertawa dan bercanda di dalam bus. Tidak seorangpun yang mengeluh, sepertinya sbuah kebersamaan dalam penderitaan masyarakat Laos.

Semakin jauh perjalanan, semakin menarik pula hal-hal menarik yang dapat disaksikan. Di sisa perjalanan menuju Oudom Xay, terlihat banyak masyarakat Laos yang belum banyak tersentuh kemajuan. Perkampungan yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu, bilik dan beratapkan jerami masih banyak terlihat di sepanjang perjalanan.
Pukul 11.00 kami tiba di teminal bis tujuan. Oudom Xay atau juga disebut Muang Xay merupakan kota yang tidak terlalu besar dan dikelilingi oleh bukit-bukit. Tidak segemerlap kota-kota tujuan wisata lain di daerah utara, seperti Luang Prabang dan Van Vieng. Seperti tak banyak potensi kota Oudom Xay yang bisa menyilaukan banyak mata wisatawan asing. Namun kami tak patah semangat, pasti ada sesuatu disini!

Oudom Xay merupakan kota kecil, jadi untuk mengelilingi kota ini tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar dua jam menggunakan Tuk-Tuk. Tidak banyak aktivitas masyarakat di kota ini, kebanyak hanya diam di rumah masing-masing atau berjualan di pasar dan menjaga toko. Masyarakat di kota ini pun sangat jarang sekali yang dapat menggunakan bahasa Inggris, sehingga agak menyulitkan wisatawan asing yang datang ke kota ini. Kebanyakan aktivitas yang dilakukan oleh warga adalah berniaga. Tidak banyak warga yang berjalan-jalan di kota, kebanyakan warga yang terlihat adalah warga yang memang berdagang atau bekerja di toko.

Melihat kondisi kota yang sangat panas, kami menyewa tuk-tuk untuk mengelilingi setiap sudut kota Oudom Xay. Dengan menyewa Tuk-Tuk seharga 200.000 K, kami mendapatkan waktu dua jam untuk mengelilingi kota antara lain mengunjungi temple dan Museum. Ketika mengunjungi temple, biksu yang tinggal di temple itu mengatakan bahwa temple ini baru dibangun sekitar 30 tahun yang lalu, dan dia mengatakan bahwa untuk temple-temple tua banyak terdapat di Luang Prabang. Sementara museum yang ingin dikunjungi ternyata tutup padahal menurut jam buka yang tertera di pintu museum, harusnya museum ini buka pada jam ketika kami berkunjung.

Ternyata kota kecil di Utara ini tetap memiliki pesonanya sendiri dalam ekowisata Laos. Wisata yang ditawarkan disini antara lain trekking di distrik Khamnu, melihat kehidupan desa Hmong, atau dengan sedikit keluar dari kota akan mendapati wisata yang kian menantang seperti gua Chom Ong, sember air panas Muang La atau lembah Nam Ko. Jadi kebanyakan bentuk wisata yang ditawarkan di kota Oudom Xay ini terletak di luar kota Oudom Xay, yakni sekitar daerah perbatasan dengan Luang Prabang di selatan dan kota Borkeo di utara. Namun seperti motonya the heart of northren Laos , dari kota ini wisatawan akan dapat menjangkau tempat-tempat yang menarik tersebut. Jadi dalam suatu perjalanan tak perlu kecil hati bila informasi awal seperti tak banyak menjanjikan. Itulah awal sebuah petualangan.

Kota Kinabalu, from Sea to Summit

10259873_10202863686505990_3523969063712256372_n Langsung turun pada hari yang sama dari puncak gunung menuju kota Kinabalu yang terletak di tepi pantai membuat saya sedikit “jetlag”. Maklum saja saat jam enam pagi masih berada di puncak gunung berketinggian 4.095 meter diatas permukaan laut, jam enam sore sudah berada di bibir pantai. Suhu yang dingin berubah menjadi gerah, kostum tebal berlapis pun berganti dengan kostum pantai.

Untuk aklimatisasi yang mumpuni sebaiknya memang sebelum mulai mendaki atau sehabis turun dari pendakian para turis menginap dulu di villa atau guest house yang banyak terdapat di resort Sutera Sanctuary Lodge di Timpohon (1.700 mdpl) yang merupakan tempat awal pendakian menuju gunung Kinabalu. Namun daripada menghabiskan dana jutaan rupiah menginap di resort, lebih baik kami memilih dormitory bertarif Rp 60.000-an per orang yang tersebar di kawasan backpacker kota Kinabalu. Di kota Kinabalu kita selalu bisa mencari rental van untuk mengantar menuju Timpohon Gate dan dua hari kemudian kembali menjemput di sana usai pendakian.

Dormitory adalah sebuah kamar yang diperuntukan bagi banyak orang, terdiri dari bereberapa ranjang susun, jadi semacam asrama. Kamar yang kami tempati memiliki empat ranjang susun yang memuat delapan orang, dengan kipas angin dan AC. Kamar terletak dilantai dua, bersama dengan empat kamar lainnya. Dilantai ini tersedia sebuah meja makan dan empat kamar mandi yang terdiri atas dua shower dan dua shower plus toilet. Mengingat Kinabalu sebuah kota yang banyak dikunjungi oleh turis maka tersedia banyak kamar maupun hotel di kota ini dengan harga bervariasi. Kita tak perlu khawatir tak mendapat akomodasi, namun sebaiknya melakukan reservasi agar tak repot mencari tempat menginap saat tiba karena penerbangan Air Asia dari CGK mendarat disini pada malam hari.

Kota Kinabalu merupakan ibukota dari Sabah, yang merupakan negera bagian Malaysia yang terletak di pulau Kalimantan. Negara bagian Sabah berbatasan darat dengan Brunei dan Indonesia dan berbatasan laut dengan Brunei dan Philipina. Kota Kinabalu mudah dicapai dari Indonesia karena ada penerbangan langsung dengan maskapai Air Asia dari Cengkareng, dan bila kita bisa mendapatkan hargat tiket economy promo maka biaya perjalanan tak akan memberatkan. Bisa pula melalui provinsi Kalimantan Timur, yaitu lewat kota Tawau lalu melanjutkan dengan perjalanan darat namun tentu saja memakan waktu yang lebih lama.

Kota Kinabalu terletak di pinggir pantai, sehingga terdapat beberapa spot pantai yang menarik untuk dikunjungi. Lautnya bersih dan biru dengan kapal-kapal layar maupun pesiar tampak di pelabuhannya. Suasana malam hari di sekitar pantai merupakan hal yang wajib dilakukan sembari menikmati kuliner sea food. Pusat kota sendiri merupakan pertokoan yang modern, dengan kombinasi toko-toko pedestrian di sekitarnya. Beberapa obyek wisata yang menarik di kota ini antara lain Jesselton Point, Atkinson Clock, Observatory Tower, Tun Mustapha Building dan musium. Beberapa obyek wisata menarik yang terdapat diluar kota juga ditawarkan oleh agen-agen wisata seperti Park and Poring Hotspring atau Wetland Center. Bila masih penasaran, dari kota Kinabalu bisa melanjutkan perlancongan ke Brunei yang berjarak sekitar lima jam perjalanan darat.

Walau Kota Kibanalu banyak menawarkan kenyamanan bagi turis, namun satu-satunya endulgence yang saya coba disini adalah massage yang banyak terdapat di pusat kota. Tarifnya bervariasi mulai dari RM 20 hingga yang paling lux. Bukannya mulai menjadi pejalan hedonis namun memang seluruh badan pegal-pegal seusai turun dari pendakian gunung Kinabalu, jadi semata-mata pertimbangan praktis saja. Lagipula masih tertinggal beberapa lembar RM yang hanya akan menjadi kertas tak berguna bila besok pulang ke tanah air. Jadi istilahnya membuang-buang RM hehe..

Mencari tempat bersantap yang pas gampang-gampang susah disini, karena kami menginap daerah pecinan. Awalnya fast food Burger King dan KFC yang terletak tak jauh dari dormitory selalu menjadi tujuan makan, sebelum menemukan rumah makan halal seperti RM Sri Rahmat yang menyediakan masakan Melayu.

Toh, walau sudah menemukan masakan Melayu namun citarasanya belum sreg menurut ukuran kami. Setelah berkeliling-keliling akhirnya ketemu juga yang cocok rasanya, murah dan pelayannya lancar berbahasa Indonesia yaitu : warteg! Ya jelas saja, semua pegawainya orang Jawa yang bekerja disana. Namanya saja rumah makan Jawa. Klop..!

“Mas, bayarnya pake ini aja ya,” ujar rekan kami Tomy menyodorkan uang rupiah limapuluh ribuan.
“Lha ndak bisa to mas,” kata pelayannya senyum-senyum.
“Sampeyan Jawanya dari daerah mana?” tanya Tomy lagi.
“Dari Lamongan, mas,” kata si mas.
Lalu mereka berdua ngobrol dalam bahasa Jawa yang tak saya mengerti, maklum bahasa Jawa bukan bahasa ibu saya. Sayangnya, kami baru menemukan rumah makan sejenis warteg ini di hari akhir di kota Kinabalu jadi hanya sempat makan sekali disana.

Kota Kinabalu memang bukan metropolitan modern seperti Kuala Lumpur yang memiliki menara Petronas yang menjulang dan pusat perbelanjaan yang aduhai. Namun kita akan mendapatkan suasana berbeda yang tak kalah menariknya karena kotanya tertata apik dan didesain untuk menyambut turis internasional. Wisata alam merupakan andalan pariswisata disini dengan gunung Kinabalu sebagai ikonnya, namun city tour pun banyak ditawarkan kepada wisatawan dengan harga mulai dari RM 80. Selain itu wisata alam lain seperti hiking, arung jeram dan wildlife sanctuary. Walau anda tak datang untuk mendaki gunung Kinabalu, yakinlah bahwa trip wisata disini tetap akan seru. @districtonebdg
1459655_10202863690666094_2627651089499360955_n

Pendekar Memanah Rajawali Tiba di Cina

 IMG-20150112-00539Dunga gelisah mencoba-coba wifi yang tak kunjung menyala. “Cenah aya wifi ..” gerutunya melirik stiker wifi yang tertempel di dinding restoran Mc Donald. Sementara Bar tak terlalu mempedulikan, karena kerap ia mematikan saja semua gadgetnya ketika sedang melakukan pergerakan. Semua gadget? Wah pencitraan, karena nomer hapenya saja cuma satu tak pernah berubah sejak dulu. Mun acan ruksak mah teu perlu ganti hapena oge, pikirnya.

“Tanyakeun atuh ka pagawe na” usul Bar.

“Lah percuma, euweuh nu bisaeun basa Inggris didieu mah” keluh Dunga frustasi,” boa password na oge make huruf Cina.” Padahal bahasa Inggris Dunga pun kalau diskala nilainya mungkin hanya C minus.

Memang kesulitan utama backpackeran di China adalah kendala bahasa.Sangat jarang yang bisa berbahasa latin, bahkan pegawai hotel sekalipun. Selain itu tak ada money changer, jadi dollar yang dibawa tak berguna disini. Dilinting wae ieu kitu 100 dolaran teh keur udud, gerundel Dunga.

“Padahal gaya mun bisa update status euy,” gumam Dunga, bagaimana tidak, mereka sedang nongkrong di restoran Mc Donald yang terletak di samping Starbucks, di dalam gedung hotel Marriot kota Guangzhou. Mendunia sekali, padahal plis deh sayur kacang warung bu tunduh yang tak sampai sepuluh ribu an itu juga masih basah di bibir.

Pergilah menuntut ilmu hingga negeri Cina, demikian menurut sebuah hadits. Entah itu hadits sahih atau tidak, namun bunyinya amat terngiang oleh mereka. Kebudayaan Cina selama ini selalu dekat, bagaimana tidak generasi mereka kerap dimanjakan oleh cerita silat Kho Ping Ho, serial tv legendaris Siau Tiauw Eng Hiong alias Pendekar Memanah Rajawali. Nama-nama pendekar di serial itu masih melekat di ingatan: Racun Barat, Setan Timur, Pengemis Utara dan Kaisar Selatan. Lalu tak ketinggalan film kungfu mulai dari Bruce Le hingga Jet Li, juga kudapan bakpao dan swike.

Dalam pelajaran sejarah rasanya akan selalu tersingkap cerita tentang laksamana Ceng Ho dengan armada raksasanya yang melintasi Jawa, biksu Budha I Tsing dari Cina pada jaman Sriwijaya, dan perjalanan Marcopolo yang melalui jalur sutera menuju Cina. Pendeknya, kebudayaan Cina sudah sangat dekat dengan kita sejak dulu.

Belum lagi kini produk Cina membanjir dimana-mana.Hampir tak ada barang kebutuhan sehari-hari yang tak dapat diproduksi di Cina. Barang-barang produk Cina terkenal karena murahnya, dengan kualitas yang bervariasi. Berbagai informasi tentang Cina mengalir deras kepada semua orang, dan kini tiba-tiba saja mereka berdua sudah berada di Guangzhou, ibukota propinsi Guangdong di Cina Selatan. Sudah takdir bahwa perkenalan dengan negara Tiongkok ini dimulai dari kota Guangzhou, sebuah destinasi yang tak terlalu lazim dibanding kota-kota yang lebih populer seperti Hongkong, Beijing dan Macau misalnya.

Beberapa tahun sebelumnya kala melewati kota Lao Cai di Vietnam Utara yang berbatasan pos imigrasi darat dengan Cina, Bar sudah merasa bahwa hanya tinggal waktu ia memasuki negara itu. Dari Lao Cai di Vietnam Utara, perjalanan ke arah Utara akan menjumpai ke kota Kunming di Barat dan Nanning di Timur.Dari Nanning , perjalanan ke Guangzhou sebagai kota ketiga terbesar di Cina ini sudah terbuka lebar. Dua tahun kemudian, firasat itu terbukti saat visa dari kedubes Cina sudah ditangan. Sayang jalur darat ini tak sempat dicoba karena keterbatasan waktu.

Akhirnya setelah ditipu supir taxi, tak menemukan hotel yang dicari dan berputar-putar tak keruan karena tak dapat membaca arah jalan yang semua memakai huruf Cina, mereka toh masih survive hingga kini sedang ngopi di restoran Mc Donald yang banyak dijumpai disini. Bukankah itu inti dari backpackeran: survive. Kalau dinosaurus dulu backpackeran, mungkin mereka juga bisa survive sampai sekarang.

“Kalem we, da lamun mimiti datang turis mah sok katipu bae, jadi anggarkeun we jang katipu’” ujar Bar santai. Dunga mengangguk lemah, masih belum rela yuan(CNY) nya diporot supir taxi.

“Mun embung katipu mah kudu make travel agen”, lanjut Bar. Benar juga, pikir Dunga, namun bila melalui travel tentu biaya-biaya akan berlipat dibanding dengan backpackeran seperti ini. Jadi biarpun ketipu, tetap lebih murah. Dunga kembali berseri-seri. Pengalaman pertama tak selalu mengasyikan, namun menjadi modal berharga untuk perjalanan quantum leap selanjutnya.

Sayangnya perjalanan mereka kali ini memang tak mulus. Rupanya badai Haiyan sedang mengamuk di Filipina. Ukuran super hurricane ini amat dahsyat sehingga ekornya saja turut mempengaruhi cuaca kota Guangzhou. Hari yang kemarin cerah tiba-tiba kini berubah menjadi basah, dingin dan berangin.

Tak lucu bila hanya berdiam terus di hotel, maka mereka pun memaksakan bergerak. Untunglah transportasi di Guangzhou sudah maju dengan adanya subway dan bis-bis kota yang nyaman. Namun tak pelak bila sedang jalan kaki mereka harus pasrah diterpa hujan dan angin dingin.

“Tungguan euy, sapatu urang leueur..” teriak Dunga di belakang yang selalu ketinggalan karena tak bisa cepat.
“Jibreg atuh urang nungguan maneh mah,” balas Bar juga tak mau basah kuyup terus melangkah menuju tempat berteduh

Mereka bergegas dari satu tempat berteduh ke tempat berteduh lainnya. Hit and run, kalau kata Mohammad Ali. Andai lahir di Cina mungkin namanya Mohamad Jet Li.

“Halah, asa didiklat aing mah..” keluh Dunga yang kakinya mulai merasa kram. Mungkin sudah nasib, karena dulu pun ia satu bivak dengan Bar saat diklatdas.

Akhirnya mereka tiba malam hari di bandar udara internasional Baiyun, dengan kaki yang basah dan pegal karena terus berjalan melintasi genangan air dan cuaca gerimis. Namun keduanya boleh sedikit lega, misi mereka di Guangzhou sudah selesai. Kota-kota lain :You are next..! (diucapkan seperti Cong Li )

@districtonebdg

Militansi Kresekpacker

KresekBy Bayu Ismayudi (Bais)

“Bay, siap-siap minggu hareup maneh indit, ku urg ditungguan di Saigon…” Itulah ajakan  mengejutkan yang langsung saya dengar dari Bar2 saudara seperhimpunan saya di Palawa yg sekaligus sebagai bos saya di tempat kerja sekarang…

“Maneh ngke indit jeung si Bobby nya, ticket pesawat geus dipesenkeun…”
“Ok, siap” Kata saya dengan sedikit ragu,,,betapa tidak, ini impian saya sejak lama utk bisa melakukan perjalanan sebagai backpacker dan sebentar lagi impian saya akan terwujud.

“Urang mawa naon wae bos?” Kata saya, sedikit bingung & bodoh, karena memang ini perjalanan pertama saya ke luar negeri. Dan itu cukup membangkitkan energi dan adrenalin saya, semangat petualangan saya kembali muncul setelah sekian lama terkubur.
“Bawa we baju dua siki jeung calana, ..trus asupkeun we kana keresek, tong mawa tas meh tong riweuh, pan ngke balikna mawa barang loba.”

D day pun tiba, malam itu saya sudah siap menunggu dijemput rekan saya Bobby utk berangkat menuju pool bus yg akan membawa kami ke Cengkareng.
“Ayah, ini barang bawaannya? Koq cuman pake kresek? Tanya istri saya, “iya” sahut saya sambil nyengir…

Transit di Changi Airport, Singapore memakan waktu 3 jam, waktu luang itu saya gunakan utk sekedar jalan-jalan berkeliling bandara itu bersama bobby saudara seperhimpunan saya. Dengan tidak lepas dari “gembolan” kresek, saya berjalan dari satu tempat ke tempat lain di dalam bandara tersebut, layaknya si Kabayan saba kota, saya takjub dengan kemegahan bandara tsb, saya melihat beberapa turis asing tidur bergeletakkan di dlm bandara sambil menunggu waktu transit pesawat mereka. Dan hal itu juga kami lakukan saat kepulangan dari Saigon, hal itu kami namai “Tarpak” alias “datar ngabivak” (istilah hasil temuan rekan kami Wawan Barang).

Sebuah gambaran tentang backpacker, bagi kami backpackeran harus siap dengan kondisi “darurat”, backpacker harus mampu mensiasati budget seminimal mungkin. Intinya seorang backpacker harus “militan” bahkan walau hanya dengan “menggembol” kresek sekalipun bukan penghalang utk bertualang.

Backpacker

Sebelum menyebut diri sendiri sebagai backpacker, Anda harus tahu pengertian backpacking itu sendiri. Sering saya temui tentang anggapan yang salah mengenai arti dari backpacking itu sendiri, asal kegiatan itu murah, orang sudah menganggapnya backpacking.

Prinsip utama backpacking adalah independent (tidak bepergian bersama kelompok tur), travel light (membawa barang sesedikit mungkin), educated (bersifat mendidik) dan travel cheap (berwisata dengan cara dan biaya yang murah). Lebih spesifik lagi, ada beberapa hal lain yang membedakan backpacker dengan wisatawan biasa.

backpackerBackpacking bisa diartikan sebagai salah satu metode atau cara dalam melakukan perjalanan. Jadi jangan heran jika ada orang yang rela menempuh perjalanan panjang ribuan kilometer dan sangat melelahkan tentunya hanya untuk berbelanja atau hanya ingin dugem di klub malam saja. Ada juga orang yang hanya bersedia menginap di hotel mewah dan super mahal serta makan di restoran kelas atas. Dan ada juga sebagian orang yang hanya bersedia jalan-jalan secara berkelompok menggunakan jasa agen perjalanan.

Demikian juga dengan para ksatria ber-ransel atau sering kita sebut backpacker. Mereka punya cara sendiri saat jalan-jalan. Backpacker tulen hanya melakukan perjalanan secara mandiri atau independen. Artinya, mereka tidak mau menggunakan jasa agen perjalanan apalagi dengan biaya yang besar. Durasi mereka tinggal di suatu tempat rata-rata juga lebih lama dari wisatawan biasa. Karena itu para backpacker ini selalu memilih untuk tinggal di rumah kenalan atau penginapan dengan akomodasi termurah serta makan di tempat makan sederhana. Pilihan yang serba murah itu dipilih bukan karena mereka tidak mampu (miskin), tapi karena mereka benar-benar paham cara mengatur pengeluaran sehingga uang yang mereka punya benar-benar digunakan untuk hal yang memang diinginkan, bukan karena kemewahan semata.

Karena tidak menggunakan jasa agen wisata, para backpacker selalu menggunakan transportasi umum yang biasa digunakan oleh penduduk lokal, bukan bus atau minibus yang ada spanduknya. Hal inilah yang menjadi point penting bagi kesan perjalanan backpacker. Karena dengan menggunakan transportasi umum, maka mereka dapat berinteraksi dengan warga lokal sehingga dapat pengalaman baru yang lebih berharga saat berinteraksi dengan penduduk lokal. Bandingkan dengan wisatawan biasa. Selain transporatasi, para backpacker juga memilih untuk makan di tempat biasa seperti warung makan pinggir jalan, pasar atau di pusat keramaian rakyat. Tujuannya ya bisa dapat makanan yang murah meriah dan yang pasti cita rasa makanan yang didapat juga jauh lebih autentik atau orisinil.

Keasyikan lain dari backpacker ini adalah mereka memegang kendali penuh tentang jadwal perjalanannya. Tidak seperti wisatawan yang ikut tur yang mempunyai jadwal padat dan telah diatur oleh agen. Jadinya ya tidak akan menikmati perjalan secara menyeluruh. Durasi tinggal backpacker yang bebas dan jauh lebih lama membuat mereka bebas untuk pergi kemana, kapan berangkatnya atau malah ingin istirahat seharian karena kecapean. Semua bebas gak ada yang mengatur. Backpacker juga harus menghormati budaya penduduk lokal. Mereka dituntut untuk berperilaku santun, mengenakan busana sopan dan tidak berdandan dengan berlebihan karena backpacker sering berinteraksi dengan penduduk lokal. Tidak seperti wisatawan biasa yang biasanya cuek dengan budaya lokal karena memang mereka jarang berinteraksi dengan penduduk lokal. Backpacker sangat menghargai budaya penduduk lokal karena mereka tidak mau mengganggu budaya yang sudah tercipta dan yang pasti tidak ingin diusir gara-gara melanggar norma masyarakat.

Hal utama yang membedakan Backpacker dengan wisatawan biasa adalah nilai edukasi dalam perjalanan yang dilakukan. Kerena mereka melakukan semuanya secara mandiri, seorang backpacker diwajibkan untuk mencari informasi dan riset secara mendalam dan bahkan berbulan-bulan yang artinya lebih lama dari waktu perjalanannya. Dan hal utama yang harus dipahami adalah tentang objek wisata, tempat menginap, aspek budaya, bahasa serta kondisi sosial tempat-tempat yang akan dikunjungi. Tentu, kegiatan serius itu tidak mengurangi tujuan berlibur, yakni bersenang-senang. Namun, bersenang-senang yang memberi makna tentunya. Sesuatu yang sulit didapat dengan menjadi turis biasa.