Catper Singkat Ronin Backpacker di Phnompenh

19/10.

Subuh itu sekitar jam 6 waktu Kuala Lumpur, kami berempat bergegas boarding pesawat dari KLIA airport menuju Phnom Penh, setiba disana de ronin sepakat naik transportasi lokal bernama Tuktuk, modifikasi andong dengan motor sebagai sumber geraknya menggantikan kuda, biaya 2$ perorang. Kamboja negara kismin gitu juga currency nya dollar Amrik dong hehe.

Sepanjang jalan menuju hotel backpacker suasana nampak bangunan tua, tapi pembangunan nampak disana-sini. Setiba di hotel budget ‘riverside-backpaker’, kami mencari makanan halal, informasi dari kang Predy, seorang alumnus Unpad, merekomendasikan ‘Warung Bali’ untuk di singgahi. Sang empunya yaitu kang Firdaus bahkan menyambut kami dengan bahasa Sunda setelah tahu kami dari Bandung. Yang paling asik saat akan makan malam, ternyata Warung Bali sedang mendapat tamu yang sedang menjamu atase militer Indonesia yg baru, sehingga kami pun diajak makan bersama.. beuh wareg ta mah..dan banyak ketemu orang Indonesia yang bermukim disana

 

20/10

Tadi pagi de Ronin menyusuri sepanjang sungai Mekong yang ternyata sangat lebar..  asiknya trotoar yang luas dengan beberapa sarana olahraga sederhana cukup menarik untuk dicoba. Diujung jalan ada vihara kecil dengan aktivitas ibadah mereka, banyaknya merpati juga menjadi hiburan tersendiri. Tak jauh darisini terletak Royal Palace. Dan akhirnya sarapan …lagi-lagi.. di Warung Bali cukup untuk bekal energi ke Russian market, hanya saja banyak yg memberi peringatan akan banyaknya copet..entahlah, sepertinya senapan AK -47 menarik untuk jadi oleh oleh, meunang teu nya??? Heuheu

21/10

Tadi sore, setelah sepakat janjian lagi dengan kang Predy dan istrinya, kami bergerak ke arahan pasar Russia, dan bertemu di KFC nya Kamboja, lalu masuk ke dalam pasar. Tapi barang yang dicari tidak ditemukan, kamipun bergerak kearah mall, yang konon menjadi mall pertama kota Phnom Penh, disini ada sekelompok anak muda yang sedang belajar musik tradisional, menarik tapi hanya lewat saja karena keterbatasan waktu. Kemudian kami bergegas ke Pasar Central dan disana ternyata terdapat los barang second…cocok nih.. Setelah membeli beberapa barang, kami memutuskan untuk pulang ke hotel, dan di jalan ada kaki lima kuliner unik yang sayang bila dilewatkan. Kesempatan terakhir mencoba jajanan Kamboja sebelum besok merembes jalur darat ke border..nyam nyam

by Erfanzain
sebagai ‘ronin backpacker’

Menepis Dingin di Nagarkot

Nama kota kecil Nagarkot pertama muncul kala sedang membolak-balik halaman majalah travel maskapai. Karena bosan dalam suasana kabin membaca majalah travel yang disediakan menjadi aktifitas favorit -selain tidur. Yang membuat terkesan adalah pemandangan gunung-gunung salju menjulang yang bisa dilihat dari pelataran hotel-hotelnya. Seketika itu juga saya paham bahwa Nagarkot akan jadi tujuan perjalanan berikutnya. The mountain is calling.

Pada ketinggian 2.195 meter, Nagarkot adalah salah satu tempat paling indah di Distrik Bhaktapur. Kota ini dikenal karena pemandangan matahari terbit dari Himalaya termasuk Gunung Everest serta puncak-puncak lainnya dari jajaran Himalaya di Nepal Timur. Nagarkot menawarkan rentang pemandangan pegunungan Himalaya di wilayah yang disebut Kathmandu Valley. Rentang ini mencakup Annapurna, Manaslu,  Ganesh Himal,  Langtang,  Jugal, Rolwaling, Everest dan Numbur dengan pemandangan luas kearah lembah Kathmandu dan Taman Nasional Shivapuri.

Nagarkot berjarak 32 kilometer dari Kathmandu dengan perjalanan sekitar dua jam-an dengan berganti bis di Bhaktapur. Menuju Bhaktapur, naik bis metromini dari terminal bis Ratna Park di Kathmandu. Suasananya  mirip terminal Kebon Kalapa tahun 90-an demikian juga bisnya seperti bis yang akan ke Ciwidey kala itu. Jangan  heran bila ditengah jalan bisnya mogok, lalu seluruh penumpang diover ke bis lain. Walhasil suasananya berjejal, beruntung Bhaktapur tidaklah jauh hanya sejam perjalanan.

Kala tiba di Bhaktapur, kondektur hanya menyuruh berhenti di suatu lokasi. Ia menunjukkan tangan ke sebuah arah ,” Nagarkot..'” katanya. Tak ada tanda-tanda arah harus kemana kala turun dari bis. Cukup lama melakukan orientasi medan sebelum mendapat secercah info. Rupanya menuju terminal bis yang akan menuju Nagarkot perlu jalan dulu sekitar satu kilometer, disekitar Kamal Pokhari setelah melewati terminal bis yang akan menuju Changu Narayan. Suasana terminalnya lebih amburadul dan bis baru bergerak kala sudah penuh.

Setelah sekitar 1,5 jam perjalanan menanjak dan meliuk-liuk dijalanan rusak sambil terus menaik-turunkankan penumpang sepanjang jalan akhirnya sampai juga di terminal bis Nagarkot yang lebih mirip parkiran tepi jalan. Setelah turun dari bis, segera terasa angin dingin Himalaya yang mengiris kulit. Tak buang-buang waktu saya segera membungkus badan. Beruntung jaket polar yang sudah berusia satu dasawarsa ini masih mampu menangkal dingin.

Saya segera mencari hotel yang ternyata masih sekitar satu kilometer jaraknya dari parkiran bis. Tak heran nama hotelnya pun  At the End of the Universe. Namun ditengah hawa dingin, tak seorangpun keberatan untuk berjalan dan bergerak bila tak ingin disayat angin gunung.

Suasana hotel cukup menyenangkan dengan ruangan kayu yang hangat, namun sedikit saja pintu terbuka udara dingin akan terasa mengelus. Bagi warga disini udara bulan Desember mungkin biasa saja dinginnya, namun bagi saya terlalu dingin untuk cuaca sore hari. Sebuah galau menggelayut antara romantisme menikmati sore dari teras sambil menggigil atau defensif saja dikamar dipeluk kehangatan. Viewnya memang luarbiasa, pegunungan salju didepan mata ;benar-benar tak menyesal datang kesini. Tapi suhunya brrr… walau matahari bersinar. Mungkin memang sebaiknya tak datang kesini dimusim dingin.

Coba menepis dingin dengan secangkir hot lemon ginger, namun tidak bertahan lama. Matahari semakin terbenam dan setelah cangkir kosong  “terpaksa” jalan-jalan lagi sekedar supaya tidak menggigil. Sambil orientasi medan, hibur saya dalam hati. Di sepanjang perjalanan, warung-warung mulai membuat perapian dipinggir jalan. Perapian sepanjang jalan memberi nuansa pada suasana malam. Dalam  hawa dingin dimana nafas pun beruap, percikan bara dan kobaran api disepanjang jalan seperti genit menggoda.

***

Hampir saja imaji saya tentang Nagarkot akan melulu tentang view pegunungan salju yang indah dengan anginnya yang dingin. Esoknya, kala turun ke Bhaktapur kembali dengan bis yang sesak oleh penumpang tiba-tiba saja seorang ibu yang baik hati memberi tidak sekepal tapi dua kepal kacang untuk dinikmati sepanjang perjalanan.  Saya mengikuti jalan bis yang meliuk-liuk dengan cemilan kacang. Saat melihat kacangnya habis, tanpa ba-bi-bu ia  segera memberi sekepal lagi tanpa bisa ditolak. Bis sampai di Bhaktapur, dan imaji tentang Nagarkot terasa lebih hangat.

@districtonebdg

 

 

Terhanyut Riak Chao Phraya Diwaktu Malam

Bangkok memang kota yang beruntung memiliki sungai sekelas Chao Phraya. Keberadaanya merupakan nadi transportasi , ekonomi dan pariwisata bagi  masyarakat Bangkok. Dari saat saya masih di angkasa  hendak landing, sudah terlihat guratan sungai Chao Phraya berkelok kelok membelah kota Bangkok yang panjangnya sekitar 372 KM ini. Perkenalan pertama dengan sungai ini terjadi keesokan harinya, ketika hendak melakukan Bangkok City Tour , yaitu di  dermaga Ratchawong yang mengantarkan kami, grup Sadaya Geulis Hikers,  ke Wat Arun.

Lalu lintas air dengan tarif murah ini memang digandrungi  masyarakat Bangkok, terbukti dengan selalu penuhnya kapal-kapal yang berisi muatan penumpang. Aktivitas rutin masyarakat yang hilir mudik berbaur dengan para wisatawan yang selalu membawa kamera sangatlah terlihat kontras. Tapi memang inilah yang membuat unik.

Perjalanan dengan boat di Chao Phraya  menuju Wat Arun ini seperti memandangi wajah tua kota Bangkok di sisi lain.  Rumah-rumah kumuh padat berjejal sepanjang tepian sungai, sempat terlintas di pikiran  apakah penduduknya juga membuang limbah rumah tangganya ke sungai ini? Lalu apa yang terjadi setelahnya?

Saat di dermaga saya sempat memperhatikan air sungai yang beriak di sekitar perahu, ikan- ikan besar berebut makanan yang ditaburkan oleh salah seorang masyarakat yang kemudian berdoa  di depan ikan-ikan tersebut. Saya yakin Chao Phraya begitu dicintai masyarakat Bangkok walaupun saya yakin juga banyak pengujung mungkin berpikiran sama yang menyayangkan kawasan kumuh di tepiannya.

Malam harinya, setelah bergumul dengan peluh di Subway dariHualamphong lalu berganti MRT diSilom, kami pun dipertemukan  dengan dermaga menuju Asiatique the Riverfront.  Darisini tersedia kapal gratis menuju Asiatique. Sebuah keberuntungan bagi kami bisa menjelajah sungai Chao Phraya di malam hari. Ogah berjejal di MRT lagi, pulangnya kami berencana menggunakan tuktuk saja darisini.

Banyak penumpang,  turis-turis yang datang berpasangan, seakan tidak ingin melewatkan menikmati malam romantis di Chao Phraya. Kontras dengan suasana di siang hari, tidak ada aktivitas rutin yang sibuk, tidak juga terlihat deretan rumah kumuh yang berjejal, yang ada hanya  gemerlap lampu dari gedung pencakar langit yang mewah dan remang lampu kapal dinner cruise yang lalu lalang, menambah suasana menjadi heartwarming dan  sedikit romantically.

Saya berdiri di tepian kapal menjauh dari teman-teman saya, memperhatikan riak air dan merasakan  semilir angin malam. Yang terdengar hanya suara mesin boat dan riak-riak air yang lantang bersuara. Sedalam apakah sungai ini, bagaimanakah perasaanya? Saya pun terhanyut  seakan ikut merasakan riak-riak yang bergejolak yang terpendam di kedalaman sana.

 

@BrahmaTanti

26.11.2018

Mengurai Labirin Kawasan Thamel

Kawasan Thamel merupakan area tumpleknya turis budget dan mid-range yang populer di Kathmandu, seperti kawasan Khaosan di Bangkok.  Thamel lebih merupakan sebuah kawasan daripada sebuah jalan. Walau didalamnya juga termasuk jalan Thamel namun juga termasuk jalan-jalan sekitarnya seperti Jyatha, Tridevi, JP road, Paryatan dan lainnya. Jalan yang sempit saling terhubung dengan gang dan persimpangan, membuat siapapun yang baru kesini akan mudah tersesat.

Tapi bukankah orang harus tersesat dulu sebelum menguasai arah? Jadi jangan terlalu khawatir tersesat, paling hanya beberapa saat…  sebelum kembali berputar-putar 😀 . Begitulah, tak jarang yang sudah pernah kesini pun kembali  kehilangan arah. Apalagi kalau blusukannya malam hari , semoga beruntung wkwkwk..

Cara terbaik mengurai labirin Thamel adalah seperti membuka buah durian, yaitu dengan mengenali urat-urat utamanya dalam hal ini batas luar dan persimpangan (chowk). Sekali urat-uratnya ditemukan kita akan menikmati manisnya Thamel seperti kelezatan buah durian. Batas Barat kawasan Thamel adalah jalan Paknajol, sebelah Timur adalah jalan Kantipah, sebelah Utara adalah jalan Leknak Sadakh, dan di Selatan adalah Durbar Square yang terkenal itu. Persimpangan-persimpangan utama didalamnya adalah Narsing chowk, Indra chowk, Chhetrapati chowk, Thahiti , Asan dan lainnya.

Thamel menjadi semacam melting point beragam bangsa dan budaya yang berbeda. Maka kulinernya pun beragam dari Eropa, Timur Tengah, Mexico, India, China, Tibet, Jepang, Korea,Thai, juga Vietnam tak ketinggalan. Namun tentu saja kuliner khas Newari yang wajib dicicipi kala disini seperti momo dan daal bhaat. Gerai minuman seperti teh, kopi dan alkohol juga banyak pilihan. Bila pecinta kafein jangan lewatkan untuk menyesap secangkir kopi di kafe Himalayan Java yang memiliki dua cabang di Thamel yaitu di Mandala dan Tridevi.

Menginap disini, hampir pasti merasakan sarapan di roof toop alias dak atap hotel. Bila datang antara Desember-Februari yang mana merupakan musim dingin, sedikit tips sebelum sarapan lebih baik jalan-jalan dulu untuk pemanasan supaya tidak terlalu kedinginan  kala sarapan di roof top. Namun suasana diatas tidak mengecewakan sebenarnya, sambil memandangi kawasan Thamel kita ditemani burung-burung gagak yang banyak terdapat disini.

Bila menggemari perlengkapan outdoor, maka disini seperti surganya atau surga tiruan tepatnya. Namun ditengah gigitan udara dingin, jaket down (bulu angsa) merk TNF yang jelas kw pun sulit ditampik daripada menggigil semalaman. Bila kita berniat melakukan trekking semisal ke Everest Base Camp, toko-toko outdoor disini juga siap menyewakan berbagai kelengkapannya. @districtonebdg

Mau Trekking Kemana di Nepal?

Bagi penyuka trekking, tiba di airport Tribuvan, Kathmandu saja sudah terasa ada denyut adrenalin. Sebuah semangat petualangan yang lebih dibanding kota-kota tujuan wisata yang lain. Nepal dengan pegunungan Himalaya nya memang identik dengan wisata trekking, dan dengan koleksi puncak 8.000-an meternya telah menjadi Mekah-nya dunia petualangan.  Ada 14 puncak berketinggian lebih dari 8.000-an meter di dunia dimana sebagian besar terletak di Nepal.

Secara mudahnya, wilayah trekking di Nepal bisa dibagi menjadi beberapa region yaitu Western (Dhaulagiri), Pokhara (Annapurna), Central (Langtang), Kathmandu valley, Khumbu (Everest) dan Eastern (Kanchenjunga). Selain  Kathmandu valley yang didominasi oleh kota tua dan perbukitan, wilayah-wilayah lainnya merupakan medan trekking dipegunungan tinggi. Rute yang paling populer adalah Annapurna dan Everest.

Rata-rata waktu tempuh major route di pegunungan tinggi Nepal adalah diatas seminggu walau terdapat beragam trek pendek yang merupakan variasi jalurnya. Namun bila hanya ingin jalan-jalan sekitar Kahmandu pun bisa, dengan menyasar rute-rute pendek di pebukitan. Yang menarik, terdapat rute trekking dari Kathmandu menuju Lukla via rute Shivalaya, yaitu rute tradisional ekspedisi Everest sebelum ada bandara di Lukla. Waktu tempuhnya sekitar enam hari.

Untuk mencapai wilayah Khumbu (Everest) kita harus menggunakan flight lanjutan ke Lukla. Ini setidaknya perlu $260 pulang pergi (2017). Bila ingin lebih hemat menghindari biaya flight maka menjadikan Pokhara sebagai starting point adalah pilihan yang logis untuk trekking di Annapurna region. Pokhara bisa dicapai delapan jam dengan bis dari Kathmandu.

Wilayah Central (Langtang-Manaslu) juga  bisa dicapai dengan perjalanan bis dari Kathmandu yaitu menuju Syabrubesi atau Sundarijal namun wilayah ini terdampak besar oleh gempa 2015. Sehingga dalam beberapa tahun terahir popularitas region ini menurun, beberapa rute bahkan tertutup.

Wilayah Eastern dan Western relatif lebih jarang dilalui karena selain lebih terpencil juga akan memerlukan manajemen logistik yang lebih kompleks. Dibeberapa rute tak terdapat pondokan sementara rute lain tak tersedia porter. namun biasanya ditempat-tempat seperti inilah terdapat mutiara-mutiara terpendam, keindahan yang tersembunyi. @districtonebdg

Nha Trang Kota Pantai yang Kosmopolit

Setiba di Nha Trang, kami sempat mangkal dulu di hotel backpacker sebelum ngeloyor ke pantai. Benar-benar cuma mangkal hehe… karena tidak berniat menginap mengingat malam sudah flight lagi. Lumayan buat nyimpen ransel daripada dibawa-bawa ke pantai.

Segera saja terlihat jelas bahwa  disini bukan pantai untuk menyepi, kecuali memang sengaja melipir mencari lokasi yang  sepi. Dibanding pantai-pantai wisata lain seperti Da nang dan Mui Ne, disini suasananya lebih kosmopolit. Nha Trang adalah jawaban Vietnam terhadap gemerlap pantai Pattaya, Thailand. Dalam beberapa hal mungkin Pattaya masih tampak unggul namun jelas Nha Trang tak akan terlalu sulit mengejar.

Sebuah signage raksasa Tiger Beer segera menyambut kami kala mendekati pantai dan musik hingar-bingar dari cafe-cafe. Bagi penyuka kepribadian pantai yang semarak jelas disinilah tempatnya. Party, ma men, party..

Diseberang pantai atraksi wisata tak berhenti bahkan makin semarak. Sebuah pulau menjadi tujuan wisata berikut bagi sudah kenyang dengan pantai tepi kota. Naik apa kesana? Cable car, ma men… siapkan saldo ATM lebih banyak bila wisata kesini dbanding pantai-pantai lain di Vietnam.

Namun gaya turis backpacker pun dapat menikmati kota pantai ini. Kita bisa nangkring di cafe-cafe tepi pantai sambil memesan minuman dingin selama berjam-jam hehe..maklum cuaca ngajeos.. Di gang-gang belakang hotel yang menjulang dipantai, lokasi makan sea food yang lebih terjangkau bisa dinikmati. Harga-harga hidangan sea food dibawah 100,000 dong masih banyak ditemui.

Selesai makan, cuaca terik tiba-tiba berbalik drastis. Awan hitam mendekat dari arah pantai, serinai gerimis terasa dipermukaan kulit. Segera kami ngacir ke hotel dan benar tak lama kemudian hujan deras mengguyur. Sejenak kami defensif di lounge yang penuh oleh para backpacker.

“Mening neangan tempat ngopi batan didieu wae,” ujar Bar ketika hujan mulai mereda. Dunga setuju, mereka segera hit and run mencari tempat ngopi diluar. Mereka melipir ke CONG Cafe yang terletak tak terlalu jauh dari hotel. Sebetulnya kafe ini bukanlah identik Nha Trang, di Saigon pun ada.

Kafe ini cukup unik, dengan tema interior propaganda tahun 70-an. Kita akan merasa berada disuasana 70 atau 80-an dengan perabotan jadul.  Walau specialty disini adalah coconut coffe, namun Hanoi black coffe nya pun juara.

Menjelang maghrib sudah waktunya menuju airport yang terletak di Cam Ranh, agak diluar kota. Dari jalan tepi pantai kami nyegat bis jurusan Cam Ranh dengan ongkos 50,000 dong. Airportnya tampak sedang renovasi sehingga masih kombinasi bandara lama dan baru. @districtonebdg

 

 

Serunya Naik Tuk Tuk di Thailand dan Kamboja

Beberapa tempat biasanya memiliki kendaraan khas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, atau kendaraan yang menjadi ikon tempat tersebut. Misalnya London dengan doubledecker-nya, atau Venezia dengan gondola-nya. Kendaraan-kendaraan tersebut biasanya menjadi kewajiban bagi wisatawan untuk mencobanya. Seperti saat kami melakukan trip 3 negara ke Thailand, Cambodia, dan Viet Nam.

Thailand dan Cambodia ternyata sama-sama memiliki kendaraan khas yang bernama tuktuk atau tuk tuk. Sebagai pejalan yang memilih cara backpacker, maka kendaraan umum yang satu ini menjadi wajib bagi kami, terutama di Cambodia.  Di Cambodia, kendaraan ini adalah kendaraan yang siap antar kapan pun karena ada di mana-mana dengan harga cukup terjangkau.

Walaupun memiliki nama yang sama, ternyata tuk tuk di Bangkok dan di Siem Reap memiliki perbedaan. Di Bangkok, pengemudi tuk tuk berada di dalam tuk tuk, seperti bajaj di Jakarta, hanya lebih panjang, lebar, dan lebih terbuka. Tuk tuk di Bangkok banyak yang dihias. Lebih meriah. Tetapi tempatnya lebih sempit dibandingkan tuk tuk di Siem Reap-Cambodia.

 

Tuk tuk Siem Reap bentuknya lebih menyerupai gabungan sepeda motor dan delman. Jadi, pengemudinya naik motor yang disambungkan dengan tempat penumpangnya di bagian belakangnya. Tuk tuk di sini lebih luas, bisa memuat kami berempat ditambah ransel/carrier kami.

Pengalaman menggunakan kendaraan ini kami mulai di Bangkok saat akan mengunjungi Wat Arun, sebuah candi agama Budha yang memiliki nilai seni tinggi. Berangkat dari tempat kami menginap di daerah Hua Lamphong, kami memesan tuk tuk menuju Pier Ratchawong (pelabuhan feri) untuk menuju ke Wat Arun. Setelah tawar-menawar harga, akhirnya disepakati tarif 100 baht untuk satu tuk tuk atau sekitar 45 ribu rupiah. Satu tuk tuk hanya bisa diisi maksimum 4 orang dewasa. Karena kami berdelapan, maka kami memesan dua tuk tuk.

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Udara masih segar. Petualangan naik tuk tuk dimulai. Saya sudah bersiap dgn pengalaman seru menaikinya karena pernah menonton iklan yang diperankan oleh Pierce Brosnan, si Bintang James Bond, yang naik kendaraan ini. Dan benarlah adanya, pengemudi langsung starter begitu kami semua naik dan duduk manis. Dengan gaya gas yang dikeraskan beberapa kali di awal, pak sopir mengawali pameran keahlian mengemudinya. Kami diajak ber-zigzag beberapa kali melewati barisan mobil yang mulai ramai pagi itu. Wow! Orango banget deh raaanya. Badan kami berayun ke kanan dan ke kiri. Beberapa kali kaki kami sampai terjulur keluar dari badan tuk tuk untuk mengimbangi tubuh kami agar tidak jatuh terjengkang. Jangan berharap untuk duduk cantik dan anggun. Kami semua sampai tertawa menyadari keadaan kami. Untung tidak sampai diajak menembus tenda-tenda pedagang di pasar seperti di iklan Om James Bond tadi.

Berbeda dengan pengalaman pertama di Bangkok, kami sepakat bahwa naik tuk tuk di Cambodia lebih kalem, lebih santai. Kita bahkan bisa terkantuk-kantuk diayunnya. Trip 3 negara dengan teman-teman SGH memang menyisakan banyak cerita seru. Semoga bisa bergabung lagi di perjalanan backpacker mereka berikutnya.

 

Penulis : Augustina Mochamad Sirad

Mengagumi Dragon Bridge di Da Nang

Setiba di Da Nang bisa dibilang cukup suprise juga melihat kotanya. Terbiasa dengan suasana hiruk pikuk kota Saigon, maka Da Nang bagai antitesisnya. Tata kotanya yang asri dengan lalu lintas yang bisa dibilang lengang, tampaknya kota ini belum lama “dibangun” sehingga tata kotanya cukup apik. Sayangnya dari airport tampak tak ada transportasi umum seperti yang mudah didapat di Saigon dan Hanoi. Namun kita bisa dengan mudah mendapatkan taxi atau memesan Grab.

Tak perlu waktu lama untuk melintasi pusat kota menuju hotel yang berjarak sepelemparan batu dari pantai My Khe. Untuk ukuran “kota besar”, pantainya bisa dibilang lengang dengan pasir putih yang siap memanjakan. Sekilas saja tampaknya akan betah dikota ini.

“Cocok yeuh keur pensiun,” ujar Dunga langsung merasa nyaman dengan suasana kota.

Setelah menikmati sunset di pantai, malam hari dilewatkan dengan orientasi medan ke kota. Hiburan yang murah dimalam hari adalah bersantai di tepi sungai sambil mengagumi Dragon Bridge yang ikonik. Malam hari jembatan ini lebih semarak karena cahaya emasnya lebih mencolok bahkan katanya kadang ada atraksi mengeluarkan api pula! Beberapa jembatan lain juga tampak megah, namun menurut saya Dragon Bridge lebih ikonik.

Esoknya ormed dilanjutkan lebih jauh ke Linh Ung Pagoda di Son Tra Peninsula. Sebetulnya ada banyak destinasi yang layak dituju sekitar Da Nang  antara lain Merble mountain, Ba Na Hills, Hoi An dan Hue city. Namun karena jarak-jaraknya cukup jauh bersanding dengan waktu yang mepet jadi tak keburu karena malamnya harus melanjutkan ke Nha Trang.

Keberangkatan sleeper bus sekitar jam 8 malam, tiba di Cam Ranh esok paginya. Namun ternyata ada kesalahpahaman karena kota Nha Trang sendiri sudah terlewat. Cam Ranh adalah tempat airport berada, berjarak sekitar 20 menit dari Nha Trang, sehingga kami balik arah. Beruntung awak bis memahami tujuan kami ke Nha Trang sehingga berbaik hati menitipkan kami ke bis tujuan Nha Trang. Kami diturunkan di pom bensin lalu mencegat taxi untuk menuju Nha Trang.

@districtonebdg

“The Power of Emak-Emak” Edisi Perjalanan Tiga Negara

Awalnya hanya obrolan biasa ibu-ibu saat berkumpul. Ingin berlibur tapi dengan suasana seperti hiking rutin kami. Muncullah ide untuk mencoba backpacking tiga negara. Sangat berbeda situasinya jika ibu-ibu bersiap backpacking, dibanding dengan teman-teman petualang lain, apalagi petualang berstatus masih pelajar. Bagi kami semua harus disiapkan lebih jauh hari: cuti bagi yang bekerja, jadwal sekolah dan kegiatan anak waktu ditinggal harus saat longgar, penyesuaian dengan jadwal suami, dll.

Maka ketika akhirnya tiba waktunya kami pergi ditanggal 1 November 2018, diawali dengan perjalanan kereta api dari Bandung ke Gambir, jadilah kami rombongan ibu-ibu senang (maksudnya senang hatinya). Rasanya semua sudah diantisipasi, walau dengan arahan Kang Bayu Bhar kami bersiap juga untuk segala dinamika selama perjalanan.

Tiba jam lima sore di Don Mueang Airport, kami langsung menuju ke stasiun kereta Don Muang, tepat di seberang bandara. Sambil menunggu kereta ke Hua Lamphong tiba, kami makan di street vendors di sekitar stasiun. Kalau di Bandung setara nyemil ayam D’Chicks dan rujak potong. Kereta tiba, langsung menuju ke tempat hostel kami berada, di sisi lain Bangkok, di Hua Lamphong.

Sekitar 40 menit perjalanan, tibalah di stasiun kereta api besar Bangkok. Surprise dan terkesan melihat stasiun ini, besar sekali dan gedungnya sangat antik, gedung tua bergaya Italian Neo-Renaissance (menurut mbah Wiki). Bagus sebagai trademark kota, bagus untuk obyek foto. Jalan sedikit dari stasiun ini, tibalah kami di hostel, benar-benar hostel gaya backpack. Satu kamar tipe dorm untuk sepuluh orang itu kami sewa untuk kami perempuan bertujuh. Menginap di area Hua Lamphong dipilih untuk efisiensi, karena setelah satu hari keliling seputar Bangkok, hari berikutnya kami akan harus kembali lagi ke stasiun ini untuk menyeberang ke Kamboja dengan kereta.

Sebagai turis, tidak banyak yang berkesan khusus di Bangkok. Thailand sejak lama sudah cukup familiar bagi turis-turis Indonesia. Jadi begitu tiba waktu kami bergerak ke Kamboja lewat Aranyaprathet dan lalu menyeberang ke Poipet, semua bersemangat, terbayang Angkor Wat yang fenomenal. Pengalaman berkesan justru banyak kami alami di Kamboja ini. Sebelum pergi, kami memang paling banyak di-brief soal Kamboja. Tentang banyaknya scam di sana, sampai karakter khas para pedagang atau orang-orang yang berhubungan langsung dengan turis. Dan sejak datang hingga kami meninggalkan Kamboja, semua peringatan itu terbukti.

Diawali dengan pungutan “sukarela” di imigrasi Poipet, keramahan extra manis semanis madu berujung penipuan oleh penjual kartu internet nan cantik jelita yang kami juluki Miss Border, bule pemilik hotel yang seenaknya melempar penginapan ke lain tempat, perjalanan tengah malam 6.5 jam dari Siem Reap ke Phnom Penh tanpa AC dibumbui pengalaman pipis dalam gelap di semak-semak (buat ibu-ibu berhijab, ini masalah pelik), hingga keributan di sleeper bus di Phom Penh gara2 tiket yang entah hilang atau dihilangkan. Dibanding dua negara lain yg dikunjungi, Kamboja memang nampak sekali masih developing, dari segi kehidupan sosial warganya hingga penegakan hukumnya. Tapi positifnya tetap banyak. Makanan Khmer luar biasa enak, saya dan teman-teman sepakat ini lebih enak daripada Thai food. Driver-driver tuktuk yang kami sewa di Siem Reap untuk antar jemput juga sangat helpful, semua on-time, no ngaret. Orang Kamboja yang berinteraksi dengan turis juga rata-rata berbahasa Inggris lebih baik daripada di Thailand. Dan kompleks Angkor-nya luar biasa indah serta well-managed.

Phnom Penh jadi pitstop terakhir sebelum menuju kota perbatasan Bavet dan menyeberang ke Moc Bai, kota perbatasan di wilayah Vietnam. Ibu kota Kamboja ini cukup berwajah metropolitan (termasuk ciri khas Senin pagi yang macet), dengan sungai Mekong yang besar melintas kota. Sungainya sendiri cukup bersih, walau pinggirannya tetap agak kotor. Tapi tetap jauh sih kalau dibandingkan dengan kotornya Citarum. Dengan segala catatan itu, tetap berminatkah suatu saat kembali lagi ke Kamboja? Sangat. Anggap saja niat bersilaturahmi dengan si cantik Miss Border.

Perbatasan Kamboja-Vietnam dilewati tanpa drama kali ini, baik di imigrasi Bavet di sisi Kamboja maupun Moc Bai di sisi Vietnam. Yang menarik, kantor imigrasi di Bavet sangat bagus dan besar, berbanding terbalik dengan sejawatnya, kantor Poipet di perbatasan Thailand kemarin yg lebih mirip tempat jual karcis bus AKAP di terminal Cicaheum dan sama sekali tanpa pemeriksaan badan serta barang bawaan. Padahal Poipet sepertinya disetting sebagai kota judi, karena begitu keluar imigrasi, di sekeliling banyak casino besar terlihat. Kenapa retribusi yang ditarik dari casino-casino ini tidak dipakai untuk membangun kantor lokal yg lebih layak, ya? Hhmm…

Dari Moc Bai, lanjut tiga jam perjalanan lagi dengan bis ke tujuan kami selanjutnya, Ho Chi Minh City aka Saigon. Begitu masuk Saigon,keriuhan lalu lintasnya yang terkenal seantero dunia langsung menyambut. Tidak banyak kota dunia yang menawarkan “menyeberang jalan” sebagai pengalaman unik dan khas yang harus dicoba, jadi kami beruntung (walaupun seram) bisa mengalaminya di Saigon. Di Saigon tema kunjungannya heritage walk (belanja walk juga sih), keliling kota melihat uniknya Saigon sebagai kota yang, di luar dugaan, ternyata sangat cantik. Perpaduan klasik dan modern-nya pas, dan dimanfaatkan dengan baik untuk dijual sebagai wisata kota. Suatu hari sangat ingin kembali ke sana untuk eksplor lebih jauh, mungkin harus lanjut ke Vietnam Utara. Tidak terbayang sama sekali sebelumnya, bahwa Vietnam ternyata cukup membuat penasaran dan merindu.

***

Satu catatan khusus bagi kami adalah bahwa selama perjalanan, dan sepanjang perjumpaan serta pengamatan sesama turis berbagai penjuru dunia kemarin, spesies kami terbilang langka di kategori turis asing di ketiga negara tersebut. Backpacker? Banyak. Backpacker muda? Banyak sekali. Backpacker muda bule? Paling banyak. Backpacker muda Asia? Ada beberapa. Backpacker muda golongan bangsa Melayu atau asal Indonesia? Tidak ada. Backpacker paruh baya? Ada jumpa beberapa bule di stasiun. Backpacker paruh baya Asia? Tidak ada. Backpacker paruh baya Melayu? Tidak ada. Backpacker ibu-ibu paruh baya segala bangsa? Tidak ada. Backpacker berhijab? Tidak jumpa. Backpacker ibu-ibu paruh baya berhijab golongan bangsa Melayu asal Indonesia? Ada. Itulah kami, spesies yang mungkin harus dilestarikan (mungkin juga tidak haha).Mudah-mudahan jika Ia mengizinkan, kami masih diberi kesempatan untuk bisa bertemu spesies-spesies langka lain, di lain waktu, dan di lain petualangan

 

Penulis : Lia Kamellia Benny.

Sejenak Relax di Don Muaeng Railway Station

Don Mueang Railway Station bisa dikatakan spot pertama kami  dari Sadaya Geulis Hikers, saat  melakukan trip 3 negara Thailand – Campodia – Vietnam bersama District One pada tanggal 1-7 November 2018 yang lalu.

Tidak sulit menemukan Railway Station ini karena lokasinya yang berseberangan dengan Bandara Don Mueang tempat pesawat kami dari Cengkareng mendarat.  Ada jalan khusus untuk tembus menuju tempat ini dari Bandara sehingga kami tidak perlu repot menyebrangi jalan.

Mungkin ada yang aneh dengan kata ‘relax’ pada judul di atas. Kok bisa sebuah stasiun KA yang identik dengan keramaian dan hiruk pikuk manusia, apalagi ini di Thailand  yang penduduknya lumayan padat, bisa dibilang ‘santai’.

Jangan salah, kami memang merasakan ambience yang ringan. Bisa jadi ini pengaruh setelah  agak dag dig dug melakukan perjalanan panjang dari Bandung menuju Gambir  yang kemudian diteruskan dengan Damri menuju Cengkareng yang saat itu terkena macet. Sehingga perkiraan tiba di Cengakreng dalam waktu satu jam, kenyataanya tiba dalam waktu 2 jam.  Belum lagi menghadapi petugas Bandara di Don Muaeng yang menurut kami lumayan ‘galak’ dan sempat marah dengan cara menunjuk –nunjuk ke teman kami, Iing Irma karena belum lengkap mengisi data visitor.

Dengan tiba di stasiun ini membuat kami agak bisa menarik nafas lega setelah drama-drama tersebut, dan juga euphoria menyadarai sebenarnya  petualangan kami dimulai di sini. Calon penumpang yang duduk  menunggu KA relatif sedikit. Loket pun sepi. Entah rush hour -nya sudah lewat  atau karena kebetulan Don Muaeng ini sebenarnya berada agak jauh dari pusat Kota Bangkok.  Entah. Yang jelas ketika kami menunggu jadwal KA ke Hua Lamphong terasa santai dan relaks.

Setelah kami membeli tiket menuju stasiun Hua Lamphong  Bangkok seharga sekitar 5 Baht ( setara Rp. 2.250,-), kami pun duduk-duduk di kursi peron dengan  leluasa, bersantai melihat sekeliling.

“ Serasa di Jakarta ya, itu tadi lorong terusan Bandara – Stasiunnya mirip di Stasiun  KA Tanah Abang”, Nonon berkomentar diikuti tawa semuanya.

Stasiun KA Don Mueang areanya terbuka  sekali, pedagang kaki lima bisa bebas berjualan. Sambil menunggu di kursi peron, kami bisa dengan bebas membeli aneka street food karena hampir tidak ada pagar pembatas antara stasiun dengan jalan raya.  Makan sore ala-ala nasi plus ayam fried chicken kami beli seharga 20 baht saja, plus sebotol juice nenas  seharga 10 baht, buah jambu 10 baht. Total jajan saat itu 40 baht (setara  sekitar 17.500,-). Nikmat menyehatkan pula.

 

Tapi ada hal yang paling berbeda di Thailand ini kami tidak melihat orang lain merokok di public area.  Ada tanda “No Smoking” tersebar, tapi adapula  beberapa spot yang sudah hilang tandanya. Tapi jangan heran, tanpa tanda pun masyarakat sudah dibiasakan tidak merokok di public area, sehingga ada dan tidak ada tanda larangan pun kebiasaan sudah terbentuk untuk tidak merokok sembarangan. Jadi ingat di Indonesia ada masyarakat  malah yang merokok di depan tanda larangan merokok. Inilah positifnya backpackingan ke Negara lain, sering membandingkan kegelian yang terjadi.

Hal unik juga dimana masih banyaknya telepon koin lama yang masih difungsikan. Rupanya pemerintah Thailand termasuk yang tidak tergesa-gesa menghapus teknologi lama. Telepon koin walau  termasuk teknologi lama tidak ada salahnya memang untuk tetap digunakan jika masih berfungsi dengan baik. Bandingkan, telepon koin di Indonesia telah punah sejak beberapa tahun lalu walau mungkin sebenarnya masih bisa berfungsi. Kami pun sejenak menjadi ahli banding. Membandingkan  perbedaan dan kesamaan Thailand dan Indonesia.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 19.00, kami pun bersiap-siap menyambut KA yang akan membawa kami ke stasiun Hua Lamphong.  

@BrahmaTanti