Maju Kena Mundur Kena di Jalur Ngarit : Tahura ke Tebing Keraton

Tidak ada setapak ataupun penanda. Kami semua menerobos tanaman perdu, termasuk tanaman pulus yang seakan-akan mematai-matai kami, mengintai sepanjang perjalanan. Bahkan batang-batang pohon seperti memberikan PHP alias harapan palsu, terlihat kuat untuk dipegang dan mudah diraih, tetapi kenyataannya ketika dipegang, tanah begitu rapuh, sehingga seringkali kami ikut tergelincir ataupun jatuh bersama pohon yang kami jadikan pegangan.

Sebenarnya saya sudah ingin melupakan rute hiking menuju Tebing Keraton dari arah Tahura, malah sudah mendeklarasikan diri tidak ingin lagi mengalami hiking dengan rute trek seperti itu lagi (lihat cerita hell pass).
Tetapi takdir mempertemukan kami dengan salah satu guide lokal (?) di Tahura, kala itu kami ingin sedikit demi sedikit menuntaskan Ekspedisi Cikapundung 2022 yang diinisiasi oleh komunitas perempuan D1VA.

Perkenalan terjadi saat kami mengunjungi Curug Omas dan Curug Cikapundung yang menjadi bagian jalur ekpedisi Cikapundung. Saat itu beliau mengatakan bahwa ada trek hiking dari Maribaya menuju Tebing Keraton. Krrrk…krrrk…mata saya langsung membelalak…ingat beberapa tahun ke belakang. “Wait pak…jadi gimana treknya” saya mencoba membuka pertanyaan. “Ya agak nanjak terus, masuk hutan”. “Bapa yakin hafal rutenya?” “Hafal neng, kan bapa yang buka jalurnya juga” beliau meyakinkan.

Saya pun berdiskusi dengan Melly, Jule, dan teman-teman lain. Mereka sepakat untuk menjajal trek made in si bapa ini lalu mulai mengagendakan jadwal hiking pada hari Minggu, 18 Desember 2022. Beberapa teman batal ikut karena ada keperluan lain. Jadilah kami be-3. Saya, Melly, dan Jule.

Dengan mantap, pagi-pagi jam 8 kami berkumpul di Sekejolang untuk bertemu dengan guide di Warung bu Aah. Kami pun berjalan menuju Curug Cikapundung, dan beliau menunjukkan arah ke sebelah kiri menuju ke arah lereng Tebing Keraton.

Pada saat masuk jalur hutan tersebut, perasaan saya sudah kacau, dimulai dengan mendengar keterangan yang berbelit-belit mengenai trek dari guide, lalu terkesan menakuti-nakuti bahwa di sini ada ular piton dan banyak lebah bersarang. Mengenai binatang-binatang liar ini sih saya percaya, karena hutannya terlihat memang jarang terjamah manusia. Dan waktu terakhir jajal jalur hellpass di 2016 memang saya melihat sarang lebah yang luar biasa besar tepat di bawah tebing keraton.

Setelah hiking kurang lebih 30 menit, lebih tepatnya climbing sih ini, pemandangan tampak berbeda. Batu-batu besar berlumut mendominasi trek saat itu. Trek bikin jengkel mulai menghantui ketika jalan yang kita lalui sepertinya bukan merupakan jalur. Tidak ada setapak ataupun penanda. Kami semua menerobos tanaman perdu, termasuk tanaman pulus yang seakan-akan mematai-matai kami, mengintai sepanjang perjalanan. Bahkan batang-batang pohon seperti memberikan PHP alias harapan palsu, terlihat kuat untuk dipegang dan mudah diraih, tetapi kenyataannya ketika dipegang, tanah begitu rapuh, sehingga seringkali kami ikut tergelincir ataupun jatuh bersama pohon yang kami jadikan pegangan.

 

Suasana pun tambah tegang hati bimbang ketika si bapak tidak memberikan jawaban pasti ke arah mana kita harus melangkah. “Ke kiri atau ke kanan ya neng?” beliau malh balik bertanya. Jule yang sepanjang perjalanan terus mengomel akhirnya tidak tahan untuk tidak berkomentar “Lha, kan bapa guide nya, kenapa nanya ke saya?”
Lalu dia menerangkan bahwa jalurnya tertutup pohon-pohon tumbang, sehingga ia harus meraba-raba kembali jalannya.

Drama terpeleset, kaki tertahan di kemiringan, jadi santapan selama satu jam perjalanan. Ah melelahkan sekali. Lereng semakin miring dan tanah semakin rapuh, kami menghela nafas sejenak. “Cape kesel, sumpah!” Jule mulai ngacapruk lagi.
“Pa naha ieu mah jalurna sieun kieu” Melly mulai ragu karena tertahan di kemiringan tidak bisa naik lagi. “Gak ada pijakan, mau naik kemana, tidak ada pegangan juga.” Melly dalam posisi telungkup kesulitan bergerak memang sementara saya dan Jule pun hampir jumpalitan di lokasi tempat saya tertahan.

Saya berbisik ke Jule yang juga sedang berusaha untuk mencari pijakan yang lebih kuat. “Jul, ini mah kita harus mengandalkan diri sendiri, ini kita gak bisa bergantung sama dia, liat deh bapaknya juga kepayahan”
“Eh Jul tarik aku uy mau tergilincir ke lereng” saya minta tolong Jule yang sudah sampai duluan ke area dekat pohon yang kuat.

 

Saya pun menelepon Pa Bayu yang survey tahun 2016 itu untuk meminta saran, duh untung ada sinyal setrongg….”Ini sih hiking edan lagi’ saya bilang. “Sudah balik kanan aja, masih jauh itu”, ia menyarankan.
Guide sepertinya enggan untuk turun, seperti halnya saya dan Jule yang sudah di atas. Tapi Melly yang posisi di bawah gimana? Dia tertahan di posisinya kesulitan naik, mencari pegangan pun susah.

Saya ngobrol lagi sama guide nya, “Pak kemungkinan berapa menit lagi ini sampe?” beliau dengan wajah ragu hanya menjawab “sedikit lagi”’….saya bisa membaca kecemasan di wajahnya… mulai ngomong ngalor ngidul….tidak meyakinkan….. ah sudah…..skip…skip…
Saya berusaha tenang ”Pa istirahat dulu lah, makan permen dulu, ngerokok dulu lah pak”
Kalo saja bapanya bisa meyakinkan kami bahwa treknya sudah dekat dan aman, mungkin kami bisa sedikit push Melly bantu naik. Tapi …krkkk..krkk..krrk…tiba-tiba bapak guide nya nanya ke saya…”Neng cobi eta ka rerencangan eneng eta nu nelp taroskeun kira-kira udah berapa perjalann lagi?” harrrrrr…ari bapak….mulai tambah capek karena gagal paham.

Akhirnya saya suruh beliau ngomong aja ke pa Bayu …”Pak, jadi gini aja, kalo jalurnya udah bagus, udah bapa tata lagi, dibebereslah, nanti bisa dicoba lagi, sekarang udah jam 12 siang lebih mending balik lagi aja, khawatir keburu hujan tambah beresiko” saran pa Bayu.

 

Setelah melakukan telp. Saya dan Jule termenung, gimana kita baliknya? Wkwkkwkw…susah banget mau turun. Tapi harus kita lalui juga ini. Haduh serba salah. Kayak film Warkop aja ‘Maju Kena Mundur Kena’
Bapak guide (abal-abal) sepertinya enggan turun juga. Lanjut naik aja neng, udah dikit lagi kok.
Lanjut ke mana pak, Jule yang mulai hilang kesabaran “Udahlah bapak jangan banyak wacana….” Ya ampuuun…jadi kumaha ini teh atuuuuh….
Okay udah kita balik aja, saya pun akhirnya tegas memutuskan. Jalur ini bahaya…not recommended.

“Pa lain kali jangan nawarin trek ini ke tamu, ini menurut saya not recommended” nasihat kami.

Sedikit demi sedikit dengan kesabaran bercampur kecemasan akhirnya bisa turun ke pijakan yang tidak terlalu miring.
Ketika batu-batu besar dan jalur air telah dilewati, jalanan mulai agak bersahabat wajah si bapa mulai berbinar kembali lalu bercerita kalo trek ini sering dipake trail running Tahura, “Bapa sering bawa tamu asing ke sini, ada yang bikin video, kalo jatuh teh pada ketawa-ketawa….pada nyampe ke atas tamu-tamu bapa…bla…bla…bla…”

Krkrkk….krrkkk…. Jule yang dengernya malah bernyanyi ‘’’Segala yg kau ucap bohong, semuanya omong kosong, tak perlu lagi percaya, kau hanya pura-puraaaa”
Lalu mang guide bertanya ke Melly, “ini tadi kita lewat jalan sini kan ya”….harrrrr yang kesekian kali …

What an experience. Setelah turun ke curug Omas kami pun bersih-bersih. Lalu ada seorang bapa yang sedang duduk di warung berkomentar.

“Neng, ngapain ke sana, itu mah jalur ngarit bapa”

Hatchiiii….langsung bersin …
Yasudah!

 

Penulis : Tanti Brahmawati

 

Diintip Macan di Tahun Macan: Curug Cisaronge Story

Kami pun meneruskan berjalan, cenderung menanjak, melewati hutan yang semakin rapat, melewati setapak sempit dengan sisi kiri jurang dan kanan lereng tebing dengan hutan yang gelap dan rimbun sampai akhirnya suara gemericik air yang semakin jelas mendekat. Rupanya kami sudah tiba di curug Cisaronge.

When the students are ready,  the teacher will appear

 

Perjalanan hiking kali ini agak berbeda. Awalnya saya, Melly, Jule, Tatu, Desi, Meni, dan Riris ingin memanfaatkan  liburan Imlek dengan hiking sambil bersilaturahmi dengan warga  Desa Cibeusi yang sudah kami anggap sebagai our second home. Bersilaturahmi dengan  warga di curug Cibareubeuy atau sekedar ikut mandi melepas penat di curug Cibihak memang sudah seperti rutinitas para d1vais. Tapi kemudian timbul ide untuk menyambangi curug lain saat Cibareubeuy sudah semakin ramai dan Cibihak sudah bukan lagi seperti curug milik pribadi.

Berawal dari hasil survey team District One ke Curug Ciregoh di tahun 2018 lalu. Namun tidak seperti hasil survey lain yang langsung ditawarkan trip,  DO seperti menunda-nunda trip ke curug Ciregoh. Seperti hare-hare  bila ditanya kapan ada trip ke Ciregoh. Ada apakah?

Kami dari grup D1VA seperti tertantang juga tidak mau ketinggalan  untuk mengetahui keberadaan curug tersebut, apalagi mendengar sekarang sudah bisa disambangi turis hiking.

Rencana pun dibuat mendadak, 3 hari sebelumnya. Dengan mengandalkan Andri,  warga lokal untuk mengantar kami yang menurutnya curug Ciregoh bisa diakses dan tembus dari curug Cibihak. Walau enggan leading trip,  DO tetap menurunkan salah satu guide nya, Adlan, untuk mendampingi.

“Besok buat melapis safety aja,” pesan yang diterima Adlan dari komandan.

Trek yang diambil via curug Cibihak sebetulnya berbeda dengan info survey yang menyebutkan jalur ke Ciregoh tidak melewati curug ini. Tapi, hey, siapa tau ada jalur lain?

Pagi-pagi di hari Selasa,kami pun penuh semangat berkemas untuk melakukan hiking. Tidak ada sesuatu yang aneh saat berjalan menuju ke arah  Curug Cibihak kecuali melihat Elang yang mengudara tinggi di langit sedikit mendung, pemandangan yang sebenarnya  jarang saya lihat bila mengunjungi wilayah ini.

Kami beristirahat sebentar di curug Cibihak setelah kurang lebih berjalan kaki 45 menit dari Cibeusi. Rombongan berjumlah total 9 orang ini pun meneruskan langkah menanjak ke punggungan bukit yang lebih tinggi.

Sekitar  30 menit kemudian kami tiba di sebuah pondok kosong  tempat mengolah  gula aren. Gelap dan terasa dingin.  Warga lokal yang mengantar kami memberitahukan bahwa perjalanan masih panjang karena harus melewati curug Cisaronge dahulu sebelum ke destinasi akhir. Kami pun meneruskan berjalan, cenderung menanjak, melewati hutan yang semakin rapat, melewati setapak sempit dengan sisi kiri jurang dan kanan lereng tebing dengan hutan yang gelap dan rimbun sampai akhirnya suara gemericik air yang semakin jelas mendekat. Rupanya kami sudah tiba di curug Cisaronge. Tidak berlama-lama di sini, karena terburu-buru ingin melanjutkan perjalanan.

Dengan menyebrangi curug kecil berair deras tersebut, kami pun  terus  berjalan meneruskan jalur setapak  rimbun sampai tiba di area tanpa setapak sama sekali. Andri dan Adlan pun mencoba menebas ranting pohon dan semak agar bisa dilewati.   Area  tersebut berupa  lereng dengan kemiringan yang membuat kami agak bersusah payah mencari  pijakan  maupun ranting kuat sebagai pegangan. Drama jatuh terjerembab pun menjadi bumbu cerita hiking kali ini tapi kami selalu ceria dan bersemangat melanjutkan perjalanan. Mungkin karena perut kami selalu diisi, jadi baterenya gak pernah mati…hahaha…

Perjalanan  terasa stuck ketika pergerakan semakin lambat. Kami semakin kehilangan jalur dan tak tau arah. Adlan mencoba berjalan paling depan untuk melihat dulu jalur yang aman untuk dilalui. Beberapa menit kemudian dia kembali dan bilang kalo  jalur yang kita ambil bukan jalur yang seharusnya alias tersesat, waduh….karena di depan jalur yang kami ambil terhalang  lereng batu dan jurang.  Adlan memberikan masukan,  “Sangat beresiko bila dilanjutkan, apalagi jam segini kita masih di sini.  Kalo memaksakan, apalagi  kita sendiri  tidak tau track di depan nanti seperti apa, akan repot bila sore semakin tiba”.  Akhirnya saya memutuskan mengajak teman-teman untuk balik kanan dan bermain air di Cibihak saja. “Apa mending di curug Cisaronge aja dulu kita buka kompor dan bikin kopi?” Andri memberikan ide. “Tidak, lebih baik di Cibihak saja” saya bersikeras. Entah kenapa saya merasakan sesuatu yang aneh ketika berada di Curug Cisaronge yang gelap, dingin, dan terasa berbeda tersebut.

Ketika kami berjalan balik, grup terbagi dua, saya di barisan terakhir bersama Riris, Desi, Adlan dan Jule. Sementara Tatu, Melly, Meni, dan Andri  ada di depan  berjarak 10 meteran dengan grup belakang. Kurang lebih setelah 15 menit berjalan , tepatnya sebelum curug Cisaronge, saya mendengar suara yang familiar dari balik hutan yang rapat. Suara yang saya hafal tapi tidak mau menyimpulkan terburu-buru karena tidak yakin dan takut membuat gugup teman yang lain.  Saya mencoba melirik sedikit ke  arah suara, sambil bertanya pada Jule yang berada di depan saya, “Jul, kamu denger suara-suara aneh gak”. Rupanya Jule juga sedang  berpikir akan suara tesebut “ iya, ada suara, suara apa ya” . Kami berdua terdiam, suara itu kembali ada, terasa dekat di telinga saya dan Jule. “Tuh Jul, ada lagi”. Jule pelan berbisik “Hooh uy, sebelah kiri” Saya menoleh ke Adlan yang berada di belakang saya, “ Denger suara gak dari sebelah kiri”. Dia jawab “sepertinya yang teteh maksud suara mesin pesawat terbang mungkin teh”  ” Lalu saya bilang ke Jule, “Jul, ternyata itu suara pesawat terbang kata Adlan ” karena memang saat bersamaan ada suara menggaung  yang merambat di atas kami, bergemuruh seperti suara mesin pesawat. Jule tampak tenang mendengarnya. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali dengan tenang.

Setelah melewati curug Cisaronge lagi, jalur setapak pun mulai terbuka terang. Lalu saya mendekat ke Riris . Riris berujar,  “Tadi denger suara aneh gak teh? Kayak suara gergaji kayu, tapi cuman dua kali, terus seperti suara mesin, tapi masa iya juga itu suara mesin gergaji, bingung suara apa, tapi mirip gitulah, aku sih diem aja, gak mau mikir macem-macem”.

Desi pun menimpali “Desi juga denger, tapi diem aja gak berani ngomong,  berdoa aja terus dalam hati”

Setelah tiba di Cibihak, grup depan yang rupanya tidak mendengar suara tersebut  langsung nyebur mandi menikmati segarnya air curug. Sementara kami grup belakang lebih senang membuka bekal kami, memasak air panas, menyeduh kopi, dan membuat perapian. “Kita bikin perapian, biar dia tidak mendekat” Adlan berinisiatif.

Setelah beres kami berjalan pulang ke saung sawah tempat kami memesan liwet untuk makan siang (tepatnya makan sore karena kami  makan jam 4 sore, hahaha). Di sana saya baru mengabarkan perihal kejadian saat tadi di lereng ke teman-teman yang berada di grup depan. Juga memberithau pada pemilik saung apa yang kami alami. Saya bilang padanya sepertinya terlalu beresiko kalo membawa turis hiking ke Curug Cisaronge.

Menurut pemilik saung pula kami tahu kalo wilayah ini bukan perlintasan pesawat terbang. Waduh, tambah kacau sih ini. Untungnya kami sudah di berada di lokasi penduduk.

Dalam perjalanan pulang, di mobil tidak hentinya membicarakan pengalaman luar biasa ini.  Iseng-iseng di You Tube kami search suara macan, OMG ternyata yang kami dengar persis sekali dengan suara macan tutul.  Semakin kami yakin apa yang kami dengar adalah suara si  raja hutan.

Alhamdulillah, kami semua baik-baik saja. Saya masih kagum terhadap teman-teman D1VA yang bisa tetap tenang dan tidak panik.  Sama halnya saya pun saat itu merasa tenang, dalam hati saya merasakan  bahwa dia hanya ingin memberitahu bahwa itu wilayah territorinya, tolong jangan dimasuki.

It will be our unforgetable hiking experience . Begitulah, hiking di hari Imlek, disambut suara pemilik shio 2022 di tempat favoritenya, curug  Cisaronge. Ada yang tau kira-kira ini pertanda apa?hehehe

Bandung, 4 Februari 2022

Penulis,

Tanti Brahmawati

Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut.

Kegiatan Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921 dengan tema Konservasi – Seke – Tradisi diselenggarakan pada hari Rabu,  29 Desember 2021 atas inisiasi Komunitas CAI dan Karang Taruna Ledeng, juga bekerjasama dengan beberapa komunitas pegiat pelestari alam dan instansi terkait di pemerintahan kota Bandung.

Acara yang dihadiri oleh Plt. Walikota Bandung Bapak Yana Mulyana ini ditutup dengan adanya nota kesepakatan antara pihak-pihak pemerintah terkait untuk segera membuat suatu kebijakan dan komitmen yang tangguh dalam hal menjaga kelestarian bangunan heritage peninggalan Hindia Belanda tersebut. Ini harus dilakukan agar tidak terbengkalai seperti sebelumnya.

Gedong Cai saat ini masih berfungsi sebagai benteng pelindung reservoir mata air di Bandung Utara, namun proses urbanisasi di KBU yang hilang kendali membuat keberadaannya terancam akan bahaya longsor.

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut. Ketika ditemukan beberapa Seke (mata air) di daerah Ledeng, lalu dibangunlah semacam water station dengan pipa besar yang ditanam dalam tanah untuk mengalirkan air ke seluruh penjuru kota Bandung.

Mengutip pidato Direktur PDAM Tirtawening Sonny Salimi S.ST.MT, pada acara tersebut, Gedong Cai ini pertama kali dimanfaatkan oleh PDAM pada tahun 1977 dengan debit air 50lt/dtk, skrg menurun jadi 22lt/dtk, yang dimanfaatkan PDAM skrg ini hanya 10lt/detik, itu pun untuk mengairi kurang lebih 800 pelanggan di wilayah Cipaku dan Ciumbuleuit saja. Sisanya digunakan warga Cidadap dan sekitarnya.

Saat ini, walau debitnya berkurang, tempat ini masih mengalirkan air bersih untuk wilayah pemukiman sekitar Ledeng, Cidadap, Cipaku, dan Ciumbuleuit.

Mari kita jaga seke-seke di sekitarnya agar debit airnya semakin meningkat kembali, sehingga pasokan air bersih untuk kota Bandung bisa meningkat kembali. @BrahmaTanti

Sekeping Surga Dibelakang Terminal Kumuh

Di sekitar Cidadap Girang, Bandung atau biasa dikenal dengan kawasan Ledeng tersebar beberapa seke atau mata air yang tak pernah kering. Selain seke-seke ini ada beberapa anak sungai salah satunya Sungai Cipaganti yang punya potensi wisata.

Menurut catatan, kawasan belakang terminal Ledeng ini mulanya bernama Kampung Cibadak. Secara epistimologi, nama ‘Cibadak’ berarti ‘Cai Badag’ atau air yang melimpah. Agak ironis bila melihat kondisi terminal Ledeng sekitarnya yang kumuh.

Masa pemerintah Belanda, sumber mata air yang melimpah dari tempat ini dibuatkan bangunan pelindung untuk kemudian disadap dan dialirkan melalui saluran pipa besar yang ditanam di dalam tanah. Bangunan pelindung itu dikenal dengan nama Gedong Cai.

Bertujuan melakukan penghijauan, sejak 2019 Komunitas CAI hadir melanjutkan program revitalisasi lingkungan di sekitar Gedong Cai. Beragam tumbuhan mereka tanam di sekitar Sungai Cipaganti, salah satunya tanaman bambu.

Hasilnya, puluhan bambu endemik langka, seperti bambu 22, bambu ater, bambu bitung, dan bambu hitam ada di sini. Selain bambu, ditanam juga pohon penyerap air, misalnya kopi, beringin, pohon endemik seperti karung serta patrakomala, atau buah-buahan seperti mangga dan nangka.

Sebagai bentuk support atas tujuan mulia tersebut, pada hari Sabtu 4 Desember 2021 bertempat di cafe 25 Arcamanik D1VA mengundang komunitas CAI untuk berdiskusi sekaligus nonton bareng film pendek “Preserving the Seke” produksi ZBX yang menceritakan kawasan tersebut. Film pendek yang disutradarai Irwan Zabonk ini mendapat apresiasi dalam festival film di New York. @districtonebdg

D1VA Berbagi Ilmu Ekoturisme dengan Mahasiswa

Komunitas D1VA berkesempatan memberikan mentoring program OKK Unpad 2021 untuk mahasiswa TPB Unpad  yang tertarik pada Ekoturisme. Beberapa pegiat komunitas hiking ini yaitu Tanti,  Ety,  dan Meni dengan antusias berbagi pengalaman mereka secara online kepada kelas ekoturisme yang penuh keingintahuan.

TPB merupakan singkatan dari Tahapan Persiapan Bersama, merupakan proses pembekalan yang diberikan kepada mahasiswa di tahun pertama masa studi. Pada tahun ajaran 2021 ini seluruh mata kuliah pada TPB akan saling bersinergi secara simultan. Mata kuliah Pancasila, Kewarganegaran, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, dan OKK (Olah Kreativitas dan Kewirausahaan) satu sama lain saling bersinergi dan simultan melalui satu proyek yang sama. Pendekatan mata kuliah OKK tahun ini mengalami perbedaan signifikan dimana didesain sebagai mata kuliah wajib kurikulum berbasis proyek.

Berbicara tentang Ekoturisme, menurut Tanti Brahmawati,  harus memisahkan diri dulu dengan ‘mass tourism’, walau bisa berjalan berdampingan, tapi tetap memiliki idealisme dan jalan tempuh tersendiri.

Mengulas CBET ( Community based Eco-torism)  yang kini berkembang, lalu membuka wawasan tentang bagaimana Ekoturisme bisa menggali karakter-karakter pancasilais. Mengukuhkan sebuah objek Wisata Ekoturisme harus tetap dikelola oleh masyarakat setempat (komunitas kewilayahan), jangan sampai jatuh ke investor swasta yang sifatnya memonopoli dan profit minded.

Ekoturisme harus konsisten pada prinsip-prinsip yang pro rakyat, meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat, menjunjung karifan lokal dan hukum adat, memunculkan karakter ‘ngamumule lemah cai’, dan karakter-karakter pancasilais lainnya.

 

Peran komunitas dalam menyokong Ekoturisme sangatlah penting, bukan saja untuk menemukan, menandai, mempromosikan, tetapi juga menjadi media memberikan masukan pada pelaku dan penggiat ekoturisme, dan tidak kalah penting yaitu harus bisa berperan sebagai katalisator untuk menyampakain kritik, masukan, ide pada stakeholders pemerintahan terkait.

Sementara itu,  Meni berbagi pengalaman edukasi dini ekoturisme kepada pelajar  dengan mengenalkan mereka kepada kebudayaan Sunda di desa adat Cireunde dan Ety membawa imaji para mahasiswa kepada upaya-upaya menjaga kelestarian alam sungai Cikapundung. @districtonebdg

Restorasi Ekosistem Cikapundung Pada Hari Lingkungan Hidup

Restorasi ekosistem dapat mengambil banyak bentuk misal menanam pohon, menghijaukan kota, membangun kembali kebun, mengubah pola makan atau membersihkan sungai. Restorasi bertujuan membentuk generasi yang bisa berdamai dengan alam.

Tema hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2021 adalah Restorasi Ekosistem dimana Pakistan bertindak sebagai tuan rumah global pada tanggal 5 Juni. Pada hari Lingkungan Hidup Sedunia ini sidang umum PBB  meluncurkan deklarasi Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem.

Restorasi ekosistem dapat mengambil banyak bentuk misal menanam pohon, menghijaukan kota, membangun kembali kebun, mengubah pola makan atau membersihkan sungai. Restorasi bertujuan membentuk generasi yang bisa berdamai dengan alam.

Salahsatu cara keberpihakan kita pada lingkungan hidup adalah aktif pada kegiatan kesukarelawanan lingkungan. Siapa pun dapat menjadi sukarelawan. Kita bisa mengikuti kegiatan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan memunguti sampah atau pada acara-acara yang digelar di sekitar.

Pada hari Lingkungan Hidup Sedunia  kali ini, komunitas D1VA Adventure for Women dan Cika-Cika Cikapundung Cikalapa memperingatinya dengan kegiatan bantuan sembako dan bersih-bersih sungai Cikapundung di sekitar PLTA Dago. Kerjasama serupa juga dilakukan tiga bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 22 Maret saat memperingati Hari Air.

Dedengkot komunitas D1VA, Tanti,  mengatakan bahwa bantaran sungai merupakan ruang hijau, bukan tempatnya untuk menampung sampah. Hal ini diamini oleh Ety,  aktifis komunitas Cika-Cika yang mengajak warga sekitar Cikapundung untuk selalu menjaga kelestarian sungai. @districtonebdg

 

Berbagi Kebahagiaan Hiking Bersama D1VA

Kegiatan bertajuk Saturday Outdoor adalah kegiatan yang sudah lama dirintis oleh District One (DO Adventure). Saya sendiri  bergabung sekitar tiga tahun lalu, kemudian bersama teman-teman hiking perempuan lainnya membentuk DO girls dan ikut melakukan Saturday Outdoor secara rutin. Hiking ke tempat-tempat sepi namun tidak jauh dari kota Bandung agar siang atau sore hari kami sudah berada di rumah kembali. Setelah berjalan beberapa tahun, program Saturday Outdoor ini kemudian di-shutdown , tampaknya DO Adventure menyerahkan inisiatif hiking pada hari weekend ini kepada para peserta sendiri.

Lama-lama disadari bahwa kami pun “not actually  a girl”, maka kami mengubah label tersebut menjadi D1VA, kependekan dari District One Adventure for Woman. Kini dengan program yang tidak melulu untuk kesenangan sendiri, tapi juga program  atau event yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Maka beberapa event yang diperuntukkan bagi masyarakat luas pun diselenggarakan seperti Women’s Run dan Fun Green Run , keduanya merupakan event trail running 5K.

D1va  ingin menjadi salah satu wadah kaum perempuan di Kota Bandung yang ingin melakukan hiking. Tanpa terasa kegiatan rutin kami  sudah berjalan kurang lebih satu tahun.

Tentu saja kami tak berangan-angan menjadi seperti para petualang profesional yang akan memuncaki gunung salju.

“Jangan bermimpi terbang tinggi bila tak punya sayap,” nasihat seseorang, “cukuplah menjadi sebaik-baiknya diri.”

Benar, cukuplah menjadi sebaik-baiknya kami, kaum perempuan yang bergabung bersama-sama dalam keceriaan alam. Saling menyemangati.

Bila dalam melakukan hiking  ada kalanya melihat elang terbang tinggi di angkasa, mungkin bukan seperti itu kami ingin dilihat. Bukan elang yang terbiasa terbang diatas awan untuk menghindari badai, melainkan seperti burung-burung pipit yang terbang bahagia dari pohon ke pohon. Kebahagiaan yang menginspirasi. (TB)

 

Disambut Elang di Curug Luhur

“Ah untung gak mendung”, saya  bergumam sendiri. Agak khawatir hari itu akan hujan karena sehari sebelumnya wilayah Bandung  diguyur hujan sangat deras dan lama.

Yes, mataharinya hangat dan  setapak tanah pun menjadi empuk untuk dipijak. Saya tersenyum, alam tersenyum. Mari kita let’s go, temans.

Dari pintu masuk  tempat loket tiket berada,  kami hanya perlu 3, 5 KM hiking untuk mencapai ke curug ini. Jarak tempuhnya memang tidak lama tapi track ke sini cukup bervariasi, mulai  dari medan dimana kami bisa jingrak jingkrak sambil tertawa haha hihi  sampai medan serasa kita gagal menari balet di lantai licin (duh..)

Setelah trekking sekitar 1,5 jam dengan kontur trek adem adem dulu baru jatuh kemudian (ini  yang membuat geli), terdengar juga suara air terjun walau belum tampak terlihat. Serasa menjadi tamu kehormatan alam saat  air terjunnya nampak jelas terlihat sementara dari atas terdengar pekikan burung elang menyambut kami. Sepertinya ada elang sedang terbang di atas hulu air terjun.

“ Wah disambut Elang tuh kita,” guide kami berkomentar. Serta merta kami mendongak mencari sumber suara dan melihat tak hanya satu,tapi ada empat ekor elang berputar-putar di angkasa.

Perjalanan  hiking ke Curug Luhur di Cibodas ini bisa dibilang  trip kesekian bagi D’ hikers, walau dengan personil yang berbeda.  Dengan mengeluarkan kocek kurleb Rp. 200.000, sejak keluar pintu rumah. Tak apa-apalah.. demi hiking ke tempat  ‘less traveled’ sekitaran Bandung dengan para guide yang sabar dan berpengalaman, saya yakin  tidak ada yang  merasa sia-sia.

Siapa yang tidak akan senang menikmati indahnya alam curug sambil minum kopi, trek dengan pemandangan yang memanjakan mata dan ditemani empat burung elang yang terbang berputar-putar diatas kami saat melakukan perjalanan pulang. Lalu ditutup dengan nasi liwet nikmat yang dibuatkan oleh abah warung yang baik hati, membuat perut senang hati ceria.

Seakan belum cukup, pulangnya kami dibekali oleh-oleh panenan brokoli satu karung oleh penjaga Villa 😍😍😍 tempat kami memarkir mobil. Alhamdulillah diberi kesempatan bertemu orang-orang baik di tempat indah yang Tuhan berikan 😇😇

TB
24.11.18