Setelah bertahun-tahun tak sowan ke gunung Burangrang, akhirnya keinginan melepas rindu itu terlaksana juga. Sudah terlalu lama rasanya tak bercengkerama dengan hembusan angin dan gemerisik daun di gunung ini. Hiking di gunung Burangrang bersama Diki Tresnawan, Olivia Damayanti, Asep Nurdin dan Wahyu Suprianto seakan sebuah reuni para sejawat era petualang dulu. Sementara teman-teman baru yang juga ikut yaitu Rifiati Safariah, Yudha, Tanto dan Iman semakin menambah semarak hiking kali ini. Tak ada perjalanan yang lebih menyenangkan dibanding hiking dengan teman lama dan teman baru sekaligus.
Sebelum dan sesudah acara hiking kami mengunjungi pesantren alam yang dikelola oleh Iman. Pesantren yang menampung anak-anak ini memang diarahkan untuk mengakrabkan anak didiknya untuk selalu mengakrabi alam sekitarnya. Sebuah ide yang menarik, pikir saya.
Suasana pesantren anak-anak ini memberi warna tersendiri dalam hiking di gunung Burangrang kali ini. Didalam pesantren yang sederhana namun resik, terdapat beberapa rak buku yang berisi sumbangan buku-buku dari para donatur. Kebanyakan merupakan buku anak-anak, dan memang itulah yang lebih mereka harapkan kepada donatur yang ingin menyumbangkan kelebihan buku-bukunya. Sayang kami tak membawa sebuah bukupun untuk disumbangkan, karena tak mendapat informasi sebelumnya. Maklum saja, hiking ini merupakan acara dadakan –seperti biasa.
“Seringlah mampir kesini karena kami suka mengadakan pengajian Wiro Sableng,” seloroh Iman becanda. Saya kurang paham maksudnya namun diam-diam kagum pada kerendahan hati teman satu ini dalam keluasan ilmu yang dimilikinya.
Selama bertahun-tahun saya selalu merasakan kecemburuan dari jalan setapak di punggungan gunung karena kami kerap bermain ke Situ Lembang yang terletak di lembah Burangrang tanpa pernah naik ke puncak gunung. Entahlah, mungkin saya sudah terlampau manja atau begitu sombong dengan mengabaikan bisikan Sang Gunung selama belasan tahun. Padahal di gunung inilah pertamakali saya belajar mengenal alam bebas.
Setidaknya ada tiga jalur yang dapat kita lalui bila ingin mencapai puncaknya, yaitu lewat Kertawangi (Pos Komando), Legok Haji dan Cisurupan. Gunung Burangrang (2.064 meter) memang tidak terlampau tinggi dan aman didaki pemula sekalipun, namun jangan pernah under-estimate pada sebuah gunung karena terbukti dipuncaknya terdapat sebuah in memoriam yang menandakan pernah ada korban yang tetirah abadi disini.
Gunung yang imut inikerap mengingatkan pada lagu-lagu Iwan Abdulrahman, seorang sesepuh dunia petualangan yang juga pencipta lagu. Tahun 1964 di puncak gunung ini Abah Iwan, demikian panggilannya, menciptakan lagu Balada Seorang Kelana untuk empat rekannya yang sedang tersesat di gunung itu. Lagu itu ia dendangkan lewat radio untuk memberi dukungan moril bagi para pendaki yang tersesat yang mendengarkannya lewat radio.
“Ingat waktu dulu nge-SAR di sini,” ujar Diki.
“Ya.. rasanya baru seperti kemarin,” gumam Wahyu pelan, seperti teringat akan sesuatu. Sejenak saya ikut tertegun kembali mengingatnya.
Pikiran saya lalu menerawang ke bulan Desember tahun 1995 ketika melakukan hal yang sama di gunung ini. Tahun 1995 gunung Burangrang memang sudah tak selebat dulu, namun kala itu kami terlibat sebuah pencarian seorang siswa pendidikan yang tersesat. Setelah semalaman seluruh personil di base camp dikerahkan menyisir punggungan, akhirnya siswa yang malang dapat ditemukan dalam keadaan lemas dan takut.
Saya selalu ingat pada rasa cemas itu. Sebuah kecemasan yang membuat adrenalin bergolak hingga akan melakukan apa saja untuk menemukannya bahkan bila harus bolak-balik kepuncaknya, sementara dilain pihak rasa khawatir akan keselamatan siswa itu menjalar disekujur tubuh. Saya tak ingin kehilangan seorang rekan disini.
Sebuah lagu dari Abah Iwan yang juga mengingatkan saya kala berada di ketinggian gunung Burangrang adalah sebuah lagu pujaaan yang kerap diperdengarkan di aula universitas. Dasar bukan mahasiswa teladan, hingga bertahun-tahun kuliah di Unpad saya tak tahu yang namanya Hymne Universitas Padjadjaran. Saya lebih sering menyelinap keluar atau terkantuk-kantuk saat acara-acara resmi yang mengumandangkan lagu ini. Namun karena kerap mendaki gunung bersama teman-teman, tak banyak hiburan kecuali kaset dan tape yang dibawa.
Saya mulai menyimak lagu hymne ini karena ia berada diantara lagu-lagu Iwan Abdulrahman yang yang sering dibawa oleh teman. Di keheningan alam, walaupun berasal dari radio transistor butut milik Wawan, lagu hymne itu terasa lebih menyelinap di hati dibanding mendengarnya didalam aula kampus dan dibawakan dengan megah oleh paduan suara.
“Lagu ini ditulis tahun 1971 di suatu ketinggian di gunung Burangrang bersama-sama beberapa orangteman saya berkumpul; Remi Cahari, Hari Raspati, Bekti…mahasiswa kedokteran, mahasiswa ekonomi waktu itu..sekarang mereka sudah jadi dokter..Hymne Universitas Padjadjaran. Yang saya tulis waktu itu adalah harapan dan penghayatan kami terhadap universitas,” demikian ujarAbah Iwan disuatu kesempatan sebelum melantunkan lagu Hymne Universitas Padjadjaran.
Di ketinggian Burangrang sejenak saya merasa memahami perasaan cinta itu. Suatu desir-desir halus yang kerap dirasakan saat bersusah payah membawa bendera berlambang almamater ke berbagai puncak tertinggi dan mengibarkannya disana. Jarak yang terpisah puluhan tahun terasa amat dekat, seakan berada disatu ruang dan waktu yang sama. (2011)
@districtonebdg