Mau Trekking Kemana di Nepal?

Bagi penyuka trekking, tiba di airport Tribuvan, Kathmandu saja sudah terasa ada denyut adrenalin. Sebuah semangat petualangan yang lebih dibanding kota-kota tujuan wisata yang lain. Nepal dengan pegunungan Himalaya nya memang identik dengan wisata trekking, dan dengan koleksi puncak 8.000-an meternya telah menjadi Mekah-nya dunia petualangan.  Ada 14 puncak berketinggian lebih dari 8.000-an meter di dunia dimana sebagian besar terletak di Nepal.

Secara mudahnya, wilayah trekking di Nepal bisa dibagi menjadi beberapa region yaitu Western (Dhaulagiri), Pokhara (Annapurna), Central (Langtang), Kathmandu valley, Khumbu (Everest) dan Eastern (Kanchenjunga). Selain  Kathmandu valley yang didominasi oleh kota tua dan perbukitan, wilayah-wilayah lainnya merupakan medan trekking dipegunungan tinggi. Rute yang paling populer adalah Annapurna dan Everest.

Rata-rata waktu tempuh major route di pegunungan tinggi Nepal adalah diatas seminggu walau terdapat beragam trek pendek yang merupakan variasi jalurnya. Namun bila hanya ingin jalan-jalan sekitar Kahmandu pun bisa, dengan menyasar rute-rute pendek di pebukitan. Yang menarik, terdapat rute trekking dari Kathmandu menuju Lukla via rute Shivalaya, yaitu rute tradisional ekspedisi Everest sebelum ada bandara di Lukla. Waktu tempuhnya sekitar enam hari.

Untuk mencapai wilayah Khumbu (Everest) kita harus menggunakan flight lanjutan ke Lukla. Ini setidaknya perlu $260 pulang pergi (2017). Bila ingin lebih hemat menghindari biaya flight maka menjadikan Pokhara sebagai starting point adalah pilihan yang logis untuk trekking di Annapurna region. Pokhara bisa dicapai delapan jam dengan bis dari Kathmandu.

Wilayah Central (Langtang-Manaslu) juga  bisa dicapai dengan perjalanan bis dari Kathmandu yaitu menuju Syabrubesi atau Sundarijal namun wilayah ini terdampak besar oleh gempa 2015. Sehingga dalam beberapa tahun terahir popularitas region ini menurun, beberapa rute bahkan tertutup.

Wilayah Eastern dan Western relatif lebih jarang dilalui karena selain lebih terpencil juga akan memerlukan manajemen logistik yang lebih kompleks. Dibeberapa rute tak terdapat pondokan sementara rute lain tak tersedia porter. namun biasanya ditempat-tempat seperti inilah terdapat mutiara-mutiara terpendam, keindahan yang tersembunyi. @districtonebdg

Nha Trang Kota Pantai yang Kosmopolit

Setiba di Nha Trang, kami sempat mangkal dulu di hotel backpacker sebelum ngeloyor ke pantai. Benar-benar cuma mangkal hehe… karena tidak berniat menginap mengingat malam sudah flight lagi. Lumayan buat nyimpen ransel daripada dibawa-bawa ke pantai.

Segera saja terlihat jelas bahwa  disini bukan pantai untuk menyepi, kecuali memang sengaja melipir mencari lokasi yang  sepi. Dibanding pantai-pantai wisata lain seperti Da nang dan Mui Ne, disini suasananya lebih kosmopolit. Nha Trang adalah jawaban Vietnam terhadap gemerlap pantai Pattaya, Thailand. Dalam beberapa hal mungkin Pattaya masih tampak unggul namun jelas Nha Trang tak akan terlalu sulit mengejar.

Sebuah signage raksasa Tiger Beer segera menyambut kami kala mendekati pantai dan musik hingar-bingar dari cafe-cafe. Bagi penyuka kepribadian pantai yang semarak jelas disinilah tempatnya. Party, ma men, party..

Diseberang pantai atraksi wisata tak berhenti bahkan makin semarak. Sebuah pulau menjadi tujuan wisata berikut bagi sudah kenyang dengan pantai tepi kota. Naik apa kesana? Cable car, ma men… siapkan saldo ATM lebih banyak bila wisata kesini dbanding pantai-pantai lain di Vietnam.

Namun gaya turis backpacker pun dapat menikmati kota pantai ini. Kita bisa nangkring di cafe-cafe tepi pantai sambil memesan minuman dingin selama berjam-jam hehe..maklum cuaca ngajeos.. Di gang-gang belakang hotel yang menjulang dipantai, lokasi makan sea food yang lebih terjangkau bisa dinikmati. Harga-harga hidangan sea food dibawah 100,000 dong masih banyak ditemui.

Selesai makan, cuaca terik tiba-tiba berbalik drastis. Awan hitam mendekat dari arah pantai, serinai gerimis terasa dipermukaan kulit. Segera kami ngacir ke hotel dan benar tak lama kemudian hujan deras mengguyur. Sejenak kami defensif di lounge yang penuh oleh para backpacker.

“Mening neangan tempat ngopi batan didieu wae,” ujar Bar ketika hujan mulai mereda. Dunga setuju, mereka segera hit and run mencari tempat ngopi diluar. Mereka melipir ke CONG Cafe yang terletak tak terlalu jauh dari hotel. Sebetulnya kafe ini bukanlah identik Nha Trang, di Saigon pun ada.

Kafe ini cukup unik, dengan tema interior propaganda tahun 70-an. Kita akan merasa berada disuasana 70 atau 80-an dengan perabotan jadul.  Walau specialty disini adalah coconut coffe, namun Hanoi black coffe nya pun juara.

Menjelang maghrib sudah waktunya menuju airport yang terletak di Cam Ranh, agak diluar kota. Dari jalan tepi pantai kami nyegat bis jurusan Cam Ranh dengan ongkos 50,000 dong. Airportnya tampak sedang renovasi sehingga masih kombinasi bandara lama dan baru. @districtonebdg

 

 

Berbagi Kebahagiaan Hiking Bersama D1VA

Kegiatan bertajuk Saturday Outdoor adalah kegiatan yang sudah lama dirintis oleh District One (DO Adventure). Saya sendiri  bergabung sekitar tiga tahun lalu, kemudian bersama teman-teman hiking perempuan lainnya membentuk DO girls dan ikut melakukan Saturday Outdoor secara rutin. Hiking ke tempat-tempat sepi namun tidak jauh dari kota Bandung agar siang atau sore hari kami sudah berada di rumah kembali. Setelah berjalan beberapa tahun, program Saturday Outdoor ini kemudian di-shutdown , tampaknya DO Adventure menyerahkan inisiatif hiking pada hari weekend ini kepada para peserta sendiri.

Lama-lama disadari bahwa kami pun “not actually  a girl”, maka kami mengubah label tersebut menjadi D1VA, kependekan dari District One Adventure for Woman. Kini dengan program yang tidak melulu untuk kesenangan sendiri, tapi juga program  atau event yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Maka beberapa event yang diperuntukkan bagi masyarakat luas pun diselenggarakan seperti Women’s Run dan Fun Green Run , keduanya merupakan event trail running 5K.

D1va  ingin menjadi salah satu wadah kaum perempuan di Kota Bandung yang ingin melakukan hiking. Tanpa terasa kegiatan rutin kami  sudah berjalan kurang lebih satu tahun.

Tentu saja kami tak berangan-angan menjadi seperti para petualang profesional yang akan memuncaki gunung salju.

“Jangan bermimpi terbang tinggi bila tak punya sayap,” nasihat seseorang, “cukuplah menjadi sebaik-baiknya diri.”

Benar, cukuplah menjadi sebaik-baiknya kami, kaum perempuan yang bergabung bersama-sama dalam keceriaan alam. Saling menyemangati.

Bila dalam melakukan hiking  ada kalanya melihat elang terbang tinggi di angkasa, mungkin bukan seperti itu kami ingin dilihat. Bukan elang yang terbiasa terbang diatas awan untuk menghindari badai, melainkan seperti burung-burung pipit yang terbang bahagia dari pohon ke pohon. Kebahagiaan yang menginspirasi. (TB)

 

Serunya Naik Tuk Tuk di Thailand dan Kamboja

Beberapa tempat biasanya memiliki kendaraan khas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, atau kendaraan yang menjadi ikon tempat tersebut. Misalnya London dengan doubledecker-nya, atau Venezia dengan gondola-nya. Kendaraan-kendaraan tersebut biasanya menjadi kewajiban bagi wisatawan untuk mencobanya. Seperti saat kami melakukan trip 3 negara ke Thailand, Cambodia, dan Viet Nam.

Thailand dan Cambodia ternyata sama-sama memiliki kendaraan khas yang bernama tuktuk atau tuk tuk. Sebagai pejalan yang memilih cara backpacker, maka kendaraan umum yang satu ini menjadi wajib bagi kami, terutama di Cambodia.  Di Cambodia, kendaraan ini adalah kendaraan yang siap antar kapan pun karena ada di mana-mana dengan harga cukup terjangkau.

Walaupun memiliki nama yang sama, ternyata tuk tuk di Bangkok dan di Siem Reap memiliki perbedaan. Di Bangkok, pengemudi tuk tuk berada di dalam tuk tuk, seperti bajaj di Jakarta, hanya lebih panjang, lebar, dan lebih terbuka. Tuk tuk di Bangkok banyak yang dihias. Lebih meriah. Tetapi tempatnya lebih sempit dibandingkan tuk tuk di Siem Reap-Cambodia.

 

Tuk tuk Siem Reap bentuknya lebih menyerupai gabungan sepeda motor dan delman. Jadi, pengemudinya naik motor yang disambungkan dengan tempat penumpangnya di bagian belakangnya. Tuk tuk di sini lebih luas, bisa memuat kami berempat ditambah ransel/carrier kami.

Pengalaman menggunakan kendaraan ini kami mulai di Bangkok saat akan mengunjungi Wat Arun, sebuah candi agama Budha yang memiliki nilai seni tinggi. Berangkat dari tempat kami menginap di daerah Hua Lamphong, kami memesan tuk tuk menuju Pier Ratchawong (pelabuhan feri) untuk menuju ke Wat Arun. Setelah tawar-menawar harga, akhirnya disepakati tarif 100 baht untuk satu tuk tuk atau sekitar 45 ribu rupiah. Satu tuk tuk hanya bisa diisi maksimum 4 orang dewasa. Karena kami berdelapan, maka kami memesan dua tuk tuk.

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Udara masih segar. Petualangan naik tuk tuk dimulai. Saya sudah bersiap dgn pengalaman seru menaikinya karena pernah menonton iklan yang diperankan oleh Pierce Brosnan, si Bintang James Bond, yang naik kendaraan ini. Dan benarlah adanya, pengemudi langsung starter begitu kami semua naik dan duduk manis. Dengan gaya gas yang dikeraskan beberapa kali di awal, pak sopir mengawali pameran keahlian mengemudinya. Kami diajak ber-zigzag beberapa kali melewati barisan mobil yang mulai ramai pagi itu. Wow! Orango banget deh raaanya. Badan kami berayun ke kanan dan ke kiri. Beberapa kali kaki kami sampai terjulur keluar dari badan tuk tuk untuk mengimbangi tubuh kami agar tidak jatuh terjengkang. Jangan berharap untuk duduk cantik dan anggun. Kami semua sampai tertawa menyadari keadaan kami. Untung tidak sampai diajak menembus tenda-tenda pedagang di pasar seperti di iklan Om James Bond tadi.

Berbeda dengan pengalaman pertama di Bangkok, kami sepakat bahwa naik tuk tuk di Cambodia lebih kalem, lebih santai. Kita bahkan bisa terkantuk-kantuk diayunnya. Trip 3 negara dengan teman-teman SGH memang menyisakan banyak cerita seru. Semoga bisa bergabung lagi di perjalanan backpacker mereka berikutnya.

 

Penulis : Augustina Mochamad Sirad

Mengagumi Dragon Bridge di Da Nang

Setiba di Da Nang bisa dibilang cukup suprise juga melihat kotanya. Terbiasa dengan suasana hiruk pikuk kota Saigon, maka Da Nang bagai antitesisnya. Tata kotanya yang asri dengan lalu lintas yang bisa dibilang lengang, tampaknya kota ini belum lama “dibangun” sehingga tata kotanya cukup apik. Sayangnya dari airport tampak tak ada transportasi umum seperti yang mudah didapat di Saigon dan Hanoi. Namun kita bisa dengan mudah mendapatkan taxi atau memesan Grab.

Tak perlu waktu lama untuk melintasi pusat kota menuju hotel yang berjarak sepelemparan batu dari pantai My Khe. Untuk ukuran “kota besar”, pantainya bisa dibilang lengang dengan pasir putih yang siap memanjakan. Sekilas saja tampaknya akan betah dikota ini.

“Cocok yeuh keur pensiun,” ujar Dunga langsung merasa nyaman dengan suasana kota.

Setelah menikmati sunset di pantai, malam hari dilewatkan dengan orientasi medan ke kota. Hiburan yang murah dimalam hari adalah bersantai di tepi sungai sambil mengagumi Dragon Bridge yang ikonik. Malam hari jembatan ini lebih semarak karena cahaya emasnya lebih mencolok bahkan katanya kadang ada atraksi mengeluarkan api pula! Beberapa jembatan lain juga tampak megah, namun menurut saya Dragon Bridge lebih ikonik.

Esoknya ormed dilanjutkan lebih jauh ke Linh Ung Pagoda di Son Tra Peninsula. Sebetulnya ada banyak destinasi yang layak dituju sekitar Da Nang  antara lain Merble mountain, Ba Na Hills, Hoi An dan Hue city. Namun karena jarak-jaraknya cukup jauh bersanding dengan waktu yang mepet jadi tak keburu karena malamnya harus melanjutkan ke Nha Trang.

Keberangkatan sleeper bus sekitar jam 8 malam, tiba di Cam Ranh esok paginya. Namun ternyata ada kesalahpahaman karena kota Nha Trang sendiri sudah terlewat. Cam Ranh adalah tempat airport berada, berjarak sekitar 20 menit dari Nha Trang, sehingga kami balik arah. Beruntung awak bis memahami tujuan kami ke Nha Trang sehingga berbaik hati menitipkan kami ke bis tujuan Nha Trang. Kami diturunkan di pom bensin lalu mencegat taxi untuk menuju Nha Trang.

@districtonebdg

“The Power of Emak-Emak” Edisi Perjalanan Tiga Negara

Awalnya hanya obrolan biasa ibu-ibu saat berkumpul. Ingin berlibur tapi dengan suasana seperti hiking rutin kami. Muncullah ide untuk mencoba backpacking tiga negara. Sangat berbeda situasinya jika ibu-ibu bersiap backpacking, dibanding dengan teman-teman petualang lain, apalagi petualang berstatus masih pelajar. Bagi kami semua harus disiapkan lebih jauh hari: cuti bagi yang bekerja, jadwal sekolah dan kegiatan anak waktu ditinggal harus saat longgar, penyesuaian dengan jadwal suami, dll.

Maka ketika akhirnya tiba waktunya kami pergi ditanggal 1 November 2018, diawali dengan perjalanan kereta api dari Bandung ke Gambir, jadilah kami rombongan ibu-ibu senang (maksudnya senang hatinya). Rasanya semua sudah diantisipasi, walau dengan arahan Kang Bayu Bhar kami bersiap juga untuk segala dinamika selama perjalanan.

Tiba jam lima sore di Don Mueang Airport, kami langsung menuju ke stasiun kereta Don Muang, tepat di seberang bandara. Sambil menunggu kereta ke Hua Lamphong tiba, kami makan di street vendors di sekitar stasiun. Kalau di Bandung setara nyemil ayam D’Chicks dan rujak potong. Kereta tiba, langsung menuju ke tempat hostel kami berada, di sisi lain Bangkok, di Hua Lamphong.

Sekitar 40 menit perjalanan, tibalah di stasiun kereta api besar Bangkok. Surprise dan terkesan melihat stasiun ini, besar sekali dan gedungnya sangat antik, gedung tua bergaya Italian Neo-Renaissance (menurut mbah Wiki). Bagus sebagai trademark kota, bagus untuk obyek foto. Jalan sedikit dari stasiun ini, tibalah kami di hostel, benar-benar hostel gaya backpack. Satu kamar tipe dorm untuk sepuluh orang itu kami sewa untuk kami perempuan bertujuh. Menginap di area Hua Lamphong dipilih untuk efisiensi, karena setelah satu hari keliling seputar Bangkok, hari berikutnya kami akan harus kembali lagi ke stasiun ini untuk menyeberang ke Kamboja dengan kereta.

Sebagai turis, tidak banyak yang berkesan khusus di Bangkok. Thailand sejak lama sudah cukup familiar bagi turis-turis Indonesia. Jadi begitu tiba waktu kami bergerak ke Kamboja lewat Aranyaprathet dan lalu menyeberang ke Poipet, semua bersemangat, terbayang Angkor Wat yang fenomenal. Pengalaman berkesan justru banyak kami alami di Kamboja ini. Sebelum pergi, kami memang paling banyak di-brief soal Kamboja. Tentang banyaknya scam di sana, sampai karakter khas para pedagang atau orang-orang yang berhubungan langsung dengan turis. Dan sejak datang hingga kami meninggalkan Kamboja, semua peringatan itu terbukti.

Diawali dengan pungutan “sukarela” di imigrasi Poipet, keramahan extra manis semanis madu berujung penipuan oleh penjual kartu internet nan cantik jelita yang kami juluki Miss Border, bule pemilik hotel yang seenaknya melempar penginapan ke lain tempat, perjalanan tengah malam 6.5 jam dari Siem Reap ke Phnom Penh tanpa AC dibumbui pengalaman pipis dalam gelap di semak-semak (buat ibu-ibu berhijab, ini masalah pelik), hingga keributan di sleeper bus di Phom Penh gara2 tiket yang entah hilang atau dihilangkan. Dibanding dua negara lain yg dikunjungi, Kamboja memang nampak sekali masih developing, dari segi kehidupan sosial warganya hingga penegakan hukumnya. Tapi positifnya tetap banyak. Makanan Khmer luar biasa enak, saya dan teman-teman sepakat ini lebih enak daripada Thai food. Driver-driver tuktuk yang kami sewa di Siem Reap untuk antar jemput juga sangat helpful, semua on-time, no ngaret. Orang Kamboja yang berinteraksi dengan turis juga rata-rata berbahasa Inggris lebih baik daripada di Thailand. Dan kompleks Angkor-nya luar biasa indah serta well-managed.

Phnom Penh jadi pitstop terakhir sebelum menuju kota perbatasan Bavet dan menyeberang ke Moc Bai, kota perbatasan di wilayah Vietnam. Ibu kota Kamboja ini cukup berwajah metropolitan (termasuk ciri khas Senin pagi yang macet), dengan sungai Mekong yang besar melintas kota. Sungainya sendiri cukup bersih, walau pinggirannya tetap agak kotor. Tapi tetap jauh sih kalau dibandingkan dengan kotornya Citarum. Dengan segala catatan itu, tetap berminatkah suatu saat kembali lagi ke Kamboja? Sangat. Anggap saja niat bersilaturahmi dengan si cantik Miss Border.

Perbatasan Kamboja-Vietnam dilewati tanpa drama kali ini, baik di imigrasi Bavet di sisi Kamboja maupun Moc Bai di sisi Vietnam. Yang menarik, kantor imigrasi di Bavet sangat bagus dan besar, berbanding terbalik dengan sejawatnya, kantor Poipet di perbatasan Thailand kemarin yg lebih mirip tempat jual karcis bus AKAP di terminal Cicaheum dan sama sekali tanpa pemeriksaan badan serta barang bawaan. Padahal Poipet sepertinya disetting sebagai kota judi, karena begitu keluar imigrasi, di sekeliling banyak casino besar terlihat. Kenapa retribusi yang ditarik dari casino-casino ini tidak dipakai untuk membangun kantor lokal yg lebih layak, ya? Hhmm…

Dari Moc Bai, lanjut tiga jam perjalanan lagi dengan bis ke tujuan kami selanjutnya, Ho Chi Minh City aka Saigon. Begitu masuk Saigon,keriuhan lalu lintasnya yang terkenal seantero dunia langsung menyambut. Tidak banyak kota dunia yang menawarkan “menyeberang jalan” sebagai pengalaman unik dan khas yang harus dicoba, jadi kami beruntung (walaupun seram) bisa mengalaminya di Saigon. Di Saigon tema kunjungannya heritage walk (belanja walk juga sih), keliling kota melihat uniknya Saigon sebagai kota yang, di luar dugaan, ternyata sangat cantik. Perpaduan klasik dan modern-nya pas, dan dimanfaatkan dengan baik untuk dijual sebagai wisata kota. Suatu hari sangat ingin kembali ke sana untuk eksplor lebih jauh, mungkin harus lanjut ke Vietnam Utara. Tidak terbayang sama sekali sebelumnya, bahwa Vietnam ternyata cukup membuat penasaran dan merindu.

***

Satu catatan khusus bagi kami adalah bahwa selama perjalanan, dan sepanjang perjumpaan serta pengamatan sesama turis berbagai penjuru dunia kemarin, spesies kami terbilang langka di kategori turis asing di ketiga negara tersebut. Backpacker? Banyak. Backpacker muda? Banyak sekali. Backpacker muda bule? Paling banyak. Backpacker muda Asia? Ada beberapa. Backpacker muda golongan bangsa Melayu atau asal Indonesia? Tidak ada. Backpacker paruh baya? Ada jumpa beberapa bule di stasiun. Backpacker paruh baya Asia? Tidak ada. Backpacker paruh baya Melayu? Tidak ada. Backpacker ibu-ibu paruh baya segala bangsa? Tidak ada. Backpacker berhijab? Tidak jumpa. Backpacker ibu-ibu paruh baya berhijab golongan bangsa Melayu asal Indonesia? Ada. Itulah kami, spesies yang mungkin harus dilestarikan (mungkin juga tidak haha).Mudah-mudahan jika Ia mengizinkan, kami masih diberi kesempatan untuk bisa bertemu spesies-spesies langka lain, di lain waktu, dan di lain petualangan

 

Penulis : Lia Kamellia Benny.

Disambut Elang di Curug Luhur

“Ah untung gak mendung”, saya  bergumam sendiri. Agak khawatir hari itu akan hujan karena sehari sebelumnya wilayah Bandung  diguyur hujan sangat deras dan lama.

Yes, mataharinya hangat dan  setapak tanah pun menjadi empuk untuk dipijak. Saya tersenyum, alam tersenyum. Mari kita let’s go, temans.

Dari pintu masuk  tempat loket tiket berada,  kami hanya perlu 3, 5 KM hiking untuk mencapai ke curug ini. Jarak tempuhnya memang tidak lama tapi track ke sini cukup bervariasi, mulai  dari medan dimana kami bisa jingrak jingkrak sambil tertawa haha hihi  sampai medan serasa kita gagal menari balet di lantai licin (duh..)

Setelah trekking sekitar 1,5 jam dengan kontur trek adem adem dulu baru jatuh kemudian (ini  yang membuat geli), terdengar juga suara air terjun walau belum tampak terlihat. Serasa menjadi tamu kehormatan alam saat  air terjunnya nampak jelas terlihat sementara dari atas terdengar pekikan burung elang menyambut kami. Sepertinya ada elang sedang terbang di atas hulu air terjun.

“ Wah disambut Elang tuh kita,” guide kami berkomentar. Serta merta kami mendongak mencari sumber suara dan melihat tak hanya satu,tapi ada empat ekor elang berputar-putar di angkasa.

Perjalanan  hiking ke Curug Luhur di Cibodas ini bisa dibilang  trip kesekian bagi D’ hikers, walau dengan personil yang berbeda.  Dengan mengeluarkan kocek kurleb Rp. 200.000, sejak keluar pintu rumah. Tak apa-apalah.. demi hiking ke tempat  ‘less traveled’ sekitaran Bandung dengan para guide yang sabar dan berpengalaman, saya yakin  tidak ada yang  merasa sia-sia.

Siapa yang tidak akan senang menikmati indahnya alam curug sambil minum kopi, trek dengan pemandangan yang memanjakan mata dan ditemani empat burung elang yang terbang berputar-putar diatas kami saat melakukan perjalanan pulang. Lalu ditutup dengan nasi liwet nikmat yang dibuatkan oleh abah warung yang baik hati, membuat perut senang hati ceria.

Seakan belum cukup, pulangnya kami dibekali oleh-oleh panenan brokoli satu karung oleh penjaga Villa 😍😍😍 tempat kami memarkir mobil. Alhamdulillah diberi kesempatan bertemu orang-orang baik di tempat indah yang Tuhan berikan 😇😇

TB
24.11.18

Sejenak Relax di Don Muaeng Railway Station

Don Mueang Railway Station bisa dikatakan spot pertama kami  dari Sadaya Geulis Hikers, saat  melakukan trip 3 negara Thailand – Campodia – Vietnam bersama District One pada tanggal 1-7 November 2018 yang lalu.

Tidak sulit menemukan Railway Station ini karena lokasinya yang berseberangan dengan Bandara Don Mueang tempat pesawat kami dari Cengkareng mendarat.  Ada jalan khusus untuk tembus menuju tempat ini dari Bandara sehingga kami tidak perlu repot menyebrangi jalan.

Mungkin ada yang aneh dengan kata ‘relax’ pada judul di atas. Kok bisa sebuah stasiun KA yang identik dengan keramaian dan hiruk pikuk manusia, apalagi ini di Thailand  yang penduduknya lumayan padat, bisa dibilang ‘santai’.

Jangan salah, kami memang merasakan ambience yang ringan. Bisa jadi ini pengaruh setelah  agak dag dig dug melakukan perjalanan panjang dari Bandung menuju Gambir  yang kemudian diteruskan dengan Damri menuju Cengkareng yang saat itu terkena macet. Sehingga perkiraan tiba di Cengakreng dalam waktu satu jam, kenyataanya tiba dalam waktu 2 jam.  Belum lagi menghadapi petugas Bandara di Don Muaeng yang menurut kami lumayan ‘galak’ dan sempat marah dengan cara menunjuk –nunjuk ke teman kami, Iing Irma karena belum lengkap mengisi data visitor.

Dengan tiba di stasiun ini membuat kami agak bisa menarik nafas lega setelah drama-drama tersebut, dan juga euphoria menyadarai sebenarnya  petualangan kami dimulai di sini. Calon penumpang yang duduk  menunggu KA relatif sedikit. Loket pun sepi. Entah rush hour -nya sudah lewat  atau karena kebetulan Don Muaeng ini sebenarnya berada agak jauh dari pusat Kota Bangkok.  Entah. Yang jelas ketika kami menunggu jadwal KA ke Hua Lamphong terasa santai dan relaks.

Setelah kami membeli tiket menuju stasiun Hua Lamphong  Bangkok seharga sekitar 5 Baht ( setara Rp. 2.250,-), kami pun duduk-duduk di kursi peron dengan  leluasa, bersantai melihat sekeliling.

“ Serasa di Jakarta ya, itu tadi lorong terusan Bandara – Stasiunnya mirip di Stasiun  KA Tanah Abang”, Nonon berkomentar diikuti tawa semuanya.

Stasiun KA Don Mueang areanya terbuka  sekali, pedagang kaki lima bisa bebas berjualan. Sambil menunggu di kursi peron, kami bisa dengan bebas membeli aneka street food karena hampir tidak ada pagar pembatas antara stasiun dengan jalan raya.  Makan sore ala-ala nasi plus ayam fried chicken kami beli seharga 20 baht saja, plus sebotol juice nenas  seharga 10 baht, buah jambu 10 baht. Total jajan saat itu 40 baht (setara  sekitar 17.500,-). Nikmat menyehatkan pula.

 

Tapi ada hal yang paling berbeda di Thailand ini kami tidak melihat orang lain merokok di public area.  Ada tanda “No Smoking” tersebar, tapi adapula  beberapa spot yang sudah hilang tandanya. Tapi jangan heran, tanpa tanda pun masyarakat sudah dibiasakan tidak merokok di public area, sehingga ada dan tidak ada tanda larangan pun kebiasaan sudah terbentuk untuk tidak merokok sembarangan. Jadi ingat di Indonesia ada masyarakat  malah yang merokok di depan tanda larangan merokok. Inilah positifnya backpackingan ke Negara lain, sering membandingkan kegelian yang terjadi.

Hal unik juga dimana masih banyaknya telepon koin lama yang masih difungsikan. Rupanya pemerintah Thailand termasuk yang tidak tergesa-gesa menghapus teknologi lama. Telepon koin walau  termasuk teknologi lama tidak ada salahnya memang untuk tetap digunakan jika masih berfungsi dengan baik. Bandingkan, telepon koin di Indonesia telah punah sejak beberapa tahun lalu walau mungkin sebenarnya masih bisa berfungsi. Kami pun sejenak menjadi ahli banding. Membandingkan  perbedaan dan kesamaan Thailand dan Indonesia.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 19.00, kami pun bersiap-siap menyambut KA yang akan membawa kami ke stasiun Hua Lamphong.  

@BrahmaTanti

Menantikan Survey Darat 2019

Seperti diketahui, aktifitas kegiatan DistrictOne atau kini DO Adventure lebih berfokus pada backpacker di Indochina dan hiking sekitar Bandung dengan segmentasi budget. Tentu akan adapula petualangan yang sedikit menyimpang dari kategori itu dengan berbagai alasan, misalnya promo tiket murah yang sulit untuk diabakan hehe.. atau bahkan sebuah survey yang harus terlaksana at all cost. Namun tentu saja hal itu cukup jarang terjadi.

Sejak 2011 berbagai survey jalur backpacker telah dilakukan dengan rute darat. Tanpa mengecilkan perjalanan in flight, dinamika perjalanan darat memang menawarkan pengalaman yang amat berbeda bahkan pada rute yang sama. Oleh karena itu survey darat lah yang menjadi fokus perhatian bukan perjalanan yang dilakukan dengan in flight.

 

Beberapa survey darat yang pernah dilakukan:

2011 Hanoi – Sa Pa

2012 Saigon (Ho Chi Minh City) – Phnompenh – Siem Reap

2013 Hongkong – Shenzhen – Guangzhou

2014 Saigon – Hanoi

2015 Chiang Rai – Luang Prabang – Ventianne – Bangkok

2016 Yangon – Mandalay, Bangkok – Siem Reap – Saigon,  Saigon – Mui Ne – Da Lat

2017 Bangkok – Si Phan Don – Kratie, Singapura – Kuala Lumpur, Kunming – Shangrila, Malaka – Penang

2018 Da Nang – Nha Trang

 

Terjadi pergeseran dalam hal kota basis memulai survey. Setelah awalnya mengandalkan Saigon di Vietnam untuk memulai perjalanan darat, sedikit demi sedikit Bangkok menjadi kota favorit untuk menjangkau berbagai tujuan. Guangzhou yang tadinya digadang-gadang bisa menjadi pijakan berikutnya, ternyata tak berjalan lancar sehingga batal membuat basis disana. Justru muncul nama Khatmandu di Nepal menjadi pilihan kota basis berikutnya namun tentu saja ini harus disurvey dulu.

Sungguhpun demikian, survey darat 2019  diperkirakan masih berkutat di Asia Tenggara karena disitulah kami  berfokus. Rute yang sedang ditimbang-timbang antara Indochina dan Borneo. Tiba-tiba saja kami sadar bahwa sejak melancong ke Kinabalu, tak pernah lagi menjelajah di Borneo Malaysia. Jalur Chiang Mai yang terkenal eksotis belum pernah sekalipun disambangi sementara jalur selatan Kamboja yaitu Battambang -Sihanoukville juga terlihat menggoda.  Akan menarik nantinya, hingga kemana salahsatu jalur ini bisa diretas ditahun 2019. Atau… what the hell.. kenapa tidak ketiganya sekalian? 😀

@districtonebdg

Senja yang Magis di Angkor

Saat merencanakan trip 3 negara Sadaya Geulis Hikers beberapa waktu yang lalu, saya tertegun pada salah satu spot destination yaitu Angkor Wat yang berada di Siem Reap, Cambodia. Angkor Wat adalah nama yang sudah sering terdengar, mulai dari setting film Tomb Rider yang terkenal dengan pemeran utamanya Angelina Jolie, sampai fakta sejarah akan kemegahan Candi yang awalnya bernuasa Hindu beralih menjadi Candi Budha di abad 12.

Tapi tunggu, saya lebih tertegun dengan harga tiketnya yang seharga 37 USD (setara dengan Rp.570.000,-). Menurut informasi yang didapat, pembelian tiket harus sepagi mungkin dan harus rela antri karena pengunjung satu persatu harus difoto terlebih dahulu. Sempat terheran-heran kenapa harus difoto sih? Kayak mau lewat Imigrasi saja. Tapi benar faktanya, jangan komen dulu sebelum terlibat di lapangan.

Rasa penasaran semakin tinggi, maka pukul 5 pagi kami sudah berada di tuktuk menuju komplek Angkor Wat dan kami pun menjadi bagian dari turis – turis lain yang berbondong-bondong berburu sunrise. Ada yang sekalian jogging, bersepeda, dan mengendari tuktuk seperti kami. Rasa penasaran yang besar semakin tinggi ketika kami rela mengantri tiket bersama turis asing lainnya, jenis one day day ticket pass kami pilih, tiket seharian penuh menelusuri Komplek Angkor sampai terbenam matahari. Konon sunset di Cambodia memang terkenal indah dan istimewa.

Misteri pengambilan foto pun terjawab ketika kami menerima tiket dengan foto masing-masing tercetakdi atasnya. Ketika tiba di gerbang utama Angkor Wat, petugas mengecek tiket kami sambil menyamakanwajah dan foto yang tertera di tiket. Tepian danau yang terbentang di depan kuil rupanya menjadi spot favorite pemandangan sunrise, dimana komplek angkor mulai tampak terlihat dan membayang di atas air danau.

Sayang sunrise nya terhalang awan, masih kurang greget, tapi saya berhasil mengabadikan gambar yang cukup indah. Setelah menjelajahi Angkor Wat, kami exploring kuil Bayon dan terakhir Ta Prom. Setiap memasuki kuil petugas selalu ada memeriksa tiket dan lagi-lagi menyamakan wajah dengan foto yang ada di tiket. Kami hanya berkelakar, mungkin petugas takut kita ‘moncor’ lewat hutan.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan saatnya makan siang. Karena kelelahan kami memutuskan kembali ke hostel kemudian berembuk, tak ingin menyia-nyiakan uang 37 USD yang telah keluar, kamipun bertekad memburu sunset kembali ke Angkor Wat.

Sunset area rupanya berada di sebuah bukit (baru tahu kemudian), dalam bayangan kami sunset spot di Angkor berada di tempat yang sama tapi berlawanan, ternyata lebih jauh dari itu. Kami diharuskan
hiking menuju bukit selama 30 menit. Keputusan telah dibuat, resiko apapun yang terjadi harus dihadapi, termasuk hiking ke bukit yang tidak kami sangka sebelumnya.

Setelah mencapai bukit kami lihat para wisatwan telah berkumpul mengantri untuk menaiki Candi Pre Rup, konon katanya dari candi inilah spot terbaik untuk menyaksikan sunset. Setelah masuk ikut antrian, petugas mendekati kami kemudian menjelaskan bahwa jumlah wisatawan untuk menaiki Candi Pre Rup dibatasi hanya 300 org, di atas sana sudah ada 300 orang, dan antrian disini bisa naik ke atas bergantung jumlah wisatwan yang turun. Rata rata wisatawan tidak akan turun sebelum matahari benar-benar tenggelam.

“Tapi bukit ini luas, silakan anda explore untuk mendapatkan spot terbaik,” ujar penjaga. Dengan sedih kami pun mundur. Tak terbayang bila kami hanya menghabiskan waktu untuk mengantri tanpa mendapatkan spot indah. Lalu kami menyebar, menikmati
senja diantara rimbun pepohonan.

Saya berdiri di belakang kerumunan yang ingin mengambil foto. Tapi ada satu pasangan tepat di depan saya berdiri, mereka seperti khusyu menikmati senja tanpa gadget. Saya pun tergerak melakukan hal yang sama. Hanya memandangi senja. Senja yang indah dan mahal di Cambodia. Seperti layaknya senja dimanapun, ia selalu berusaha memukau mengakhiri hari dengan indah. Datang tepat waktu, menepati janji pada bumi untuk menggenapkan waktu, tak peduli warna langit seperti apa. Mungkin ibarat seseorang yang berusaha datang menepati janji pada tambatanhatinya walau langit tampak mendung dan hujan akan menghadang.

@TB