Semalam di Chiang Rai

 

Sekitar pukul tiga sore Bar dan Baiz tiba di bandara Mae Fah Luang Chiang Rai setelah perjalanan sejam lebih dari Bangkok. Ini kali pertama mereka tiba di kota itu. Bandaranya tidak besar namun cukup apik dan menyenangkan. Seperti biasa tiba di tempat baru, yang pertama mereka lakukan adalah mencari peta atau denah lokasi kota itu. Sayang di Chiang Rai brosur atau map kota sepertinya tak berlimpah, hanya ada peta kota yang terpampang di dinding. Mungkin pula sudah habis oleh turis-turis yang mengalir cukup deras ke kota kecil di Thailand Utara ini. Namun Bar tak putus asa, setelah celingukan sebentar ia melihat sebuah brosur di meja staff bandara. Segera disambar ketika ditinggal sebentar oleh yang empunya meja. Lumayan ada sedikit gambaran, namun tak cukup memadai bagi yang pertama datang ke Chiang Rai. Terpaksalah akhirnya membeli juga sebuah peta wisata seharga 80 baht. Darisitu barulah mereka mendapat gambaran tentang kota ini.

Tak ada transportasi publik dari kota ke bandara, sehingga mereka harus memakai taxi menuju kota Chiang Rai yang terletak sekitar 10 km dari kotanya. Bandara Mae Fah Luang ini adalah bandara baru yang terletak diluar kota, sedangkan bandara lama yang ada di dalam kota sudah tak dipakai untuk penerbangan komersial. Tarif taxi ke kota seharga flat 150 baht, namun supirnya mesem-mesem ketika dibayar pas. Akhirnya tambahan 10 baht  pun berpindah tangan.

Mereka menuju sebuah tempat yang disebut Night Bazar di peta wisata. Kelihatannya tempat itu cukup strategis karena terletak dekat terminal bis Chiang Rai. Namun karena masih sore, tak ada keramaian disana. Merekapun mencari-cari tempat untuk ngopi dan wifi. Sebuah jajaran café di seberang terminal bis Chiang Rai tampak mejanjikan, mereka pun masuk ke dalam salah satu bakery café disana, memesan secangkir kopi dan setangkup  roti untuk mengisi perut yang belum terjamah kalori hingga sesore ini.

Setelah mengisi perut dengan secangkir kopi panas dan roti hangat, diputuskan untuk menginap semalam di Chiang Rai. Tak sulit mendapatkan tempat menginap disini, tak jauh dari café ini banyak bertebaran hotel dan guesthouse. Mereka menginap disebuah guesthouse seharga 700 baht  termasuk  free wifi,  free breakfast plus feel free untuk membuat kopi. Tak murah menurut ukuran mereka, namun karena dekat dari terminal bis akhirnya pilihan itu diambil. Takut bangun kesiangan esok harinya.

Setelah matahari terlelap,  kehidupan malam kota Chiang Rai mulai menggeliat dan kemeriahan Night Bazar pun dimulai. Jalan-jalan yang tadinya dipakai lalu-lalang kendaraan bersolek menjadi pasar tumpah yang berwarna-warni. Beragam kuliner, atraksi dan souvenir dijajakan kepada para wisatawan  yang datang dari beragam penjuru. Pernak-pernik yang ditawarkan sebenarnya cukup menggoda, namun mengingat perjalanan masih jauh mereka berusaha keras tak tergoda. Cukup menawar buah nenas segar seharga 20 baht, untuk menjaga kondisi badan tetap fit. Resep fit backpackeran menurut mereka sederhana saja, yaitu cukup mengkonsumsi  buah atau sayuran segar selama perjalanan. Dan cukup menyesap kopi, tentu saja.

Tak jauh dari kemeriahan Night Bazar ini terletak sebuah ikon kota Chiang Rai yang lain yaitu Clock Tower. Sebuah tugu penanda waktu di persimpangan jalan, yang berhiaskan ukiran dan bergelimang cahaya lampu di malam hari. Tak jauh dari tugu banyak turis yang bersantap hidangan kakilima di pinggiran trotoar seraya mengagumi keindahannya. Walau tak semeriah suasana Night Bazar, area di sekitar Clock Tower pun cukup semarak oleh keberadaan turis yang menikmati suasana malam. Puas menikmati suasana malam kota mereka kembali ke pengiapan, bersiap  terlena dibuai udara sejuk Chiang Rai yang menjanjikan kehadiran dewi-dewi mimpi.

Pagi terasa begitu lekas menjemput. Rasanya belum rela untuk pergi jauh dari kota ini. Tapi sudah hampir jam delapan, mereka harus bersiap karena perjalanan masih panjang.  Baiz sedikit berolahraga dengan melakukan freeletics  gerakan Metis.

“Meni getol olahraga euy…”, gumam Bar melirik rekannya itu, sambil leyeh-leyeh di kasur membaca buku Lonely Planet tentang Laos, negara yang akan mereka tuju.

“Hiss.. jaga kondisi atuh, perjalanan masih jauh.. buru olahraga pagi mumpung isuk keneh,” timpal Baiz bersemangat. Bar tetap tak tertarik, “Engke we mun geus di Laos,” jawabnya memberi alasan dan meneruskan berbaring malas-malasan sambil membaca. Tentu saja, sampai tiba kembali di tanah air hal itu tak terlaksana.

Menu sarapan pagi tidak mewah namun cukup menyenangkan. Roti, telur, buah-buahan, susu dan kopi tak dibatasi pengambilannya. Namun mereka tak pernah makan banyak di pagi hari, cukup menimbun kalori secukupnya saja untuk bekal nanti di perjalanan. Bukan apa-apa, males banget kalau sedang di bis tiba-tiba perut bergejolak. Setelah membayar ongkos penginapan keduanya berjalan santai menuju terminal bus yang berjarak sekitar 200 meter. Memulai perjalanan panjang dari kota kecil yang tak sampai 24 jam disinggahi, namun telah berhasil mencuri hati mereka. (@bayubhar )

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (Tamat)

tradisi & icon di Luang prabangLuang Prabang, sebuah kota yang menjadi salah satu andalan bagi industry wisata di Laos. Sebuah kota yang ramai oleh para wisatawan, baik domestic maupun mancanegara, sebuah kota yang sadar wisata. Saat tiba di pusat kota Luang Prabang, kami langsung menuju sebuah café yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Seteleh memesan minuman wajib yaitu kopi panas, kami pun duduk duduk sambil melihat sekeliling. Karena kursi kursi café itu terletak di halaman sebuah travel agent, maka kami bisa leluasa memandang aktivitas sekitar. Terlihat di seberang jalan, night market yang merupakan salah satu hiburan andalan di kota ini sudah mulai digelar, lampu lampu jalan warna warni menyemarakkan suasana sekitarnya. Sambil tentunya ber-wifi-an, dan akhirnya dapat mengabari kondisi kami kepada keluarga & rekan di luar sana sambil menikmati cerahnya suasana senja.

Malam itu kami menginap di sebuah guest house yang terletak di jalanan sekitar area night market, Sebuah guest house yang nyaman berlantai parquette. Sehabis mandi kami lalu menelusuri jalanan Luang Prabang, dari mulai area night market sampai kawasan backpacker di pinggiran sungai Mekhong.

Luang Prabang banyak dihiasi oleh bangunan bangunan khas Eropa, karena memang Laos adalah bekas jajahan Perancis, wajar jika kota ini ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Sayangnya bangunan antik tersebut banyak yang kurang terawat, catnya kusam dan mengelupas, sungguh sangat disayangkan, padahal bangunan bangunan tersebut bisa menjadi daya tarik wisata yang unik.

Keunikan tempat ini sangat jelas bisa dinikmati pada pagi hari. Usai menyaksikan upacara sedekah biksu yang telah menjadi bagian dari atraksi turis, sebuah moment dimana para biksu berbaris mengambil sedekah dari para turis dan penduduk setempat. Setelah itu kami berjalan menghirup udara segar pagi hari sambil menikmati suasana kota.

Menjelang malam, kami sudah standby di southern terminal Luang Prabang, kali ini kami berencana akan bergerak menuju Vientiane menggunakan Sleeper Bus atau Bus malam kelas sleeper dengan harga ticket 150.000 KIP/ orang, dengan pertimbangan menghemat biaya penginapan. Para backpacker dalam melakukan perjalanannya sering kali menggunakan bus malam baik itu kelas VIP atau Sleeper yang tempat duduknya dapat disetting sebagai tempat tidur dengan maksud menghemat biaya penginapan. Jadi biasanya saat sampai ditujuan mereka akan menghabiskan siang harinya untuk mengeksplore kota.

Saat kami sedang duduk duduk menunggu waktu keberangkatan, tiba tiba ada seorang bule menyapa…”hey guys, where are you going?” . Wow rupanya si turis Italia itu yang tempo hari bersama kami di terminal Luang Prabang, selanjutnya kami pun terlibat sedikit percakapan…rupanya dia juga akan bergerak meninggalkan Luang Prabang menuju Vientiane dan dari situ akan terus menerobos menuju Vietnam…wah, asyik juga nih perjalanan si italiano ini….bikin ngiler hehehehe.

Sementara rencana kami dari Vientiane akan terus menuju Nong Khai, kota perbatasan Laos-Thailand dan melanjutkan ke Bangkok untuk kemudian pulang ke tanah air. Akhirnya sesuai jadwal keberangkatan yaitu pukul 20.45, bus kami pun bergerak menuju Vientiane.

Sekitar pukul 04.30 AM kami tiba di Northern Terminal Vientiane, hari masih gelap & udara masih terasa dingin walau tidak sedingin saat di Luang Namtha. Kami pun turun dan duduk duduk sejenak di sekitar terminal sambil sedikit melakukan orientasi medan. Setelah menghabiskan sebatang rokok, saya pun beranjak mandi di toilet terminal setelah sebelumnya rekan saya Barbar mandi terlebih dahulu dengan membayar 5000 KIP. Sekitar pukul 06.00 AM kami pun melaju menggunakan tuktuk menuju pusat kota.

Vientiane adalah ibu kota Laos yang terletak di Lembah Mekong. Vientiane merupakan bagian dari prefektur Vientiane (kampheng nakhon Vientiane) dan terletak di perbatasan dengan Thailand. Penduduknya di tahun 2005 diperkirakan berjumlah 723.000 jiwa (Wikipedia).

Tidak berapa lama kami tiba di pusat kota Vientiane, jalanan masih sepi toko toko belum lagi buka, seperti halnya di Thailand atau Vietnam di sini pun toko buka rata rata pukul 10.00 pagi. Dari kejauhan di taman kota saya melihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas olah raga. Kami pun melangkah ke arah taman yang letaknya dipinggiran sungai Mekhong tersebut dan mengambil beberapa foto.

Matahari mulai meninggi saat kami menjelajahi pusat kota, panas mulai terasa menyengat. Kami pun memasuki sebuah café untuk sekedar istirahat & berteduh sambil memesan minuman dingin. Sementara saya terkantuk kantuk dibuai sejuknya semilir AC di dalam café itu, rekan saya Barbar membuka buku Lonely Planet tentang Laos yang dibawanya saat berangkat. Tiba tiba dia menunjuk pada sebuah halaman di buku Lonely Planet tersebut di situ tertera judul “ Classic Routes” sebuah jalur klasik yang sering dilalui para backpacker yang di mulai dari utara Thailand kemudian menyebrang ke Laos selanjutnya menyusuri menuju selatan dan itu ternyata jalur yang kami lalui.

Setelah badan sedikit segar, kami pun melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Laos menggunakan tuktuk dan kami meminta kepada supirnya sebelum ke perbatasan untuk diantar ke Monumen Patouksai & Museum Sisaket atau Wat Sisaket yang merupakan icon dari kota Vientiane.

Sesampainya di pos imigrasi perbatasan Laos saya liat bejibunnya orang yang antri untuk melintasi perbatasan menuju Thailand. Hal ini sangat jauh berbeda saat kami melintasi perbatasan Thailand menuju Laos. Antrian panjang pun terjadi saat kami memasuki pos imigrasi Thailand di kota Nong Khai. Di kota ini lah kami mengakhiri perjalanan karena sore harinya kami menuju Bangkok untuk kemudian kembali ke tanah air.

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (2)

terminal Luang namtha pagi hariAkhirnya kami menemukan sebuah guest house untuk rehat malam itu di belakang terminal Luang Namtha setelah sebelumnya nongkrong sepeminuman kopi di sebuah kedai di pinggiran terminal. Suhu di Luang Namtha lumayan dingin bahkan saat di dalam kamar sekali pun. Fasilitas water heater yg terdapat di dalam kamar mandi kami tidak berfungsi membuat saya enggan mandi malam itu. Setelah sekedar bersih bersih saya pun mulai terlelap dibuai mimpi.

Kabut pagi yang tebal masih menyelimuti seputar terminal saat kami beranjak meninggalkan kamar guest house. Setelah mengisi perut dengan sandwich tuna, karena memang di sekitar situ susah untuk mencari nasi walaupun pada daftar menu tertera Fried Rice and Egg, Fried Rice and Chicken, dll tapi ketika kami memesan, nasinya tidak ada. Jadi saya pikir yang cukup mengalas perut untuk sarapan saat itu ya sandwich ditemani secangkir kopi hitam panas plus welcome drink teh khas laos…hmmm lumayan buat menghangatkan perut. Setelah ritual pagi beres, kami pun bergerak menuju peron penjualan ticket, rencananya hari itu kami akan meneruskan perjalanan menuju Luang Prabang.

Rupanya kami baru menyadari kalau uang KIP kami mulai menipis dan kami tidak tau lokasi ATM terdekat, sementara yang ada di kantong kami uang Baht Thailand. Maka setelah melihat schedule keberangkatan & daftar harga bus menuju Luang Prabang yang tertera pada plang di atas peron, saya pun mencoba bertanya ke petugas penjualan ticket…”I want buy ticket to Luang Prabang, can I pay with bath?” (ini bahasa inggris tarzan-pen). Si petugas penjual ticket malah menunjuk ke arah bus yang terparkir di depan, saya tentu bingung…kembali saya ulangi pertanyaan tadi, dan kembali si petugas menunjuk ke arah yang sama. Hmmm…saya baru ingat, logat penyebutan “Bus” di Laos sama dengan di Thailand atau Vietnam yaitu “Bat”. Jadi mungkin mereka kira saya menanyakan bus yang menuju Luang Prabang. Akhirnya saya menjelaskan, kembali dengan bahasa Inggris ala kadarnya…” I mean…I want buy ticket to Luang Prabang with Baht Thailand, not KIP. Dan akhirnya si penjual ticket mengerti, lalu kami kami pun mengeluarkan 400 Baht per orang untuk bus yang menuju Luang Prabang.

Bus yang kami tumpangi kali ini lebih mirip dengan mini bus travel, berbeda dengan bus kami sebelumnya yang membawa kami dari Bokeo ke Luang Namtha. Kali ini agak lebih nyaman, walaupun tetap sama dengan bus sebelumnya, apabila bus menjemput penumpang yang menunggu di perjalanan supirnya selalu turun dan ngobrol ngobrol dengan penduduk di sekitar lokasi penjemputan, saya jadi berfikir, jika di Bandung kita lama di perjalanan karena terhambat macet, kalau di sini karena supirnya banyak ngobrol di setiap pemberhentian hehehehe. Selama melakukan perjalanan di sini saya melihat lalu lintas tidak ramai bahkan relative sepi jauh dari kondisi macet. Kemacetan paling terjadi karena ada perbaikan jalan sehingga diharuskannya buka-tutup jalan untuk satu jalur, dan itu pun tidak lama seperti saat melewati wilayah Oudom Xai, kota antara Luang Namtha dan Luang Prabang.

Terik mentari siang itu mengiringi perjalanan kami menuju Luang Prabang, di sebelah kanan dan kiri kami pegunungan & lembah hijau, pemandangan khas wilayah tropis menemani kami. Namun di hampir lembaran dedaunan terselimuti debu debu tipis, sepertinya hujan sudah lama tidak menyapa wilayah ini. Apalagi saat memasuki wilayah Uodom Xai, debu debu tebal dari jalanan yang sedang diperbaiki berhamburan menghalangi pandangan di depan bus yang kami tumpangi. Di Dalam bus terlihat beberapa penumpang terlelap tidur, diantaranya ada turis asing yang rupanya sedang melancong juga.

Sembilan jam sudah kami lewati, hingga akhirnya kami tiba di terminal Luang Prabang tepat pukul 6.00 PM, cuaca cukup cerah sehingga kami menyangka saat itu masih pukul empat sore. Kami pun lalu turun dari bus, seperti biasa para sopir tuktuk mendatangi para turis termasuk kami, sambil berteriak “Center, sir!! Center sir!!”. Maksudnya menawarkan angkutan menuju pusat kota tempat para pelancong berkumpul.
Seorang turis asing yang tadi satu bus bersama kami menawarkan untuk share ongkos tuktuk agar lebih murah, ini merupakan hal biasa bagi para backpacker, berbagi ongkos transport untuk menghemat budget, kami pun menyetujui. Setelah sebelumnya Barbar menemukan ATM dan akhirnya kami memiliki KIP yang cukup, tuktuk pun melaju menuju pusat kota dengan ongkos 20 ribu KIP per orang.

Di perjalanan menuju pusat kota, saya sedikit berbasa basi dengan turis asing tadi yang ternyata berasal dari Italia, rupanya dia juga melakukan perjalanan yang sama dari Thailand menyebrang ke Laos. Dia bilang “Nanti di Luang Prabang ingin langsung cari guest house yang ada wifi nya” sambil tersenyum. Rupanya pikiran kita sama, semenjak memasuki Laos kita tidak menemukan wifi dan otomatis kita tidak bisa kontak dengan keluarga & rekan untuk sekedar memberi kabar.

Kata “Get Lost” yang sering menjadi motto para backpacker yang artinya kurang lebih “menghilangkan” diri atau “menyesatkan” diri kami alami juga saat memasuki Laos walaupun tanpa kesengajaan dalam arti saat itu kami memang tidak menemukan wifi untuk bisa kontak dengan keluarga dan rekan di luar sana, kalaupun ada wifi saat di guest house di Luang Namtha signalnya sangat parah. Berbeda mungkin dengan para maniak backpacker yang memang sengaja “menghilangkan” diri tanpa membawa gadget atau alat komunikasi lainnya. ‪#‎Bersambung‬

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (1)

Aroma babi panggang menyergap kami saat tiba di terminal bus Luang Namtha, Laos malam itu. Waktu menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Hari sudah gelap, terminal kota kecil itu mulai sepi, rupanya hanya bus yang kami tumpangi yang terakhir singgah.

Beberapa warung yang menjajakan makanan khas setempat mulai bebenah untuk tutup. Saya bersama rekan saya Bar bar celingukan sedikit bingung, betapa tidak…kami baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, tentu belum sempat kami untuk sekedar orientasi medan.
Dengan menyandang backpack, kami menyusuri jalanan yang gelap, beberapa kedai makanan di sepanjang jalan masih terlihat ramai dan itu setidaknya bisa “menemani” kesendirian dan keterasingan kami. Jalanan yang kami susuri mengingatkan kami akan jalur pantura di pulau jawa…besar dan banyak berseliweran truk truk container.

Kota Luang Namtha ini adalah kota kedua yang akan disinggahi dalam itenary kami, setelah malam sebelumnya kami menginap di Chiang Rai, sebuah kota yang terletak di utara Thailand. Memang pada backpackeran kali ini, kami merencanakan trip dengan menggunakan jalur darat dengan melintasi dua negara.

Perjalanan kami awali dari Bangkok dengan menggunakan penerbangan jam 10.00 AM dan tiba di bandara Chiang Rai sekitar pukul 14.00. Perjalanan kami lanjutkan dengan taxi menuju pusat kota. Sekitar pukul 15.30 kami tiba di terminal bus Chiang Rai.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu daerah, tradisi kami adalah mencari café yang ber – free Wifi untuk sekedar ngopi dan ber- Wifi gratisan heheheehe, maklum pelancong harus sebisa mungkin meminimalisir budget.

Setelah puas kami ber-Wifi an, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari guest house. Kota Chiang Rai ini merupakan kota kecil yang nyaman, jalanannya luas dan tidak ramai oleh lalu lintas. Tidak berapa lama kami menemukan guest house yang letaknya di jalan kecil seharga 700 bht untuk kamar yang kami sewa dan kami pun terus rehat sejenak, karena kami berencana akan mengeksplorasi kota tsb malam nanti. Karena menurut informasi di kota ini tiap malam selalu ada “nait basal” (bahasa penduduk setempat) yang maksudnya Night Bazar atau sejenis pasar malam.

Sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, kami mulai bergerak menyusuri jalanan kota Chiang Rai yang asri menuju Night Bazar yang berlokasi di sekitar terminal. Tidak berapa lama kami tiba di Night Bazar, di situ banyak sekali barang dagangan dijajakan dari mulai makanan, pakaian sampai barang barang souvenir. Selain itu ada juga pengamen jalanan yang menampilkan keahliannya dalam memainkan alat music biola. Semarak sekali suasana di tempat itu.

Setelah puas kami mengelilingi tempat itu, kemudian kami kembali menyusuri jalanan menuju “Clock Tower”, sebuah menumen yang menjadi icon kota Chiang Rai. Tugu yang berornamen khas Thailand yang di puncaknya terdapat jam yang besar. Di sekitar Clock Tower ini banyak bertebaran café dan kedai tempat para turis local maupun mancanegara berkumpul. Cuaca cerah malam, semakin menambah semarak suasana disekitar clock tower tersebut.

Sekitar pukul 11 malam kami kembali ke guest house, kami berniat untuk beristirahat untuk memulihkan stamina dan mengumpulkan energy, karena besoknya kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah menyebrang ke perbatasan Thailand-Laos menggunakan bus dan berniat singgah di kota Luang Namtha (Laos).
Esok paginya kami sudah mulai berkemas dan bersiap untuk check out untuk kemudian berangkat menuju terminal. Sekitar pukul 09.30 AM kami sudah berada di dalam bus menuju kota perbatasan Thailand, Chiang Kong. Penumpang di dalam bus selain masyarakat local juga ada turis turis asing yang rupanya punya tujuan sama, menyebrang ke Laos.
Dua jam berlalu, hingga akhirnya kami tiba di sebuah halte di pinggiran sungai Mekong. Saat turun dari bus kami langsung dikerubuti supir tuk tuk atau sejenis beca bermotor. Mereka menawarkan untuk mengantarkan kami menuju pos perbatasan, rupanya memang tuk tuk ini adalah satu-satunya kendaraan yang mengantar para turis menuju border control atau pos imigrasi. Kemudian kami pun melaju menggunakan tuk tuk bersama dua orang turis asing.

Setelah passport kami diperiksa dan menyerahkan formulir imigrasi, kami pun menuju perbatasan Laos dengan menggunakan bus seharga 25 Baht yang sudah menunggu di depan pos Border Control. Tidak kurang dari setengah jam setelah melewati Friendship Bridge kami tiba di perbatasan Laos. Sekedar informasi, beberapa tahun yang lalu menurut Barbar rekan saya yang pernah mengunjungi Laos lewat jalur darat saya, antara perbatasan Thailand & Laos dihubungkan dengan kapal Ferry sebelum dibangun “Jembatan Persahabatan”.

Memasuki kantor imigrasi Laos, seperti biasa setelah mengisi formulir imigrasi dan passport kami distempel, kami pun mulai menginjakkan kaki di wilayah yang berbeda tersebut. Saat keluar kantor imigrasi, beberapa supir tuk tuk mengerubungi kami, menawarkan jasa angkutan mengantar kami ke kota Bokeo, sebuah kota yang terletak di dekat perbatasan Laos.
Kami pun lalu berangkat menggunakan tuktuk bersama beberapa penumpang local dengan ongkos seharga 50 ribu KIP (mata uang Laos). Rupanya ada kesalahpahaman antara kami & supir tuktuk yang tidak bisa berbahasa Inggris, kami mengira di tempat yang kami tuju akan ada bus antar kota. Tapi ternyata, tempat yg kami datangi itu adalah pusat kota Bokeo, dan tidak ada bus di situ. Bus bisa di dapat di terminalnya langsung. Dengan dibantu penterjemah dadakan yaitu seorang ibu-ibu yang menumpang bersama kami yang bisa berbahasa Inggris akhirnya supir tuktuk bersedia mengantar kami menuju termina Bokeo dengan meminta ongkos tambahan tentunya…hehehe

Bokeo merupakan sebuah provinsi di Laos yang memiliki luas wilayah 6.196 km² dan populasi 149.700 jiwa (2004). Ibu kotanya ialah Ban Houayxay. Saya melihatnya sebagai kota kecil yang semi berkembang. Ketika kami dibawa oleh supir tuktuk ke pusat kotanya, saya melihat seperti wilayah pasar Pangalengan di Jawa Barat, sangat bersahaja…Ketika saya memasuki pasar, tidak terlihat seorang pun di sana yang merokok, padahal biasanya di pusat pusat keramaian pasti ada saja orang merokok seperti halnya di Saigon, Bangkok,dll di kota2 di negara yang pernah saya kunjungi.

Begitu pula saat di terminal, saya melihat hanya turis turis asing yang merokok. Awalnya saya mengira mungkin ada aturan yang melarang merokok di tempat umum seperti halnya di Singapore atau Bangkok, sehingga saat saya akan merokok saya bertanya dulu kepada penduduk local, dan mereka memperbolehkan. “Hmmm sebuah kebiasaan yang sehat hehehehe hidup tanpa rokok ..” itu yang ada di benak saya. Tapi ada satu kebiasaan penduduk kota ini yang kurang “berkenan” bagi saya yaitu meludah sembarangan, awalnya saya mengira hanya beberapa gelintir penduduk saja saat di terminal yang seperti itu, tapi saat di dalam bus menuju Luang Namtha, kondektur bus atau lebih tepatnya kenek bus membagikan kantong kresek yang akhirnya saya tahu kalau itu untuk penumpang yang mabuk darat atau ingin meludah…maka jadilah sepanjang perjalanan kami “dihiasi” dengan sura suara…”hoooek cuh!” (icon wajah ijo).

Dan yang lebih “Keren” lagi, mungkin karena tidak adanya shelter atau rest area sepanjang perjalanan jika penumpang yang ingin buang air kecil, bus akan berhenti di bedeng bedeng pinggir jalan yang saya lihat banyak pembuangan sampahnya lalu para penumpang pun secara masal baik itu pria maupun wanita “beser” di situ…dan tidak lupa setelah itu mereka akhiri dengan “hooeeek cuh!”

Seperti halnya asumsi saya tentang jalanan kota di Laos yang penuh debu, saat memasuki Bokeo banyak lahan lahan tanah merah yang berdebu kami lewati. Walaupun begitu wilayah pusat kotanya tempat para backpacker berkumpul terlihat agak sedikit nyaman bernuansa pedesaan di pinggiran sungai Mekhong. Tapi saat memasuki terminal yang letaknya di tengah tegalan tandus berdebu, Barbar rekan saya berkata “ Jiga di pilem koboy nya? Asa di Meksiko” wkwkwkwwkw

Setelah membayar ticket bus seharga 250 Baht, sekedar informasi di Laos selain mata uang KIP, Bath juga bisa diterima di sana selain USD atau mata uang Dollar yang lain kecuali Rupiah huuaaaaa (menyedihkan sekali…Rupiah oh Rupiah). Dan tepat pukul empat sore kami pun berlalu menuju Luang Namtha yang berjarak 180 Km dari Bokeo. ‪#‎Bersambung‬

Occupy Victoria Park, Occupy Hong Kong

Bila kita mengunjungi taman-taman kota Hong Kong di hari weekend maka akan segera terasa suasana ke-Indonesiaannya. Weekend adalah waktu dimana para tenaga kerja Indonesia (TKI) di bekas koloni Inggris itu keluar dari sarang-sarangnya untuk berkumpul dan silaturahmi dengan sesama perantau dari tanah air. Tak heran bila telinga kita akan familiar dengan bahasa Jawa dan Indonesia  yang mereka gunakan untuk berkomunikasi. Memang paling banyak tenaga kerja wanita yang ada di Hongkong berasal dari daerah Jawa seperti Klaten, Pekalongan, Tegal dll. Jadi tak heran bila boso jowo yang kental akan sering terdengar.

Selain tenaga kerja dari Indonesia, juga banyak yang berasal dari Filipina memanfaatkan taman sebagai tempat berkumpul. Namun tak pelak lagi bahwa tenaga kerja dari Indonesia lah yang keberadaannya  lebih mendominasi di taman-taman kota seperti Kowloon Park atau Victoria Park.

Hari Minggu pagi saya sengaja menuju Causeway Bay yang merupakan stasiun subway terdekat dari Victoria Park. Mulai dari stasiun subway yang saya masuki di Tsim Sha Tsui, keberadaaan pekerja migran asal Indonesia sudah mulai terasa dan arusn kedatanganya semakin deras saat mendekati Causeway Bay.  Walaupun kebanyakan berbahasa Jawa yang tak saya mengerti, percakapan mereka membuat hangat pagi yang dingin di bulan Januari.

Hari ini sudah kesekian hari sejak saya meninggalkan tanah air dan mulai tersentil gejala homesick karena masih seminggu lagi waktu untuk pulang. Tiba-tiba saya merasa tersipu bahwa perjalanan sekian hari itu tak ada apa-apanya dibanding  para TKI yang mungkin bertahun-tahun tak pulang ke kampung halaman.  Kamar tempat kami menginap yang sempit juga tak ada apa-apanya dibandingkan ruangan yang disediakan oleh induk semang para TKI untuk  beristirahat…disitu kadang saya merasa sedih..

Hong Kong  hanya memiliki luas 1.104 km persegi sehingga tak memiliki banyak ruang tersisa untuk warga kotanya (bandingkan dengan Indonesia seluas 1,9 juta km persegi). Kepadatan penduduk sebanyak 6.544/km persegi  dengan harga property yang membubung tinggi. Itulah sebabnya para buruh migran tak punya banyak kesempatan untuk memiliki tempat yang representative kala bekerja disini. Paling banter mereka menumpang di apartemen majikannya sehingga hanya kebagian tempat yang tak seberapa, mungkin hanya cukup untuk tidur saja.

Keberadaan mereka seatap dengan induk semang juga membuka peluang terhadap kekerasan, jam kerja yang panjang dan pengambilan hak-hak sebagai buruh migran. Banyak kasus memilukan yang dialami oleh para TKI di Hong Kong, namun para wanita besi itu tak pernah menyerah demi keluarga yang mereka tinggalkan di tanah air. Beberapa nyawa telah melayang  korban kekerasan majikannya, namun kini para TKI dengan berani menuntut balik para majikan yang bertindak diluar batas kemanusiaan.

Perjuangan para TKI di negeri orang sungguh membuat terharu dan sebagai pelancong sungguh saya merasa terkesima. Awalnya saya merasa lucu, sedikit merendahkan dan merasa berbeda dari para TKI yang bergerombol di bawah jembatan, di taman, di halaman mesjid itu.  Lalu kita akan dipaksa berpikir, apa yang kita sumbangkan untuk tanah air dengan melancong selain membuang devisa. Betapa tak sebanding dengan perjuangan tak kenal lelah para buruh migran yang dipaksa survival di negeri orang, bertahan mati-matian dalam kondisi ekstrim dan menyisihkan pendapatannya untuk dikirim ke tanah air. Dalam transaksi internasional, hal itu menjadi devisa bagi negara tujuan.

Saya menyesal sempat berpikir seperti itu dan meninggalkan Victoria Park dengan perasaan masygul . Sejujurnya, saya ingin memberi hormat pada setiap buruh migran yang ada di Victoria Park, Kowloon Park dan tempat-tempat lainnya di Hong Kong. Mereka pantas menerimanya. @districtonebdg

foto : internet

Saturday Outdoor

10805724_10204083838268705_5400738807360613885_nBerawal dari keinginan untuk sekedar bernostalgia melakukan kegiatan outdoor dengan menapaki jalur-jalur sekitar kota Bandung yang punya nilai histori bagi kami, sehingga kemudian menjadi “candu”.

Maka untuk memenuhi ketagihan ini, maka komunitas District One setiap hari Sabtu selalu menyelenggarakan kegiatan alam bebas seperti hiking, trail running, wisata alam dan aktifitas lain di alam bebas. Karena selalu dilakukan dihari Sabtu maka kegiatan lalu kami namakan Saturday Outdoor. Namun sebetulnya waktunya fleksibel di akhir pekan atau pada hari libur pun bisa saja dilakukan.

Bagi siapa pun yang ingin ikut merasakan segarnya udara pegunungan, dinginnya embun, melihat indahnya hijau daun dan aroma tanah basah, tangan kami selalu terbuka untuk bergabung. @districtonebdg

 

 

Cikapundung Trail di Kawasan Dago

 

Siapa yang tak mengenal kawasan Dago di kota Bandung? Sepanjang jalan yang menjadi ikon kota Bandung itu tiap hari selalu ramai oleh berbagai kesibukan. Pada hari biasa kawasan sepanjang jalan ini akan ramai oleh berbagai aktifitas  seperti factory outlet, kuliner, sekolah, kantor dan pertokoan. Pada hari Minggu akan semakin ramai dengan adanya car free day  dimana warga kota dan turis tumpah ruah meramaikan suasana Minggu pagi.

Namun tahukan anda tak jauh dari jalan Dago yang hiruk pikuk  masih ada jalur setapak yang asri dan hijau, tepatnya di sepanjang aliran sungai Cikapundung. Mereka yang ingin melakukan hiking namun enggan jauh-jauh dari kota sangat cocok untuk mencoba jalur yang dimulai dari Curug Dago dan berakhir di Babakan Siliwangi ini. Trek hiking sepanjang empat kilometer dengan waktu tempuh tak sampai dua jam ini akan cukup membuat badan berpeluh dan hati riang dengan  tanpa merogoh kocek besar.

Medan yang dilalui sepanjang perjalanan beragam mulai dari hutan bambu, semak, perkampungan, sawah dan juga kuburan.  Kontur berbukit-bukit akan membuat kita naik turun di sepanjang aliran sungai ini.  Kondisi aliran sungai sepajang perjalanan juga berubah-ubah dari aliran dangkal, jeram, bendungan kecil, dan air tenang yang sering dimanfaatkan untuk memancing. Supaya tak tersesat kala menyusuri jalur ini, tetaplah berada tak jauh dari tepian aliran sungai Cikapundung, jangan terlalu jauh berjalan melambung. Untuk mendapatkan jalur yang  lebih jelas, dari arah  Curug Dago sungai akan selalu berada di sebelah kiri kita.

Jalur jalan setapak ini berakhir di desa, dan setelah melewati desa kita akan sampai di sebuah dam atau sering disebut waterfank. Dari sini hingga taman Teras Cikapundung (Babakan Siliwangi) jalan setapak sudah ditata dengan baik memakai ubin  sehingga nyaman bagi pejalan kaki. @districtonebdg

Sekilas Cerita TKI di Sabah

sawit

Di hari terakhir di kota Kinabalu, Tomy bersikukuh mencari masakan Indonesia. Toh, walau ada rumah makan Melayu namun citarasanya belum sreg menurut ukuran kami. Setelah berkeliling-keliling akhirnya ketemu juga yang cocok rasanya, murah dan pelayannya lancar berbahasa Indonesia yaitu : warteg! Ya jelas saja, semua pegawainya orang Jawa yang bekerja disana. Namanya saja rumah makan Jawa. Klop..!

“Mas, bayarnya pake ini aja ya,” gurau Tomy seusai makan seraya menyodorkan uang rupiah limapuluh ribuan.

“Lha ndak bisa to mas,” kata pelayannya senyum-senyum.

“Sampeyan Jawanya dari daerah mana?” tanya Tomy lagi.

“Dari Lamongan, mas,” kata si mas.

“Nanti kalo sudah selesai kerja disini mau pulang atau jadi orang Malaysia?” tanya Tomy.

“Ya pulang toh mas wong anak istri masih di Jawa,” ujarnya. Ternyata si mas ini bukan termasuk TKI yang rentan dari sisi nasionalisme.

Warga negara Indonesia yang mencari rejeki di Kinabalu, dan Sabah umumnya cukup banyak. Dibanding pekerja lain dari Bangladesh, Nepal dan Vietnam para majikan di Malaysia lebih menyukai tenaga kerja asal Indonesia (TKI) karena faktor kesamaan budaya, bahasa dan agama yang merupakan kelebihan yang menyebabkan keperluan akan TKI formal sebagai primadona dalam pemenuhan kebutuhan pekerja asing di Sabah.

Menurut catatan Konjen di Kinabalu, WNI legal yang tinggal di Sabah sebanyak 208.792 orang. Sementara untuk TKI ilegal tercatat 217.367 WNI tidak berdokumen. Hingga kini, sudah ada pemutihan TKI ilegal dengan keluarganya melalui pemberian paspor sekitar 200 ribu orang. Ada sekitar 45 ribu anak-anak TKI dan keluarganya yang buta huruf di Sabah, tutur Soepoeno yang tiap minggu turun berdialog dengan TKI di Semenanjung Sabah.

Banyaknya TKI bermasalah disebabkan pintu-pintu masuk dan ke luar ilegal di sepanjang perbatasan Kaltim-Sabah. Rata-rata 2.000 orang per hari masuk ke Tawau dari Kalimantan Timur. Mereka masuk wilayah Malaysia tanpa izin dan tinggal melebihi waktu yang ditentukan. Selain itu juga melanggar kontrak kerja dan izin kerja. Meskipun memiliki paspor sah yang dikeluarkan oleh pewakilan negara masing-masing tetapi tidak dilengkapi izin keluar-masuk wilayah Malaysia.

Di Sabah, ada 4 (empat) masalah utama TKI, yaitu masalah dokumen keimigrasian, pendidikan, perkawinan siri, dan gaji yang rendah. TKI di Sabah sangat rentan dari sisi nasionalisme kebangsaan Indonesia. Dari penelitian yang pernah dilakukan terhadap para pekerja di perkebunan sawit di Sabah, 63 persen responden memilih akan menjadi warga negara Malaysia bila ada kesempatan.

@districtonebdg

Monumen Kemenangan di Dien Bien Phu

Dien Bien Phu Town - Vietnam

Kota Dien Bien Phu terletak di lembah Muong Thanh yang dikelilingi oleh pegunungan dengan kontur datarannya yang seperti baskom. Terletak 474 km sebelah Barat Laut dari Hanoi dan berdekatan dengan perbatasan Vietnam – Laos. Di Lembah Thanh Muong  ini mengalir sungai Nam Rom yang membuat datarannya  sangat subu untuk ditanami.

 

Dien Bien Phu adalah kota yang penuh  warna dimana warga keturunan Vietnam, Thai, Lao dan Hmong tampak sibuk dengan  urusan sehari-hari mereka terutama untuk berdagang. Pada hari kerja jalanan di kota akan tampak sibuk dengan aktifitas pedagangan  yang membawa barang mereka ke kota dan berbelanja di pasar. Orang-orang ini dengan  budaya masing-masing yang berbeda seperti yang terlihat dari cara berpakaiannya, merupakan warga yang ramah bagi wisatawan bagi wisatawan. Salah satu tradisi yang menarik adalah   pesta menari xoe di rumah panggung.

 

Kota Dien Bien Phu menawarkan wisata situs bersejarah dan pemandangan alam yang menakjubkan. Pertempuran Dien Bien Phu adalah peristiwa sejarah yang terkenal dimana kemenangan telak pasukan Vietnam atas tentara kolonial Perancis dikenang sebagai salah satu peperangan yang menentukan (decisive battle) di abad XX, sehingga kota Dien Bien Phu sendiri bisa disebut merupakan sebuah monumen kemenangan bangsa Vietnam.

 

Perancis kembali ke Indochina setelah Perang Dunia ke II, melalui French Expeditionary Forces Far East, mirip tentara NICA Belanda yang kembali ke nusantara untuk menguasai Indonesia. Peperangan heroik pasukan Vietnam melawan korps ekspedisi Perancis berlangsung selama 55 hari (13 Maret – 7 Mei 1954) pada tahun 1954 di kawasan perbukitan Dien Bien Phu. Perancis mengalami kekalahan telak dimana Jenderal De Castries beserta stafnya tertawan dan kehilangan lebih dari 16.000 pasukannya.

Kekalahan telak ini membuat Perancis mundur dari seluruh daerah jajahannya di Indochina dan membuat Perjanjian Perdamaian dan Transfer Kekuasaan pada Juli 1954 di Jenewa. Dalam persetujuan Genewa 1954, antara Perancis dan Viet Minh, ditetapkan bahwa Vietnam akan dibagi menjadi dua pada garis 17th Paralel, dan  akan menyelenggarakan Pemilihan Umum mengenai nasib Vietnam Selatan. Perjanjian ini kelak berbuntut pada Perang Indochina Kedua.

Namun seperti juga di belahan bumi Vietnam yang lain, sejarah kelam dari perang masa di silam sudah dilupakan. Bukan sejarah kelam peperangan yang membuat kota ini berkesan bagi para turisme, melainkan rona wisata dari kehangatan serta keramahtamahan khas Asia yang membuat perjalanan wisata ke Dien Bien Phu akan menjadi perjalanan yang menarik.

 

Peninggalan perang di Dien Bien Phu yang menjadi tujuan wisata sejarah selain Victory Monumen adalah Doc Lap Hill, bandara dan terowongan De Castries. Danau Pa Khoang juga merupakan resor wisata yang banyak dikunjungi turis pada akhir minggu. Danau reservoir ini dibangun untuk mengairi daerah pertanian di  lembah. @districtonebdg

Hotel Tertinggi di Asia Tenggara

Laban Rata resthouse and Mt Kinabalu

Jangan bayangkan hotel Stamford, Singapura yang berketinggian 226 meter atau Baiyoke Sky, Bangkok yang menjulang setinggi 304 meter.  Menginap di hotel-hotel itu biayanya tentu selangit untuk ukuran backpacker. Yang dimaksud adalah Laban Rata Resthouse di Taman Nasional Kinabalu, Malaysia. Hotel ini  terletak pada ketinggian  3.272 meter di atas permukaan laut. Jadi, bila menginap disini kita sudah lebih tinggi dari puncak gunung Lawu (3.265 meter dpl) di Jawa Timur. Tak terlalu salah bukan?

Tak perlu khawatir dengan akomodasi karena hotel cukup nyaman dimana tersedia tempat tidur susun, selimut hangat, air panas, pemanas ruangan, dan restoran buffet dengan hidangan ala western maupun Asia.  Syaratnya hanya satu, untuk menginap disini kita harus mengeluarkan keringat sebelum sampai di Laban Rata Resthouse, karena perjalanan menuju ke tempat ini memerlukan waktu 6-7 jam dari Timpohon Gate, pintu masuk start pendakian Taman Nasional Kinabalu,.  Tak perlu membawa perlengkapan naik gunung yang berat, karena semua keperluan sudah. Cukup membawa daypack berisi perlengkapan pribadi.

Kompleks penginapan ini sebetulnya adalah  peristirahatan untuk melakukan pendakian ke puncak gunung Kinabalu keesokan harinya. Namun tentu saja kita bebas untuk menentukan apakah melanjutkan pendakian tiga jam ke puncak atau meneruskan tidur.

Tak ada salahnya melancong ke ibukota negara bagian Sabah ini karena kita akan mendapatkan suasana berbeda yang tak kalah menariknya dimana kota pesisir tertata apik seraya memiliki pula beragam tujuan wisata pegunungan untuk menyambut turis. Wisata alam merupakan andalan pariswisata disini dengan Taman Nasional Kinabalu sebagai daya tarik utamanya. @districtonebdg