Menghindar Wisata Mainstream di Yogyakarta? Coba ke Candi Plaosan Lor

Candi Buddha Plaosan Lor, berada di Kabupaten Klaten. Ketika sampai, sekilas saya menyangak seperti candi Hindhu, tapi kemudian ketika dilihat-lihat lagi ternyata  memang ada beberapa stupa yang menandakan adanya pengaruh Buddha. Ini karena Plaosan Lor dibangun oleh Ratu Sri Kahulunan, putri Raja Samarattungga yang memeluk agama Buddha dan kemudian menikah dengan Rakai Pikatan yang memeluk agama Hindu.

Saat ini candi Plaosan masih melakukan restorasi, malah di beberapa spot sedang dilakukan eskavasi oleh adik -adik mahasiswa jurusan Arkeologi dari UGM. Sepertinya ini bakalan menjadi komplek candi yang luas dan cantik. Banyak pemburu foto berkunjung ke sini menunggu momen yang tepat agar mendapatkan view yang instragamable.

Bila beruntung, teman-teman akan mendapatkan momen terindah saat matahari terbenam, dimana kemegahan candi berbaur dengan warna sunset

Masuk ke sini tiketnya masih murah, 10rb untuk dewasa, anak-anak 5rb.

Untuk mencapai ke sini juga sangatlah mudah. Bila teman-teman melakukan backpackingan, bisa menggunakan moda tranportasi bis ‘Trans Jogja’ tujuan Halte Prambanan. Jangan khawatir tersesat, dari halte manapun teman-teman memulai perjalanan, petugas Trans Jogja akan menuntun teman-teman sampai halte yang dituju. Tiketnya murah hanya Rp. 3.500,- saja, dan ini merupakan tilet terusan.

Dari halte Prambanan menuju Plaosan Lor,  bisa disambung dengan taksi online atau bentor. Bila naik bentor cukup merogoh Rp. 25.000,- sekali jalan… atau PP Rp. 50.000,-.

Selamat mencoba 🤗

Penulis : Tanti Brahmawati

Railway Adventure ke Kampung Adat Cigumentong

Kampung Cigumentong dapat dikatakan terpencil, sebab lokasinya yang berada di Kawasan Gunung Kareumbi membuat wilayah tersebut jarang dijamah oleh orang. Hingga kinipun kawasan Gunung Kareumbi merupakan wilayah Hutan Konservasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat.

Meski terbilang terisolir namun sejak tahun 1884, Kampung Cigumentong sudah dihuni segelintir warga. Lalu pada tahun 1919, seorang Administratur dari Pemerintah Hindia Belanda datang ke kampung ini. Administratur tersebut bernama Mr Jansen atau warga kampung memanggilnya dengan sebutan Tuan Block. Sampai meninggalnya Tuan Block tinggal di sini dan menjadi bagian sejarah kampung ini dengan ditemukannya makam beliau.

Kampung dibalik gunung ini mengusik perhatian saat pertama survey Kareumbi tahun 2018 yang lalu, seperti dibisikkan oleh angin hutan. Bukan deng,  karena melihatnya di Gmap wkwk… Nah, walau kala itu tak sempat dikunjungi namun penasaran untuk suatu saat akan kesana.

Tahun 2019 sempat mengadakan trip ke Kareumbi, namun baru pada Februari 2022, dapat menuntaskan hajat ke kampung misterius ini. Seperti juga dulu,  perjalanan dimulai dari stasiun Bandung lalu turun di stasiun Cicalengka.  Setelah carter angkot ke ujung desa Sindangwangi,  lalu berjalankaki ke kampung Cigumentong sekitar dua kilometer. Taman Buru Kareumbi sendiri sedang tidak buka karena PPKM gara-gara si Covid.

Walau bertajuk kampung adat,  tak banyak yang bernuansa adat disini. Sebuah bale dari bambu sedikit mewakili namun terkesan  kurang terawat. Akhirnya rombongan lebih terkonsentrasi diwarung yang terletak disamping bale ini. Maklum ternyata sudah masuk jam makan siang.

Teteh warung pun dengan sigap meladeni pesanan cuanki yang bertubi-tubi. Ternyata di kampung terpencil pun ada cuanki ya hihi.. Lalu ada keajaiban apa lagi di warung tengah hutan ini?  Olala ternyata tampak ada kulkas juga didalam. Bagaimana ngangkutnya kesini?

“Diangkut  ngangge motor, ”  jawab teteh warung. Walau Cigumentong baru dialiri listrik enam bulan lalu,  si teteh rupanya tak menunda-nunda kemajuan teknologi. @districtonebdg

 

Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut.

Kegiatan Napak Tilas 100 Tahun Gedong Cai Tjibadak 1921 dengan tema Konservasi – Seke – Tradisi diselenggarakan pada hari Rabu,  29 Desember 2021 atas inisiasi Komunitas CAI dan Karang Taruna Ledeng, juga bekerjasama dengan beberapa komunitas pegiat pelestari alam dan instansi terkait di pemerintahan kota Bandung.

Acara yang dihadiri oleh Plt. Walikota Bandung Bapak Yana Mulyana ini ditutup dengan adanya nota kesepakatan antara pihak-pihak pemerintah terkait untuk segera membuat suatu kebijakan dan komitmen yang tangguh dalam hal menjaga kelestarian bangunan heritage peninggalan Hindia Belanda tersebut. Ini harus dilakukan agar tidak terbengkalai seperti sebelumnya.

Gedong Cai saat ini masih berfungsi sebagai benteng pelindung reservoir mata air di Bandung Utara, namun proses urbanisasi di KBU yang hilang kendali membuat keberadaannya terancam akan bahaya longsor.

Sejarah Gedong Cai dibangun 100 tahun lalu saat terjadi wabah kolera. Walikota saat itu memerintahkan agar mencari sumber mata air bersih yang bisa diminum langsung oleh masyarakat untuk mengatasi wabah tersebut. Ketika ditemukan beberapa Seke (mata air) di daerah Ledeng, lalu dibangunlah semacam water station dengan pipa besar yang ditanam dalam tanah untuk mengalirkan air ke seluruh penjuru kota Bandung.

Mengutip pidato Direktur PDAM Tirtawening Sonny Salimi S.ST.MT, pada acara tersebut, Gedong Cai ini pertama kali dimanfaatkan oleh PDAM pada tahun 1977 dengan debit air 50lt/dtk, skrg menurun jadi 22lt/dtk, yang dimanfaatkan PDAM skrg ini hanya 10lt/detik, itu pun untuk mengairi kurang lebih 800 pelanggan di wilayah Cipaku dan Ciumbuleuit saja. Sisanya digunakan warga Cidadap dan sekitarnya.

Saat ini, walau debitnya berkurang, tempat ini masih mengalirkan air bersih untuk wilayah pemukiman sekitar Ledeng, Cidadap, Cipaku, dan Ciumbuleuit.

Mari kita jaga seke-seke di sekitarnya agar debit airnya semakin meningkat kembali, sehingga pasokan air bersih untuk kota Bandung bisa meningkat kembali. @BrahmaTanti

Sekeping Surga Dibelakang Terminal Kumuh

Di sekitar Cidadap Girang, Bandung atau biasa dikenal dengan kawasan Ledeng tersebar beberapa seke atau mata air yang tak pernah kering. Selain seke-seke ini ada beberapa anak sungai salah satunya Sungai Cipaganti yang punya potensi wisata.

Menurut catatan, kawasan belakang terminal Ledeng ini mulanya bernama Kampung Cibadak. Secara epistimologi, nama ‘Cibadak’ berarti ‘Cai Badag’ atau air yang melimpah. Agak ironis bila melihat kondisi terminal Ledeng sekitarnya yang kumuh.

Masa pemerintah Belanda, sumber mata air yang melimpah dari tempat ini dibuatkan bangunan pelindung untuk kemudian disadap dan dialirkan melalui saluran pipa besar yang ditanam di dalam tanah. Bangunan pelindung itu dikenal dengan nama Gedong Cai.

Bertujuan melakukan penghijauan, sejak 2019 Komunitas CAI hadir melanjutkan program revitalisasi lingkungan di sekitar Gedong Cai. Beragam tumbuhan mereka tanam di sekitar Sungai Cipaganti, salah satunya tanaman bambu.

Hasilnya, puluhan bambu endemik langka, seperti bambu 22, bambu ater, bambu bitung, dan bambu hitam ada di sini. Selain bambu, ditanam juga pohon penyerap air, misalnya kopi, beringin, pohon endemik seperti karung serta patrakomala, atau buah-buahan seperti mangga dan nangka.

Sebagai bentuk support atas tujuan mulia tersebut, pada hari Sabtu 4 Desember 2021 bertempat di cafe 25 Arcamanik D1VA mengundang komunitas CAI untuk berdiskusi sekaligus nonton bareng film pendek “Preserving the Seke” produksi ZBX yang menceritakan kawasan tersebut. Film pendek yang disutradarai Irwan Zabonk ini mendapat apresiasi dalam festival film di New York. @districtonebdg

Railway Adventure ke Situs Megalitikum Gunung Padang

Pon Purajatnika, M.Sc., yang memimpin penelitian Gunung Padang pada bidang arsitektur dan kewilayahan menyatakan bahwa struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Machu Pichu di Peru.

Situs Gunung Padang merupakan peninggalan Megalitikum berbentuk punden berundak yang terletak di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulaan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Keberadaan Situs Gunung Padang pertama kali dilaporkan oleh Nicolaas Johannes Krom pada 1914.

Di kawasan situs megalitikum Gunung Padang terdapat 5 teras. Untuk mencapai puncak situs ini bisa melewati jalur utara dan selatan. Jalur utara lebih menanjak dengan melwati 378 anak tangga sedangkan jalur Selatan lebih landai dan dengan melewati 750 anak tangga. Di setiap teras terdapat bebatuan punden berundak yang diyakini dulunya merupakan aktivitas masyarakat prasejarah.

Diperkirakan situs Gunung Padang dibangun pada periode 2500-4000 SM. Luas wilayah mencapai 3000 meter persegi dengan ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut. Pon Purajatnika, M.Sc., yang memimpin penelitian Gunung Padang pada bidang arsitektur dan kewilayahan menyatakan bahwa struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Machu Pichu di Peru.

Komunitas D1VA melakukan trip ke situs prasejarah ini dengan cara unik,  yaitu memakai moda kereta api. Memanfaatkan trayek Cipatat – Sukabumi yang baru dibuka,  perjalanan dimulai dari stasiun Bandung lalu turun di Padalarang. Setelah disambung angkot kuning menuju stasiun Cipatat, lalu memakai KA Siliwangi menuju Lampegan. Darisini rombongan diantar mobil ke tujuan.

Transportasi umum memang masih jadi kendala menuju lokasi karena tak ada angkot. Namun bila hanya sendirian pun,  akses dari Lampegan ke Gunung Padang tetap memungkinkan yaitu dengan naik ojek yang mangkal di stasiun. Sedikit tips, bila naik ojek dari Lampegan,  langsung saja minta diantar ke puncak teras agar hemat waktu karena harus mengejar kereta sore. @districtonebdg

PLTA Dago Pojok yang Tersembunyi

PLTA Dago berbeda dengan PLTA Bengkok, terletak dibawah curug Dago memanfaatkan air buangan dari PLTA Bengkok untuk pembangkit. PLTA peninggalan Belanda ini masih berfungsi dengan baik hingga kini.

 

Sejarah Pembangkit listrik tenaga air di Sungai Cikapundung dimulai jaman pemerintah Belanda pada tahun 1923. Ada dua pembangkit yaitu di Bengkok ( 1050 KW) dan Dago (700 KW). Sebelumnya Belanda juga telah membangun  PLTA Dago Pakar lebih kearah hulu sungai Cikapundung,  namun telah dibongkar terlebih dulu karena kekurangan debit air.

Banyak yang tidak mengetahui bahwa PLTA Dago berbeda dengan PLTA Bengkok, walau bisa diibaratkan kembarannya. PLTA Dago terletak dibawah curug Dago memanfaatkan air buangan dari PLTA Bengkok untuk pembangkit. PLTA peninggalan Belanda ini sekarang menjadi bangunan cagar budaya namun masih berfungsi dengan baik hingga kini.

Akses menuju PLTA Dago bisa dibilang agak tersembunyi,  harus melalui jalan sempit Dago Pojok atau gang Cikalapa bila dari arah Dago Jajaway. Parkirkan kendaraan diatas,  lalu berjalan melewati turunan curam kearah sungai Cikapundung.

PLTA Dago akan terlewati bila kita hiking di Cikapundung Trail,  rute hiking yang menghubungkan Curug Dago hingga Teras Cikapundung. Meluangkan waktu sejenak untuk mengambil spot foto disini menjadi menu wajib. @districtonebdg

 

 

Sejarah Era Kemerdekaan Melintas di Palintang

Desa Palintang merupakan lokasi yang sering dilalui kala melakukan ragam kegiatan outdoor ke wilayah sekitar seperti gunung Palasari, Manglayang dan Pangparang. Sekedar untuk menyesap kopi pun tempat ini sudah menjadi destinasi tersendiri dimana dua buah warung kopi siap memanjakan lidah penggemar kopi. Satu terletak di seberang Sekolah Dasar Palintang dan satu lagi dipinggir lapangan diatas desa. Rute ini bahkan merupakan jalur rutin yang dilalui bila hendak menuju ke Lembang dari Ujungberung. Sehingga ada baiknya kita sedikit mengulas sejarah yang melewati desa ini.

Tak lama setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, di tahun yang sama  TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sudah terbentuk di Bandung dan mengambil posisi markas pertahanan di Villa Isola. Mereka mundur dari kota karena tentara Inggris dan Gurkha sudah masuk ke kota Bandung. Didukung persenjataan howitzer tentara Inggris/Gurkha terus berusaha merangsek ke arah Lembang. Beberapa kali serangan ini berhasil dipukul mundur namun persenjataan yang tak seimbang membuat pasukan TKR mundur dan markas dipindah ke hotel Grand Lembang. Ini pun tak lama karena persenjataan berat musuh terus merangsek, hingga posisi pejuang terpukul mundur antara lain ke Ciater dan Gunung Kasur.

Pada akhirnya pasukan TKR mundur ke desa-desa sekitar Lembang, Sumedang dan Subang sambil melakukan taktik gerilya. Perang gerilya terus berlangsung memakan korban dari keduabelah pihak hingga Belanda melancarkan Operation Product atau oleh kita dikenal dengan Agresi Militer I di bulan Juli 1947 yang berakhir dengan Perundingan Renville yang memaksa TNI mundur dari Jawa Barat menuju Yogyakarta. Namun tak banyak yang tahu bahwa di tahun 1948 itu ada perintah rahasia bagi sebagian pejuang untuk kembali merembes ke kantong-kantong gerilya di sekitar Bandung yang dikuasai Belanda.

Di wilayah Bandung Utara, saat itu telah berdiri pos KNIL yang kuat di Palintang. Kampung di atas awan ini dipandang strategis untuk melindungi aset-aset perkebunan disekitarnya. Perkebunan kina dan teh di Bandung Utara  yang telah berdiri sejak era Preanger Planter merupakan aset penting bagi Belanda.  Namun pos KNIL di Palintang ini dengan mudah bisa dihindari oleh para pejuang yang lihai berbaur dan mengenal jalan-jalan tembus. Ada baiknya jalur gerilya ini diperkenalkan agar masyarakat mengenal sejarah era kemerdekaan yang melintas disini.

Sementara itu para pejuang yang kembali dari Yogya mengambil posisi salahsatunya di desa Ciporeat, Ujungberung yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Palintang. Darisini mereka mengkonsolidasikan diri dengan kantong-kantong gerilya di Garut dan Sumedang. Kantong gerilya ini diawasi secara ketat oleh pos KNIL di Cileunyi maupun Palintang sehingga pernah terjadi insiden Lurah, Kades dan pemangku Desa lain “diambil” tengah malam oleh KNIL karena dicurigai membantu gerilyawan. Mereka dijebloskan ke penjara Kebonwaru selama beberapa bulan lamanya. @districtonebdg

Foto : Sebuah gudang di lapangan Gunung Kasur, 2010

 

Junghuhn Perintis Kebun Kina di Hindia Belanda

junghuhn_self-portraitApabila kita melewati jalan alternatif dari arah Lembang menuju Ujungberung, bukit-bukit hijau perkebunan kina akan menemani sepanjang perjalanan. Asal muasal perkebunan kina ini, tak lepas dari jasa Junghuhn.

Pada bulan Juni 1885 Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn ditugaskan sebagai inspektur penyelidikan alam di Pulau Jawa oleh pemerintah kolonial. Tugas utamanya pemeliharaan tanaman cinchona untuk menghasilkan kinine. Pada bulan 1857 saat secara resmi ditugaskan dengan pengawasan perkebunan cinchona, ia langsung merubah prosedur penanaman percobaan  dengan memindah perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan.

Antara tahun 1858 sampai dengan tahun 1862 Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog ternama menjadi penasihat proyek cinchona itu. De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona lain yang lebih produktif. Sayang pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum tersedia. Proyek perkebunan cinchona jenis baru ini mulai menuai sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal. Meskipun begitu mengingat jasanya sepatutnya ia dapat dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa

Kelak species kina yang baru tersebut berhasil dibudidayakan oleh tangan-tangan dingin Preanger planter yang membuka perkebunan-perkebunan kina di Bandung dan Garut. Perkebunan-perkebunan kina jenis baru berhasil meningkatan produksi kinine di pulau Jawa, sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi dari Hindia Belanda mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine sedunia.

Pada akhir tahun 1861 Junghunh terkena infeksi amoeba dan sejak waktu itu tidak dapat sembuh lagi. Ia wafat pada tanggal 24 April 1864 dalam usia 54 tahun di rumahnya di Lembang. Makamnya terdapat di kaki Gunung Tangkuban Perahu di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dalam sebuah taman, yang ditumbuhi tanaman favoritnya Cinchona succirubra maupun C. ledgeriana.

Rumah Junghunh di Jayagiri

Junghunh jatuh cinta kepada alam Priangan dan disela-sela nafas terakhirnya ia menyampaikan permintaan terakhirnya kepada dokter sekaligus sahabatnya, Groneman.

“Dapatkah engkau membukakan jendela-jendela itu untukku? Aku ingin berpamitan kepada gunung-gunungku yang tercinta. Untuk terakhir kalinya aku ingin memandang hutan-hutan, sekali lagi aku ingin menghirup udara pegunungan”. @districtonebdg

 

Mengenal Sejarah Teh di Perkebunan Ciater

img-20161113-00082Pemandangan yang menyegarkan berupa hijaunya perkebunan teh telah terlihat sejak  kita melewati Tangkuban Perahu dari arah Bandung. Perkebunan teh menghampar luas ke daerah Ciater hingga Bukanagara, Subang. Siapapun akan tergoda untuk melakukan tea walk atau sekedar berfoto sepanjang jalur ini.

Namun didaerah Ciater, tak hanya tea walk yang bisa dilakukan. Selain bisa menikmati keindahan kebun teh milik PTPN VIII, para wisatawan juga bisa menambah pengetahuan tentang tanaman teh melalui kunjungan ke pabrik dan museum. Lokasi pabrik teh Ciater ini dapat diakses melalui jalan raya Subang – Bandung. Sekitar 300 meter sebelum  perempatan Sariater anda akan menemukan papan nama besar menuju lokasi pabrik di sekitar pangkalan angkot Ciater.

Sejak beberapa tahun lalu pabrik Ciater membuka kunjungan wisatawan yang ingin mengetahui tentang pengolahan teh. Pabrik yang didirikan sejak tahun 1990 ini banyak di kunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Turis mancanegara yang banyak berkunjung ke pabrik Ciater kebanyakan berasal dari Eropa terutama dari Inggris dan Belanda. Banyak turis Belanda yang datang itu untuk  bernostalgia pada era kolonial, atau melihat peninggalan nenek moyangnya. Pabrik teh Ciater dibuka untuk umum setiap hari. Pengunjung akan dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000,- untuk wisatawan domestik dan Rp. 15.000,- untuk turis mancanegara. Harga tersebut belum termasuk biaya untuk guide.

whatsapp-image-2016-11-14-at-9-42-00-amLokasi lainnya untuk menambah ilmu tentang tanaman teh ini adalah menengok sejarah perkebunan teh di Museum Teh yang terdapat di jalan raya Subang – Bandung. Museum ini terletak sekitar dua kilometer dari pabrik ke arah Subang. Bangunannya memanfaatkan sebuah gedung tua peninggalan Belanda yang kini  dikenal dengan nama Gedong Buleud. Di dalam gedung ini selain bisa mempelajari perkembangan perkebunan teh pengunjung juga dapat melihat beberapa duplikat foto, diorama, lukisan dan perkakas.

Di museum Gedong Buleud  kita dapat mengetahui awal mula masuknya tanaman teh ke Indonesia melalui tangan-tangan dingin Preanger planters yang telah mengubah hutan lebat tak terjamah di kawasan Priangan menjadi hamparan luas perkebunan teh yang tertata. Nama-nama keluarga pioner Belanda seperti Kerkhoven, Holle, van Hucht dan Boscha akan terasa mendominasi sejarah teh di Priangan ini. Bila tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang juragan-juragan teh ini kita bisa membaca novel  Sang Juragan Teh yang ditulis oleh Hella S. Haasse berdasarkan surat-surat pribadi keluarga Kerkhoven. @districtonebdg

 

Mengenal K.A.R. Bosscha Perintis Perkebunan Teh Malabar

bosschaKarel Albert Rudolf Bosscha (lahir di Den Haag,  1865-1928) adalah seorang Belanda yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi Hindia Belanda pada masa itu dan juga merupakan seorang pemerhati ilmu pendidikan khususnya astronomi. Pada bulan Agustus 1896, oleh R.E. Kerkhoven, yang masih merupakan sepupunya, Bosscha diangkat menjadi adminstratur Perkebunan Teh Malabar yang baru dibuka. Selama 32 tahun masa jabatannya di perkebunan teh ini, ia telah mendirikan dua pabrik teh, yang saat ini dikenal dengan nama Pabrik Teh Malabar.

Pada tahun 1901 Bosscha mendirikan sekolah dasar bernama Vervoloog Malabar. Sekolah ini didirikan untuk memberi kesempatan belajar secara gratis bagi kaum pribumi Indonesia, khususnya anak-anak karyawan dan buruh di perkebunan teh Malabar agar mampu belajar setingkat sekolah dasar selama empat tahun. Pada masa kemerdekaan Indonesia, nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Rendah, kemudian berubah lagi menjadi Sekolah Rakyat dan menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar II hingga saat ini.

Bosscha juga berperan penting dalam pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng – sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda (sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung) yaitu sebagai Ketua College van Directeureun (Majelis Direktur); yang mengurus kebutuhan material bagi TH Bandung mulai dari pembangunannya sampai kegiatan akademik berjalan hingga diambil alih oleh Pemerintah. Untuk mengenang jasanya, pada tahun 1924 komplek laboratorium fisika TH Bandung dinamakan Bosscha-Laboratorium Natuurkunde.

IMG-20160504-03441Pada tahun 1923, Bosscha menjadi perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium Bosscha yang telah lama diharapkan oleh Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Kemudian ia bersama dengan Dr. J. Voute pergi ke Jerman untuk membeli Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Pembangunan Observatorium Bosscha selesai dilaksanakan pada tahun 1928. Namun ia sendiri tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya karena pada tanggal 26 November 1928 ia meninggal beberapa saat setelah dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama kota Bandung dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota Bandung. Pada akhir hayatnya, karena kecintaannya pada Malabar, dia meminta agar jasadnya disemayamkan di antara pepohonan teh di Perkebunan Teh Malabar. (Wikipedia)

@districtonebdg