Candi Buddha Plaosan Lor, berada di Kabupaten Klaten. Ketika sampai, sekilas saya menyangak seperti candi Hindhu, tapi kemudian ketika dilihat-lihat lagi ternyata memang ada beberapa stupa yang menandakan adanya pengaruh Buddha. Ini karena Plaosan Lor dibangun oleh Ratu Sri Kahulunan, putri Raja Samarattungga yang memeluk agama Buddha dan kemudian menikah dengan Rakai Pikatan yang memeluk agama Hindu.
Saat ini candi Plaosan masih melakukan restorasi, malah di beberapa spot sedang dilakukan eskavasi oleh adik -adik mahasiswa jurusan Arkeologi dari UGM. Sepertinya ini bakalan menjadi komplek candi yang luas dan cantik. Banyak pemburu foto berkunjung ke sini menunggu momen yang tepat agar mendapatkan view yang instragamable.
Bila beruntung, teman-teman akan mendapatkan momen terindah saat matahari terbenam, dimana kemegahan candi berbaur dengan warna sunset
Masuk ke sini tiketnya masih murah, 10rb untuk dewasa, anak-anak 5rb.
Untuk mencapai ke sini juga sangatlah mudah. Bila teman-teman melakukan backpackingan, bisa menggunakan moda tranportasi bis ‘Trans Jogja’ tujuan Halte Prambanan. Jangan khawatir tersesat, dari halte manapun teman-teman memulai perjalanan, petugas Trans Jogja akan menuntun teman-teman sampai halte yang dituju. Tiketnya murah hanya Rp. 3.500,- saja, dan ini merupakan tilet terusan.

Dari halte Prambanan menuju Plaosan Lor, bisa disambung dengan taksi online atau bentor. Bila naik bentor cukup merogoh Rp. 25.000,- sekali jalan… atau PP Rp. 50.000,-.
Selamat mencoba 🤗
Penulis : Tanti Brahmawati



Desa Palintang merupakan lokasi yang sering dilalui kala melakukan ragam kegiatan outdoor ke wilayah sekitar seperti gunung Palasari, Manglayang dan Pangparang. Sekedar untuk menyesap kopi pun tempat ini sudah menjadi destinasi tersendiri dimana dua buah warung kopi siap memanjakan lidah penggemar kopi. Satu terletak di seberang Sekolah Dasar Palintang dan satu lagi dipinggir lapangan diatas desa. Rute ini bahkan merupakan jalur rutin yang dilalui bila hendak menuju ke Lembang dari Ujungberung. Sehingga ada baiknya kita sedikit mengulas sejarah yang melewati desa ini.
Sementara itu para pejuang yang kembali dari Yogya mengambil posisi salahsatunya di desa Ciporeat, Ujungberung yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Palintang. Darisini mereka mengkonsolidasikan diri dengan kantong-kantong gerilya di Garut dan Sumedang. Kantong gerilya ini diawasi secara ketat oleh pos KNIL di Cileunyi maupun Palintang sehingga pernah terjadi insiden Lurah, Kades dan pemangku Desa lain “diambil” tengah malam oleh KNIL karena dicurigai membantu gerilyawan. Mereka dijebloskan ke penjara Kebonwaru selama beberapa bulan lamanya. @districtonebdg
Apabila kita melewati jalan alternatif dari arah Lembang menuju Ujungberung, bukit-bukit hijau perkebunan kina akan menemani sepanjang perjalanan. Asal muasal perkebunan kina ini, tak lepas dari jasa Junghuhn.
Pemandangan yang menyegarkan berupa hijaunya perkebunan teh telah terlihat sejak kita melewati Tangkuban Perahu dari arah Bandung. Perkebunan teh menghampar luas ke daerah Ciater hingga Bukanagara, Subang. Siapapun akan tergoda untuk melakukan tea walk atau sekedar berfoto sepanjang jalur ini.
Lokasi lainnya untuk menambah ilmu tentang tanaman teh ini adalah menengok sejarah perkebunan teh di Museum Teh yang terdapat di jalan raya Subang – Bandung. Museum ini terletak sekitar dua kilometer dari pabrik ke arah Subang. Bangunannya memanfaatkan sebuah gedung tua peninggalan Belanda yang kini dikenal dengan nama Gedong Buleud. Di dalam gedung ini selain bisa mempelajari perkembangan perkebunan teh pengunjung juga dapat melihat beberapa duplikat foto, diorama, lukisan dan perkakas.
Karel Albert Rudolf Bosscha (lahir di Den Haag, 1865-1928) adalah seorang Belanda yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi Hindia Belanda pada masa itu dan juga merupakan seorang pemerhati ilmu pendidikan khususnya astronomi. Pada bulan Agustus 1896, oleh R.E. Kerkhoven, yang masih merupakan sepupunya, Bosscha diangkat menjadi adminstratur Perkebunan Teh Malabar yang baru dibuka. Selama 32 tahun masa jabatannya di perkebunan teh ini, ia telah mendirikan dua pabrik teh, yang saat ini dikenal dengan nama Pabrik Teh Malabar.
Pada tahun 1923, Bosscha menjadi perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium Bosscha yang telah lama diharapkan oleh Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Kemudian ia bersama dengan Dr. J. Voute pergi ke Jerman untuk membeli Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Pembangunan Observatorium Bosscha selesai dilaksanakan pada tahun 1928. Namun ia sendiri tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya karena pada tanggal 26 November 1928 ia meninggal beberapa saat setelah dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama kota Bandung dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota Bandung. Pada akhir hayatnya, karena kecintaannya pada Malabar, dia meminta agar jasadnya disemayamkan di antara pepohonan teh di Perkebunan Teh Malabar. (Wikipedia)