Spot Selfie Kamojang Hill Bridge di Cukang Monteng

Jembatan baru di perbatasan Garut-Majalaya selesai dibangun tahun 2016. Menuju kesini bila dari Majalaya ambil arah kecamatan Ibun, maka tanpa terasa akan sampai di Cukang Monteng. Sebuah jembatan megah berwarna kuning menyala akan segera tampak dari kejauhan menyita perhatian.

Inilah jembatan Cukang Monteng yang kini dipopulerkan sebagai Kamojang Hill Bridge. Dari namanya saja kita seakan diberitahu bahwa kawah Kamojang tak terlalu jauh lagi, dan memang benar. Wisata alam kawah Kamojang tinggal beberapa kilometer di depan.

Menuju Majalaya sendiri bila dari Bandung bisa dari arah Bojongsoang, Sapan atau Rancaekek. Bila nama-nama itupun masih belum familiar, maka menuju Bojongsoang yaitu dari Terusan BuahBatu atau gate tol Bubahbatu, menuju Sapan yaitu dari arah Gedebage atau Ciwastra dan menuju Rancaekek yaitu dari arah Jatinangor atau Cileunyi. Sementara bila dari arah Garut ambil jalan menuju Samarang ke Kamojang, setelah melewati wisata kawah Kamojang akan ada percabangan jalan lama yang lurus dan jalan baru ke kanan. Jalan beton baru inilah yang mengarah ke jembatan.

Jalur Monteng merupakan jalan alternatif arus Lebaran bagi mereka yang ingin menghindari kemacetan parah di Nagreg, walau pada masa puncak arus Lebaran jalur ini pun tetap saja terimbas padat. Namun tentu saja dihari-hari biasa, lengangnya jalan disini bisa memberi inspirasi tersendiri, apalagi bagi yang suka selfie. Saya sendiri cukup antusias menjadikan Monteng sebagai jalur tetap untuk survey ke arah Garut.

Dibanding dari arah Garut, jalan yang datang dari Majalaya lebih curam dengan tanjakan yang panjang. Bagi yang datang dari arah Ibun jalur ini memang akan memaksa pengendara berkonsentrasi penuh supaya tidak kehilangan tenaga di tanjakan yang panjang. Kapanpun lewat kesini pasti akan selalu bertemu kendaraan yang sedang ngos-ngosan atau malah mogok di tanjakan. Saat kami lewat, sebuah mobil SUV terbuka kap mesinnya di sekitar jembatan. Namun bagi yang sering bolak-balik Dago-Lembang via Punclut atau Padasuka-Caringin Tilu, jalur ini tampaknya tak akan terlalu menjadi masalah 🙂 . @districtonebdg

 

 

Tea Walk di Dawuan Gracia, Bonusnya Curug Cipeureu

Perkebunan teh yang menghampar sejak dari kaki gunung Tangkuban Perahu hingga ke arah Subang merupakan area wisata alam untuk melepaskan diri dari kepenatan kota. Banyak pilihan tempat untuk berwisata disini dari yang murah meriah hingga spa ekslusif, dengan suasana perkebunan teh menghijau. Hujan dan kabut kadang datang tanpa diduga, namun bukankah itu salah satu kesyahduannya.

Salah satu tempat untuk menyepi adalah blok Dawuan Gracia yaitu kawasan perkebunan teh sepanjang jalan masuk ke resort Gracia, kurang lebih empat kilometer dari Tangkuban Perahu. Karena bukan jalan utama suasananya lebih sepi. Pemandangan kebun teh yang hijau menyejukkan mata, warung yang menyediakan tempat lesehan dan parkir yang luas. Kalau makanan sih sebenarnya biasa saja, namun suasananya lebih tentram memberi nilai lebih. Tak ada tiket masuk disini karena bukan tempat wisata, melainkan parkir seikhlasnya. Bahkan kalau jajannya tak pelit, empunya warung akan tampak mengabaikannya.

Kendaraan bisa diparkir di sekitar warung, lebih baik berjalan kaki menjelajahi perkebunan teh yang indah. Selain agar sedikit berolahraga, tampaknya juga lebih aman parkir di sekitar warung. Nah, bila tak ingin terlalu jauh melakukan hiking rekomendasi kami adalah menuju air terjun (curug). Tak jauh dari warung terakhir, sekitar 20 menit berjalan kaki terdapat curug Cipeureu yang letaknya agak tersembunyi.

Ketika kami datang, tempat ini tak dijaga, warung-warung didalam area curug tutup. Tak ada orang, mungkin karena kami datang di hari biasa. Tampaknya tiket seharga 5000 hanya dipungut hari weekend saja. Curugnya tak besar namun cukup menyenangkan dengan airnya yang bening dan segar. Disediakan beberapa saung untuk beristirahat, juga ada menara selfie sederhana -sebuah keharusan tampaknya, bagi tempat-tempat wisata alam masa kini.

Walau perkebunan teh dengan air terjun nya ini  menyuguhkan pemandangan penuh pesona, keindahan ini  rasanya…. terlalu manis. Tak ada denyut adrenalin terasa…. diam-diam lebih terpesona pada gunung-gunung di kejauhan yang tertutup hutan lebat dan berselimut kabut. Gunung Buleud, gunung Kramat dan puncakan-puncakan misterius berselimut kabut mengundang kepenasaran. Terasa bisikan halus dari puncak gunung yang mengundang masuk kedalam hutan . The mountain is calling and I must go.

@districtonebdg

Jelajah Hutan Kota di Babakan Siliwangi

Penulis :  Siti Amineh
Tadi pagi kejadian juga saya ngeliat salah satu hutan kota di Bandung, yaitu Hutan Kota Babakan Siliwangi. Ruang Wilayah Terbuka ini terbilang agak kekinian karena baru dalam waktu 5-6 tahun dicanangkan jadi hutan kota. Yah, kalau dari sisi luas, dibandingkan dengan ‘seniornya, Hutan Kota Ir. H. Djuanda, yang sudah terkenal seantero Indonesia dan Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia, hutan kota yang terletak di bekas Restoran Lembur Kuring ini gak ada apa-apanya. Tapi dari sisi letak, juara lah. Dan mungkin niatnya Pemkot adalah untuk memenuhi kuota penyediaan Ruang Terbuka Hijau untuk publik yang 20% ya**, makanya hutan kota satu ini kemudian dirapikan. Mungkin yaa
Bersama Kang Bais dari District One, saya menapaki langsung jalur yang sudah tersedia dan lengkap dengan pagar hijau kiri kanan. Kang Bais sendiri adalah pengelola District One, vendor peralatan aktivitas outdoor dan perjalanan wisata Bandung dengan jalur anti-mainstream. Jalur jelajahnya terbuat dari kayu dan ditopang dengan besi sepanjang kurang lebih 3 meter yang membentuk huruf V terbalik. Terbagi menjadi dua bagian: bagian yang mendekat ke Jalan Siliwangi dan bagian yang mendekat ke areal olahraga Sasana Budaya Ganesha serta terhubung dengan dua buah jembatan. Bagian awal jalur agak menanjak baru kemudian terbagi menjadi dua arah: ke arah Sasana Budaya Ganesha dan arah sisi Jalan Siliwangi. Selama perjalanan, saya bisa merasakan dekatnya jarak saya dan pohon-pohon yang membawa aroma hutan (maksudnya pohon-pohon tinggi). Dan memang jadi berasa di hutan belantara, sih, plus berasa hirupan udara yang segarrr.
Jalur jelajah yang ada ternyata tidak sepanjang yang saya pikirkan. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya keringat yang mengucur dan nafas tidak ngos-ngosan. Disain jalurnya sendiri terlihat berusaha tidak merusak lingkungan karena tidak membabat membabat pohon yang berada di tengah jalur jelajah. Komprominya ada pada pengaturan jalur yang dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki banyak alur naik turun. Tidak lupa, tersedia poin yang mengakomodasi kebutuhan untuk melihat pemandangan dari titik paling atas serta titik untuk swafoto alias selfie. Di awal perjalanan, Kang Bais sempat bilang: jaman sekarang tempat wisata alam selalu menyediakan titik khusu untuk swafoto, supaya orang-orang dating berkunjung. Bagus juga sih. Paling pekerjaan rumah yang paling kasat mata adalah bagaimana membuat tempat wisata tersebut terjaga dari sampah bawaan para pengunjung, selain juga merawat keberadaan si tempat wisata tersebut agar tetap nyaman.
Dan ini terbukti. Pada saat menyusuri jalur yang menempel ke Jalan Siliwangi, ada satu titik dengan pagar pembatas yang rebah di kedua sisinya dan jalur jelajah yang terbuat dari kayu terliat tidak sama rata dengan bagian lainnya. Ngeri-ngeri sedep juga ngeliatnya. Dengan semangat, mangga nu pameget di payun (Silahkan, cowo duluan jalan. Bhs Sunda. Red), Kang Bais duluan, dan saya menyusul setelah melihat beliau tiba dengan selamat…hehehhe. Sampah pun keliatan di sisi kiri dan kanan, walaupun tidak pada seluruh jalur perjalanan. Untuk masalah satu ini, sepertinya bisa ditanggulangi dengan menyediakan tempat sampah sepanjang jalan dan papan-papan peringatan untuk membuang sampah pada tempatnya.
Hutan Kotan Babakan Siliwangi saya tempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama (15-20 menit). Jalur jelajah yang sangat akomodatif untuk seluruh usia (kecuali titik yang rusak tadi ya)yang lengkap banyak titik swafoto, saya kebayang kalau mau jalan-jalan melihat pohon-pohon tinggi tanpa harus ribet menempuh perjalanan ke luar Bandung, inilah tempat yang cocok. Apalagi pada bagian yang mendekati ke Sasana Budaya Ganesha, ada titik yang cocok untuk gelar tikar dan buka bekal makanan dari rumah alias nge-botram. Wah, lengkaplah sudah. Terus terang, kesan awal saya ketika melihat jalur jelajah ini adalah suasana hutan kota di Singapur. Enggak bisa dipungkiri ya, karena mastermind-nya berlatang belakang perencanaan kota dan menjadikan Singapur kiblat untuk pembangunan kota. Saya pribadi suka dengan penataan tata ruang Singapur. Semuanya ditata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Ya, gak masalah kan, kita ambil yang baiknya?
Dan kalau mau diperbaiki lagi, hutan kota ini alangkah baiknya kalau dilengkapi dengan papan informasi berisi sejarah hutan kota, luas, jalur jelajah, dan nama-nama pohon yang ada di sepanjang jalur. Lebih asoy lagi kalau ditambah lampu, jadi bisa menjelajah dan berfoto di malam hari…hehehehhe
Waktu berkunjung seperti bisa kapan saja ya. Hanya kalau berniat hunting foto, datanglah pada golden moment (sblm jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore). Saya sendiri udah niat lain kali kesana akan hunting foto sekalian membawa keponakan-keponakan saya. Kalau mau lanjut, tinggal nyebrang deh ke Teras Cikapundung, menikmati air mancur menari dan terapi ikan. (***INA)
Bandung, 12 Agustus 2017
* Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 ayat (3)

Rendevouz di Gunung Batu

Sekitar pukul 9 pagi cuaca di Gunung Batu, Lembang masih sejuk. Sinar matahari terasa mengelus permukaan kulit memberi rasa hangat. Saya celingukan mencari kedua rekan yang sepakat bertemu disini. Karena belum melihat siapapun saya  berkeliling sejenak mengabadikan view hingga ke sekitar cafe The Roxx, sampai tak berapa lama bertemu Bais. Sementara Bobby rupanya sudah berada di puncak Gunung Batu dan sedang perjalanan turun. Dalam kegiatan outdoor kami memang lebih senang pergi sendiri-sendiri dari rumah  bagai lone wolf. Cara begitu mendidik pribadi menjadi pejalan independen. Atau soliter? Eh mungkin juga.

Tempat ini sebenarnya sering dilewati saat melintas Punclut atau Dago Giri ke arah Lembang, namun kini sengaja mengunjunginya. Sekedar menengok perkembangan suasana sekitarnya setelah hampir dua tahun tak kesini. Nyatanya memang ada yang berubah, warung dekat parkiran  sudah tutup sehingga niat untuk ngopi sambil menikmati suasana pagi disini pun pupus. Padahal ngopi pagi dengan suasana outdoor pada hari Sabtu sudah merupakan ritual tersendiri yang kami sebut Coffe Outdoor.

Gunung Batu (1.336 m dpl) terletak sekitar satu kilometer di selatan Kota Lembang. Dari puncaknya kita bisa memandang view yang indah, barangkali salahsatu view  terbaik di Lembang.Tempat inipun sering menjadi ajang latihan memanjat tebing, camping, jogging, jalan-jalan atau sekedar selfie. Sementara kami kesini hanya untuk ngopi, namun warungnya sudah tutup. Cafe pun belum pada buka tampaknya… sengaja tak ngecek lebih dekat, khawatir anggaran tak cukup ^_^

Gunung ini merupakan batuan bekas lava Gunung Sunda yang usianya diperkirakan 510.000 tahun. Gunung yang lebih tepat dikatakan bukit ini berada dijalur Patahan Lembang yang memanjang dari  Timur ke Barat, yang bermula di lereng Gunung Palasari dan berujung di sekitar Cisarua, Cimahi. Patahan yang masih aktif ini dipercaya menyimpan potensi tektonik yang besar sehingga perlu diwaspadai.

Menuju Gunung Batu ini dari Bandung jalan terdekat adalah dari Punclut atau Dago Giri, bila dari Punclut nanti sebelum Lembang ambil jalan ke kanan menuju kantor desa Pasir Wangi sedangkan bila dari Dago Giri nanti ambil jalan ke kiri menuju tempat yang sama. @districtonebdg

Memanjakan Mata di Puncak Eurad

Asana mah kadieu jalan na ..,” gumam Dunga menunjuk salah satu percabangan jalan setapak, namun dengan nada agak tak pasti. Perjalanan sejenak terhenti di sebuah persimpangan jalan setapak. “Kade ah, geus magrib yeuh…,”  kata Wawan celingukan. Ia tampak kurang bahagia dengan gelap yang mulai bergentayangan di sekitar. Apalagi mereka masih dalam kawasan hutan yang rimbun. Banyak cerita bahwa di daerah itu banyak yang tersesat kala waktu magrib telah terlampaui.

Percakapan itu terjadi lebih dari duapuluh tahun lalu di kaki gunung Lingkung kala sedang mencari jalan ke Puncak Eurad dari arah Wates, Cikole. Di masa itu kawasan sekitar sini masih dianggap kurang aman bahkan oleh warga sekitar, sehingga kala kemalaman saat survey warga menasihati agar tidak bermalam di hutan. Mereka lalu dengan ramah menawarkan rumahnya menjadi tempat bermalam. “Seueur keneh rampog,” bisik empunya rumah.

Harus diakui, sayapun telah lost contact dengan tempat ini setelah sekian lama. Bahkan mengingat jalurnya pun sudah blank  sama sekali. Baru beberapa tahun belakangan  ini kembali bernostalgia menelusuri jalur-jalur yang  punya nilai sejarah. Salah satunya adalah jalur menuju Puncak Eurad ini.

Kondisi sekarang tentu telah jauh berbeda. Puncak Eurad yang dulu masih berupa hutan lebat yang hampir tak tertembus, telah menjadi tempat wisata yang tergolong kekinian di Cikole. Lokasinya yang diatas bukit membuat view ke arah Cipunagara sangat menawan serupa lukisan naturalis para seniman. Menjelang Lebaran tahun 2017 lokasi wisata resmi dibuka, dengan tiket berasuransi seharga 5000.

Beberapa warung telah didirikan secara tertata diantara pepohonan pinus, dengan view ke arah lembah. Tak ketinggalan dibangun pula spot-spot untuk selfie, sehingga hanya menunggu waktu saja lokasi ini akan populer di Instagram. Menikmati minuman bandrek hangat dan roti bakar disini sambil menikmati view lembah bisa membuat lupa waktu. Bila diteruskan menuju Bukanagara, terdapat beberapa lokasi wisata lain yang sedang coba dipopulerkan oleh pemerintah desa seperti curug dan desa wisata.

Menuju kesini tak ubahnya seperti “jalur belakang” Cikole  yaitu dengan melewati jalan Cicalung/Pasar Ahad yang menuju Cikendung. Sekarang menuju Puncak Eurad jalannya sudah diaspal, walau di beberapa tempat aspalnya sudah mulai terkelupas lagi. Tempatnya terletak di sebelah kiri jalan, motor bisa langsung parkir dilokasi namun agak sulit untuk parkir banyak mobil karena lahan parkir yang sempit. Bila berpapasan dengan mobil lain pun, dibeberapa lokasi jalan salah satu harus mundur mengalah. Menuju Cicalung, dari jalan raya Bandung-Subang belok ke arah Timur (jalan Pasar Ahad/Cikareumbi) atau bila dari arah Lembang/Maribaya ambil jalan menanjak ke Utara (jalan Ciputri/Cicalung).

Selain menjadi tempat wisata, Puncak Eurad kini menjadi tempat yang ideal untuk dilewati berbagai aktifitas outdoor. Kegiatan hiking, gowes, trail running sering melewati kawasan ini dengan tujuan berbagai arah antara lain menuju Cikole, gunung Lingkung atau bahkan jalan Cagak. Namun bila hanya ingin menyepi sambil meresapi keindahan alam tempat ini pun sudah sangat ideal mengingat lokasi wisata yang masih tersembunyi dan terjaga keasriannya. Semoga bisa terus demikian. @districtonebdg

 

Curug Ceret Tempat untuk Menyepi di Pangalengan

Sebetulnya curug Ceret bukan sebuah destinasi wisata, letaknya dipinggir jalan jadi tiap orang yang memakai jalan akan melewatinya. Namun berhubung bukan jalan umum dan buntu, maka lokasinya cukup terisolir dari hiruk-pikuk. Kesunyian ini cukup memadai bagi yang ingin menyepi sambil tak terlalu jauh dari keramaian.Tak jauh dari  lokasi curug ada warung.  Karena terletak ditepi jalan, tak diperlukan hiking untuk sampai kesini. Mobilpun bisa masuk hingga ke curug, namun akan sedikit sulit bila berpapasan dengan mobil lain.

Curug Ceret mempunyai ketinggian sekitar enam meter dengan sumber  air yang keluar dari celah bebatuan dan akar pohon. Jatuhan airnya tepat di pinggir jalan desa. Saking dekatnya curahan, air yang jatuh selalu membanjir ke jalan. Tak heran jika warga setempat menyebutnya Curug Ceret (dalam bahasa Indonesia: ciprat). Fenomena curug ceret ini akan dijumpai juga di beberapa tempat lain, sehingga akan kita dengar pula lokasi curug ceret yang lainnya di Jawa Barat.

Curug ini terletak tak jauh setelah  melewati PLTA Plengan yang dikelola PT Indonesia Power, tepatnya di Desa Plengan, Kecamatan Pangalengan. Bila dari arah Bandung, sebelum memasuki Pangalengan akan ada jalan belok ke kanan menuju Plengan. Bila diikuti terus akan sampai di wilayah PLTA. Lokasi ini bukan tempat umum, namun dengan sikap yang santun kita akan diijinkan masuk.

Curug yang unik ini bisa dianggap sebagai bonus kala berwisata ke Pangalengan. Bila sejenak ingin menyepi sambil menikmati suasana hutan yang masih asri, tak ada salahnya mengarahkan tujuan kesini sebelum meninggalkan Pangalengan. @districtonebdg

 

CBET, Sosped dan Cek Point Warung

Community Based Eco-Tourism (CBET) merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada peran aktif masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan dalam manajemen dan pembangunan pariwista, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegitan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata (Suansri ,2003).

Melibatkan penduduk lokal pada dunia kepariwisataan sangatlah penting, jangan sampai masyarakat sekitar hanya menjadi ‘penonton’ atau bahkan ‘korban’ dari sebuah kegiatan wisata dalam wilayahnya. Saling berinteraksi, berbaur antara wisatawan dan masyarakat lokal selayaknya haruslah terjadi karena dengan demikian akan membuat sebuah ikatan emosional yang saling menguntungkan.

Konsep ini merupakan pendukung bagi tipe kegiatan wisata adventure travel, dimana para turis atau wisatawan biasanya mengunjungi pedesaan atau perkampungan sederhana. Para turis yang biasanya merupakan penduduk perkotaan seyogyanya tidaklah berlaku sebagai ‘pendatang kaku’ yang berperilaku hanya sebagai ‘penikmat’ atau pengeksplore sebuah pedesaaan atau perkampungan. Akan tetapi selayaknya para wisatawan di sini memposisikan diri sebagai sebagai seorang sahabat terhadap penduduk lokal yang dapat memberikan ‘keuntungan’ baik secara material maunpun immaterial.

dok 2021

Dalam setiap kunjungan pertamanya saat mengunjungi sebuah pedesaan atau perkampungan, team District One selalu melakukan pendekatan personal terhadap penduduk lokal yang diistilahkan sebagai ‘sosped’ atau sosial-pedesaan dengan berinteraksi di warung-warung sekitar. Perbincangan sepeminuman kopi di sebuah warung lokal seringkali memberi kesan tersendiri baik bagi kami maupun penduduk sekitar. Dari sini kita dapat saling memberi keuntungan, kami mendapat informasi mengenai sebuah destinasi dan mereka mendapat keuntungan secara ekonomi.

Seringkali dengan konsep seperti ini, kami  mendapat sahabat baru sehingga memudahkan untuk mendapat tempat singgah yang layak untuk tamu-tamu yang dibawa. Dengan berbekal konsep ini, membuat kami bisa menjalin silaturahim secara alami dan tidak ‘kaku’.

Bagi kami keramahan warung lokal lebih mengena di hati dibanding keramahan Alfamart, Indomart atau mart-mart yang lain… karena keramahan sebuah penduduk pedesaan tidak bertendensi apapun selain sebuah transaksi jual beli sederhana dan persahabatan. (Bayu Ismayudi/DO)

Hiking Cantik di Perkebunan Teh ke Curug Mandala

Bagi yang ingin hiking tanpa terlalu berkeringat sembari menikmati view indah maka memilih tea walk di perkebunan teh Ciater adalah pilihan yang tepat. Begitu banyak pilihan lokasi untuk hiking di perkebunan seluas 3.000 Ha ini, salah satunya adalah disekitar pabrik teh itu sendiri.

 

Pabrik teh Ciater didirikan pada tahun 1934 dan mulai dioperasikan 3 tahun kemudian. Pada tahun 1990 dibangun pabrik baru dengan kapasitas pengolahan yang lebih besar. Pabrik baru ini dibangun di atas tanah seluas 20.000 m3 dengan ketinggian ± 1050 m dpl dan suhu rata-rata 18 -25°C.

Perkebunan Ciater terletak di kaki gunung Tangkuban Parahu diantara Jalan Raya Subang Bandung. Pada bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung terletak di daerah Wates Tangkuban Parahu. Sedangkan sebelah utara terletak di Kecamatan Serangpanjang antara jalur Jalan Raya Cagak dan Wanayasa. Lokasi pabrik teh Ciater ini dapat diakses melalui jalan raya Subang – Bandung. Sekitar 300 meter sebelum  perempatan Sariater anda akan menemukan papan nama besar menuju lokasi pabrik di sekitar pangkalan angkot Ciater. Bila membawa kendaraan, parkirkan saja di halaman pabrik yang cukup luas.

Tak jauh dari pabrik terdapat curug Mandala, airnya jernih dan menyegarkan. Perjalanan kesini hanya memerlukan waktu setengah jam berjalan santai. Sepanjang jalan koral menuju curug, pemandangan perkebunan teh yang hijau dan menyegarkan sangat mempesona. Gunung Tangkuban Parahu terasa begitu dekat sehingga kita akan tergoda untuk bertanya-tanya mungkinkah ada jalan setapak kesana (pasti ada!). Seakan pemandangan indah saja tak cukup, kala kami menapaki koral seekor elang tampak terbang berputar-putar di angkasa, mengeluarkan pekikan khasnya.

Jalur ke curug Mandala sebetulnya lebih umum melewati jalan Panaruban dibanding dari arah pabrik, sehingga jalur ini tampak lebih sepi dan disitulah daya tariknya. Namun bila ingin memanjakan kaki, kami mendengar bahwa tersedia pula trip berkendara offroad untuk mencapai curug, yaitu dengan  jip Landrover. What..??  Jalan kaki saja hanya setengah jam buat apa memakai jip? Bagi saya tak masuk akal…. namun sah-sah aja bila motivasinya ingin mendapat pengalaman baru menunggang jip klasik yang kekar ini.

Sebetulnya curug Mandala hanyalah satu dari sekian curug yang ada di aliran sungai. Bila cukup bersemangat untuk menyusuri aliran sungai maka akan didapat beberapa curug lain yang tak kalah menyegarkan mata. Namun tak akan ada yang akan menyalahkan bila hiking  dicukupkan sampai di tepi curug Mandala saja. Namanya juga hiking cantik, bukan?

Sebuah kafe di seberang pabrik tersedia untuk melepas lelah dan dahaga usai hiking. Pemandangan sekitar kafe harus diakui sangat indah, apalagi bila kabut sedang turun. Sembari menikmati view indah disekitar, menyesap teh atau kopi panas kala dingin mencubit atau menenggak jus segar kala cuaca panas meraba tampaknya akan menjadi pilihan yang sulit untuk tak dipertimbangkan disini. Bila ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah dan pengolahan teh kita juga bisa mengunjungi pabrik dan museum disini (lihat Mengenal Sejarah Teh di Perkebunan Ciater ).

@districtonebdg

 

Menonton Gunung Menangkap Awan di Patahan Lembang

14600958_10208972008750851_972917607750900923_nPatahan Lembang merupakan salah satu patahan yang lokasinya berada di darat, memotong Bandung di daerah yang padat pemukiman penduduk. Patahan Lembang memiliki panjang 22 km, membentang dari Timur hingga Barat kota Bandung. Gawir sesar disepanjang jalurnya mencerminkan besaran pergeseran sesar berubah dari sekitar 450 meter di ujung timur (Maribaya dan Gunung Palasari) hingga 40 meter di sebelah barat (Cisarua). Kemudian, sesar menghilang di ujung barat perbukitan karst Padalarang.

Selain menyimpan energi yang maha, kawasan ini sebetulnya menyajikan keindahan yang mempesona. Ah, bukan kah selalu begitu bila berbicara tentang alam? Selain memiliki kecantikan tiada tara juga kekuatan yang tak terukur. Alih-alih untuk dihindari, kawasan ini justru mengundang kita untuk mengakrabinya. Hanya dengan akrab dengan alam, manusia akan bisa memahaminya.

Nah, mari kita menjelajah patahan ini untuk mengakrabinya. Bila dirasakan terlalu panjang untuk berkendara dari perbukitan kapur di Padalarang hingga gunung Palasari, kita bisa membagi-baginya menjadi beragam perjalanan yang berkesan mulai dari touring, trail running, hiking dan sebagainya. Secara kasar kita bisa memisahkan patahan ini dari kota Lembang saja, yaitu bagian Timur dan Barat. Walau sebelah Barat juga akan menjumpai pemandangan yang indah kami merekomendasikan menjelajah kearah Timur lebih mengasyikkan.  Mengapa? Salah satunya adalah jalur lalulintasnya lebih sepi dan walau sudah bermunculan disana-sini komersialisasi di kawasan ini belum semarak di Barat.

Bila dari arah Lembang atau Bandung, ambil jalan arah Punclut lalu belok kearah Gunung Batu. Darisini lanjutkan saja kearah Maribaya lalu Cibodas dan seterusnya hingga ujung patahan di gunung Palasari. Spot yang terlihat adalah kawasan jurang dan perbukitan disebelah kanan. Ujung Timur patahan adalah gunung Palasari berbentuk segitiga sama kaki, yang seperti paku payung raksasa yang memaku patahan ini agar tak bergerak. Benarlah seperti cerita-cerita orang tua, betapa gunung-gunung itu memaku bumi.

Sepanjang jalan dari Maribaya hingga perkebunan kina kita akan melihat puncak-puncak tinggi seperti memainkan kapas awan. Puncak-puncak gunung itu seolah berlomba menangkap awan-awan tipis, lalu tergantung mereka untuk mengumpulkannya menjadi hujan atau tidak. Manusia, hanya pasrah untuk menerimanya.

View indah yang beragam sepanjang jalur ini membuat kita akan sulit melupakan pengalaman melaluinya, dari hutan pinus, ladang sayuran, perkebunan kina dan kayu putih hingga tebing batu yang kokoh dan garang. Bahkan bila anda bersedia sedikit berkeringat, ada beberapa curug yang layak untuk disambangi. Bila curug di Maribaya tampak terlalu mainstream, coba cari curug Luhur atau curug Sirah di kawasan Cibodas. Ingin memandang view patahan dengan pandangan yang lebih luas? Coba hiking setengah jam naik ke Gunung Batu  dari kawasan Pagerwangi atau menuju bukit Moko dari kawasan Batuloceng (di daerah Patrol, Cibodas  terminal angkot terakhir). Kekaguman kita pada hamparan kekuatan dan keindahan alam akan semakin membuncah. @districtonebdg

 

Curug Panganten di Cihanjuang, Tersembunyi dan Masih Asri

img-20161013-00046Keberadaan curug  Panganten jauh berbeda dengan curug Cimahi yang setelah dibenahi  kini dipopulerkan dengan nama curug Pelangi. Walau berasal dari aliran sungai yang sama, curug Panganten seperti tersembunyikan.  Menuju ke curug yang tersembunyi ini pengunjung harus rajin bertanya ke penduduk setempat untuk bisa sampai ke lokasinya. Kondisi terbengkalai ini sudah bisa ditebak dari sejak jalan masuk komplek Katumiri yang juga terbengkalai tak terurus.

Jiga perumahan zombie..” gumam Bais melihat ke kiri dan kanan banyak rumah besar yang kosong, sebagian rusak.

Menurut penduduk yang sedang  bertani, kondisi terbengkalai karena kepemilikannya berpindah tangan.  Area outbond Katumiri pun sama terbengkalainya, lahan yang tak terpakai hanya dipakai untuk bercocok tanam. Suasana malam hari disini, dijamin akan menyeramkan.

14600835_10210610532763361_5116206137990519783_n

Curug Panganten berada di ketinggian 1.050 meter dpl dan memiliki ketinggian terjunan air sekitar 20 meter.  Curug misterius ini berada di wilayah wisata alam Katumiri, berjarak sejauh kira-kira 7 km dari kota Cimahi dengan mengambil arah ke Parongpong. Curug ini berada di ujung jalan dari perumahan dan wisata alam  Katumiri. Tepatnya di Jalan Raya Cihanjuang KM 5,56.

Akses jalan dari gerbang perumahan zombie menuju lokasi curug sekitar 2 km dengan melewati jalan setapak berkelok-kelok, berbatu yang licin dan becek jikalau hujan turun dengan sisi jurang dan semak belukar hingga tiba di  curug tersebut. Karena jarang dikunjungi, kondisi alam disini relative lebih asri. Monyet masih tampak berlompatan dari dahan, kadal berseliweran di jalan setapak, dan saat kami berjalan tampak dua ekor elang terbang rendah.

Jalan setapak menuju curug tinggal mengikuti arah yang terpasang di area outbond, jalan menurun ini cukup lebar hingga kita tak akan salah. Namun diujung jalan tak ada petunjuk lagi, dari sini jangan mengikuti saluran air melainkan turun saja ke arah kebun. Setelah sampai di aliran sungai, jalur setapak menanjak lagi menuju saluran air. Setelah sampai di saluran air, ambil arah ke kiri maka tak berapa lama akan terlihat curug Panganten yang cukup tinggi ini. Di pintu masuk yang seadanya, tertera tiket masuk Rp 5.000,- namun hari biasa pintu pagarnya terkunci. Tentu saja, dengan mudah kita bisa moncor  atau masuk menerobos melaui jalan lain.

Jalur lain adalah melalui jalan Gandrung, bila dari arah Parongpong menuju Cimahi maka dari jalan Kol Masturi belok kiri  tak jauh setelah pasar Cisarua. Setelah sampai di desa Cipanas, ada jalan belok kiri. Darisini perjalanan kaki lebih singkat, dan nanti akan menemukan pintu masuk yang sama seperti dari arah Katumiri. Jalur masuk via Katumiri lebih mudah ditemukan, namun jalur masuk via Gandrung lebih menghemat tenaga.

14590234_10210610532283349_9150426978942180677_nBagi yang mencari curug berwarna-warni dengan spot selfie dan jajanan warung, disini bukanlah tempatnya. Namun bagi yang mencari suasana asri, menyukai hiking ringan dengan sedikit adrenalin, tempat-tempat indah yang terpinggirkan seperti curug Panganten  adalah sebuah surga tersembunyi. @districtonebdg