Happy New Year 2017 : Time to Explore

Tanpa terasa sudah enam tahun DistrictOne menjalani aktifitas backpackeran ke negara-negara tetangga. Bukan waktu yang sebentar, dan dengan puluhan sorti perjalanan rasanya sudah waktunya kami menjelajah lebih dalam diberagam kawasan. Lebih dalam, maksudnya selain tetap mengorganisir paket perjalanan seperti city tour, kini program berikutnya adalah perjalanan overland dan petualangan.

Perjalanan darat atau sungai akan menawarkan pengalaman yang lebih dalam dibanding mendarat dari pesawat di bandara internasional -selain itu juga lebih murah. Sisi ekonomis ini tentu dibarengi dengan waktu tempuh yang lebih lama –dan karenanya akan lebih menyentuh. Alih-alih hanya mengenal kabin pesawat anda akan diajak mengenali moda transport yang beragam. Kereta, bis, van, taxi, dan longboat merupakan moda transport public yang utama, lalu ada songthew, tuk-tuk, xeom (ojeg) hingga sampan. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, bandingkan dengan kabin pesawat yang seolah semua serupa. Cuma berbeda-beda nama maskapainya.

Dalam perjalanan overland kita akan mengandalkan semua moda transport itu untuk sampai ke tujuan. Bahkan bila tak ada lagi moda transport yang dapat melintasi, aktifitas  hiking berjam-jam lamanya akan dilakukan. Namun jangan khawatir, perjalanan ini tetap merupakan sebuah petualangan yang safety dengan leader yang sarat pengalaman.

Tentu saja, sebelum mendekati tempat-tempat yang terpencil itu kita akan selalu berkesempatan mengenal kota-kota besar yang dilalui. Bahkan merupakan hal yang penting untuk mengenal kota besarnya dulu sebelum menyasarkan diri ke lokasi antah berantah yang akan menjadi tujuan.

Tetap konsisten dengan playing field  konvensional di Indochina, kami mulai memperluas arena petualangan ke Borneo dan negara kita sendiri, Indonesia tercinta. Berbekal semangat untuk menjelajah, kita akan menuju tempat-tempat yang mungkin tak ada dalam radar tourist map. Maka kita akan menuju ke berbagai lokasi penjelajahan yang mendebarkan seperti gua raksasa di Sabah, puncak gunung di Vietnam, bebatu prehistoric di Thailand atau candi kuno yang terpencil di Kamboja. Atau menyusuri sunga Mekong yang legendaris di Laos? Itupun sangat mungkin dilakukan. Di Indonesia sendiri, bila anda suka atau ingin mencoba pendakian gunung kami dapat membawa ke puncak-puncak yang legendaris seperti Rinjani  dan Tambora, atau justru gunung yang misterius seperti Argopuro atau pegunungan Mueller. Medan petualangan lain tentu tak akan kalah menariknya.

Bila menggandrungi wisata popular, mungkin kami bukan pilihan yang paling sempurna. Namun bila ingin menceburkan diri kedalam petualangan yang tak mainstream bahkan sebuah ekspedisi, barangkali kita sedang membicarakan hal yang sama. @districtonebdg

 

Selamat Tahun Baru 2017

 

 

Perjalanan Darat di “Indochina Circuit”

img-20150303-00656Perjalanan backpackeran di Indochina akan dihadapkan kepada banyak pilihan dimana kelima negara yang berbatasan darat yaitu Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam memiliki keunikan masing-masing.  Maka untuk menghapus kegalauan pilihan yang beragam itu mengapa tidak melakukan lintas negara sekalian. Kemudahan melintas perbatasan antar negara yang tak memerlukan visa memungkinkan pemegang paspor ASEAN keluar masuk disini.

Bila berencana melakukan perjalanan darat lintas negara, kita bisa memulai dari kota manapun dan melanjutkannya dengan bis atau kereta. Namun kami menyarankan perjalanan dimulai dari Bangkok karena selain letaknya yang strategis, transportasi di Thailand lebih maju dari yang lain.  Selama di kota Bangkok kita akan dimanjakan oleh kecepatan dan kenyamanan transportasi yang terintegrasi.  Tergantung akan pergi kemana kita bisa memilih kereta, bis, subway dan angkutan sungai sebagai angkutan publik. Demikian juga amat mudah untuk menyetop taxi, tuktuk atau lainnya.

Terminal bis Mochit dan stasiun kereta Hua Lamphong adalah hub transport yang paling utama untuk meretas jalan menuju ke perbatasan. Namun banyak pula bis-bis travel dari area backpacker di Khaosan atau dari pool yang siap mengantar hingga jauh ke negeri tetangga. Ke perbatasan manapun kereta dan bis siap mengantar hingga pemberhentiannya yang terakhir. Dari Bangkok setidaknya ada beberapa pilihan untuk menjalani perjalanan darat Indochina circuit  yang mendebarkan. Berikut beberapa pilihan rute darat yang banyak menjadi pilihan turis backpacker:

  1. Selain Bangkok, destinasi wisata Thailand terutama ke Selatan (pantai) dan Utara (pegunungan). Kota-kota utama di Utara seperti Chiangmai dan Chiangrai merupakan jalur masuk dari Utara ke Myanmar dan Laos.  Kota lainnya adalah Udon Thani dan Ubon Ratchathani yang berbatasan dengan Laos, serta Aranyaprathet dengan Kamboja.
  2. Kearah Myanmar bisa memakai bis atau kombinasi kereta dan bis. Myanmar bisa dimasuki dari Maesai atau Maesot. Namun bila hendak meneruskan ke Yangon ambil perbatasan darat di Maesot ( memerlukan visa darat). Myanmar merupakan jalan buntu, setelah puas mengeksplorasi kota-kotanya bila hendak kembali kita hanya bisa melewati perbatasan darat yang sama kecuali tentu memakai pesawat.
  3. Ke arah Laos ada beberapa pilihan dengan jalur utama ke Nongkhai. Selain Nongkhai ada juga perbatasan paling Utara di Bokeo, lalu di Timur adalah Thakek dan Pakse. Perbatasan Nongkhai merupakan yang paling dekat ke ibukota Laos yaitu Vientiane dan karena itu paling hiruk pikuk. Dari Laos perjalanan darat bisa dilanjutkan dengan menerobos pos imigrasi Vietnam di sebelah Utara dan Timur, atau menerobos Kamboja di Selatan.
  4. Kearah Kamboja pilihannya ada Poipet menuju Siem Reap atau Koh Kong ke Battambang. Jalur Siem Reap tentu yang paling popular karena turis ingin mengunjungi Angkor Wat di kota ini. Dari negara yang kerap didaulat sebagai negara candi ini perjalanan darat bisa diteruskan ke Vietnam dan Laos.
  5. Vietnam satu-satunya negara di Indochina yang tak berbatasan darat dengan Thailand, maka untuk memasukinya para backpacker biasanya melalui jalur perbatasan dengan Kamboja di pos imigrasi Mocbai. Jalur selatan ini merupakan yang paling popular, namun dari Laos  pun bisa meretas ke kota Dongkhoi di jalur tengah dan ke Dien Bien Phu di jalur Utara.

img-20150303-00652

@districtonebdg

Perjalanan Darat Bangkok – Siem Reap via jalur Poipet

poipet-borderTerdapat beberapa perbatasan darat Kamboja dan Thailand, namun yang paling populer adalah melalui Aranyaprathet di Thailand ke Poipet di Kamboja. Menuju kota kecil Aranyaprathet, dari Bangkok bisa menggunakan kereta atau bis. Kali ini (21/11/2016) kami memilih menumpang kereta ekonomi dari stasiun Hua Lamphong. Bila mendarat dari bandara Don Mueang, menuju stasiun kereta ini tinggal naik bis menuju stasiun MRT Mochit lalu memakai MRT hingga perhentian terakhirnya di Hua Lamphong. Atau lebih mudah lagi, memakai kereta langsung ke Hua Lamphong. Stasiun kereta Don Mueang terletak disamping bandara. Transportasi yang maju dan terintegrasi di Bangkok memudahkan perjalanan-perjalanan menjelajahi Indochina.

Bila terbiasa memakai kereta di tanah air tahun 90-an, maka memakai kereta ekonomi ke Aranyaprathet akan terasa familiar. Walau tak ber-AC kondisinya relative nyaman (dan murah). Harga tiket sebesar 48 baht yaitu sekitar 18 ribu untuk perjalanan enam jam. Keluar dari stasiun kereta, armada tuk-tuk siap mengantar menuju border.

Proses imigrasi berlangsung cepat tanpa ada biaya. Setelah beres dicap paspor di imigrasi Thailand, dilanjutkan berjalan kaki ke pos imigrasi Kamboja. Diantara kedua pos imigrasi, kasino-kasino mewah tampak leluasa beroperasi. Agak kontras bila membandingkan keduanya, pos imigrasi Thailand didalam gedung tingkat yang ber-AC dengan bangunan bersahaja pos imigrasi Kamboja yang semi permanen. Sekilas saja sudah terlihat ketimpangan ekonomi kedua negara bertetangga ini.

Tak jauh dari pos imigrasi Kamboja, di sebuah warung terdapat shelter bus untuk mengangkut penumpang ke terminal bus. Naik shuttle bus ini tak dipungut biaya, baru di terminal bis “internasional” Poipet  turis akan menimbang-nimbang akan naik moda transportasi apa ke Siem Reap.  Namun menurut informasi, sebenarnya ada tempat mangkal lain dimana harga-harga tiket bis nya lebih murah dibanding disini.

Siapkan dollar Amerika untuk bertransaksi selama di Kamboja, walau baht tetap diterima dengan hangat di kota perbatasan. Selamat tinggal untuk perjalanan kereta darisini, di Kamboja  kereta hanya melayani rute Phnompenh-Sihanoukville, itupun hanya diakhir minggu saja.  Ongkos sharing taxi 12 dollar dan bis 9 dollar menuju Siem Reap. Dari Poipet perjalanan akan dilewati selama tiga jam melewati Sisophon, lalu tibalah di Siem Reap tempat legendaris lokasi candi-candi masa kejayaan peradaban Khmer berserak ( lihat juga Megahnya Komplek Candi Angkor Wat ).

@districtonebdg

Perjalanan Kereta Api Yangon – Mandalay

IMG-20160121-02900IMG-20160121-02904

Ketika petugas konter mengatakan bahwa tiket KA Yangon-Mandalay kelas upperclas sudah habis, saya hanya bisa membayangkan bakal tersiksanya duduk di bangku kayu dalam perjalanan sepanjang 700 kilometer. Mungkin kalau beli dari kemarin tidak akan kehabisan, keluh saya mengutuki sikap menunda-nunda yang sering melekat ini. Bila demikian halnya, berarti saat tiba di Mandalay sebaiknya langsung membeli tiket untuk pulang ke Yangon agar tak kebagian duduk di kelas ordinary lagi. Tiketnya memang murah tak sampai 50 ribu rupiah, namun untuk duduk di bangku kayu selama 14 jam ..waduh.. masa-masa itu sudah lama berlalu.

Tiket kereta rute Yangon-Mandalay ini ada tiga jenis, yaitu ordinary class, upperseat dan upper sleeper. Yang paling murah adalah ordinary clas, berupa tempat duduk berhadapan dengan bangku dari kayu, sementara upper seat mirip kelas bisnis disini (masih ada gak sih?) dan upper sleeper berupa kompartemen dengan ranjang bertingkat. Semuanya tanpa AC, hanya kipas angin di atap gerbong yang sayup-sayup mengalun. Walau tiket ordinary ini yang paling murah, namun justru yang paling saya hindari dengan alasan kenyamanan. Sementara harga tiket upper seat dua kali lipat dari tiket ordinary, dan upper sleeper tiga kali lipatnya.

IMG-20160123-02958IMG-20160123-02959

Suasana berkereta api di Myanmar mirip dengan kondisi di tanah air 1990-an,  dimana pedagang bebas keluar masuk menjajakan makanan. Setidaknya itulah yang saya alami dulu. Di kelas ordinary ini masih terlihat beberapa penumpang yang tak kebagian duduk, hingga duduk di lantai gerbong.  Namun kondisi ini tak terlihat di kelas upper seat.  Berkelebat bayangan berkereta api dulu masa-masa tahun 90-an.

Kebiasaan disini yang tak kalah unik adalah selalu membiarkan jendela kereta terbuka. Mungkin selain agar udara berangin juga supaya gampang membuang sisa sirih yang dikunyah. Seperti diketahui kebiasaan penduduk Myanmar mengunyah sirih sudah mendarah daging  sehingga harus dimaklumi bila mereka meludah keluar jendela. Alhasil, hampir semalaman tubuh terhembus angin malam selama di kereta. Baru lewat tengah malam mereka menurunkan kaca penutup jendela. Lalu bagaimana membuang sisa sirihnya? Rupanya mereka cukup sopan dengan meludahkannya ke cangkir yang dibawa.  Bagi yang kurang nyaman melihatnya, sedikit tips lebih baik tidur saja sepanjang perjalanan.

Setelah berangkat tepat pukul lima sore  sesuai jadwal, kereta dari Yangon tiba di Mandalay sekitar pukul delapan pagi setelah menempuh perjalanan selama 716 kilometer. Udara dingin segera terasa, berbeda dengan cuaca Yangon yang panas. Perlu beberapa saat untuk beradaptasi agar tak menggigil. Entah karena cuacanya sedang muram saja barangkali.

Stasiun kereta Mandalay merupakan bangunan baru, berbeda dengan Yangon Railway Station yang merupakan peninggalan kolonial Inggris. Platform kereta berada dibawah jadi kita naik tangga untuk keluar dari peron. Sebuah hotel menempel pada samping stasiun, tampaknya merupakan sebuah bangunan yang terintegrasi dengan stasiun. Keberadaan hotel ini sepertinya membidik konsumen pengguna kereta api.

Sesuai  rencana  untuk membeli tiket pulang lebih awal, saya segera menuju loket penjualan tiket hanya untuk melongo melihat tulisan berbahasa Myanmar yang mirip ukiran itu. Bagusnya, selalu ada petugas yang bisa berbahasa Inggris di loket. Namun loket yang mana karena banyak loket yang buka.

Ketika sedang memperhatikan loket, tiba-tiba seorang pengojek menyapa. “ Motobike?” tanyanya sambil  menggunakan gerakan tangan seperti sedang mengendarai motor.

Hemm kebetulan, biar tukang ojek ini saja yang jadi pusat informasi. “Where to buy tiket to Yangon?” tanya saya sambil menunjukkan contoh tiket kemarin.

“Yangon?” tanyanya.

“Yes.”

Ia lalu berjalan sambil memberi isyarat agar mengikutinya,  sempat ragu takut diantar ke calo namun ternyata benar saja ia mengantar ke loket yang dimaksud. Lalu cas cis cus sebentar dengan petugas konter, keluarlah tiket untuk kembali ke Yangon yang berkelas upperseat. Legalah, kini bisa leluasa melihat-lihat kota Mandalay tanpa memikirkan duduk di bangku kayu lagi.

 

Pertemuan Dengan Orang Cibangkong Di Perbatasan Thailand

IMG01839-20150306-1623By Bayu Ismayudi

Panas mentari siang itu sudah mulai menyengat saat saya dan Bayu Bhar tiba di perbatasan Laos-Thailand. Para pelintas batas dari Laos menuju Thailand berdesakkan, menyemut di di kantor imigrasi Laos di kota Vientianne.

Kami pun segera ikut bergabung dalam barisan pelintas batas sesaat turun dari tuk-tuk yang mengantar kami dari pusat kota. Ini adalah hari terakhir kami setelah seminggu menyusuri Laos dari Chiang Rai sebuah kota di utara Thailand.

Sangat jauh berbeda kondisi yg kami lihat sekarang, saat sebelumnya kami melintas dari Thailand menuju Laos, kantor imigrasi Laos relative sepi dari para pelintas batas, berbading terbalik dengan saat ini, pelintas batas dari Laos menuju Thailand begitu bejibun.

Para pelintas batas ini didominasi oleh turis bule mancanegara, walaupun ada beberapa turis berwajah oriental yang terselip di dalamnya.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju pada dua orang turis berbeda ras yang sedang berdialog di depan saya, yang satu seorang bapak setengah baya berwajah melayu dengan lawan bicara seorang turis bule…

“Where do you come from?” tanya sang turis bule kepada turis berwajah melayu tersebut. “I ‘m from Indonesia” sahut turis berwajah melayu. “Where do you live in Indonesia?” Tanya sang bule kembali. “Bandung” jawab sang bapak berwajah melayu itu.

Jawaban sang bapak setengah baya berwajah melayu itu sontak menarik perhatian saya. “Di Bandungnya di mana pak?” bisik saya tiba-tiba dari belakang antriannya…si bapak langsung menoleh “Lha lo Bandung juga? Lo sendiri Bandungnya di mana?” balik bertanya…”Saya di Buah Batu pak”  tegas saya..”Wah, daerah preman dong itu?” balas si bapak sambil tersenyum…”Emang klo bapak di mana di Bandungnya?” Tanya saya penasaran…”Gue dari Cibangkong”. Tegasnya…”Wah, premanan daerah bapak dong..” tukas saya yang kemudian disambut sang bapak dengan tawa dan jabatan erat.

Bapak setengah baya berusia 68 tahun ini sebut saja namanya Bapak X, karena bapak ini meminta merahasiakan identitasnya sehubungan dengan masa lalunya yang mirip agen rahasia hehehehe.

Bapak X ini walaupun sudah berusia kepala 6 malah hampir 7 masih terlihat bugar walaupun uban di kepalanya sudah mendominasi. Bapak ini langsung menyambut kami ramah dan hangat setelah tahu saya dari negara & kota yang sama.

“Bapak habis pelesiran apa kerja pak?” Tanya saya….”hmm, saya pengangguran, sudah hampir lima belas tahun saya tinggal di Bangkok” jawabnya…”Pengangguran elit ya pak?” ujar saya…”Si bapak ini bukan orang sembarangan” pikir saya, sebab mana mungkin seorang pengangguran bisa tinggal mencla menclo beberapa tahun di Amerika dan Eropa (saya tahu saat si bapak memperlihatkan passportnya) terus akhirnya menetap di Bangkok, Thailand.

“Kamu sendirian?” Tanya si bapak kemudian…”Berdua pak, sama teman” sambil menunjuk reka saya Bayu Bhar yang sedang berada di antrian sebelah. “Ok, nanti setelah beres imigrasi kita sama-sama ke Station bus ya” uajr si Bapak.

Setelah beres segala urusan cap mencap passport, kami pun segera bergerak menuju station bus Nong Khai, Thailand. Kantor perbatasan Thailand-Laos ini memang terletak di kota Nong Khai, jadi kami harus melanjutkan Sembilan jam perjalanan menggunakan bus menuju Bangkok.

“Kalian muslim?” Tanya si bapak sesaat setelah kami berada di dalam tuk-tuk yang mengantar kami menuju station. “Iya pak” jawab saya…”Ok, sebelum ke station kita cari makan dulu ya, saya tau tempat makan halal di daerah sini”. Memang saat itu sudah waktunya untuk makan siang, perut kami memang sudah mulai berteriak lapar hehehe.

Tidak berapa lama tuk-tuk yang kami tumpangi tiba di sebuah rumah makan berlabel “Halal” yang dimiliki oleh keluarga keturunan Arab. Setelah memesan menu makanan sop daging sapi, kami pun menunggu sambil berbincang-bincang tentang pengalaman si bapak yang dari tahun 1988 tinggal berpindah-pindah di negeri orang, malah sempat tinggal di Amerika dan beberapa negara di Eropa hingga akhirnya ‘terdampar’ di Bangkok, Thailand selama belasan tahun.

Kami sempat terkesima oleh cerita si Bapak X ini tentang masa lalunya yang ‘fantastis’. Betapa tidak si Bapak ini dulunya adalah veteran Nusakambangan. Bersama beberapa temannya terlibat dengan ‘hitamnya’ dunia hingga membuatnya terdampar di Singapore pada tahun 1988 dan membuatnya bertualang ke mancanegara.

Cerita sang Bapak ini membuat saya seperti mendengar kisah petualangan agen rahasia dan yang pastinya cerita-cerita ini tidak bisa saya paparkan di sini demi menjaga nama baik sang bapak yang mengakhiri ceritanya dengan keinginan untuk bertobat. “…Dan tahun ini saya ingin pulang, ingin naik haji, saya ingin menangis di rumah Allah, saya ingin taubatan nashuha” lirihnya….

Tidak lama kemudian makanan yang kami pesan pun akhirnya muncul tersaji juga, sop sapi & nasi putih hangat…hmm…aromanya sungguh membangkitkan selera. Kami pun makan dengan lahap diselingi obrolan ringan.

“Menurut bapak, gimana kondisi negara kita di lihat dari kacamata bapak yang tinggal di luar Indonesia?” Tanya saya tiba-tiba. Si Bapak menghentikan suapannya sambil menunjuk ke sop daging sapi yang berada di dalam mangkuk…”Kalau sop yang ada di dalam mangkok ini sudah ga karuan rasanya, jangan kau campur bumbu ini, itu lagi yang membuat rasa sopnya semakin ga karuan…kau buang sop dalam mangkok ini dulu, ganti dengan yang baru” tukasnya sambil menyeruput es teh manis…sedaap…

Usai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan menuju station bus Nong Khai. Dengan fasih menggunakan bahasa Thailand si Bapak ini memesankan kami tiket Bus VIP menuju Bangkok. Di Bangkok si Bapak ini tinggal di sebuah home stay milik pasangan tua yang sudah dianggap orang tua sendiri. Dan kami pun tinggal di home stay dekat tempat tinggal si bapak dengan harga yang relative murah, 200 BHT, sebelum sore harinya kami beranjak menuju Bandara Don Mueang karena saya akan melanjutkan pulang menuju Jakarta dan rekan saya Bayu bhar melanjutkan perjalanan menuju Vietnam….

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (Tamat)

tradisi & icon di Luang prabangLuang Prabang, sebuah kota yang menjadi salah satu andalan bagi industry wisata di Laos. Sebuah kota yang ramai oleh para wisatawan, baik domestic maupun mancanegara, sebuah kota yang sadar wisata. Saat tiba di pusat kota Luang Prabang, kami langsung menuju sebuah café yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Seteleh memesan minuman wajib yaitu kopi panas, kami pun duduk duduk sambil melihat sekeliling. Karena kursi kursi café itu terletak di halaman sebuah travel agent, maka kami bisa leluasa memandang aktivitas sekitar. Terlihat di seberang jalan, night market yang merupakan salah satu hiburan andalan di kota ini sudah mulai digelar, lampu lampu jalan warna warni menyemarakkan suasana sekitarnya. Sambil tentunya ber-wifi-an, dan akhirnya dapat mengabari kondisi kami kepada keluarga & rekan di luar sana sambil menikmati cerahnya suasana senja.

Malam itu kami menginap di sebuah guest house yang terletak di jalanan sekitar area night market, Sebuah guest house yang nyaman berlantai parquette. Sehabis mandi kami lalu menelusuri jalanan Luang Prabang, dari mulai area night market sampai kawasan backpacker di pinggiran sungai Mekhong.

Luang Prabang banyak dihiasi oleh bangunan bangunan khas Eropa, karena memang Laos adalah bekas jajahan Perancis, wajar jika kota ini ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Sayangnya bangunan antik tersebut banyak yang kurang terawat, catnya kusam dan mengelupas, sungguh sangat disayangkan, padahal bangunan bangunan tersebut bisa menjadi daya tarik wisata yang unik.

Keunikan tempat ini sangat jelas bisa dinikmati pada pagi hari. Usai menyaksikan upacara sedekah biksu yang telah menjadi bagian dari atraksi turis, sebuah moment dimana para biksu berbaris mengambil sedekah dari para turis dan penduduk setempat. Setelah itu kami berjalan menghirup udara segar pagi hari sambil menikmati suasana kota.

Menjelang malam, kami sudah standby di southern terminal Luang Prabang, kali ini kami berencana akan bergerak menuju Vientiane menggunakan Sleeper Bus atau Bus malam kelas sleeper dengan harga ticket 150.000 KIP/ orang, dengan pertimbangan menghemat biaya penginapan. Para backpacker dalam melakukan perjalanannya sering kali menggunakan bus malam baik itu kelas VIP atau Sleeper yang tempat duduknya dapat disetting sebagai tempat tidur dengan maksud menghemat biaya penginapan. Jadi biasanya saat sampai ditujuan mereka akan menghabiskan siang harinya untuk mengeksplore kota.

Saat kami sedang duduk duduk menunggu waktu keberangkatan, tiba tiba ada seorang bule menyapa…”hey guys, where are you going?” . Wow rupanya si turis Italia itu yang tempo hari bersama kami di terminal Luang Prabang, selanjutnya kami pun terlibat sedikit percakapan…rupanya dia juga akan bergerak meninggalkan Luang Prabang menuju Vientiane dan dari situ akan terus menerobos menuju Vietnam…wah, asyik juga nih perjalanan si italiano ini….bikin ngiler hehehehe.

Sementara rencana kami dari Vientiane akan terus menuju Nong Khai, kota perbatasan Laos-Thailand dan melanjutkan ke Bangkok untuk kemudian pulang ke tanah air. Akhirnya sesuai jadwal keberangkatan yaitu pukul 20.45, bus kami pun bergerak menuju Vientiane.

Sekitar pukul 04.30 AM kami tiba di Northern Terminal Vientiane, hari masih gelap & udara masih terasa dingin walau tidak sedingin saat di Luang Namtha. Kami pun turun dan duduk duduk sejenak di sekitar terminal sambil sedikit melakukan orientasi medan. Setelah menghabiskan sebatang rokok, saya pun beranjak mandi di toilet terminal setelah sebelumnya rekan saya Barbar mandi terlebih dahulu dengan membayar 5000 KIP. Sekitar pukul 06.00 AM kami pun melaju menggunakan tuktuk menuju pusat kota.

Vientiane adalah ibu kota Laos yang terletak di Lembah Mekong. Vientiane merupakan bagian dari prefektur Vientiane (kampheng nakhon Vientiane) dan terletak di perbatasan dengan Thailand. Penduduknya di tahun 2005 diperkirakan berjumlah 723.000 jiwa (Wikipedia).

Tidak berapa lama kami tiba di pusat kota Vientiane, jalanan masih sepi toko toko belum lagi buka, seperti halnya di Thailand atau Vietnam di sini pun toko buka rata rata pukul 10.00 pagi. Dari kejauhan di taman kota saya melihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas olah raga. Kami pun melangkah ke arah taman yang letaknya dipinggiran sungai Mekhong tersebut dan mengambil beberapa foto.

Matahari mulai meninggi saat kami menjelajahi pusat kota, panas mulai terasa menyengat. Kami pun memasuki sebuah café untuk sekedar istirahat & berteduh sambil memesan minuman dingin. Sementara saya terkantuk kantuk dibuai sejuknya semilir AC di dalam café itu, rekan saya Barbar membuka buku Lonely Planet tentang Laos yang dibawanya saat berangkat. Tiba tiba dia menunjuk pada sebuah halaman di buku Lonely Planet tersebut di situ tertera judul “ Classic Routes” sebuah jalur klasik yang sering dilalui para backpacker yang di mulai dari utara Thailand kemudian menyebrang ke Laos selanjutnya menyusuri menuju selatan dan itu ternyata jalur yang kami lalui.

Setelah badan sedikit segar, kami pun melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Laos menggunakan tuktuk dan kami meminta kepada supirnya sebelum ke perbatasan untuk diantar ke Monumen Patouksai & Museum Sisaket atau Wat Sisaket yang merupakan icon dari kota Vientiane.

Sesampainya di pos imigrasi perbatasan Laos saya liat bejibunnya orang yang antri untuk melintasi perbatasan menuju Thailand. Hal ini sangat jauh berbeda saat kami melintasi perbatasan Thailand menuju Laos. Antrian panjang pun terjadi saat kami memasuki pos imigrasi Thailand di kota Nong Khai. Di kota ini lah kami mengakhiri perjalanan karena sore harinya kami menuju Bangkok untuk kemudian kembali ke tanah air.

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (2)

terminal Luang namtha pagi hariAkhirnya kami menemukan sebuah guest house untuk rehat malam itu di belakang terminal Luang Namtha setelah sebelumnya nongkrong sepeminuman kopi di sebuah kedai di pinggiran terminal. Suhu di Luang Namtha lumayan dingin bahkan saat di dalam kamar sekali pun. Fasilitas water heater yg terdapat di dalam kamar mandi kami tidak berfungsi membuat saya enggan mandi malam itu. Setelah sekedar bersih bersih saya pun mulai terlelap dibuai mimpi.

Kabut pagi yang tebal masih menyelimuti seputar terminal saat kami beranjak meninggalkan kamar guest house. Setelah mengisi perut dengan sandwich tuna, karena memang di sekitar situ susah untuk mencari nasi walaupun pada daftar menu tertera Fried Rice and Egg, Fried Rice and Chicken, dll tapi ketika kami memesan, nasinya tidak ada. Jadi saya pikir yang cukup mengalas perut untuk sarapan saat itu ya sandwich ditemani secangkir kopi hitam panas plus welcome drink teh khas laos…hmmm lumayan buat menghangatkan perut. Setelah ritual pagi beres, kami pun bergerak menuju peron penjualan ticket, rencananya hari itu kami akan meneruskan perjalanan menuju Luang Prabang.

Rupanya kami baru menyadari kalau uang KIP kami mulai menipis dan kami tidak tau lokasi ATM terdekat, sementara yang ada di kantong kami uang Baht Thailand. Maka setelah melihat schedule keberangkatan & daftar harga bus menuju Luang Prabang yang tertera pada plang di atas peron, saya pun mencoba bertanya ke petugas penjualan ticket…”I want buy ticket to Luang Prabang, can I pay with bath?” (ini bahasa inggris tarzan-pen). Si petugas penjual ticket malah menunjuk ke arah bus yang terparkir di depan, saya tentu bingung…kembali saya ulangi pertanyaan tadi, dan kembali si petugas menunjuk ke arah yang sama. Hmmm…saya baru ingat, logat penyebutan “Bus” di Laos sama dengan di Thailand atau Vietnam yaitu “Bat”. Jadi mungkin mereka kira saya menanyakan bus yang menuju Luang Prabang. Akhirnya saya menjelaskan, kembali dengan bahasa Inggris ala kadarnya…” I mean…I want buy ticket to Luang Prabang with Baht Thailand, not KIP. Dan akhirnya si penjual ticket mengerti, lalu kami kami pun mengeluarkan 400 Baht per orang untuk bus yang menuju Luang Prabang.

Bus yang kami tumpangi kali ini lebih mirip dengan mini bus travel, berbeda dengan bus kami sebelumnya yang membawa kami dari Bokeo ke Luang Namtha. Kali ini agak lebih nyaman, walaupun tetap sama dengan bus sebelumnya, apabila bus menjemput penumpang yang menunggu di perjalanan supirnya selalu turun dan ngobrol ngobrol dengan penduduk di sekitar lokasi penjemputan, saya jadi berfikir, jika di Bandung kita lama di perjalanan karena terhambat macet, kalau di sini karena supirnya banyak ngobrol di setiap pemberhentian hehehehe. Selama melakukan perjalanan di sini saya melihat lalu lintas tidak ramai bahkan relative sepi jauh dari kondisi macet. Kemacetan paling terjadi karena ada perbaikan jalan sehingga diharuskannya buka-tutup jalan untuk satu jalur, dan itu pun tidak lama seperti saat melewati wilayah Oudom Xai, kota antara Luang Namtha dan Luang Prabang.

Terik mentari siang itu mengiringi perjalanan kami menuju Luang Prabang, di sebelah kanan dan kiri kami pegunungan & lembah hijau, pemandangan khas wilayah tropis menemani kami. Namun di hampir lembaran dedaunan terselimuti debu debu tipis, sepertinya hujan sudah lama tidak menyapa wilayah ini. Apalagi saat memasuki wilayah Uodom Xai, debu debu tebal dari jalanan yang sedang diperbaiki berhamburan menghalangi pandangan di depan bus yang kami tumpangi. Di Dalam bus terlihat beberapa penumpang terlelap tidur, diantaranya ada turis asing yang rupanya sedang melancong juga.

Sembilan jam sudah kami lewati, hingga akhirnya kami tiba di terminal Luang Prabang tepat pukul 6.00 PM, cuaca cukup cerah sehingga kami menyangka saat itu masih pukul empat sore. Kami pun lalu turun dari bus, seperti biasa para sopir tuktuk mendatangi para turis termasuk kami, sambil berteriak “Center, sir!! Center sir!!”. Maksudnya menawarkan angkutan menuju pusat kota tempat para pelancong berkumpul.
Seorang turis asing yang tadi satu bus bersama kami menawarkan untuk share ongkos tuktuk agar lebih murah, ini merupakan hal biasa bagi para backpacker, berbagi ongkos transport untuk menghemat budget, kami pun menyetujui. Setelah sebelumnya Barbar menemukan ATM dan akhirnya kami memiliki KIP yang cukup, tuktuk pun melaju menuju pusat kota dengan ongkos 20 ribu KIP per orang.

Di perjalanan menuju pusat kota, saya sedikit berbasa basi dengan turis asing tadi yang ternyata berasal dari Italia, rupanya dia juga melakukan perjalanan yang sama dari Thailand menyebrang ke Laos. Dia bilang “Nanti di Luang Prabang ingin langsung cari guest house yang ada wifi nya” sambil tersenyum. Rupanya pikiran kita sama, semenjak memasuki Laos kita tidak menemukan wifi dan otomatis kita tidak bisa kontak dengan keluarga & rekan untuk sekedar memberi kabar.

Kata “Get Lost” yang sering menjadi motto para backpacker yang artinya kurang lebih “menghilangkan” diri atau “menyesatkan” diri kami alami juga saat memasuki Laos walaupun tanpa kesengajaan dalam arti saat itu kami memang tidak menemukan wifi untuk bisa kontak dengan keluarga dan rekan di luar sana, kalaupun ada wifi saat di guest house di Luang Namtha signalnya sangat parah. Berbeda mungkin dengan para maniak backpacker yang memang sengaja “menghilangkan” diri tanpa membawa gadget atau alat komunikasi lainnya. ‪#‎Bersambung‬

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (1)

Aroma babi panggang menyergap kami saat tiba di terminal bus Luang Namtha, Laos malam itu. Waktu menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Hari sudah gelap, terminal kota kecil itu mulai sepi, rupanya hanya bus yang kami tumpangi yang terakhir singgah.

Beberapa warung yang menjajakan makanan khas setempat mulai bebenah untuk tutup. Saya bersama rekan saya Bar bar celingukan sedikit bingung, betapa tidak…kami baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, tentu belum sempat kami untuk sekedar orientasi medan.
Dengan menyandang backpack, kami menyusuri jalanan yang gelap, beberapa kedai makanan di sepanjang jalan masih terlihat ramai dan itu setidaknya bisa “menemani” kesendirian dan keterasingan kami. Jalanan yang kami susuri mengingatkan kami akan jalur pantura di pulau jawa…besar dan banyak berseliweran truk truk container.

Kota Luang Namtha ini adalah kota kedua yang akan disinggahi dalam itenary kami, setelah malam sebelumnya kami menginap di Chiang Rai, sebuah kota yang terletak di utara Thailand. Memang pada backpackeran kali ini, kami merencanakan trip dengan menggunakan jalur darat dengan melintasi dua negara.

Perjalanan kami awali dari Bangkok dengan menggunakan penerbangan jam 10.00 AM dan tiba di bandara Chiang Rai sekitar pukul 14.00. Perjalanan kami lanjutkan dengan taxi menuju pusat kota. Sekitar pukul 15.30 kami tiba di terminal bus Chiang Rai.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu daerah, tradisi kami adalah mencari café yang ber – free Wifi untuk sekedar ngopi dan ber- Wifi gratisan heheheehe, maklum pelancong harus sebisa mungkin meminimalisir budget.

Setelah puas kami ber-Wifi an, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari guest house. Kota Chiang Rai ini merupakan kota kecil yang nyaman, jalanannya luas dan tidak ramai oleh lalu lintas. Tidak berapa lama kami menemukan guest house yang letaknya di jalan kecil seharga 700 bht untuk kamar yang kami sewa dan kami pun terus rehat sejenak, karena kami berencana akan mengeksplorasi kota tsb malam nanti. Karena menurut informasi di kota ini tiap malam selalu ada “nait basal” (bahasa penduduk setempat) yang maksudnya Night Bazar atau sejenis pasar malam.

Sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, kami mulai bergerak menyusuri jalanan kota Chiang Rai yang asri menuju Night Bazar yang berlokasi di sekitar terminal. Tidak berapa lama kami tiba di Night Bazar, di situ banyak sekali barang dagangan dijajakan dari mulai makanan, pakaian sampai barang barang souvenir. Selain itu ada juga pengamen jalanan yang menampilkan keahliannya dalam memainkan alat music biola. Semarak sekali suasana di tempat itu.

Setelah puas kami mengelilingi tempat itu, kemudian kami kembali menyusuri jalanan menuju “Clock Tower”, sebuah menumen yang menjadi icon kota Chiang Rai. Tugu yang berornamen khas Thailand yang di puncaknya terdapat jam yang besar. Di sekitar Clock Tower ini banyak bertebaran café dan kedai tempat para turis local maupun mancanegara berkumpul. Cuaca cerah malam, semakin menambah semarak suasana disekitar clock tower tersebut.

Sekitar pukul 11 malam kami kembali ke guest house, kami berniat untuk beristirahat untuk memulihkan stamina dan mengumpulkan energy, karena besoknya kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah menyebrang ke perbatasan Thailand-Laos menggunakan bus dan berniat singgah di kota Luang Namtha (Laos).
Esok paginya kami sudah mulai berkemas dan bersiap untuk check out untuk kemudian berangkat menuju terminal. Sekitar pukul 09.30 AM kami sudah berada di dalam bus menuju kota perbatasan Thailand, Chiang Kong. Penumpang di dalam bus selain masyarakat local juga ada turis turis asing yang rupanya punya tujuan sama, menyebrang ke Laos.
Dua jam berlalu, hingga akhirnya kami tiba di sebuah halte di pinggiran sungai Mekong. Saat turun dari bus kami langsung dikerubuti supir tuk tuk atau sejenis beca bermotor. Mereka menawarkan untuk mengantarkan kami menuju pos perbatasan, rupanya memang tuk tuk ini adalah satu-satunya kendaraan yang mengantar para turis menuju border control atau pos imigrasi. Kemudian kami pun melaju menggunakan tuk tuk bersama dua orang turis asing.

Setelah passport kami diperiksa dan menyerahkan formulir imigrasi, kami pun menuju perbatasan Laos dengan menggunakan bus seharga 25 Baht yang sudah menunggu di depan pos Border Control. Tidak kurang dari setengah jam setelah melewati Friendship Bridge kami tiba di perbatasan Laos. Sekedar informasi, beberapa tahun yang lalu menurut Barbar rekan saya yang pernah mengunjungi Laos lewat jalur darat saya, antara perbatasan Thailand & Laos dihubungkan dengan kapal Ferry sebelum dibangun “Jembatan Persahabatan”.

Memasuki kantor imigrasi Laos, seperti biasa setelah mengisi formulir imigrasi dan passport kami distempel, kami pun mulai menginjakkan kaki di wilayah yang berbeda tersebut. Saat keluar kantor imigrasi, beberapa supir tuk tuk mengerubungi kami, menawarkan jasa angkutan mengantar kami ke kota Bokeo, sebuah kota yang terletak di dekat perbatasan Laos.
Kami pun lalu berangkat menggunakan tuktuk bersama beberapa penumpang local dengan ongkos seharga 50 ribu KIP (mata uang Laos). Rupanya ada kesalahpahaman antara kami & supir tuktuk yang tidak bisa berbahasa Inggris, kami mengira di tempat yang kami tuju akan ada bus antar kota. Tapi ternyata, tempat yg kami datangi itu adalah pusat kota Bokeo, dan tidak ada bus di situ. Bus bisa di dapat di terminalnya langsung. Dengan dibantu penterjemah dadakan yaitu seorang ibu-ibu yang menumpang bersama kami yang bisa berbahasa Inggris akhirnya supir tuktuk bersedia mengantar kami menuju termina Bokeo dengan meminta ongkos tambahan tentunya…hehehe

Bokeo merupakan sebuah provinsi di Laos yang memiliki luas wilayah 6.196 km² dan populasi 149.700 jiwa (2004). Ibu kotanya ialah Ban Houayxay. Saya melihatnya sebagai kota kecil yang semi berkembang. Ketika kami dibawa oleh supir tuktuk ke pusat kotanya, saya melihat seperti wilayah pasar Pangalengan di Jawa Barat, sangat bersahaja…Ketika saya memasuki pasar, tidak terlihat seorang pun di sana yang merokok, padahal biasanya di pusat pusat keramaian pasti ada saja orang merokok seperti halnya di Saigon, Bangkok,dll di kota2 di negara yang pernah saya kunjungi.

Begitu pula saat di terminal, saya melihat hanya turis turis asing yang merokok. Awalnya saya mengira mungkin ada aturan yang melarang merokok di tempat umum seperti halnya di Singapore atau Bangkok, sehingga saat saya akan merokok saya bertanya dulu kepada penduduk local, dan mereka memperbolehkan. “Hmmm sebuah kebiasaan yang sehat hehehehe hidup tanpa rokok ..” itu yang ada di benak saya. Tapi ada satu kebiasaan penduduk kota ini yang kurang “berkenan” bagi saya yaitu meludah sembarangan, awalnya saya mengira hanya beberapa gelintir penduduk saja saat di terminal yang seperti itu, tapi saat di dalam bus menuju Luang Namtha, kondektur bus atau lebih tepatnya kenek bus membagikan kantong kresek yang akhirnya saya tahu kalau itu untuk penumpang yang mabuk darat atau ingin meludah…maka jadilah sepanjang perjalanan kami “dihiasi” dengan sura suara…”hoooek cuh!” (icon wajah ijo).

Dan yang lebih “Keren” lagi, mungkin karena tidak adanya shelter atau rest area sepanjang perjalanan jika penumpang yang ingin buang air kecil, bus akan berhenti di bedeng bedeng pinggir jalan yang saya lihat banyak pembuangan sampahnya lalu para penumpang pun secara masal baik itu pria maupun wanita “beser” di situ…dan tidak lupa setelah itu mereka akhiri dengan “hooeeek cuh!”

Seperti halnya asumsi saya tentang jalanan kota di Laos yang penuh debu, saat memasuki Bokeo banyak lahan lahan tanah merah yang berdebu kami lewati. Walaupun begitu wilayah pusat kotanya tempat para backpacker berkumpul terlihat agak sedikit nyaman bernuansa pedesaan di pinggiran sungai Mekhong. Tapi saat memasuki terminal yang letaknya di tengah tegalan tandus berdebu, Barbar rekan saya berkata “ Jiga di pilem koboy nya? Asa di Meksiko” wkwkwkwwkw

Setelah membayar ticket bus seharga 250 Baht, sekedar informasi di Laos selain mata uang KIP, Bath juga bisa diterima di sana selain USD atau mata uang Dollar yang lain kecuali Rupiah huuaaaaa (menyedihkan sekali…Rupiah oh Rupiah). Dan tepat pukul empat sore kami pun berlalu menuju Luang Namtha yang berjarak 180 Km dari Bokeo. ‪#‎Bersambung‬

Panorama Dataran Tinggi Bolaven Plateu, Laos

bolaven

Pada pukul 8.00 pagi dari kota Phakse kami dijemput oleh mobil travel yang akan membawa ke Bolaven Plateau. Cukup membayar 160.000 kip/orang, kami akan dibawa berkeliling dari pukul 8 pagi sampai pukul 6 sore menyusuri dataran tinggi Bolaven yang merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup terkenal di Laos. Perjalanan kami dimulai dari sebuah perkebunan teh yang disebut Ongya Tea Plantation. Perkebunan teh tersebut adalah milik sepasang suami istri yang sudah terbilang tua. Setiap hari perkebunan mereka dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan yang akan menikmati dataran tinggi Bolaven. Walaupun tidak terlalu luas, perkebunan tersebut menyajikan pemandangan yang bagus dan udara yang sangat segar.

Tur di perkebunan ini juga akan  memperlihatkan proses pembuatan teh. Setiap wisatawan juga dipersilahkan untuk menikmati segelas teh yang diproses langsung di tempat tersebut. Segelas teh hangat dan baunya wangi sangat pas untuk udara yang cukup dingin khas perkebunan teh.

Dari Ongya Tea Plantation, kami dibawa menuju Tad Fane Waterfall. Air terjun yang disebut air terjun kembar ini setinggi hampir 120 meter. Disebut air terjun kembar karena terdiri dari dua air terjun yang terbentuk dari dua aliran air yang berbeda dan membentuk satu aliran yang kemudian menuju ke Sungai Mekong. Air terjun Tad Fane hanya bisa dinikmati dari jauh karena untuk mencapainya, kita harus menuruni tebing dan memakan waktu yang agak lama sedangkan travel agent sendiri telah menetapkan harus berapa lama kita berada di situ. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang lainnya yaitu  Gnenuang Waterfall.

Berbeda dengan Tad Fane, Gnenuang Waterfall dapat dinikmati dari dekat. Disediakan tangga untuk turun ke tempat aliran air tersebut jatuh. Di sekelilingnya terdapat taman dan hutan yang dapat digunakan bersantai. Tidak hanya wisatawan asing, saat kunjungan kami, banyak wisatawan lokal yang datang untuk menikmati keindahan air terjun ini. Setelah cukup lama menikmati Gnenuang Waterfall, kami menyusuri jalan terus ke timur melewati daerah bernama Pa Xong. Tibalah kami di Pa Xong coffee plantation, sebuah perkebunan kopi yang cukup besar. Di sana kami melihat puluhan orang membagi tugas untuk mengolah kopi yang baru dipetik.

Kopi yang baru dipetik ditumpuk kemudian dilepas kulitnya dengan menggunakan mesin sederhana, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bak dan di sana ada beberapa orang yang bertugas untuk membersihkan kopi tersebut sampai benar-benar bersih. Setelah bersih dari kulitnya, maka kopi tersebut kemudian dijemur di bawah terik matahari lalu disangrai (digoreng tanpa minyak) dan digiling menghasilkan kopi bubuk yang rasanya sangat enak. Kami dipersilahkan mencicipi kopi yang langsung diolah di Pa Xong Coffee Plantation. Kopinya enak dan wangi. Tidak heran jika kopi tersebut juga diekspor ke negara-negara lain.

by Maya Rara Tandirerung / @mayarararocks

Perempuan Bekerja di Ladang, Laki-laki di Rumah

bolaven2

Desa Khok Pung Thai terletak sekitar 103 km dari Kota Pakse, Lao PDR. Desa yang ditinggali oleh suku Katou ini terletak di pinggir jalan tetapi yang unik, masyarakatnya tidak bisa menggunakan bahasa Laos yang sehari-hari dipakai oleh masyarakat Laos pada umumnya. Mereka menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Ada satu orang yang lancar berbahasa Inggris sehingga ia ditunjuk untuk menjadi local guide bagi wisatawan yang datang. Di Desa Khok Pung Thai ini, terdapat satu sekolah alternatif di mana guru-gurunya didatangkan dari Thailand, Singapura, Prancis dan beberapa negara yang bekerja sama dengan pemerintah Laos.

Desa ini merupakan salah satu desa yang sedang dalam proses pengembangan yang ditinjau langsung oleh pemerintah Laos. Masyarakat Katou masih sangat menjaga adat istiadat mereka. Mereka hampir semuanya menganut kepercayaan kepada roh-roh. Pada umur 30-40 masyarakat di desa ini sudah harus membuat peti mati untuk persiapan. Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, maka orang tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam peti karena dianggap mendatangkan sial. Jenazahnya akan diletakkan di dalam hutan sampai waktu di mana sial yang dibawa sudah hilang.

Yang unik lagi, di desa ini perempuanlah yang bekerja di ladang dan menjadi petani sedangkan kaum laki-laki tinggal di rumah untuk merebus air untuk istri-istri mereka. Menurut local guide yang menemani kami, inilah salah satu alasan mengapa di desa tersebut perempuan lebih berumur panjang daripada laki-laki. Disini sudah lazim bila perempuan sejak umur 14 tahun sudah merokok. Rokok yang mereka gunakan adalah tembakau yang dibakar pada sebuah bambu yang berdiameter sekitar 2 cm. Setiap laki-laki dari masyarakat Katou boleh mempunyai maksimal 4 orang istri. Bahkan ada sebuah rumah yang dihuni oleh 68 orang. Wow!

Rumah mereka adalah rumah panggung yang dibuat untuk mencegah binatang masuk ke dalam rumah. Makanan mereka ada nasi ketan yang diolah masih dengan cara tradisional yaitu ditumbuk. Sisa-sisa dari padi yang ditumbuk akan diberikan kepada peliharaan mereka seperti babi dan ayam yang bebas berkeliaran di sekitar rumah. Lauk mereka adalah daging babi dan daging anjing. Mereka sangat jarang makan daging ayam karena ayam menurut mereka lebih baik untuk dipelihara. Untuk mengambil air mereka mempunyai satu sumur terbuka yang digunakan untuk masyarakat desa untuk mencuci pakaian dan mandi. Ketika saya menanyakan di mana toilet, dengan senyum local guide tersebut “In the forest”. Hahahaha..

by  Maya Rara Tandirerung  / @mayarararocks