Bukit Moko dan Puncak Bintang Tempat Wisata yang Kekinian di Bandung

IMG-20151205-02585Setelah sekian lama bermain di seputaran Dago Pakar, akhirnya terbersit juga untuk mengetahui jalan tembus dari Warung Bandrek (Warban) ke Caringin Tilu. Menurut info dari teman-teman goweser, memang ada jalan tembus kesana untuk kemudian turun di Padasuka tempat Saung Angklung Udjo. Info itu sudah kami dengar sejak lama namun karena bukan goweser jadinya hare-hare saja menanggapinya.

Kini berhubung kerap lari di daerah Dago Pakar, keingintahuan akan jalur itu ditebus dengan survey santai memakai motor di Sabtu pagi. Beriringan memakai motor matic dan bebek, kami menyusuri jalan kecil yang sebagian tampaknya baru diaspal minggu kemarin. Pemandangan sepanjang jalan ini ternyata sangat indah, menjadi pertanyaan kenapa jalur ini belum populer sebagai jalur wisata. Rata-rata dari Warban orang tak berpikir untuk menuju kesini, melainkan ke Tebing Keraton saja. Hemm, kapan-kapan lari kesini dari Dago Pakar boleh juga, pikir saya.

Kondisi jalan memang tak terlalu mulus, sebagian terpapar tanah merah entah dari longsoran atau hanyut oleh hujan. Motor harus ekstra hati-hati bila kondisi licin begini, untunglah skill mengemudi kami diatas rata-rata ( haha..capruk).

Setelah melewati jalan kecil yang meliuk-liuk dengan pemandangan lembah yang indah, sampailah di jalan utama yang menuju Bukit Moko dan Puncak Bintang. Kedua tempat itu memang berdekatan, dari kejauhan sudah terlihat monumen bintang raksasa di puncak bukit yang menandakan Puncak Bintang. Lokasinya sendiri secara administratif tepatnya adalah RW 14 Kampung Buntis, Desa Cimenyan.

Saat memasuki jalan yang dibeton kami segera dicegat retsibusi parkir sebesar 5.000 rupiah per motor. Darisini kendaraan masih bisa masuk terus melewati jalan menanjak sekitar 100 meter, lumayan untuk menghemat tenaga.

IMG-20151205-02591Kami lihat pemandangan yang terbentang tak jauh berbeda dengan sepanjang jalan yang dilalui dari Dago Pakar. Agak masygul juga, atraksi apa yang ditawarkan di lokasi yang disanjung-sanjung di medsos ini. Apa cuma patung bintang raksasa tadi yang terlihat dari jauh.

“Hayu asup, motret Puncak Bintang,” ajak Bais merogoh kocek 10ribu untuk tiket. Saya melengos malas, paling juga begitu-begitu saja.

Memahami sikap hare-hare  ini, sebaiknya pembaca menyikapi dengan bijak. Bukan berarti lokasi wisata ini tidak bagus, melainkan memang indah. Namun view seperti ini sudah terlalu biasa bagi kami, lagipula sepanjang jalan dari Dago Pakar yang dilalui tadi pemandangannya memang seperti ini, indah. Kalau hanya ingin selfie di hutan pinus, lah sedari tadi di Dago Pakar itu hutannya lebih lebat coy.

Apalagi kala mau masuk ke warung yang disebut Warung Daweung -tempat ini juga cukup disanjung di medsos- diwajibkan membayar 25ribu. Aturan ini katanya berlaku sejak bulan Maret 2015. Wah, kalau minta bayaran segitu ente kepedean, pikir saya. Di warung bawah juga minum kopi paling goceng. Jadi terlintas bisikan seorang teman goweser yang sejak 90-an bermain disini. ” Didinya mah barudak gowes ge kalabur,” bisiknya. Olala pantes saja..

Nah, supaya tak terlalu “sia-sia” berkunjung kesini, sebaiknya anda melanjutkan hiking ke arah Batu Lonceng. Berjalan santai setengah jam darisini akan bisa menikmati view Patahan Lembang yang legendaris itu. (Lihat Menonton Gunung Menangkap Awan di Patahan Lembang ). Setelah merasa puas beberapa menit melihat-liat lokasi, kami balik kanan bersiap melanjutkan perjalanan dengan jalur berbeda.

Saat akan melanjutkan perjalanan menuju ke Padasuka, saya tergelitik dengan arah yang berlawanan. Tak ada salahnya bertanya ke ibu penjaga warung kemana arah jalan itu menuju.
“Pami eta mah terasna tiasa ka Cicaheum,” jawabnya.
“Ooh..ka Jatihandap?”
“Muhun.”

Mumpung lagi disini tak ada salahnya juga dicoba, kamipun mengarahkan motor menuju arah berlawanan. Sejak awal kondisi jalan tampak kurang menjanjikan, namun keingintahuan selalu manjadi panglima dalam survey. Lewat satu kilometer jalan mulai rusak, aspalnya terkelupas dan tanah merah menutupi. Motor didepan tampak sempoyongan menembus tanah merah, akhirnya terhenti.

“Moal bisa terus jigana motor urang..!” teriak Bais, motornya sudah stuck didalam lumpur tanah merah. Saya pun ikut balik kanan, ogah ikut berkubang di tanah merah. Kami meneruskan pulang menuju Padasuka.

Sekitar dua kilometer dari Bukit Moko, adalah tempat yang dinamakan Caringin Tilu. Kami mampir sejenak mengisi perut dengan indomie telor dan kopi, sebelum pulang dengan jalanan yang terus menurun hingga Padasuka. View jalan pulang ke arah Padasuka memang tak seindah ketika datang dari Dago Pakar, hingga kami simpulkan kalau orang datang dari arah Padasuka mungkin akan berkata “Wow!” kala sampai di Moko, tetapi yang datang dari Dago Pakar hanya akan berkata”ooh..”. Namun bagi anda yang belum pernah kesini, tak ada salahnya mampir ke lokasi wisata yang termasuk kekinian ini di Bandung

Catatan Perjalanan ke Jepang

osaka

text & photo by Luthfi Rantaprasaja

Perjalanan ke Jepang bagi kami sekeluarga adalah perjalanan yang lama tertunda. Setelah akhir tahun lalu kami sudah berkunjung ke Korea Selatan, rencananya jadwal untuk berkunjung ke Jepang adalah awal tahun berikutnya. Namun karena satu dan lain hal, ditambah juga ada perubahan jadwal yang tiba-tiba dari pihak airlines, maka kami baru bisa berangkat di akhir tahun ini. Persis di tanggal yang sama ketika kami berkunjung ke Korea Selatan. Kalo soal perubahan jadwal sepihak sampe harus ganti airlines bisa diceritakan di kesempatan lain, karena lumayan juga prosesnya. Walaupun hikmahnya jadi malah bisa pake maskapai yang jauh lebih baik service-nya 😉

 

Singkat cerita, berbeda dengan motivasi yang menggebu, terutama dari istri yang terkena kuatnya pengaruh K-Culture, ketika memutuskan untuk berkunjung ke Korea Selatan. Perjalanan ke Jepang ini seperti menuntaskan keinginan berwisata sekeluarga keliling negara-negara di benua Asia semata. Tidak terlalu antusias sampe ke level obsesif tetapi cukup bergairah lah, namanya juga mau jalan-jalan. Dasar pemikirannya ‘kagok edan, ka Jepang we sakalian’ begitu mungkin di benak kami.

 

Dahulu ketika saya masih kecil, negara Jepang adalah salah satu idaman tempat untuk dikunjungi. Sebuah paradoks sebenarnya, terlepas dari gambaran yang dibaca di buku-buku sejarah sekolah tentang kebringasan kekejaman dan juga luka sejarah akibat penjajahan dan eksploitasi Jepang terhadap tanah air bangsa Indonesia. Saya takjub luar biasa dengan citra kehebatan bangsa Jepang yang bisa bangkit dari keterpurukan kekalahan dalam perang dunia terakhir, menjadi bangsa pemenang yang diperhitungkan dunia.

 

Bagaimana mereka yang menjadi bulan-bulanan dan luluh-lantak oleh bom atom, kemudian bisa muncul menjadi jawara ekonomi dunia dalam waktu yang relatif singkat. Produk-produk Jepang membanjiri negara kita, begitupun Jepang menjadi donor utama negara kita bahkan hingga saat ini. Tanpa sadar sejatinya kita kembali dijajah secara ekonomi, kali ini dengan ‘senang hati’. Dengan masuknya produk dan jasa serta ‘bantuan’ Jepang yang bertubi2 ini, masuk juga pengaruh yg sangat kuat dari kepentingan bisnis dan negara itu yang kemudian menentukan hajat hidup rakyat Indonesia. Tahukah anda, menurut BBC World Service Poll 2014, ada 70% orang Indonesia memandang pengaruh Jepang ini positif, dan hanya 14% diantaranya yang memandang negatif. Membuat Indonesia sebagai negara yang paling pro-Jepang di dunia!

 

Sebagaimana seseorang saudara yang lebih kuat secara status sosial dan ekonomi dalam sebuah keluarga, secara kultur ketimuran tentu akan dituakan, ditinggikan, diseniorkan karena senioritas adalah penghargaan tertinggi, sehingga dihormati. Begitupun sepertinya dengan Jepang bagi kita yang pada awal interaksi dalam episode perang dunia, datang dengan propaganda sebagai saudara tua Asia yang membebaskan negara-negara Asia lain dari imperialisme Barat. Walaupun pada akhirnya, itu hanya kedok untuk melemahkan perlawanan, namun dengan posisi tawarnya yang masih lebih tinggi sampai saat ini persepsi Saudara Tua tetap terpatri dan itu sah-sah saja disematkan.

 

Oleh karena itu, ketika merencanakan perjalanan ke Jepang. Apalagi sadar dengan kondisi ekonomi yang sedang melesu, dimana mata uang Indonesia sedang meriang, kurs Rupiah dengan Yen sempat menyentuh batas termahalnya di Rp 120/Yen. Sebagai self proclaimed ‘tour leader’ dan sole provider ‘tour fund’, saya cukup pusing memilih paket akomodasi, konsumsi dan transportasi yang masuk akal. Apalagi sering dengar dan baca bahwa biaya hidup di negara ini termasuk yang termahal di dunia. Sehingga menyeimbangkan agar kenyamanan perjalanan dengan biaya/harga tetap terjaga adalah sebuah tantangan. Sebuah seni perjalanan yang dilakukan secara mandiri yang lumayan memakan waktu namun prosesnya mengasyikan. Maka mbah google pun menjadi sasaran riset, begitupun sekali-kali mengintip sharing grup2 travel/backpacker di facebook dan baca tulisan-tulisan di blog-blog orang… dari semuanya yang cukup recommended sebagai entry point adalah www.japan-guide.com dan www.travel-japan.jp . Kebetulan juga ada teman/kenalan juga yang memang mukim di Jepang, sehingga korespondensi mengenai beberapa informasi pun berlanjut di media sosial.

 

Jepang menawarkan berbagai destinasi wisata yang sejatinya bisa memuaskan apapun yang menjadi minat kita. Diantaranya yang harus kita tentukan saat merencanakan perjalanan wisata adalah, apakah akan melakukan wisata sejarah, budaya & seni; wisata yang terkait dengan wisata alam/petualangan; atau wisata makan, belanja dan hiburan.

Berhubung perjalanan kami adalah wisata keluarga, tentunya tujuan wisata lebih banyak didominasi keinginan anak dan istri. Maka itinerary pun menyesuaikan, destinasi utama yang menjadi sasaran adalah dua taman bermain di Jepang, Universal Studios di Osaka dan Disneyland di Tokyo… termasuk pusat manga dan anime di Akihabara, Tokyo. Kemudian buat istri yang terinspirasi film ‘Memoirs of Geisha’ maka tempat-tempat yang menjadi lokasi syuting film tersebut di Osaka maupun Kyoto menjadi sasaran utama berikutnya… Begitupun minat shopping istri tersalurkan, terutama di kota megapolitan Tokyo dengan mengalokasikan cukup waktu mengunjungi Harajuku, terutama di daerah fashion Omotesando sampai ke Ginza.

Sementara tempat-tempat wisata kultural mainstream yang biasa penuh sesak dengan turis seperti kuil, candi, kastil hingga taman menjadi destinasi sekunder yang juga kami kunjungi sepanjang searah dengan destinasi utama. Adapun tujuan wisata alam yang tadinya juga sudah diagendakan jadi terpaksa dihapuskan karena untuk tipe wisata seperti ini perlu alokasi waktu khusus yang tidak bisa terpenuhi pada perjalanan singkat kami ini.

 

Bagi saya pribadi, prinsipnya bukan destinasi/tujuan yang utama melainkan perjalanannya. Toh selama perjalanan yang sangat singkat ini, sedikit banyak saya bisa melihat, mendengar dan merasakan bagaimana sih sebenarnya orang Jepang ini, sang saudara tua di negaranya sendiri. Bagaimana sih gambaran kemajuan dan kehebatan negara mereka serta keluhuran budi masyarakatnya? Penasaran juga kenapa bangsa dan negara kita tidak bisa semaju mereka? Apa yang sih mereka punya yang tidak kita miliki? Padahal modal dasar kita sebagai bangsa dan negara tidak kalah lho, kalau tidak mau disebut sebenarnya lebih baik. Bukan cuman masalah sumber daya yang melimpah tapi ternyata sejarah kita pun tertulis lebih awal daripada mereka. Kalau sudah demikian, siapa sebenarnya yang patut disebut sebagai saudara tua ya?

Keterangan foto –Harry Potter and the Forbidden Journey, Universal Studios Osaka

Tanah Abang Punya Pesaing?

Geliat Industri Busana Muslim di Vietnam
by Luthfi Rantaprasaja

Sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, Vietnam nampak haus mengejar kemajuan ekonominya di segala bidang. Tak heran, Vietnam menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia, Indo-China & Indonesia sendiri, pertumbuhannya termasuk diatas rata-rata. Bahkan dalam salah satu studi dari PwC, Vietnam adalah salah satu ‘the fastest growing of emerging economies’… luaarr biasaaa! Sistem pemerintahan yg komunis sama sekali tak tercermin dalam bagaimana masyarakat melakukan usahanya. Nyaris tak ada bedanya bernegosiasi dengan pedagang di Benh Tanh Market dengan pedagang di Pasar Baru. Bahkan mungkin, dengan sistem kepartaian tunggal, otoritarian & masyarakat yg relatif homogen membuat negaranya lebih mudah diatur…. barangkali ya. Walaupun, kalo meminjam riset2 para ekonom dan bankir maka kemajuan yg mereka dapatkan sekarang kemungkinan besar adalah akibat berhasilnya reformasi politik dan ekonomi, Doi Moi, pada medio tahun 80an lalu. Orientasi ekonomi yang tadinya sangat tersentralisasi digeser menjadi berorientasi ekonomi pasar namun tetap dengan jiwa sosialis dimana kendali utama ada pada negara. Mungkin mirip2 dengan apa yg sedang berjalan di China, namun dengan peran swasta yang tidak terlalu dibiarkan lepas seperti di China.
64719_359101374198425_422396498_n

Pertumbuhan ekonomi dipacu dengan terbukanya peluang pasar di berbagai sektor usaha. Salah satu efek hausnya mereka melihat peluang pasar adalah dengan semakin bergeliatnya industri busana muslim di Vietnam, khususnya di Saigon. Sehubungan dengan seringnya kami mengunjungi daerah ini untuk urusan bisnis, maka pemandangan akan dinamika pertumbuhan usaha busana muslim tak dapat terelakan, terlihat dalam level yang paling riil. Dari hal yang paling kecil saja, bahwa toko2 atau butik2 yang menjual baju muslim terlihat semakin marak. Kalaupun mungkin tidak dalam artian pertambahan jumlah yang progresif, namun dari aktivitasnya yang semakin ramai. Karena umumnya toko2 atau butik2 tersebut tidak terletak di dalam pasar melainkan di pinggir jalan, dimana jam operasionalnya pun lebih lama. Sehingga sering tidak sengaja kami perhatikan, kesibukan bongkar bungkus angkut barang sampai larut… saat kami keluar malam mencari kopi, mereka yang didalam toko masih sibuk merapihkan barang dagangan berkoli2 mungkin untuk dikirim besok harinya.
Padahal jumlah penduduk moslem di Vietnam sangatlah minoritas. Satu sumber mengatakan tidak sampai 1% namun sumber lain mengatakan 5%, itupun kebanyakan berada di daerah kantong-kantong komunitas Champ di daerah pinggir selatan Vietnam, bukan di kota2 besar seperti Saigon. Sehingga tentunya, tidak salah kalo kami menyimpulkan bahwa target market dari penjualan baju muslim tersebut sejatinya adalah para turis muslim atau pedagang atau pekerja yang berkunjung ke kota ini. Saat kami iseng bertanya pun memang demikian adanya, bisa dibilang orang lokal sangat minimal… seringnya adalah pada turis yang sebagian besar adalah turis2 Malaysia, Singapore atau Brunei. Maka tak heran, penamaan atau istilah produk dan desainnya pun disesuaikan dengan target market utamanya sehingga ‘melayu banget’, misalnya: baju kurung, telekung, half moon, jubah dll…
Sebagaimana halnya kios-kios di Tanah Abang, pemilik toko atau penjual baju muslim di Saigon tidak mesti muslim. Namun untuk menarik minat perhatian pengunjung yg umumnya turis tadi, dipekerjakanlah sebagian yang memang muslim. Pastinya, sebagian besar dari mereka bisa bahasa melayu… dan aktif mengajak berbahasa melayu kepada siapapun yang bertampang melayu. Walaupun bagi kami lebih nyambung sepertinya pake bahasa Inggris daripada bahasa Melayu, mungkin juga karena bahasanya yang aneh ditambah dialeknya dan logatnya yang semakin aneh…
Bicara soal muslim melayu, memang terlihat sekali betapa komunitas muslim yang kami lihat disini perkembangan keislamannya memang sangat kuat didukung & mengacu ke Malaysia. Bukan hanya karena kedekatan historis & geografis, namun juga misi-misi keagamaan yang diprakarsai masyarakat Malaysia, kalau bukan dari negara, cukup banyak artefaknya terlihat di Saigon. Apalagi, dengan level ekonomi Malaysia yang cukup tinggi, berpelancongan ke Vietnam sepertinya sudah biasa. Yang menguasai udara pun sejatinya maskapai Malaysia. Sehingga tidak heran sering kami lihat, banyak bus-bus turis Malaysia setiap hari masuk ke hotel-hotel di sekitar Saigon kota… yang perempuan berkerudung half moon sementara yang laki-laki berpeci melayu yg khas. Katanya sih mereka ikut moslem-tour, tapi yg dikunjungi ya tempat2 standar spt city tour ke gedung2 ex perancis, cu chi tunnel, tay minh temple, mekong delta dll… muslim taste-nya karena selain itu, mereka mengunjungi mesjid biru & mesjid2 lain yg ada disekitar kota dan makan di restoran2 halal yang cukup banyak juga hingga akhirnya ditutup oleh… belanjaaaa ke toko2 atau butik2 busana muslim.
24315_359101570865072_1354659392_n

Saya tidak ahli soal busana muslim, apalagi yg wanita. Pengalaman saya satu-satunya adalah melihat koleksi baju istri di rumah dan menemani istri jalan-jalan ke toko-toko busana muslim baik yang butik maupun toko/kios biasa di tanah abang. Nah kalo dibandingkan dengan model2 baju yang ada tersebut, sepertinya mazhab baju muslim di Saigon ya masih lebih ke model2 konservatif-tradisional. Kalo saya lihat di negara kita, model2 baju muslim sudah semakin modern, ada yang gaya casual, distro bahkan ada gaya ala artis yang cetaaar punya. Namun karena penasaran, saya tanya juga, ada ga sih busana muslim khas Vietnam? Karena yang saya perhatikan, model2nya ya Melayu banget. Ternyata ada juga yang mereka punya, yakni model baju muslim biasa namun dengan bahan lokal yg khas mereka… walaupun jumlahnya ternyata sedikit dan sepertinya bukan hot selling item juga karena posisinya tidak ditempatkan di rak yg strategis. Hal mana membuat saya cukup heran, artinya para turis itu membeli barang yang tidak khas negara yang dikunjunginya? Apakah berarti mereka membeli untuk dijual ke negaranya? Wah, kalau begitu Tanah Abang bisa punya pesaing nih… Apalagi ketika tanya-tanya soal harga ya, cukup murah juga ternyata…

Seperti diketahui, Tanah Abang adalah pusat busana muslim yang cukup kondang di mancanegara. Selain karena harganya yang relatif murah, alias bisa jadi barang dagangan. Perkembangan modelnya pun cukup maju. Bahkan di beberapa literatur dikatakan, keunggulan industri busana muslim di Indonesia adalah kreativitas desain & modelnya yang belum bisa dikalahkan negara2 lain. Buktinya, para pedagang2 dari seantero dunia, target operasi rutinnya ya di Tanah Abang. Termasuk pedagang dari Malaysia, Brunei, Singapura tadi. Kalo saya pernah tahu, omset perdagangan di Tanah Abang itu sekitar 100-200milyar per hari… dalam satu bulan berarti paling sedikit 3 trilyun omsetnya! Bayangkan, kios yang jualan pun ada ribuan disana. Mmmmhh… kalo sudah gini sih, masih jauh sepertinya buat ngejar Tanah Abang. Wallahualam bissawab.(2013)

Pertemuan Dengan Orang Cibangkong Di Perbatasan Thailand

IMG01839-20150306-1623By Bayu Ismayudi

Panas mentari siang itu sudah mulai menyengat saat saya dan Bayu Bhar tiba di perbatasan Laos-Thailand. Para pelintas batas dari Laos menuju Thailand berdesakkan, menyemut di di kantor imigrasi Laos di kota Vientianne.

Kami pun segera ikut bergabung dalam barisan pelintas batas sesaat turun dari tuk-tuk yang mengantar kami dari pusat kota. Ini adalah hari terakhir kami setelah seminggu menyusuri Laos dari Chiang Rai sebuah kota di utara Thailand.

Sangat jauh berbeda kondisi yg kami lihat sekarang, saat sebelumnya kami melintas dari Thailand menuju Laos, kantor imigrasi Laos relative sepi dari para pelintas batas, berbading terbalik dengan saat ini, pelintas batas dari Laos menuju Thailand begitu bejibun.

Para pelintas batas ini didominasi oleh turis bule mancanegara, walaupun ada beberapa turis berwajah oriental yang terselip di dalamnya.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju pada dua orang turis berbeda ras yang sedang berdialog di depan saya, yang satu seorang bapak setengah baya berwajah melayu dengan lawan bicara seorang turis bule…

“Where do you come from?” tanya sang turis bule kepada turis berwajah melayu tersebut. “I ‘m from Indonesia” sahut turis berwajah melayu. “Where do you live in Indonesia?” Tanya sang bule kembali. “Bandung” jawab sang bapak berwajah melayu itu.

Jawaban sang bapak setengah baya berwajah melayu itu sontak menarik perhatian saya. “Di Bandungnya di mana pak?” bisik saya tiba-tiba dari belakang antriannya…si bapak langsung menoleh “Lha lo Bandung juga? Lo sendiri Bandungnya di mana?” balik bertanya…”Saya di Buah Batu pak”  tegas saya..”Wah, daerah preman dong itu?” balas si bapak sambil tersenyum…”Emang klo bapak di mana di Bandungnya?” Tanya saya penasaran…”Gue dari Cibangkong”. Tegasnya…”Wah, premanan daerah bapak dong..” tukas saya yang kemudian disambut sang bapak dengan tawa dan jabatan erat.

Bapak setengah baya berusia 68 tahun ini sebut saja namanya Bapak X, karena bapak ini meminta merahasiakan identitasnya sehubungan dengan masa lalunya yang mirip agen rahasia hehehehe.

Bapak X ini walaupun sudah berusia kepala 6 malah hampir 7 masih terlihat bugar walaupun uban di kepalanya sudah mendominasi. Bapak ini langsung menyambut kami ramah dan hangat setelah tahu saya dari negara & kota yang sama.

“Bapak habis pelesiran apa kerja pak?” Tanya saya….”hmm, saya pengangguran, sudah hampir lima belas tahun saya tinggal di Bangkok” jawabnya…”Pengangguran elit ya pak?” ujar saya…”Si bapak ini bukan orang sembarangan” pikir saya, sebab mana mungkin seorang pengangguran bisa tinggal mencla menclo beberapa tahun di Amerika dan Eropa (saya tahu saat si bapak memperlihatkan passportnya) terus akhirnya menetap di Bangkok, Thailand.

“Kamu sendirian?” Tanya si bapak kemudian…”Berdua pak, sama teman” sambil menunjuk reka saya Bayu Bhar yang sedang berada di antrian sebelah. “Ok, nanti setelah beres imigrasi kita sama-sama ke Station bus ya” uajr si Bapak.

Setelah beres segala urusan cap mencap passport, kami pun segera bergerak menuju station bus Nong Khai, Thailand. Kantor perbatasan Thailand-Laos ini memang terletak di kota Nong Khai, jadi kami harus melanjutkan Sembilan jam perjalanan menggunakan bus menuju Bangkok.

“Kalian muslim?” Tanya si bapak sesaat setelah kami berada di dalam tuk-tuk yang mengantar kami menuju station. “Iya pak” jawab saya…”Ok, sebelum ke station kita cari makan dulu ya, saya tau tempat makan halal di daerah sini”. Memang saat itu sudah waktunya untuk makan siang, perut kami memang sudah mulai berteriak lapar hehehe.

Tidak berapa lama tuk-tuk yang kami tumpangi tiba di sebuah rumah makan berlabel “Halal” yang dimiliki oleh keluarga keturunan Arab. Setelah memesan menu makanan sop daging sapi, kami pun menunggu sambil berbincang-bincang tentang pengalaman si bapak yang dari tahun 1988 tinggal berpindah-pindah di negeri orang, malah sempat tinggal di Amerika dan beberapa negara di Eropa hingga akhirnya ‘terdampar’ di Bangkok, Thailand selama belasan tahun.

Kami sempat terkesima oleh cerita si Bapak X ini tentang masa lalunya yang ‘fantastis’. Betapa tidak si Bapak ini dulunya adalah veteran Nusakambangan. Bersama beberapa temannya terlibat dengan ‘hitamnya’ dunia hingga membuatnya terdampar di Singapore pada tahun 1988 dan membuatnya bertualang ke mancanegara.

Cerita sang Bapak ini membuat saya seperti mendengar kisah petualangan agen rahasia dan yang pastinya cerita-cerita ini tidak bisa saya paparkan di sini demi menjaga nama baik sang bapak yang mengakhiri ceritanya dengan keinginan untuk bertobat. “…Dan tahun ini saya ingin pulang, ingin naik haji, saya ingin menangis di rumah Allah, saya ingin taubatan nashuha” lirihnya….

Tidak lama kemudian makanan yang kami pesan pun akhirnya muncul tersaji juga, sop sapi & nasi putih hangat…hmm…aromanya sungguh membangkitkan selera. Kami pun makan dengan lahap diselingi obrolan ringan.

“Menurut bapak, gimana kondisi negara kita di lihat dari kacamata bapak yang tinggal di luar Indonesia?” Tanya saya tiba-tiba. Si Bapak menghentikan suapannya sambil menunjuk ke sop daging sapi yang berada di dalam mangkuk…”Kalau sop yang ada di dalam mangkok ini sudah ga karuan rasanya, jangan kau campur bumbu ini, itu lagi yang membuat rasa sopnya semakin ga karuan…kau buang sop dalam mangkok ini dulu, ganti dengan yang baru” tukasnya sambil menyeruput es teh manis…sedaap…

Usai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan menuju station bus Nong Khai. Dengan fasih menggunakan bahasa Thailand si Bapak ini memesankan kami tiket Bus VIP menuju Bangkok. Di Bangkok si Bapak ini tinggal di sebuah home stay milik pasangan tua yang sudah dianggap orang tua sendiri. Dan kami pun tinggal di home stay dekat tempat tinggal si bapak dengan harga yang relative murah, 200 BHT, sebelum sore harinya kami beranjak menuju Bandara Don Mueang karena saya akan melanjutkan pulang menuju Jakarta dan rekan saya Bayu bhar melanjutkan perjalanan menuju Vietnam….

Annyeong-Haseyo! Kenapa dan bagaimana ke Korea Selatan

jeju-island-korea

oleh : Luthfi Rantaprasaja.

Sebagai tujuan perjalanan wisata, Korea Selatan merupakan salah satu destinasi favorit. Terutama bagi para penggemar K-Culture, baik para penggila K-Drama maupun para penggemar K-Pop. Tidak bisa dipungkiri, selain sebagai negara industri baru yang maju secara ekonomi, Korea Selatan pun mulai dikenal dunia dengan ekspor budaya-nya. Bahkan bukan hanya dikenal sebenarnya, malah bisa dikatakan kemajuan ekonomi dan getar budaya Korea telah menaklukan dunia.

Tahukah anda, salah satu merk korea  ternama, SAMSUNG, masuk dalam 10 besar Most Valuable Brands in The World! (Forbes, November 2014). Begitupun dengan produk drama2 Korea yg merasuk masuk menjadi pilihan utama hiburan rumah tangga di Cina, Jepang, Asia Tenggara dan belahan dunia lain. Sebagaimana lagu2 K-Pop Korea yang merajai tangga2 lagu dunia, bukan hanya di Asia namun hingga Eropa dan Amerika. Sebuah fenomena yang dinamakan ‘hallyu’ atau kecintaan akan budaya Korea. Maka tak heran, berbondong-bondonglah turis mancanegara yang terbius akan ekspor budaya Korea ini ingin berkunjung ke negeri idamannya tersebut.

 

Mungkin kita belum merasa terlalu terkontaminasi dengan pengaruh ekspor budaya Korea Selatan. Namun Korea Selatan yang bagi saya lebih dikenal melalui merek2 elektroniknya, pengaruhnya ternyata mungkin sudah masuk ke dalam alam bawah sadar kita. Bukan cuman karena sekarang produk asal Korea mulai dari telepon pintar, TV plasma, kulkas, pendingin udara dan lain2nya sudah menjadi preferensi utama, dimana semakin hari semakin mendesak merek2 elektronik lama. Namun juga, pesona dari produk budaya K-Drama dan lenggak lenggok penyanyi K-Pop dengan beat dan irama yang catchy serta penampilan yang sangat entertaining, membuat kita tidak bisa menolak bahwa mungkin kita sedikit banyak sudah tersihir oleh derasnya pengaruh K-culture ini.

 

Walaupun demikian, sampai tahun 2010an keatas, tidak pernah ada terbersit keinginan untuk berkunjung ke negara ini. Saat itu, preferensi destinasi favorit istri saya adalah ke barat khususnya tanah suci yang tidak bosan2nya selalu menjadi the one and only place she want to visit… kalo bisa berkunjung sekali setiap tahunnya. Sementara saya sendiri lebih menyukai untuk bisa berkunjung ke negara2 tetangga dekat, tanpa perlu repot ngurus visa dan kalau bisa yang taraf ekonominya lebih rendah daripada negara sendiri. Biar bisa mengerti dan merasakan bagaimana senang dan puasnya wisatawan mancanegara berwisata di negeri kita. Ternyata betul, ketika nilai mata uang kita lebih baik daripada mata uang lokal, kepuasannya adalah dengan bisa melakukan/mendapatkan banyak hal dengan biaya yang lebih murah. Kalo wisata di negara yang lebih maju kan seringkali happy-nya cuman saat travelling, pas pulang, hitung2 expenses biasanya mulai terasa agak ada perasaan nyelekit hahaha… seneng siiiih tapi sakitnya itu disini (sambil nunjuk dompet).

 

Singkat cerita, pertengahan tahun tiba2 istri laporan kalo dia sudah booking tiket untuk ke Korea di akhir tahun ini, tepatnya bulan November. Sengaja ambil akhir tahun katanya karena mengejar musim gugur alias autumn dan sudah diperhitungkan juga dengan kalender akademik sekolah anak2 dimana waktunya pas setelah masa UTS lewat. Waduh niat banget ini nyama2in supaya dapat suasana Korea sebagaimana yang tergambar di film2 drama Korea, percuma katanya kalo ke Korea bukan di musim favorit itu dan kalau menunggu saya yang inisiatif mungkin baru lama rencana jalan2 ini terealisasi.

 

Walaupun agak menyesalkan harga tiket yg dibeli, seharusnya bisa lebih murah, tetapi dalam hati saya mengakui itu keputusan yg tepat. Hanya saja, saya katakan, urusan tur wisata, saya yang atur, lagipula pastinya saya harus siapkan budget-nya, jadi saya minta istri memberikan tempat dan lokasi tujuan yg diinginkan dan saya akan atur rencana perjalanan layaknya tour & travel… sekali2 melakukan perjalanan secara mandiri, dimana semua direncanakan, ditentukan dan dijalankan sendiri… orang bilang perjalanan ala backpacker… buat saya, lebih tepatnya mungkin independent travelling… kalo backpacker kan image-nya seolah serba murah tapi kalo independent traveler ya ga mesti nyari yang murah, yang penting reasonable dan independent bisa mengatur kemana kita pergi sesuai keinginan sendiri dengan memilih kenyamanan yang juga paling sesuai dengan ukuran kenyamanan kita sendiri.

 

Pekerjaan rumah pertama setelah tiket sudah dibeli adalah, mengajukan visa! Konon mengajukan visa ke Korea Selatan ini sulitnya minta ampun. dari hasil browsing dan tanya sana sini memang sepertinya demikian. Beberapa informasi bahkan banyak juga yang pengajuan visanya ditolak tanpa alasan yang jelas. Apalagi setelah dipelajari segala persyaratan untuk mengajukan visa, baik yang melalui perantara maupun yang diajukan sendiri, ternyata sama2 harus lengkap dan tepat. Maka supaya tidak mengeluarkan biaya yang tidak perlu, semua kelengkapan persayaratan dan pengurusan visa dilakukan sendiri. Alhasil hanya untuk mengurus visa, banyak pintu meja birokrasi yang harus saya lalui. Singkat cerita, nyaris 2 bulan lamanya saya mengurus visa yang Alhamdulillah bisa berhasil. Sekedar tips, bagaimanapun beratnya persyaratan atau informasi mengenai pengajuan visa Korea, cobalah berpikir positif dan tempatkan diri anda di pihak mereka yang menilai layak/tidaknya anda diberi visa. Salah satunya misalnya dengan menyiapkan dana yang banyak di rekening bank anda, buat diri anda bonafid! Hati2, jangan sekali2 dipakai mindset jalan pintas ala ‘lokal’ yg tdk mau repot dan ‘semua bisa diatur’ karena bisa menyesatkan. Go with the flow... Ikuti saja semua ketentuan dan prosedur yg ada sebaik2nya, lagi pula kita yang mau ke negara mereka maka ikuti lah semua apa yang menjadi persyaratannya.

 

Pekerjaan berikutnya yang tidak kalah pentingnya setelah visa ditangan adalah mendetailkan itinerary, bagaimanapun itinerary atau rencana perjalanan adalah pegangan kita selama di negara orang. Dengan itinerary yg baik, tidak ada waktu dan rencana yg terbuang percuma. walaupun di lapangan kadang diperlukan penyesuaian namun dengan itinerary yg di persiapkan dengan baik. target rencana perjalanan bisa terpenuhi. Memang saat pengajuan visa kita harus sudah siap dengan itinerary, dan bila perlu dengan bukti booking penginapan selama disana. Namun yang saya maksud adalah rencana perjalanan yg rinci, dimana kita sudah tahu kapan dimana kita akan melakukan apa selama berapa lama dan dengan biaya berapa. Umumnya orang bilang, itinerary yg terealisir 80-90% adalah sebuah kesuksesan dalam perjalanan. Bayangkan, tanpa itinerary, tolak ukur kesuksesan perjalanan jadinya apa? Pengalaman? Mungkin… Tapi bukankah semakin banyak target tujuan yang berhasil di kunjungi semakin kaya pengalamannya? Dan dengan rencana perjalanan yang baik, pastinya semakin banyak tempat yang bisa dikunjungi.

 

Terakhir, setelah semua persiapan dilakukan. Saya juga mulai untuk lebih meresapi apa yang ada di negara tujuan. Channel2 TV yang saya tonton pun mulai berganti ke channel TV korea, mulai buka2 buku bahasa Korea. Bukan untuk langsung bisa menguasai bahasanya tapi paling tidak jadi mengetahui frasa2 penting apa yang sebaiknya diketahui.  Salah satu contohnya adalah frasa kalimat pembuka bila bertemu seperti judul tulisan ini.  Tentunya kita pun akan lebih respect bila bertemu dengan orang asing yang bisa sedikit bahasa ibu kita bukan? Walaupun sekedar menyapa dan mengucapkan terimakasih. Setelah itu dijamin akan lebih mudah memulai percakapan dan bila meminta bantuan akan lebih lancar.

 

Begitupun dengan mulai melihat dan membaca literatur2 tentang Korea,  membuat kita menjadi lebih mengenal negara tujuan. Sehingga perjalanan tidak hanya terjadi secara fisik namun juga secara mental-spiritual, dijamin lebih memperkaya wawasan. Sampai2 saya seolah jadi diingatkan sebuah pengetahuan lama dimana Korea ini sebenarnya di satu masa pernah berada di kondisi yang sama dengan negara kita, Indonesia. Bahkan pola2 pembangunan Indonesia pun pernah mencoba mengikuti jejak kemajuan negara Korea, sampai sama2 kita terkena krisis ekonomi tahun 1998 yg lampau. Namun berbeda dengan negara kita tercinta, sejak 1998 justru negara Korea semakin melejit menjadi fenomena dunia. Sebuah negara yang dulu menjadi penerima donor menjadi negara yang sekarang justru menjadi pendonor. Luar biasa bukan?! Semakin membuat kita lebih tertarik ingin mengenal kenapa negara ini bisa sedemikian fenomenal? Tidak terbayang bagaimana rasanya berada di tengah2 masyarakat negara tersebut, melihat, merasakan kemajuannya dan berusaha menarik pelajaran darinya.

Orientasi Medan di Singapura

SANYO DIGITAL CAMERA

Sebuah ruangan seperti barak yang berkapasitas 10 ranjang bertingkat ditunjukkan oleh resepsionis hotel.  Kapasitas 20 orang tempat tidur itu kebanyakan telah  diisi oleh orang India. Terdapat dua kamar mandi terpisah diluar, dengan sebuah teras kecil yang berfungsi sebagai tempat untuk merokok. Setelah melihat fasilitas menginap seharga 15 dollar per malam itu, seorang calon tamu langsung melengos pergi meninggalkan hotel mencari tempat lain.

“Kumaha arek meuting di dieu?” tanya Dudung.

“Dimana we lah sare mah,” ujar Bar santai.

“Hmm..hayu wae..” Asnur mulanya agak ragu  tapi setuju juga.

Diluar kebiasaan tidur di bandara Changi kala transit, kali ini mereka memang bermaksud menginap di kota. Baru esok pagi jadwal penerbangan lanjutannya. Sebetulnya untuk menghemat uang akomodasi, protapnya adalah menginap di bandara. Namun terkadang protap itu juga dilanggar demi mendapat gambaran tentang kota yang dikunjungi. Walau sekedar melihat-lihat saja bisa dengan tour gratis yang disediakan dari Changi, namun jelas suasananya akan berbeda dengan langsung berjalan kaki di kota.  The swiftest travell  is he who goes on foot, seperti kata Thoreau.

“Sakali-sakali mah kudu jalan-jalan ka kota ngarah apal,” ujar Bar bersikeras.

Menuju ikon kota Singapura yang terkenal  seperti Marina Bay dan Merlion Park mudah saja dari Changi. Mereka tinggal naik MRT (mass rapid transit) East West Line turun di Stasiun City Hall atau Rafless Place. Setelah puas motret-motret sejenak  di Merlion Park, mereka hanya melihat-lihat dari jauh saja  Marina Bay sebagai ikon kota ini.

“Ciak heula diditu,” ujar Dudung yang perutnya  keroncongan menunjuk restoran McDonald di luar stasion CityHall. ‘Ciak’ adalah istilah mereka bila sudah terlalu lapar. Karena penerbangan Tiger Airways pagi dari Bandung, mereka tak sempat mengisi perut. Walau agak terlambat disebut sarapan, masih keburu juga mendapatkan paket breakfast yang agak ekonomis yaitu sebuah burger dan kopi. Setelah energi terisi, mereka kembali naik MTR East West Line yang sama dan turun di stasiun Bugis. Di daerah sinilah mereka bermaksud mencari tempat untukmenginap, sekaligus megunjungi beberapa spot yang menarik di kawasan Little India.

Beberapa tempat yang menarik di kawasan ini antara lain Mustafa Center, sebuah mall yang buka 24 jam dengan suasana bernuansa India di sekitarnya. Mesjid Sultan, salah satu mesjid besar di Singapura dengan sejarah yang panjang  juga terdapat disini. Jangan lupa persiapkan  lidah India bila ingin hang-out disini, karena rumah makan becitarasa India paling banyak terdapat disini, seperti nasi biryani dan roti cane.

Setelah orientasi medan sehari  itu di Singapura, mereka berkesimpulan destinasi utama disini  dapat terbagi ke dalam empat wilayah yaitu sekitar Merlion park,  Little India, Orchard Road dan Sentosa. Mau selfie di patung Merlion turun di City Hall, mau makan nasi biryani di Little India turun di Bugis, untuk sosialita shopping turun di Orchard, sementara Sentosa adalah pulau tersendiri yang terpisah dari daratan utama. Dari empat kawasan destinasi itu hanya Merlion Park dan Little India yang mereka rasa perlu dikunjungi kali ini. Bagi mereka yang lebih penting adalah menanamkan mental map tentang Singapura kepada alam bawah sadar masing-masing. Bila diperlukan, sewaktu-waktu kesadaran itu tinggal dipanggil lagi andai salah satu dari mereka kembali travelling kesini.

“Moal ka Ochard jeung Sentosa?” tanya Dudung.

“Ah moal, nu penting mah geus ka ormed kota na,” sahut Bar. Pada dasarnya mereka memang tak terlalu gampang terpesona dengan landscape kota namun mudah tersentuh oleh keindahan alam. Uhuk..uhuk, yang jelas memang tak cukup SGD di dompet untuk dibelanjakan, hanya tersisa receh buat bergerak dari stasion MTR ke stasion MTR lainnya.

Saat bangun pagi keesokan harinya, tampak muka Asnur sedikit kusut. Seperti kurang bisa beraklimatisasi dengan suasana hotel.

“Teu tibra sare..,” keluh Asnur resah  ,”orang India nu di kasur luhur kerek na mani tarik.”

Yang lebih biasa backpackeran senyum-senyum saja. Mereka sudah jarang terganggu tidur pulasnya oleh keributan apapun. Hanya udara dingin yang menusuk kulit yang bisa mengganggu tidur.

“Kalem..engke deui mah tarpak na di Changi we kawas biasa,”ujar Dudung.

“Enya, leuwih tibra sare di Changi,” Asnur mengakui ,”bae distelling jam 3 subuh oge.”

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (Tamat)

tradisi & icon di Luang prabangLuang Prabang, sebuah kota yang menjadi salah satu andalan bagi industry wisata di Laos. Sebuah kota yang ramai oleh para wisatawan, baik domestic maupun mancanegara, sebuah kota yang sadar wisata. Saat tiba di pusat kota Luang Prabang, kami langsung menuju sebuah café yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Seteleh memesan minuman wajib yaitu kopi panas, kami pun duduk duduk sambil melihat sekeliling. Karena kursi kursi café itu terletak di halaman sebuah travel agent, maka kami bisa leluasa memandang aktivitas sekitar. Terlihat di seberang jalan, night market yang merupakan salah satu hiburan andalan di kota ini sudah mulai digelar, lampu lampu jalan warna warni menyemarakkan suasana sekitarnya. Sambil tentunya ber-wifi-an, dan akhirnya dapat mengabari kondisi kami kepada keluarga & rekan di luar sana sambil menikmati cerahnya suasana senja.

Malam itu kami menginap di sebuah guest house yang terletak di jalanan sekitar area night market, Sebuah guest house yang nyaman berlantai parquette. Sehabis mandi kami lalu menelusuri jalanan Luang Prabang, dari mulai area night market sampai kawasan backpacker di pinggiran sungai Mekhong.

Luang Prabang banyak dihiasi oleh bangunan bangunan khas Eropa, karena memang Laos adalah bekas jajahan Perancis, wajar jika kota ini ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Sayangnya bangunan antik tersebut banyak yang kurang terawat, catnya kusam dan mengelupas, sungguh sangat disayangkan, padahal bangunan bangunan tersebut bisa menjadi daya tarik wisata yang unik.

Keunikan tempat ini sangat jelas bisa dinikmati pada pagi hari. Usai menyaksikan upacara sedekah biksu yang telah menjadi bagian dari atraksi turis, sebuah moment dimana para biksu berbaris mengambil sedekah dari para turis dan penduduk setempat. Setelah itu kami berjalan menghirup udara segar pagi hari sambil menikmati suasana kota.

Menjelang malam, kami sudah standby di southern terminal Luang Prabang, kali ini kami berencana akan bergerak menuju Vientiane menggunakan Sleeper Bus atau Bus malam kelas sleeper dengan harga ticket 150.000 KIP/ orang, dengan pertimbangan menghemat biaya penginapan. Para backpacker dalam melakukan perjalanannya sering kali menggunakan bus malam baik itu kelas VIP atau Sleeper yang tempat duduknya dapat disetting sebagai tempat tidur dengan maksud menghemat biaya penginapan. Jadi biasanya saat sampai ditujuan mereka akan menghabiskan siang harinya untuk mengeksplore kota.

Saat kami sedang duduk duduk menunggu waktu keberangkatan, tiba tiba ada seorang bule menyapa…”hey guys, where are you going?” . Wow rupanya si turis Italia itu yang tempo hari bersama kami di terminal Luang Prabang, selanjutnya kami pun terlibat sedikit percakapan…rupanya dia juga akan bergerak meninggalkan Luang Prabang menuju Vientiane dan dari situ akan terus menerobos menuju Vietnam…wah, asyik juga nih perjalanan si italiano ini….bikin ngiler hehehehe.

Sementara rencana kami dari Vientiane akan terus menuju Nong Khai, kota perbatasan Laos-Thailand dan melanjutkan ke Bangkok untuk kemudian pulang ke tanah air. Akhirnya sesuai jadwal keberangkatan yaitu pukul 20.45, bus kami pun bergerak menuju Vientiane.

Sekitar pukul 04.30 AM kami tiba di Northern Terminal Vientiane, hari masih gelap & udara masih terasa dingin walau tidak sedingin saat di Luang Namtha. Kami pun turun dan duduk duduk sejenak di sekitar terminal sambil sedikit melakukan orientasi medan. Setelah menghabiskan sebatang rokok, saya pun beranjak mandi di toilet terminal setelah sebelumnya rekan saya Barbar mandi terlebih dahulu dengan membayar 5000 KIP. Sekitar pukul 06.00 AM kami pun melaju menggunakan tuktuk menuju pusat kota.

Vientiane adalah ibu kota Laos yang terletak di Lembah Mekong. Vientiane merupakan bagian dari prefektur Vientiane (kampheng nakhon Vientiane) dan terletak di perbatasan dengan Thailand. Penduduknya di tahun 2005 diperkirakan berjumlah 723.000 jiwa (Wikipedia).

Tidak berapa lama kami tiba di pusat kota Vientiane, jalanan masih sepi toko toko belum lagi buka, seperti halnya di Thailand atau Vietnam di sini pun toko buka rata rata pukul 10.00 pagi. Dari kejauhan di taman kota saya melihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas olah raga. Kami pun melangkah ke arah taman yang letaknya dipinggiran sungai Mekhong tersebut dan mengambil beberapa foto.

Matahari mulai meninggi saat kami menjelajahi pusat kota, panas mulai terasa menyengat. Kami pun memasuki sebuah café untuk sekedar istirahat & berteduh sambil memesan minuman dingin. Sementara saya terkantuk kantuk dibuai sejuknya semilir AC di dalam café itu, rekan saya Barbar membuka buku Lonely Planet tentang Laos yang dibawanya saat berangkat. Tiba tiba dia menunjuk pada sebuah halaman di buku Lonely Planet tersebut di situ tertera judul “ Classic Routes” sebuah jalur klasik yang sering dilalui para backpacker yang di mulai dari utara Thailand kemudian menyebrang ke Laos selanjutnya menyusuri menuju selatan dan itu ternyata jalur yang kami lalui.

Setelah badan sedikit segar, kami pun melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Laos menggunakan tuktuk dan kami meminta kepada supirnya sebelum ke perbatasan untuk diantar ke Monumen Patouksai & Museum Sisaket atau Wat Sisaket yang merupakan icon dari kota Vientiane.

Sesampainya di pos imigrasi perbatasan Laos saya liat bejibunnya orang yang antri untuk melintasi perbatasan menuju Thailand. Hal ini sangat jauh berbeda saat kami melintasi perbatasan Thailand menuju Laos. Antrian panjang pun terjadi saat kami memasuki pos imigrasi Thailand di kota Nong Khai. Di kota ini lah kami mengakhiri perjalanan karena sore harinya kami menuju Bangkok untuk kemudian kembali ke tanah air.

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (2)

terminal Luang namtha pagi hariAkhirnya kami menemukan sebuah guest house untuk rehat malam itu di belakang terminal Luang Namtha setelah sebelumnya nongkrong sepeminuman kopi di sebuah kedai di pinggiran terminal. Suhu di Luang Namtha lumayan dingin bahkan saat di dalam kamar sekali pun. Fasilitas water heater yg terdapat di dalam kamar mandi kami tidak berfungsi membuat saya enggan mandi malam itu. Setelah sekedar bersih bersih saya pun mulai terlelap dibuai mimpi.

Kabut pagi yang tebal masih menyelimuti seputar terminal saat kami beranjak meninggalkan kamar guest house. Setelah mengisi perut dengan sandwich tuna, karena memang di sekitar situ susah untuk mencari nasi walaupun pada daftar menu tertera Fried Rice and Egg, Fried Rice and Chicken, dll tapi ketika kami memesan, nasinya tidak ada. Jadi saya pikir yang cukup mengalas perut untuk sarapan saat itu ya sandwich ditemani secangkir kopi hitam panas plus welcome drink teh khas laos…hmmm lumayan buat menghangatkan perut. Setelah ritual pagi beres, kami pun bergerak menuju peron penjualan ticket, rencananya hari itu kami akan meneruskan perjalanan menuju Luang Prabang.

Rupanya kami baru menyadari kalau uang KIP kami mulai menipis dan kami tidak tau lokasi ATM terdekat, sementara yang ada di kantong kami uang Baht Thailand. Maka setelah melihat schedule keberangkatan & daftar harga bus menuju Luang Prabang yang tertera pada plang di atas peron, saya pun mencoba bertanya ke petugas penjualan ticket…”I want buy ticket to Luang Prabang, can I pay with bath?” (ini bahasa inggris tarzan-pen). Si petugas penjual ticket malah menunjuk ke arah bus yang terparkir di depan, saya tentu bingung…kembali saya ulangi pertanyaan tadi, dan kembali si petugas menunjuk ke arah yang sama. Hmmm…saya baru ingat, logat penyebutan “Bus” di Laos sama dengan di Thailand atau Vietnam yaitu “Bat”. Jadi mungkin mereka kira saya menanyakan bus yang menuju Luang Prabang. Akhirnya saya menjelaskan, kembali dengan bahasa Inggris ala kadarnya…” I mean…I want buy ticket to Luang Prabang with Baht Thailand, not KIP. Dan akhirnya si penjual ticket mengerti, lalu kami kami pun mengeluarkan 400 Baht per orang untuk bus yang menuju Luang Prabang.

Bus yang kami tumpangi kali ini lebih mirip dengan mini bus travel, berbeda dengan bus kami sebelumnya yang membawa kami dari Bokeo ke Luang Namtha. Kali ini agak lebih nyaman, walaupun tetap sama dengan bus sebelumnya, apabila bus menjemput penumpang yang menunggu di perjalanan supirnya selalu turun dan ngobrol ngobrol dengan penduduk di sekitar lokasi penjemputan, saya jadi berfikir, jika di Bandung kita lama di perjalanan karena terhambat macet, kalau di sini karena supirnya banyak ngobrol di setiap pemberhentian hehehehe. Selama melakukan perjalanan di sini saya melihat lalu lintas tidak ramai bahkan relative sepi jauh dari kondisi macet. Kemacetan paling terjadi karena ada perbaikan jalan sehingga diharuskannya buka-tutup jalan untuk satu jalur, dan itu pun tidak lama seperti saat melewati wilayah Oudom Xai, kota antara Luang Namtha dan Luang Prabang.

Terik mentari siang itu mengiringi perjalanan kami menuju Luang Prabang, di sebelah kanan dan kiri kami pegunungan & lembah hijau, pemandangan khas wilayah tropis menemani kami. Namun di hampir lembaran dedaunan terselimuti debu debu tipis, sepertinya hujan sudah lama tidak menyapa wilayah ini. Apalagi saat memasuki wilayah Uodom Xai, debu debu tebal dari jalanan yang sedang diperbaiki berhamburan menghalangi pandangan di depan bus yang kami tumpangi. Di Dalam bus terlihat beberapa penumpang terlelap tidur, diantaranya ada turis asing yang rupanya sedang melancong juga.

Sembilan jam sudah kami lewati, hingga akhirnya kami tiba di terminal Luang Prabang tepat pukul 6.00 PM, cuaca cukup cerah sehingga kami menyangka saat itu masih pukul empat sore. Kami pun lalu turun dari bus, seperti biasa para sopir tuktuk mendatangi para turis termasuk kami, sambil berteriak “Center, sir!! Center sir!!”. Maksudnya menawarkan angkutan menuju pusat kota tempat para pelancong berkumpul.
Seorang turis asing yang tadi satu bus bersama kami menawarkan untuk share ongkos tuktuk agar lebih murah, ini merupakan hal biasa bagi para backpacker, berbagi ongkos transport untuk menghemat budget, kami pun menyetujui. Setelah sebelumnya Barbar menemukan ATM dan akhirnya kami memiliki KIP yang cukup, tuktuk pun melaju menuju pusat kota dengan ongkos 20 ribu KIP per orang.

Di perjalanan menuju pusat kota, saya sedikit berbasa basi dengan turis asing tadi yang ternyata berasal dari Italia, rupanya dia juga melakukan perjalanan yang sama dari Thailand menyebrang ke Laos. Dia bilang “Nanti di Luang Prabang ingin langsung cari guest house yang ada wifi nya” sambil tersenyum. Rupanya pikiran kita sama, semenjak memasuki Laos kita tidak menemukan wifi dan otomatis kita tidak bisa kontak dengan keluarga & rekan untuk sekedar memberi kabar.

Kata “Get Lost” yang sering menjadi motto para backpacker yang artinya kurang lebih “menghilangkan” diri atau “menyesatkan” diri kami alami juga saat memasuki Laos walaupun tanpa kesengajaan dalam arti saat itu kami memang tidak menemukan wifi untuk bisa kontak dengan keluarga dan rekan di luar sana, kalaupun ada wifi saat di guest house di Luang Namtha signalnya sangat parah. Berbeda mungkin dengan para maniak backpacker yang memang sengaja “menghilangkan” diri tanpa membawa gadget atau alat komunikasi lainnya. ‪#‎Bersambung‬

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (1)

Aroma babi panggang menyergap kami saat tiba di terminal bus Luang Namtha, Laos malam itu. Waktu menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Hari sudah gelap, terminal kota kecil itu mulai sepi, rupanya hanya bus yang kami tumpangi yang terakhir singgah.

Beberapa warung yang menjajakan makanan khas setempat mulai bebenah untuk tutup. Saya bersama rekan saya Bar bar celingukan sedikit bingung, betapa tidak…kami baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, tentu belum sempat kami untuk sekedar orientasi medan.
Dengan menyandang backpack, kami menyusuri jalanan yang gelap, beberapa kedai makanan di sepanjang jalan masih terlihat ramai dan itu setidaknya bisa “menemani” kesendirian dan keterasingan kami. Jalanan yang kami susuri mengingatkan kami akan jalur pantura di pulau jawa…besar dan banyak berseliweran truk truk container.

Kota Luang Namtha ini adalah kota kedua yang akan disinggahi dalam itenary kami, setelah malam sebelumnya kami menginap di Chiang Rai, sebuah kota yang terletak di utara Thailand. Memang pada backpackeran kali ini, kami merencanakan trip dengan menggunakan jalur darat dengan melintasi dua negara.

Perjalanan kami awali dari Bangkok dengan menggunakan penerbangan jam 10.00 AM dan tiba di bandara Chiang Rai sekitar pukul 14.00. Perjalanan kami lanjutkan dengan taxi menuju pusat kota. Sekitar pukul 15.30 kami tiba di terminal bus Chiang Rai.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu daerah, tradisi kami adalah mencari café yang ber – free Wifi untuk sekedar ngopi dan ber- Wifi gratisan heheheehe, maklum pelancong harus sebisa mungkin meminimalisir budget.

Setelah puas kami ber-Wifi an, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari guest house. Kota Chiang Rai ini merupakan kota kecil yang nyaman, jalanannya luas dan tidak ramai oleh lalu lintas. Tidak berapa lama kami menemukan guest house yang letaknya di jalan kecil seharga 700 bht untuk kamar yang kami sewa dan kami pun terus rehat sejenak, karena kami berencana akan mengeksplorasi kota tsb malam nanti. Karena menurut informasi di kota ini tiap malam selalu ada “nait basal” (bahasa penduduk setempat) yang maksudnya Night Bazar atau sejenis pasar malam.

Sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, kami mulai bergerak menyusuri jalanan kota Chiang Rai yang asri menuju Night Bazar yang berlokasi di sekitar terminal. Tidak berapa lama kami tiba di Night Bazar, di situ banyak sekali barang dagangan dijajakan dari mulai makanan, pakaian sampai barang barang souvenir. Selain itu ada juga pengamen jalanan yang menampilkan keahliannya dalam memainkan alat music biola. Semarak sekali suasana di tempat itu.

Setelah puas kami mengelilingi tempat itu, kemudian kami kembali menyusuri jalanan menuju “Clock Tower”, sebuah menumen yang menjadi icon kota Chiang Rai. Tugu yang berornamen khas Thailand yang di puncaknya terdapat jam yang besar. Di sekitar Clock Tower ini banyak bertebaran café dan kedai tempat para turis local maupun mancanegara berkumpul. Cuaca cerah malam, semakin menambah semarak suasana disekitar clock tower tersebut.

Sekitar pukul 11 malam kami kembali ke guest house, kami berniat untuk beristirahat untuk memulihkan stamina dan mengumpulkan energy, karena besoknya kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah menyebrang ke perbatasan Thailand-Laos menggunakan bus dan berniat singgah di kota Luang Namtha (Laos).
Esok paginya kami sudah mulai berkemas dan bersiap untuk check out untuk kemudian berangkat menuju terminal. Sekitar pukul 09.30 AM kami sudah berada di dalam bus menuju kota perbatasan Thailand, Chiang Kong. Penumpang di dalam bus selain masyarakat local juga ada turis turis asing yang rupanya punya tujuan sama, menyebrang ke Laos.
Dua jam berlalu, hingga akhirnya kami tiba di sebuah halte di pinggiran sungai Mekong. Saat turun dari bus kami langsung dikerubuti supir tuk tuk atau sejenis beca bermotor. Mereka menawarkan untuk mengantarkan kami menuju pos perbatasan, rupanya memang tuk tuk ini adalah satu-satunya kendaraan yang mengantar para turis menuju border control atau pos imigrasi. Kemudian kami pun melaju menggunakan tuk tuk bersama dua orang turis asing.

Setelah passport kami diperiksa dan menyerahkan formulir imigrasi, kami pun menuju perbatasan Laos dengan menggunakan bus seharga 25 Baht yang sudah menunggu di depan pos Border Control. Tidak kurang dari setengah jam setelah melewati Friendship Bridge kami tiba di perbatasan Laos. Sekedar informasi, beberapa tahun yang lalu menurut Barbar rekan saya yang pernah mengunjungi Laos lewat jalur darat saya, antara perbatasan Thailand & Laos dihubungkan dengan kapal Ferry sebelum dibangun “Jembatan Persahabatan”.

Memasuki kantor imigrasi Laos, seperti biasa setelah mengisi formulir imigrasi dan passport kami distempel, kami pun mulai menginjakkan kaki di wilayah yang berbeda tersebut. Saat keluar kantor imigrasi, beberapa supir tuk tuk mengerubungi kami, menawarkan jasa angkutan mengantar kami ke kota Bokeo, sebuah kota yang terletak di dekat perbatasan Laos.
Kami pun lalu berangkat menggunakan tuktuk bersama beberapa penumpang local dengan ongkos seharga 50 ribu KIP (mata uang Laos). Rupanya ada kesalahpahaman antara kami & supir tuktuk yang tidak bisa berbahasa Inggris, kami mengira di tempat yang kami tuju akan ada bus antar kota. Tapi ternyata, tempat yg kami datangi itu adalah pusat kota Bokeo, dan tidak ada bus di situ. Bus bisa di dapat di terminalnya langsung. Dengan dibantu penterjemah dadakan yaitu seorang ibu-ibu yang menumpang bersama kami yang bisa berbahasa Inggris akhirnya supir tuktuk bersedia mengantar kami menuju termina Bokeo dengan meminta ongkos tambahan tentunya…hehehe

Bokeo merupakan sebuah provinsi di Laos yang memiliki luas wilayah 6.196 km² dan populasi 149.700 jiwa (2004). Ibu kotanya ialah Ban Houayxay. Saya melihatnya sebagai kota kecil yang semi berkembang. Ketika kami dibawa oleh supir tuktuk ke pusat kotanya, saya melihat seperti wilayah pasar Pangalengan di Jawa Barat, sangat bersahaja…Ketika saya memasuki pasar, tidak terlihat seorang pun di sana yang merokok, padahal biasanya di pusat pusat keramaian pasti ada saja orang merokok seperti halnya di Saigon, Bangkok,dll di kota2 di negara yang pernah saya kunjungi.

Begitu pula saat di terminal, saya melihat hanya turis turis asing yang merokok. Awalnya saya mengira mungkin ada aturan yang melarang merokok di tempat umum seperti halnya di Singapore atau Bangkok, sehingga saat saya akan merokok saya bertanya dulu kepada penduduk local, dan mereka memperbolehkan. “Hmmm sebuah kebiasaan yang sehat hehehehe hidup tanpa rokok ..” itu yang ada di benak saya. Tapi ada satu kebiasaan penduduk kota ini yang kurang “berkenan” bagi saya yaitu meludah sembarangan, awalnya saya mengira hanya beberapa gelintir penduduk saja saat di terminal yang seperti itu, tapi saat di dalam bus menuju Luang Namtha, kondektur bus atau lebih tepatnya kenek bus membagikan kantong kresek yang akhirnya saya tahu kalau itu untuk penumpang yang mabuk darat atau ingin meludah…maka jadilah sepanjang perjalanan kami “dihiasi” dengan sura suara…”hoooek cuh!” (icon wajah ijo).

Dan yang lebih “Keren” lagi, mungkin karena tidak adanya shelter atau rest area sepanjang perjalanan jika penumpang yang ingin buang air kecil, bus akan berhenti di bedeng bedeng pinggir jalan yang saya lihat banyak pembuangan sampahnya lalu para penumpang pun secara masal baik itu pria maupun wanita “beser” di situ…dan tidak lupa setelah itu mereka akhiri dengan “hooeeek cuh!”

Seperti halnya asumsi saya tentang jalanan kota di Laos yang penuh debu, saat memasuki Bokeo banyak lahan lahan tanah merah yang berdebu kami lewati. Walaupun begitu wilayah pusat kotanya tempat para backpacker berkumpul terlihat agak sedikit nyaman bernuansa pedesaan di pinggiran sungai Mekhong. Tapi saat memasuki terminal yang letaknya di tengah tegalan tandus berdebu, Barbar rekan saya berkata “ Jiga di pilem koboy nya? Asa di Meksiko” wkwkwkwwkw

Setelah membayar ticket bus seharga 250 Baht, sekedar informasi di Laos selain mata uang KIP, Bath juga bisa diterima di sana selain USD atau mata uang Dollar yang lain kecuali Rupiah huuaaaaa (menyedihkan sekali…Rupiah oh Rupiah). Dan tepat pukul empat sore kami pun berlalu menuju Luang Namtha yang berjarak 180 Km dari Bokeo. ‪#‎Bersambung‬

Occupy Victoria Park, Occupy Hong Kong

Bila kita mengunjungi taman-taman kota Hong Kong di hari weekend maka akan segera terasa suasana ke-Indonesiaannya. Weekend adalah waktu dimana para tenaga kerja Indonesia (TKI) di bekas koloni Inggris itu keluar dari sarang-sarangnya untuk berkumpul dan silaturahmi dengan sesama perantau dari tanah air. Tak heran bila telinga kita akan familiar dengan bahasa Jawa dan Indonesia  yang mereka gunakan untuk berkomunikasi. Memang paling banyak tenaga kerja wanita yang ada di Hongkong berasal dari daerah Jawa seperti Klaten, Pekalongan, Tegal dll. Jadi tak heran bila boso jowo yang kental akan sering terdengar.

Selain tenaga kerja dari Indonesia, juga banyak yang berasal dari Filipina memanfaatkan taman sebagai tempat berkumpul. Namun tak pelak lagi bahwa tenaga kerja dari Indonesia lah yang keberadaannya  lebih mendominasi di taman-taman kota seperti Kowloon Park atau Victoria Park.

Hari Minggu pagi saya sengaja menuju Causeway Bay yang merupakan stasiun subway terdekat dari Victoria Park. Mulai dari stasiun subway yang saya masuki di Tsim Sha Tsui, keberadaaan pekerja migran asal Indonesia sudah mulai terasa dan arusn kedatanganya semakin deras saat mendekati Causeway Bay.  Walaupun kebanyakan berbahasa Jawa yang tak saya mengerti, percakapan mereka membuat hangat pagi yang dingin di bulan Januari.

Hari ini sudah kesekian hari sejak saya meninggalkan tanah air dan mulai tersentil gejala homesick karena masih seminggu lagi waktu untuk pulang. Tiba-tiba saya merasa tersipu bahwa perjalanan sekian hari itu tak ada apa-apanya dibanding  para TKI yang mungkin bertahun-tahun tak pulang ke kampung halaman.  Kamar tempat kami menginap yang sempit juga tak ada apa-apanya dibandingkan ruangan yang disediakan oleh induk semang para TKI untuk  beristirahat…disitu kadang saya merasa sedih..

Hong Kong  hanya memiliki luas 1.104 km persegi sehingga tak memiliki banyak ruang tersisa untuk warga kotanya (bandingkan dengan Indonesia seluas 1,9 juta km persegi). Kepadatan penduduk sebanyak 6.544/km persegi  dengan harga property yang membubung tinggi. Itulah sebabnya para buruh migran tak punya banyak kesempatan untuk memiliki tempat yang representative kala bekerja disini. Paling banter mereka menumpang di apartemen majikannya sehingga hanya kebagian tempat yang tak seberapa, mungkin hanya cukup untuk tidur saja.

Keberadaan mereka seatap dengan induk semang juga membuka peluang terhadap kekerasan, jam kerja yang panjang dan pengambilan hak-hak sebagai buruh migran. Banyak kasus memilukan yang dialami oleh para TKI di Hong Kong, namun para wanita besi itu tak pernah menyerah demi keluarga yang mereka tinggalkan di tanah air. Beberapa nyawa telah melayang  korban kekerasan majikannya, namun kini para TKI dengan berani menuntut balik para majikan yang bertindak diluar batas kemanusiaan.

Perjuangan para TKI di negeri orang sungguh membuat terharu dan sebagai pelancong sungguh saya merasa terkesima. Awalnya saya merasa lucu, sedikit merendahkan dan merasa berbeda dari para TKI yang bergerombol di bawah jembatan, di taman, di halaman mesjid itu.  Lalu kita akan dipaksa berpikir, apa yang kita sumbangkan untuk tanah air dengan melancong selain membuang devisa. Betapa tak sebanding dengan perjuangan tak kenal lelah para buruh migran yang dipaksa survival di negeri orang, bertahan mati-matian dalam kondisi ekstrim dan menyisihkan pendapatannya untuk dikirim ke tanah air. Dalam transaksi internasional, hal itu menjadi devisa bagi negara tujuan.

Saya menyesal sempat berpikir seperti itu dan meninggalkan Victoria Park dengan perasaan masygul . Sejujurnya, saya ingin memberi hormat pada setiap buruh migran yang ada di Victoria Park, Kowloon Park dan tempat-tempat lainnya di Hong Kong. Mereka pantas menerimanya. @districtonebdg

foto : internet