Megahnya Komplek Candi Angkor Wat

Angkor-WatWisatawan yang ingin mengunjungi Angkor harus terlebih dahulu menuju kota Siem Reap. Tidak susah menuju ke kota tua ini karena sudah ada penerbangan langsung dari berbagai kota namun bagi yang lebih suka melakukan perjalanan darat, Siem Reap juga bisa dicapai  dari Bangkok (9 jam ) atau Phnompenh (6 jam). Selain lebih hemat, perjalanan memakai bis  antar negara akan menjadi pengalaman tersendiri bagi yang belum pernah merasakannya. Bila ingin merasakan sensasi lebih, kita dapat menumpang kapal motor menyusuri sungai Tonle Sap dari Phnompenh menuju Siem Reap. Perjalanan menyusuri sungai  ini memakan waktu enam jam.

Tarif masuk Angkor Wat cukup mahal yaitu USD 20 untuk satu hari, USD 40 untuk tiga hari dan USD 60 seminggu. Bila ketahuan tak memiliki tiket masuk maka dikenakan denda USD 100. Waktu terbaik mengunjungi candi Angkor Wat adalah menjelang matahari terbit sehingga kita bisa mengabadikan sunrise dan  sore hari untuk mengabadikan sunset.

Komplek candi Angkor bisa dikelompokkan ke dalam beberapa wilayah berdasarkan sebaran lokasinya yaitu Central Angkor, Eastern Angkor, Northeastern Angkor, East Baray, West Baray, Ruluos dan Banteay Srei. Kawasan Central Angkor merupakan yang paling populer dan paling sering dikunjungi wisatawan dimana disini terdapat candi Angkor Wat dan Angkor Thom.

Memasuki komplek candi Angkor kita akan merasa kembali ke masa silam. Candi-candi peninggalan kerajaan Khmer ini berserak dalam suatu kompleks candi yang sangat luas dengan periode pembangunan yang berbeda-beda.  Komplek candi ini terdiri dari ratusan struktur bangunan dari abad 8 hingga ke-14 yang menceritakan perjalanan bangsa Khmer. Beberapa candi yang paling sering dikunjungi adalah Angkor Wat, Angkor Thom, Bakong, Banteay Srei, Bayon, Preah Khan dan Ta Prohm. Selain candi-candi itu masih banyak komplek candi lain yang letaknya tersebar hingga puluhan kilometer jauhnya bahkan hingga perbatasan Thailand. Mustahil rasanya mengeksplorasi semua keindahan itu dalam waktu yang singkat.

Wisatawan yang mengunjungi Angkor  akan dihadapkan pada sebuah dilema, antara mengeksplorasi  komplek candi yang luas dan mendalami sejarah ratusan tahun ke belakang dengan waktu kunjungan yang lama. Atau hanya akan sekejap saja melintasi berbagai komplek candi yang penuh nuansa magis itu karena keterbatasan waktu. Rata-rata kunjungan turis di Angkor Wat adalah 2-3 hari, niscaya dirasakan masih prematur dalam mengeksplorasi keseluruhan komplek candi yang menakjubkan ini. @districtonebdg

Panorama Dataran Tinggi Bolaven Plateu, Laos

bolaven

Pada pukul 8.00 pagi dari kota Phakse kami dijemput oleh mobil travel yang akan membawa ke Bolaven Plateau. Cukup membayar 160.000 kip/orang, kami akan dibawa berkeliling dari pukul 8 pagi sampai pukul 6 sore menyusuri dataran tinggi Bolaven yang merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup terkenal di Laos. Perjalanan kami dimulai dari sebuah perkebunan teh yang disebut Ongya Tea Plantation. Perkebunan teh tersebut adalah milik sepasang suami istri yang sudah terbilang tua. Setiap hari perkebunan mereka dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan yang akan menikmati dataran tinggi Bolaven. Walaupun tidak terlalu luas, perkebunan tersebut menyajikan pemandangan yang bagus dan udara yang sangat segar.

Tur di perkebunan ini juga akan  memperlihatkan proses pembuatan teh. Setiap wisatawan juga dipersilahkan untuk menikmati segelas teh yang diproses langsung di tempat tersebut. Segelas teh hangat dan baunya wangi sangat pas untuk udara yang cukup dingin khas perkebunan teh.

Dari Ongya Tea Plantation, kami dibawa menuju Tad Fane Waterfall. Air terjun yang disebut air terjun kembar ini setinggi hampir 120 meter. Disebut air terjun kembar karena terdiri dari dua air terjun yang terbentuk dari dua aliran air yang berbeda dan membentuk satu aliran yang kemudian menuju ke Sungai Mekong. Air terjun Tad Fane hanya bisa dinikmati dari jauh karena untuk mencapainya, kita harus menuruni tebing dan memakan waktu yang agak lama sedangkan travel agent sendiri telah menetapkan harus berapa lama kita berada di situ. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang lainnya yaitu  Gnenuang Waterfall.

Berbeda dengan Tad Fane, Gnenuang Waterfall dapat dinikmati dari dekat. Disediakan tangga untuk turun ke tempat aliran air tersebut jatuh. Di sekelilingnya terdapat taman dan hutan yang dapat digunakan bersantai. Tidak hanya wisatawan asing, saat kunjungan kami, banyak wisatawan lokal yang datang untuk menikmati keindahan air terjun ini. Setelah cukup lama menikmati Gnenuang Waterfall, kami menyusuri jalan terus ke timur melewati daerah bernama Pa Xong. Tibalah kami di Pa Xong coffee plantation, sebuah perkebunan kopi yang cukup besar. Di sana kami melihat puluhan orang membagi tugas untuk mengolah kopi yang baru dipetik.

Kopi yang baru dipetik ditumpuk kemudian dilepas kulitnya dengan menggunakan mesin sederhana, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bak dan di sana ada beberapa orang yang bertugas untuk membersihkan kopi tersebut sampai benar-benar bersih. Setelah bersih dari kulitnya, maka kopi tersebut kemudian dijemur di bawah terik matahari lalu disangrai (digoreng tanpa minyak) dan digiling menghasilkan kopi bubuk yang rasanya sangat enak. Kami dipersilahkan mencicipi kopi yang langsung diolah di Pa Xong Coffee Plantation. Kopinya enak dan wangi. Tidak heran jika kopi tersebut juga diekspor ke negara-negara lain.

by Maya Rara Tandirerung / @mayarararocks

Perempuan Bekerja di Ladang, Laki-laki di Rumah

bolaven2

Desa Khok Pung Thai terletak sekitar 103 km dari Kota Pakse, Lao PDR. Desa yang ditinggali oleh suku Katou ini terletak di pinggir jalan tetapi yang unik, masyarakatnya tidak bisa menggunakan bahasa Laos yang sehari-hari dipakai oleh masyarakat Laos pada umumnya. Mereka menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Ada satu orang yang lancar berbahasa Inggris sehingga ia ditunjuk untuk menjadi local guide bagi wisatawan yang datang. Di Desa Khok Pung Thai ini, terdapat satu sekolah alternatif di mana guru-gurunya didatangkan dari Thailand, Singapura, Prancis dan beberapa negara yang bekerja sama dengan pemerintah Laos.

Desa ini merupakan salah satu desa yang sedang dalam proses pengembangan yang ditinjau langsung oleh pemerintah Laos. Masyarakat Katou masih sangat menjaga adat istiadat mereka. Mereka hampir semuanya menganut kepercayaan kepada roh-roh. Pada umur 30-40 masyarakat di desa ini sudah harus membuat peti mati untuk persiapan. Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, maka orang tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam peti karena dianggap mendatangkan sial. Jenazahnya akan diletakkan di dalam hutan sampai waktu di mana sial yang dibawa sudah hilang.

Yang unik lagi, di desa ini perempuanlah yang bekerja di ladang dan menjadi petani sedangkan kaum laki-laki tinggal di rumah untuk merebus air untuk istri-istri mereka. Menurut local guide yang menemani kami, inilah salah satu alasan mengapa di desa tersebut perempuan lebih berumur panjang daripada laki-laki. Disini sudah lazim bila perempuan sejak umur 14 tahun sudah merokok. Rokok yang mereka gunakan adalah tembakau yang dibakar pada sebuah bambu yang berdiameter sekitar 2 cm. Setiap laki-laki dari masyarakat Katou boleh mempunyai maksimal 4 orang istri. Bahkan ada sebuah rumah yang dihuni oleh 68 orang. Wow!

Rumah mereka adalah rumah panggung yang dibuat untuk mencegah binatang masuk ke dalam rumah. Makanan mereka ada nasi ketan yang diolah masih dengan cara tradisional yaitu ditumbuk. Sisa-sisa dari padi yang ditumbuk akan diberikan kepada peliharaan mereka seperti babi dan ayam yang bebas berkeliaran di sekitar rumah. Lauk mereka adalah daging babi dan daging anjing. Mereka sangat jarang makan daging ayam karena ayam menurut mereka lebih baik untuk dipelihara. Untuk mengambil air mereka mempunyai satu sumur terbuka yang digunakan untuk masyarakat desa untuk mencuci pakaian dan mandi. Ketika saya menanyakan di mana toilet, dengan senyum local guide tersebut “In the forest”. Hahahaha..

by  Maya Rara Tandirerung  / @mayarararocks

Suatu hari di Masjid Biru, Ho Chi Minh City

blue-Mosque-04

Sebuah bangunan  dengan arsitektur dan lansekap yang unik tampak familiar menyempil diantara belantara gedung2 bertingkat di sudut kota Ho Chi Minh, tepatnya di distrik 1 Dong Khoi yang sibuk dan padat. Warna biru kombinasi putih mendominasi penampakan bangunan ini. Cukup rapih dan terawat walau warna birunya sudah mulai agak kusam. Tampak empat menara atau minaret menjulang di keempat sudut bangunan utama.Tidak ada kubah besar namun di setiap pucuk minaret terdapat semacam kubah2 kecil berwarna keemasan.

Pintu-pintu atau gerbang masuk kedalam gedung yang berderet sebanyak tujuh buah dengan lengkungan khas timur tengah menegaskan bahwa ini bukanlah gedung yang biasa akan kita temukan di Vietnam. Pekarangannya cukup luas, bersih, cukup terawat dan pastinya teduh dengan pohon sarat dahan berdaun banyak. Tidak salah lagi, itu adalah Saigon Central Mosque atau Blue Mosque atau Jamiah Al Muslimun, salah satu mesjid terbesar yang ada di Vietnam. Saya sejenak cukup takjub dengan pemandangan yang ada.

Bangunan mesjid ini didirikan pada tahun 1935 oleh para pedagang dari India yang telah bermukim di kota itu. Tahun dimana Vietnam belum merdeka dari kolonialisme Perancis, begitupun India yang masih belum lepas dari kolonialisme Inggris. Sehingga nampaknya wajar, Saigon ketika itu, sebagai kota pelabuhan dan perdagangan terbesar di sisi selatan Vietnam, sangat menarik sehingga mengundang para saudagar dari mancanegara, yang berbeda etnis dan agama ini, untuk datang bahkan hingga bermukim di kota itu. Beberapa keturunan India muslim saat ini masih merupakan bagian dari komponen komunitas muslim di Vietnam selain juga keturunan Melayu. Walaupun demikian, etnis lokal Cham masih menjadi jemaah muslim mayoritas di Vietnam.

Setelah melewati pekarangan dengan taman yang asri, sebuah tangga lebar dengan anak tangga yang cukup banyak sudah menanti untuk mengantar kami memasuki masjid. Setelah menaiki tangga, tepat di sayap kanan terlihat sebuah kolam dengan dikelilingi pancuran air yang nampaknya adalah tempat untuk membersihkan diri atau bersuci mengambil wudhu. Seperti biasa, alas kaki sudah harus dilepaskan disini.

Yang juga menarik dari masjid ini, selain ciri khas dan warna birunya, adalah adanya gedung madrasah atau sekolah agama persis di halaman belakang mesjid. Nampaknya komplek masjid ini dari awal memang benar-benar dirancang sebagai enclave komunitas muslim di Ho Chi Minh. Namun sayang, berbeda dengan mesjidnya,  bangunan ini nampak kurang terawat. Bangunan ini berlantai tiga, ada tulisan Madrasah Noorul Imaan Islamic School di lantai kedua dengan lambang bintang yang khas diatasnya.

by Luthfi Rantaprasaja / @loerant

Regional Summits

Tak perlu melalui sebuah expedisi besar berbiaya aduhai, melainkan dengan pendakian hit and run ala backpacker.

 

Tak ada salahnya bila dalam melakukan pendakian gunung kita melebarkan minat pendakian ke kawasan lainnya. Tentunya akan banyak pengalaman baru karena akan menemukan karakter gunung yang berbeda-beda bila mendaki di kawasan yang berlainan. Sehingga akan didapatlah koleksi puncak-puncak kawasan yang akan lebih memperkaya wawasan pendakian. Pendakian gunung-gunung di kawasan ASEAN, misalnya, bukanlah sesuatu yang mustahil dicapai, bahkan oleh turis sekalipun. Tak perlu melalui sebuah expedisi besar berbiaya aduhai, melainkan dengan pendakian hit and run ala backpacker.

Dalam skala regional pendakian puncak gunung di negara lain pun bukanah hal yang terlampau ribet. Memilih puncak gunung yang potensial di negara-negara ASEAN anda tinggal  mengetik “highest mountain in ASEAN” pada Google. Anda akan menemukan gunung salju Hkakabo Razi di kawasan Himalaya Myanmar yang memiliki ketinggian 5.000 an meter, Kinabalu (4.095 mdpl) di Sabah-Malaysia, di Thailand (2.565 mdpl), di Laos (2.819 mdpl), Mt.Fansipan (3.143 ) di Vietnam dan Mt.Apo (2.954)) di Mindanao-Philipina dan tentu saja banyak gunung di Indonesia mulai dari Semeru (3.626 mdpl) hingga puncak Carstenz (4.884 mdpl).

Namun mendaki gunung Hkakabo Razi sepertinya akan terlalu njelimet dan kurang populer hingga pemuncakan pertamanya baru terjadi tahun 1997 oleh pendaki Jepang. Itupun ia mengakui enggan untuk kesana lagi karena selain waktu tempuhnya lama, perijinan sulit, biaya semahal mendaki Everest, juga tak terlalu prestisius sehingga diabaikan oleh para pendaki profesional.  Dengan biaya ekspedisi yang mencapai $ 65,000 kala itu, siapapun akan lebih baik mendaki beberapa puncak dari  seven summits saja sekalian. Namun anda bisa menggantinya dengan puncak-puncak lain di Myanmar yang lebih terjangkau biaya pendakiannya seperti Phonyin atau Phangran Razi yang berketinggian diatas 4.000-an meter juga. Kawasan pegunungan di Myanmar Utara ini merupakan bagian Timur dari pegunungan Himalaya, sehingga bila mendakinya seperti telah “menangkap” ekor dari pegunungan Himalaya yang legendaris itu.

Di  Singapura jelas tak ada gunung yang bisa didaki karena hutannya pun dari beton, bahkan mungkin gedung-gedung disana lebih tinggi dari gunung yang ada di daratannya. Demikian pula Brunei dan Timor Leste yang masih dapat dianggap menyatu dengan pulau-pulau besarnya. Kamboja pun selain masih belum bebas dari ranjau darat, tak memiliki puncak menawan diatas 3.000 an meter. Anda juga mungkin tak akan bersemangat melihat foto Doi Inthanon (2.565) puncak tertinggi  Thailand yang berupa tempat ziarah dan wisata, sementara puncak gunung Phou Bia (2.819) di Laos selain bekas medan konflik suku Hmong  juga merupakan daerah militer terlarang. Ada kesan ditutupi informasinya oleh pemerintah sehingga lebih baik jangan membahayakan diri sendiri.

Namun gunung Fansipan (3.143 mdpl)  di Vietnam akan tampak sulit untuk  dilewatkan begitu saja. Selain  tak terlalu mahal akomodasinya juga karena merupakan puncak tertinggi di Indochina. Sementara itu Mt. Apo (2.954) mdpl) di pulau Mindanao, Philipina juga perlu dipertimbangkan walau bisa disimpan dulu di urutan akhir karena biaya penerbangan ke kota terdekatnya, Davao, bisa lebih mahal daripada ke kota Kinabalu maupun Hanoi.

Setelah puncak-puncak ASEAN dilengkapi maka tak ada salahnya dilirik juga adalah puncak-puncak di bumi sebelah Selatan yaitu di Australia dan Selandia Baru. Gunung Kosciuzko bahkan merupakan sebuah puncak benua walau ketinggiannya hanya 2.228 meter diatas permukaan laut –kurang lebih setinggi gunung Bukittunggul di Bandung lalau ada juga Mount Cook (3.724 mdpl) di New Zealand. Bila anda pernah mendaki gunung manapun di Indonesia kelihatannya menggapai puncak Kosciuzko tak akan terlalu memberatkan. Ini tentu saja bila kita memiliki dana extra untuk jalan-jalan, karena perjalanan akan lebih mahal bila melancong kesana dan tak bebas visa seperti negara-negara ASEAN.

Mendaki puncak gunung manapun merupakan pilihan seseorang, tak ada yang memaksa harus mendaki sebuah gunung. Siapa pun bebas memilih pengkategoriannya masing-masing bahkan tak usah ada kategori sama sekali, karena mendaki gunung hanyalah sesederhana mendaki sebuah gunung. Seperti kata Mallory, because it is there. Namun dengan sedikit romantisme anda juga dapat membuatnya menjadi sebuah rangkaian pendakian yang agung dan indah, suatu tema petualangan yang bisa menginspirasi kehidupan. Sesuatu yang layak diperjuangkan.

Dalam skala lebih kecil pun kita bisa membagi nusantara ini ke dalam tujuh kawasan kepulauan besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali-Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Maka didapatlah tujuh puncak yang boleh-boleh saja kita katakan seven summits juga.

Ini mirip seven summits yang mendunia itu, namun  dengan skala lebih kecil yaitu nusantara. Maka kita akan mendapatkan Gunung Semeru di pulau Jawa (3.676 mdpl) , Gunung Kerinci (3.805 mdpl) di pulau Sumatera, Gunung Kinabalu (4.095 mdpl) di pulau Kalimantan, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di kepulauan Nusa Tenggara, pegunungan Latimojong (3.478 mdpl) di Sulawesi, Gunung Binaiya  (3.200 mdpl) di kepulauan Maluku, dan Pegunungan Jayawijaya (4.884 mdpl) di Papua.

@districtonebdg

Mengunjungi Canton Fair di Guangzhou

 

imagesPesawat Garuda mendarat sekitar pukul dua siang di bandara internasional Baiyun, Guangzhou. Waktu yang cukup ideal untuk melakukan pergerakan selanjutnya. Berbeda bila mendarat malam hari memakai AirAsia, dimana kehidupan terasa berhenti saat hari mulai gelap di kota ini.
“Make Garuda mah teu karasa penerbangan opat jam oge,” ujar Bar.
“Enya, teu kawas make AirAsia cengo dijalan,” sambut Dunga menyatakan persetujuannya.

Wah, keren sekali backpakeran pake Garuda kedua kawan kita ini ya, padahal biasanya bergelantungan di maskapai budget seperti AirAsia dan Tiger Airways. Tak disengaja sebetulnya, saat telah memutuskan akan bertolak ke Guangzhou tiket pp AirAsia adalah seharga 4,3 juta. Dunga mengusulkan membeli tiket Garuda saja yang kebetulan sedang promo degan harga 5,3jt. Masuk akal, karena bila menggunakan AirAsia pasti transit di Kuala Lumpur sekitar 5 jam, dan baru tiba  sekitar pukul sembilan malam.  Ketibaan malam hari di negeri orang yang belum terlalu familiar tentu kurang mereka sukai sehingga pilihan ini sepertinya lebih cocok. Lagipula lumayan menghemat makan  sekali.

Dari bandara Baiyun mereka segera menuju Pazhou, tempat diadakannya Canton Fair. Perjalanan ini cukup jauh, memakai subway dengan sekali pergantian line kereta di stasiun Kacun. Setengah jam kemudian mereka pun tiba di Pazhou dan segera terkagum-kagum dengan skala bangunan dikawasan ini.

“China mah sok tara kagok mun nyieun nanaon teh,” decak Bar kagum. Namun kini yang lebih penting adalah mencari penginapan yang sudah dipesan Dunga di web HostelBooker. Ini pun ternyata tak begitu saja mudah ditemukan, karena penginapan terletak di lantai delapan sebuah gedung apartemenrumah susun. Kamar 803 tepatnya. Bila orang-orang bisa memahami sedikit bahasa Inggris saja, mungkin tak akan memakan waktu lama menemukannya. Namun tanpa petunjuk, baru sejam lebih tempat itu ditemukan. Itupun  setelah ada satpam yang berbaik hati mengantar, tanpa saling bisa komunikasi sepatah kata pun.

“Mun teu kapanggih mah sare di taman we lah,” sempat Dunga memberikan usulnya yang sering tergolong ekstrim itu. Bar menolak mentah-mentah ide itu. Memangna urang pot kembang, pikirnya.

Hari ini  mereka belum berencana memasuki arena Canton Fair karena  sudah menjelang sore, setelah mendapatkan kamar di dormitory yang dituju mereka mengisi waktu dengan berjalan-jalan. Tak banyak yang bisa dilihat di Pazhou, karena kawasan ini sepertinya dibangun khusus gedung-gedung untuk pameran internasional. Tanpa ada pameran, kawasan ini seperti blok kota yang mati.  Namun sepertinya tak perlu khawatir hal itu akan menjadi kenyataan, karena akan selalu ada pameran disini. Kegiatan bongkarmuat selalu riuh pada malam hari, mengangkut material yang dipakai oleh pameran. Walau arena Canton Fair  juga khusus dibangun berupa bangunan futuristik yang menyerupai gelombang air, namun di sekeliling arena Canton Fair banyak pula gedung-gedung tempat pameran yang megah. Pameran dari satu gedung ke gedung yang lain, demikianlah sepertinya kehidupan di kawasan Pazhou ini.

Esoknya barulah mereka kasak-kusuk mencari informasi untuk bisa menghadiri even kolosal itu. Selidik punya selidik ternyata tidak gratis, harus registrasi dengan persyaratan membawa kartu nama, pas foto dan biaya pendaftaran sebesar 100 CNY (sekitar Rp 200,000). Selain menyertakan identitas paspor tentu saja.

Mereka sempat tercenung, karena tak membawa persyaratan yang diperlukan. Yah, nasi sudah menjadi buryam karena kemalasan untuk browsing informasi dan terbiasa grasak-grusuk saat bepergian.

“Cabut we foto tina visa,” Bar tak ragu mencongkel foto visanya. Lalu mereka memeriksa dompetnya masing-masing, siapa tahu masih ada kartu nama terselip.

“Aya tapi ngan hiji euy,” katanya. Ternyata masih ada kartu nama jadul, sayang dompet Dunga tak memunculkan keajaiban serupa.
“Euweuh euy..jigana dina dompet hiji deui teu kabawa,” keluh Dunga hopeless.

“Engke pas pendaftaran bejakeun we hiji kartu nama keur duaan,” usul Dunga. Apa boleh buat, semoga petugas registrasi bisa menerima.

Sebelum gate registrasi, banyak anak-anak muda sepertinya mahasiswa yang menawarkan jasa penerjemah. Jadi tak perlu khawatir bila tak paham bahasa China, banyak pelajar disini yang siap menerjemahkan keperluan komunikasi pengunjung dengan penjaga stand pameran.

“Teu kudu make penerjemah lah,” ujar Dunga percaya diri,” yeuh make ieu we pasti ngarti.” Dunga menunjukkan kalkulator yang dibawanya. Bar agak sangsi namun sepakat karena uangnya pun sudah tersedot oleh registrasi yang mencapai 100CNY.

Sebelum masuk mereka mengisi semacam formulir, lalu kartu nama dan foto dijepret pada formulir itu. Apabila tak membawa foto ternyata ada sesi pemotretan, tentu dengan biaya tambahan.  Kekurangan katu nama pada formulir Dunga ternyata bisa dimaklumi oleh petugas registrasi, sehingga akhirnya tercetaklah boarding pass untuk memasuki pameran. Merekapun lega.

Canton Fair adalah pameran perdagangan yang diselenggarakan pada musim semi dan musim gugur musim setiap tahun sejak musim semi tahun 1957 di Canton (Guangzhou), China. Sejak tahun 2007  namanya diganti menjadi  China Import and Export Fair. Even ini merupakan pameran perdagangan terbesar di Cina. Di antara pameran-pameran dagang terbesar China lainnya, ia memiliki sebagian terbesar produk, kehadiran terbesar, dan jumlah terbesar transaksi bisnis yang terjadi.

Canton Fair diresmikan pada musim semi 1957 dengan waktu penyelenggaraan dua kali setahun ini diprakarsai oleh Departemen Perdagangan RRC dan Pemerintah Rakyat Provinsi Guangdong. Waktu penyelenggaraannya setiap musim semi (April-Mei) dan musim gugur (oktoer-November). Sejak dimulainya pada tahun 1957, Canton Fair telah diselenggarakan sebanyak  114 kali. Artinya, selama lebih dari setengah abad, dukungan dan kepercayaan dari pembeli di luar negeri dan peserta pameran tak pernah terganggu oleh isu-isu diluar perdagangan. Area pameran terbagi dalam tiga gedung yang megah dengan arsitektur futuristik seluas  total 1,16 juta meter persegi dengan  jumlah peserta pameran dari dalam dan luar negeri lebih dari 24.000. @districtonebdg

Perjalanan Empat Puluh Jam Dari Utara Ke Selatan Vietnam

10268413_508279635962015_2750692301835215171_n By Andreas Polin Situmorang

C: just hard seat no air conditioner, slow train, it needs fourty hour to Saigon..
“Waktu kami tidak banyak, kami harus cepat kembali ke Saigon, pikirku.”
“Kami saling berhadapan, bertatapan dan saling mengangguk, pertanda setuju”
M: “Ok, i take it two tickets”
Begitu kira2 percakapan saya dengan petugas ticketing di stasiun Hanoi.
Harga tiket memang murah mengingat jarak tempuh yang sangat jauh. hanya 650.000 VND/ orang (sekitar 380rb Rupiah), dibanding kelas Soft seat 1.250.000 VND. Ada banyak macam kelas penumpang yang disediakan, yaitu; hard seat non ac, hard seat w/ ac, soft seat w/ ac & soft sleeper. Perbedaan tiap kelas terlampau jauh harganya..
Saat menempuh Saigon-Dong Hoi-Hanoi, kebetulan kami mendapatkan tiket dengan kelas soft seat w/ac, untuk kelas ini kurang lebih sama dengan kelas bisnis di Indonesia..
Ini hari ke enam saya di Vietnam bersama Stefanus yang merupakan perjalanan backpacker saya pertama kali ke negeri orang. Sebelum berada di Hanoi, saya terlebih dahulu mengunjungi Taman Nasional Phong Nha Ke Bang di Provinsi Quanh Binh.
Singkat cerita, waktu untuk boarding pun sudah tiba, kami berdua mulai masuk ke gerbong yang ditentukan.
Jreeng.. Buset ekstrim amat! Bangkunya benar2 “Hard”, Keras cui! Ditambah bentuknya yang 90˚ (gimana cara tidurnya nih).
Suhu di Hanoi yang mencapai 39˚, membuat para penumpang kelas ekonomi ini seperti sedang dikukus. Para pria-pria macho bak bruce lee dengan pede bertelanjang dada, berharap mengurangi keringat yang diproduksi. Kipas angin tidak membantu sama sekali. Satu lagi, yang membuat semakin sempurna, toilet!
Orang-orang membawa banyak macam, karung-karung besar, ada yang membawa beras, sembako, makanan berat dan material2 aneh lain. Yak, seperti hendak mengembara jauh, benar saja Hanoi-Saigon berjarak sekitar 1800 km. Kondisi ini tentu saja begitu kontras dengan kereta kelas soft seat. Kalau begini rasanya sudah seperti penjara berjalan dengan masa kurungan selama 40 jam..
Duong Sat Vietnam kalau di (Indonesia PT.KAI), menawarkan perjalanan dari ujung selatan ke ujung utara dan sebaliknya. Kereta pasti berhenti di stasiun-stasiun besar, jadi jangan takut mengelilingi negeri paman Ho ini dengan menggunakan kereta api. Kalau di Indonesia penumpang biasanyaa menunggu kereta langsung di peron stasiun, tetapi di Vietnam penumpang harus tetap menunggu di lobby sampai kereta kita benar-benar datang. di Vietnam stasiun itu artinya “GA”, Ga Hanoi, Ga Sai Gon, Ga Nha Trang, dst
Sepanjang perjalanan kereta melintas melewati pemandangan yang menarik, kereta menembus terowongan tua ditengah perbukitan, hamparan sawah yang melimpah, muara-muara, dan megahnya kawasan karst di daerah Ninh Binh Province.
Kereta melipir mengikuti kontur dipinggir kanan Vietnam sehingga penumpang bisa melihat Pantai barat vietnam dan lautan cina selatan..
Pada kelas ekonomi ini. semakin malam, kondisi kereta semakin mengerikan, penumpang makin beringas, mereka berlomba-lomba untuk mencoba posisi setidak sopan mungkin.. lebih parah daripada kondisi kereta ekonomi di Indonesia, tikar digelar, mereka tidur diantara kedua bangku yang saling berhadapan, ada yang tidur bawah bangku persis malahan..
Kalo waktu ngga mepet dan uang mencukupi, saya sarankan menggunakan kelas soft seat atau bahkan naik pesawat saja…
Kalau pada musim dingin mungkin kereta lebih nyaman, kalau kemarau panasnya sangat terasa.
Jangan lupa bawa perbekalan untuk didalam kereta. Satu cara ampuh untuk tetap Survive di kereta hard seat non ac vietnam, SABAR.. ingat saja, “segala sesuatu yang dimulai pasti ada akhirnya” hehehe…
Wanna try?

Bangkok Eksplore II

10302027_10203796430855072_7031368175738892181_nSiam merupakan sebuah pusat pertokoan yg sangat sibuk & ramai. Kami pun berjalan menikmati keramaian dengan pelukan mentari siang hari yg menyengat.
Selepas dari wilayah Siam, kami melihat dari jauh banyak tenda2 dome didirikan di tengah pedagang kaki lima.
Rupanya tenda dome itu berisi para demonstran Bangkok Shutdown, hmm… Bangkok masih bergejolak rupanya, beberapa jalanan sekitar masih diblokir oleh ban2 bekas yg ditumpuk. Pos pos tentara bertebaran dimana2, sementara beberapa demonstran berorasi.
Saat itu sudah lewat tengah hari, kami pun memutuskan untuk makan siang di salah satu warung kaki lima yg terletak di sekitar tenda2 para demonstran sambil ingin sedikit menikmati suasana saat itu.
Usai makan siang kami berniat menuju Sukhumvit, karena kaki mulai tidak bisa diajak kompromi, maka kami memutuskan untuk menggunakan Tuktuk, sebuah alat transportasi sejenis Bajaj.
Tapi kami heran, beberapa Tuktuk yg kami stop seperti enggan mengantarkan kami ke Sukhumvit, klo pun ada mereka memasang tarif tinggi. Karena budget terbatas, kami pun melanjutkan dengan berjalan kaki kembali.
Di tengah perjalanan kami melihat mobil patroli polisi banyak berseliweran dengan membunyikan sirine, di sisi lain beberapa militer dalam posisi siaga. Saat melewati salah satu persimpangan jalan protokol, saya melihat para demonstran mulai merangsek, bergerak ke arah pusat kota, sebagian berjalan kaki sebagian lagi mengendarai bus sambil berorasi.
Suasana cukup mencekam ditambah dengan cuaca yg berubah mendung diiringi angin yg semakin berhembus kencang.
Ketika tiba di Monumen Raja Rama I, saya melihat para demonstran tumpah ruah di situ.
Sementara cuaca semakin mendung, awan hitam menggelayut di udara, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel di Khaosan Rd. Kami pun menyetop Tuktuk, kali ini pengemudi Tuktuk mau mengantar kami ke arah sebaliknya dari Sukhumvit, rupanya para supor Tuktuk menghindari jalanan yg dilalui para demonstran.
Tuktuk pun melaju kencang mengantar kami dengan tanpa banyak tawar menawar. Di tengah perjalanan hujan turun dengan deras diiringi angin kencang.
Setiba di Khaosan Rd, kami langsung berlari menembus derasnya hujan menuju hotel. Dan perjalanan hari itu diakhiri dengan pakaian yg basah kuyup…
Sungguh hari yg luar biasa bagi saya, rasa lelah & letih terbayar oleh sensasi petualangan ala backpacker di sebuah kota di negeri gajah putih, Bangkok yg eksotis…

Bangkok Eksplore I

10363938_10203796430815071_7370428090637771224_nCuaca pagi yg cerah menaungi kota Bangkok, saya & Bobby melangkahkan kaki dari hotel untuk memulai aktifitas.
Target awal adalah sarapan! Sbg charging energi untuk mengeksplorasi jalanan kota Bangkok.
Berbekal air mineral botol, map & kompas kami keluar kawasan Khaosan Rd. Bobby sang spesialis mapping mulai menggelar peta dan menetukan arah yg akan dituju.
Ada satu misi yg dituju pada perjalanan kami kali ini. Kami harus orientasi medan untuk sebuah event yg sudah lama menjadi obsesi kami, komunitas District One, yaitu ekspedisi Backpacker Indochina.
Setengah jam sudah kami berjalan, saat melewati sebuah kawasan, kami melihat jajaran toko yg menjual perlengkapan Army Look.
Sekilas saya teringat kawasan Jatayu ata Malabar di Bandung yg banyak menjual perlengkapan sejenis itu.
Lalu kami masuki salah satu toko di situ sekedar belanja mata, wow!! Keren2, semua barang mempunyai merk yg memang sudah kami kenal sebagai spesialis Tactical Army Series.
Sebelum kami kepincut lebih jauh, segera kami lanjutkan perjalanan menelusuri kota. Tidak berapa jauh kami menemukan sebuah kedai makanan, hmm…harum masakannya menggugah perut yg memang sudah menggeliat. “Hallo” sapa pelayan kedai saat kami masuk. “Hallo” balas kami. “What do you have for eat?” Tanya saya dengan bahasa Inggris tingkat Tarzan. Rupanya kedai itu baru buka & masih bebenah, perlu diketahui aktifitas di kota Bangkok rata2 dimulai pukul 10.00 waktu setempat.
Si pelayan ternyata tidak bisa berbahasa Inggris, dia menunjuk ke arah etalase yg berisi berbagai macam jenis baso & mie. “Is this beef or pork?” Tanya saya. Si pelayan yg berjumlah dua orang saling pandang, bingung. “Ok, is this” saya acungkan dua telunjuk ke kepala seperti tanduk sambil bersuara “mooo…” Or “grok !..?”
Akhirnya mereka mengerti dan menunjuk ke salah satu tumpukan baso..”This is mooo…”. “Ok, I want this” ujar saya. Hehehe rupanya untuk backpackeran tidak selalu harus bisa bahasa Inggris tingkat fluent, Inggris Tarzan asal saling mengerti, interaksi pun lancar…
Usai mengisi perut, perjalanan kembali kami lanjutkan. Tujuan selanjutnya adalah Wat Pho, sebuah kuil Budha yg di dalamnya terdapat patung sleeping Budha dengan ukuran raksasa.
Saat masuk kami harus membeli ticket seharga 100 Baht.
Wat Pho ini dibangun oleh Raja Petraja dan kemudian dilanjutkan oleh Raja Rama I kerajaan pertama dari periode Rattanakosin.
Di dalam kompleks kuil banyak sekali tourist2 asing yg berkunjung. Rata2 mereka ikut dalam rombongan agen wisata.
“Wah, ada orang Indonesia nih”. Ujar Bobby tiba2, terlihat dari salah satu rombongan ada yg memakai dress code bertuliskan “Semen Tonasa”. Kami lalu menghampiri salah satu dari mereka. “Dari Indonesia pak?” Sapa saya. “Iya, bapak Indonesia juga?” Balasnya. Hehehe, kita berjabat tangan. Bersua rekan satu negara di negeri orang terasa menyenangkan.
Cukup lama kami berkeliling di dalam kompleks Wat Pho sampai akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Matahari sudah di atas ubun2 saat itu, tujuan kami selanjutnya adalah kawasan china Town. Kawasan ini terletak di tengah2 pusat perdagangan elektronik, onderdil kendaraan, dll. Mengingatkan saya pada kawasan Pecinan di Bandung seputar Jl. ABC, Pasar Baru & Banceuy.
Tidak jauh dari China Town terdapat stasiun MRT (Mass Rapid System) atau Subway salah satu alat transportasi di Bangkok selain BTS (Bangkok Train System) atau Skytrain.
Setelah membeli ticket seharga 42 Baht, kami mengendarai MRT dengan tujuan Chatuchak Park, sebuah kawasan perdagangan yg hanya ada pada saat weekend.
Tiba di Chatchak, kami melanjutkan perjalanan menuju Siam dengan menggunakan BTS.
Wah, saya serasa menjadi Antareja terus berubah menjadi Gatotkaca, dari grusukan di dalam tanah terus terbang ke langit hehehe,,,

Mekong, Mother of Rivers

10277581_10202941962462840_5961022317567852782_n

Matahari mulai meredup di Vinh Long, saat perahu yang kami tumpangi menepi ke sebuah pasar yang terletak di tepi sungai. Setelah seharian menyusuri delta sungai Mekong dari Cai Be, kini para penumpang perahu naik ke daratan. Kota Vinh Long merupakan salah satu dari sekian banyak kota kecil di tepi sungai di delta Mekong, Vietnam. Kota-kota lain adalah Cai Be, My Tho, Can Tho dan sebagainya.

Semakin mendekati tepian sungai legendaris ini, semakin kita akan merasakan aura kekuatannya. Sejenak dalam suasana temaram menjelang senja, di tepian sungai yang amat disanjung ini, siapapun akan merasakan sebuah koneksi yang samar ke para pionir terdahulu yang pernah menjelajahi sungai ini. Saya mencoba membayangkan sensasi serupa yang dirasakan oleh para anggota ekspedisi Lagrée-Garnie dari Prancis hampir 150 tahun sebelumnya kala melakukan penjelajahan sungai Mekong pertama kalinya.

Suasana yang mulai meremang memunculkan semacam dejavu.  Senja di sungai raksasa ini mengingatkan pada perjalanan beberapa bulan sebelumnya di Vientianne, ibukota Laos. Sensasi yang serupa juga dirasakan di tepian sungai ini kala menatap senja yang meluruh perlahan di kota Thakek, Laos. Kini di wilayah Selatan negara Vietnam, aliran sungai raksasa ini seakan kembali menghampiri.

Perjalanan darat di negara-negara Indochina seperti tak terlepaskan dari aliran sungai legendaris ini, riaknya seakan selalu berada disamping mengawasi kita. Kala menyeberang dari Nakhon Phanom (Thailand) menuju Thakek kita juga akan melewati sungai ini. Juga kala menyeberang dari Nong Khai (Thailand) ke Vientiane. Dalam perjalanan darat lintas negara antara Vietnam-Kamboja, yaitu dari Ho Chi Minh menuju Phnompenh bis akan terhenti sejenak di Neak Luong, Kamboja. Sejumlah kendaraan antri di tepi sungai menunggu giliran dimuat ke dalam kapal ferry untuk menyeberangi sungai Mekong.

Melihat dari dekat sungai Mekong dari kota-kota yang dilaluinya seperti Vientiane, Thakek, Phompenh hingga Vinh Long semakin membuat saya takjub pada skala dari sungai ini dan semakin menghormatinya. Aliran sungai besar yang terdekat dari kota tempat tinggal saya adalah sungai Citarum. Dibandingkan monster ini, sungai terbesar di Jawa Barat yang sanggup menghidupi listrik se-Jawa Bali itu ibarat sebuah parit.

“Aliran sungai Mekong kini sedang surut,” ujar Trung Van Thao, pemandu di Vietnam yang membawa kami di delta Mekong ini, “ bila sedang banjir kita hampir tak bisa melihat daratan.”

Mengunjungi Indochina, sepertinya kemanapun kita akan berjumpa dengan aliran sungai Mekong atau anak-anak sungainya. Detak kehidupan di negara-negara Indochina sangat dipengaruhi oleh denyut sungai legendaris ini, tak salah bila sungai Mekong menjadi merupakan ikon kawasan tersebut. Tak lengkap rasanya bila mengunjungi Indochina tanpa merasakan sensasi keberadaan sungai raksasa yang lebarnya bisa mencapai tiga kilometer ini.

“Bila sungai Mekong banjir, maka sungai-sungai lain seperti Tonle Sap pun ikut meninggi. Bisa beberapa meter, “ ujar pemandu perahu di Tonle Sap, Kamboja.

Nama sungai Mekong berasal dari rumpun bahasa Thai yaitu “Mae Nam Khong” yang bermakna ibu dari sungai-sungai. “Mae” berarti ibu, dan “nam” berarti air. Sungai raksasa ini mengalir melalui enam negara sebelum bermuara di Laut Cina Selatan. Sungai Mekong dengan panjang 4.909 km merupakan sungai terpanjang ke-12  di dunia dan terpanjang ketiga di Asia. Sebagai perbandingan sungai terpanjang di Indonesia adalah sungai Kapuas di Kalimantan Barat dengan panjang 998 km.

Hulu dari aliran sungai raksasa ini terletak di Dataran Tinggi Tibet, dari sanalah aliran air raksasa ini mengalir melalui China di provinsi Yunnan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam. Sungai adalah rute perdagangan utama menghubungkan provinsi China barat daya Yunnan ke Laut Cina Selatan melalui Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam, sehinga merupakan akses yang sangat berharga bagi kota-kota disekitarnya untuk mencapai laut dan perdagangan internasional.

“Tanpa sungai Mekong, negara kami akan benar-benar terisolasi,” jelas Mee seorang pemandu di Thakek, Laos menekankan pentingnya sungai ini bagi negaranya. Laos merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tak terhubung ke laut, sehingga peranan sungai Mekong sangat vital bagi negara ini.

Sungai Mekong sangat mempengaruhi denyut kehidupan dan perekonomian ketujuh negara yang dilaluinya. Sebuah perubahan dalam aliran sungainya di suatu negara akan berdampak besar di negara lain, bahkan bisa mempengaruhi iklim dunia. Inilah yang menjadi tantangan ke depan bagi ketujuh negara yang wilayahnya dilalui oleh sungai Mekong. @districtonebdg