Pabedan Township, Tempat Singgah Backpacker di Yangon

IMG-20160121-02913IMG-20160124-02969

Sekitar pukul 11 waktu setempat, pesawat Nok Air dari Bangkok yang saya tumpangi mendarat mulus di Yangon International Airport. Agak aneh juga mencocokkan perbedaan waktu yang hanya setengah jam dengan WIB/Bangkok.  Sekilas bandara yang bercorak etnik ini mengingatkan kepada bandara Soekarno Hatta di tanah air. Tak ada brosur atau map kota Yangon yang bisa ditemukan, sehingga saya hanya mengandalkan ulasan buku Lonely Planet bajakan keluaran 2011.

Seorang supir taxi yang berpengalaman segera menangkap gelagat kehadiran orang asing. Bersarung dan menguyah sirih, ia langsung menyapa,”Taxi?”

Setelah mengatasi keterkejutan dengan banyaknya orang bersarung yang berlalu-lalang di bandara internasional, sayapun menyambut tawarannya, “How much?”

“Fiften dollar..the city is far from here..”

“10 dollar ok?”  menurut buku Lonely planet keluaran 2011 itu tarif  taxi harusnya tak lebih dari 8 dollar, namun itu lima tahun lalu. Sekarang 2016  bisa jadi sudah naik, lagipula keberadaaan supir taxi yang bisa berbahasa Inggris ini bisa membantu mengorek informasi lainnya. Sebuah taxi sedan yang cukup bersahaja pun mengantar saya ke pusat kota, tak ada argo dan tanpa AC. Ditengah jalan, supir menepikan kendaraannya sejenak.

“Wait a minute..” katanya, lalu segera keluar. Rupanya ia membeli minuman dulu. “Very hot..” katanya santai.

“Do you have a map of Yangon?” tanya saya diperjalanan.

“Yes sure,” ia segera membuka laci dan memberikan beberapa map wisata dan komersial. Lumayan juga, map-map ini yang tak saya didapatkan di bandara.

Setelah mempelajari map kota saya lalu minta diantar ke stasiun kereta karena berencana melihat jadwal kereta untuk melanjutkan perjalanan ke Mandalay. Namun sebagai orientasi medan, memintanya melewati jalan tempat keberadaan pagoda Shwedagon dan pasar Bogyoke. Ternyata Bogyoke market terletak tak jauh dari Yangon Railway Station, sehingga setelah ormed di stasiun kereta saya berjalan kaki saja kearah Bogyoke. Mestinya, di daerah keramaian ini banyak hotel dan penginapan.

IMG-20160124-02996IMG-20160124-02968

Bogyoke Market terletak di distrik Pabedan, merupakan pasar ikonik di kota Yangon mungkin seperti Ben Thanh market di Ho Chi Minh  yang menjadi sasaran turis membeli oleh-oleh. Di seberang Bogyoke, merupakan jalan-jalan perniagaan. Toko, rumah makan, hotel, kelontong dan lain sebagainya. Ke arah sanalah saya berencana mencari tempat bermalam. Karena menganggap hal yang enteng, saya kerap tak melakukan booking dahulu di situs booking internet seperti Agoda atau booking.com . padahal apa susahnya ya?

Sebelum melanjutkan mencari hotel, saya mengisi perut dulu di retoran KFC yang tampaknya satu-satunya di kota ini. Meski telah berjanji menyantap makanan local kota ini, tapi hey ini baru hari pertama di kota yang asing, tak ada salahnya ormed dahulu kuliner kotanya sebelum benar-benar menyelam ke dalam lautan gatronomi lokal. Hari ini saya masih menahan diri dengan mengapungkan selera dalam perahu lidah internasional.

Ternyata pilihan untuk memilih citarasa internasional di hari pertama ini merupakan pilihan tepat, karena dari balkon retoran cepat saji ini, view kearah Bogyoke merupakan bonus yang sempurna. Saya merekomendasikan turis untuk mampir kesini, bukan demi citarasa ayam goreng nya namun untuk bersantai seraya memandang kemeriahan suasana pasar ikonik di Yangon ini

Setelah.memulihkan tenaga dengan hidangan paket dua ayam, satu nasi dan segelas coke seharga 4200 kyat (sekitar 50rb) tibalah saatnya menelisik jalan-jalan di distrik Pabedan ini. Tak terlalu sulit karena jalanan kecil-kecil ini merupakan blok-blok yang parallel, dan akhirnya sebuah hotel backpacker didapat dengan tariff 12 dolar termasuk breakfast. Bagi saya ini cukup memadai karena hari ini dan besok hanya akan jalan-jalan orientasi medan dengan sasaran utama Bogyoke market, Shwedagon Paya, dan stasiun KA untuk memesan tiket ke Mandalay besok sore. Setelah pulang dari Mandalay nanti, jalan-jalan di kota Yangon ini akan dilanjutkan.

Distrik Pabedan (Pabedan Township) sepertinya merupakan tempat persinggahan pertama para turis backpacker sebelum pergi lebih jauh. Tak heran karena stasiun kereta berada disini, demikian pula banyak bangunan heritage dan bagunan pagoda yang menjadi ikon kota Yangon. Selain itu pluralitas keberagamaan tampak nyata disini, setidaknya lima buah mesjid besar berdiri disini demikian pula gereja dan katedral menyemarakkan bangunan ibadah selain pagoda-pagoda. Bila hanya memiliki waktu sehari saja di kota  tak ada salahnya melewatkan waktu disini saja, barangkali distrik ini bisa mewakili gambaran kita akan Yangon.

Menyaksikan Ritual Sai Bat Di Luang Prabang

tradisi & icon di Luang prabang

By Bayu Ismayudi

Senja yang memerah cerah menaungi terminal Luang Prabang saat bus yang kami tumpangi dari Luang Namtha tiba. Luang Prabang adalah adalah kota ketiga yang rencananya akan  disinggahi dalam rangkaian perjalanan saya & rekan saya Barbar kali ini, setelah sebelumnya Chiang Rai (Thailand), lalu melewati Chiang Kong (Thailand), selanjutnya menyeberang ke Laos melalui Bokeo dan singgah di Luang Namtha.

Dengan menggunakan tuktuk (sejenis angkutan kota) seharga 20.000 KIP/ orang (KIP : mata uang Laos) kami melaju menuju pusat kota dari terminal bus. Setengah jam kemudian kami tiba di pusat kota, tuktuk yang kami tumpangi berhenti di persimpangan jalan utama kota.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu tempat hal pertama yang kami lakukan adalah mencari café untuk sekedar menikmati secangkir kopi hitam panas & ber-wifi-an, agar bisa sedikit “aklimatisasi” & orientasi medan. Dan kebetulan tuktuk yang kami tumpangi berhenti tepat di depan sebuah café.

Sejenak kami rehat sambil meneguk hangatnya kopi, terlihat di seberang jalan sebuah keramaian, rupanya Night Market yang menjadi salah satu ciri khas kota ini sudah dimulai. Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung ke kota ini, Luang Prabang adalah sebuah kota yang menarik & eksotis, kota yang merupakan salah satu destinasi utama di Laos. Banyak beberapa atraksi yang bisa dipamerkan untuk para turis di sini, selain Night Market, pada pagi sekitar pukul 05.00AM ada upacara biksu yang berbaris memungut sumbangan dari penduduk setempat dan para turis. Selain itu karena Laos dulu pada tahun 1893 dan selama kurun waktu 52 tahun pernah diduduki Perancis, maka arsitektur banguanan bergaya Eropa banyak menghiasi kota Luang Prabang ini dan itu semua menjadi sajian menarik di kota ini. Kota ini juga terkenal sebagai situs warisan dunia yang dinobatkan oleh UNESCO.

Sepeminuman kopi pun berlalu, kami pun beranjak mencari guest house untuk menginap malam itu. Dan setelah melalui jalanan yang menjadi area Night Market kami menemukan guest house di jalanan kecil di dalam area Night Market tersebut. Sebuah Guest House yang nyaman dan strategis dan setelah melihat lihat room, kami pun booking satu kamar dengan double bed seharga 200.000 KIP.

Usai rehat sejenak dan membersihkan diri, sekitar pukul 20.00 PM kami bergerak mengeksplore jalanan kota Luang Prabang. Semarak Night market kami lalui, kami terus menelusuri sebuah kawasan di pinggiran sunga Mekhong yang menjadi area para backpacker berkumpul di mana banyak pula café & guest house bertebaran. Dan tentu saja wilayah ini tidak kalah semarak dengan area Night market tadi.

Hampir satu jam lebih kami menyusuri jalanan, sampai akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat kami menginap, namun sebelumnya kami sempat mencicipi nasi goreng yang dijajakan di pinggiran jalan seputar area Night Market, hmmm dari semenjak memulai perjalanan di Chiang Rai baru saat ini kami makan nasi setelah sebelumnya perut kami diisi oleh roti perancis dan mie rebus khas Laos (aroma & rasanya persis seperti Pho, mie Vietnam ). Beres makan kami pun kembali ke penginapan untuk istirahat.

Pukul 05.30 AM kami terbangun, pagi itu kami berniat menyaksikan upacara biksu yang terkenal itu. Maka setelah bersih bersih seperlunya kami pun bergegas menuju jalanan. Di kejauhan tampak ramai kerumunan orang, rupanya upacara itu sudah dimulai, setelah mendekati kerumunan tampak para biksu sedang berbaris berbalut kain berwarna orange membawa bakul kecil tengah memunguti sedekah dari penduduk setempat & para turis. Upacara yang dikenal dengan nama ‘Sai Bat’ berlangsung setiap hari dari pukul 05.00 AM. Para Biksu ini menerima sedekah berupa nasi ketan atau camilan tradisional. Penduduk yang akan member sedekah duduk di sepanjang jalan menunggu para biksu melewatinya. Konon menurut penduduk setempat, makanan yang terkumpul merupakan jatah makanan sehari untuk para biksu tersebut. Pada saat upacara ini berlangsung banyak para turis mengabadikan moment langka & unik ini.

Usai menyaksikan upacara ‘Sai Bat’ kembali kami berjalanan menyusuri  jalanan kota itu sambil menikmati udara pagi. Terlihat beberapa orang sedang melakukan aktifitas olah raga pagi. Saat itu kami juga melewati beberapa bangunan berarsitektur eropa dan beberapa kuil berornamen khas Indochina yang sempat kami abadikan. Sementara itu aktifitas kota belum lah bergeliat sepenuhnya, karena memang seperti halnya di Vietnam atau Thailand di sini juga aktifitas perdagangan & perkantoran dimulai pukul 10.00 AM. Setelah puas berkeliling kami pun kembali ke penginapan untuk mandi & sarapan.

Solo Backpacker di Hanoi

Kala mendarat di bandara Noi Bai, Dudung sedikit masygul karena belum pernah ke Hanoi. Kini ia sendirian pula alias solo backpacker. Hanoi terletak di wilayah utara Vietnam, terletak di delta Sungai Merah, hampir 90 km dari wilayah pesisir. Hanoi dilayani oleh Bandara Internasional Noi Bai, terletak sedikit diluar kota sekitar 15 km sebelah utara dari Hanoi.

Jrit, urang cengo sorangan di Hanoi… pikirnya, Bais jeung Bar mah ngeunah duaan backpackeran ka Laos. Kedua orang soulmate yang biasa menemaninya backpackeran memang sedang di belahan lain Indochina, yaitu melakoni tour Laos. Apabila waktunya pas, mungkin mereka bisa bertemu minggu depan di Saigon, namun tak ada jaminan.

“Urang ge engke balikna rek ka Saigon,” ujar Bar sebelum memulai tournya.

“Tanggal sabaraha?” tanya Dudung.

“Tah eta euy..teu pasti,” gumam Bar tak yakin, banyak hal yang bisa terjadi.

Tetapi Dudung sudah memantapkan diri mengenal kota tua ini. Kudu apal urang ibukota Vietnam, tekad Dudung. Sedikit menyesal juga ia tak ikut tour Vietnam lima tahun lalu, kala rekan-rekannya di tahun 2011 backpackeran menjelajahi Vietnam dari Selatan hingga Utara. Ia sendiri sering kalau ke Saigon di Selatan, namun ke Hanoi di Utara baru sekarang. Toh insting backpackerannya segera muncul.

Ah moal jauh jeung di Selatan, pikirnya, pasti ayah hiji daerah turis kawas District 1 di Saigon. Ngendong we didinya.

Perhitungannya tak salah, dan daerah itu adalah Old Quarter. Kawasan turis ini terletak tak jauh dari Danau Hoan Kiem, merupakan representasi dari arsitektur Hanoi dimasa lalu. Di daerah ini banyak terdapat pengrajin kecil dan pedagang, termasuk banyak toko-toko sutra. Masakan lokal serta beberapa klub dan bar dapat ditemukan di sini juga. Sebuah pasar malam di jantung kota buka setiap malam Jumat, Sabtu, dan Minggu dengan menawarkan berbagai pakaian, souvenir dan makanan.

Beberapa tempat obyek turisme yang menonjol lainnya adalah: Temple of Literature (Van Mieu), situs universitas tertua di Vietnam 1010; One Pilar Pagoda (Chua Một Cot); Flag Tower of Hanoi (Cot Co Ha Noi). Di antara danau yang ada , yang paling terkenal adalah Hoan Kiem Lake, Danau Barat, dan Bay Mau Lake). Hoan Kiem Lake, juga dikenal sebagai Danau Pedang, merupakan pusat sejarah dan budaya dari Hanoi.

Namun tak ayal ia sempat juga menjadi korban scam yang sering menimpa turis di Hanoi. Ceritanya, ia melakukan booking online sebuah hotel. Entah ia datang ke hotel yang benar atau tidak, karena salah satu scam disini adalah meniru nama hotel yang sudah populer. Setelah menginap semalam, esoknya kala menolak mengikuti paket tour yang ditawarkan hotel, ia dipaksa pindah ke hotel lain. Lesson learned, bahkan backpacker berpengalamanpun tak akan lepas dari resiko kena scam. Justru dari pengalaman-pengalaman tak menyenangkan itu, seorang backpacker akan makin mawas.

Setelah tiga hari di Hanoi, Dudung kembali bergerak ke Selatan menuju kota favoritnya: Saigon alias Ho Chi Minh City. Mudah-mudahan bertemu dengan yang pulang backpackeran dari Laos. Ia sendiri tak yakin akan hal itu, dan sudah siap untuk kembali solo di Saigon. Tetapi kota ini sudah terlalu dikenalnya, ia tak khawatir sama sekali.

Pertemuan Dengan Orang Cibangkong Di Perbatasan Thailand

IMG01839-20150306-1623By Bayu Ismayudi

Panas mentari siang itu sudah mulai menyengat saat saya dan Bayu Bhar tiba di perbatasan Laos-Thailand. Para pelintas batas dari Laos menuju Thailand berdesakkan, menyemut di di kantor imigrasi Laos di kota Vientianne.

Kami pun segera ikut bergabung dalam barisan pelintas batas sesaat turun dari tuk-tuk yang mengantar kami dari pusat kota. Ini adalah hari terakhir kami setelah seminggu menyusuri Laos dari Chiang Rai sebuah kota di utara Thailand.

Sangat jauh berbeda kondisi yg kami lihat sekarang, saat sebelumnya kami melintas dari Thailand menuju Laos, kantor imigrasi Laos relative sepi dari para pelintas batas, berbading terbalik dengan saat ini, pelintas batas dari Laos menuju Thailand begitu bejibun.

Para pelintas batas ini didominasi oleh turis bule mancanegara, walaupun ada beberapa turis berwajah oriental yang terselip di dalamnya.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju pada dua orang turis berbeda ras yang sedang berdialog di depan saya, yang satu seorang bapak setengah baya berwajah melayu dengan lawan bicara seorang turis bule…

“Where do you come from?” tanya sang turis bule kepada turis berwajah melayu tersebut. “I ‘m from Indonesia” sahut turis berwajah melayu. “Where do you live in Indonesia?” Tanya sang bule kembali. “Bandung” jawab sang bapak berwajah melayu itu.

Jawaban sang bapak setengah baya berwajah melayu itu sontak menarik perhatian saya. “Di Bandungnya di mana pak?” bisik saya tiba-tiba dari belakang antriannya…si bapak langsung menoleh “Lha lo Bandung juga? Lo sendiri Bandungnya di mana?” balik bertanya…”Saya di Buah Batu pak”  tegas saya..”Wah, daerah preman dong itu?” balas si bapak sambil tersenyum…”Emang klo bapak di mana di Bandungnya?” Tanya saya penasaran…”Gue dari Cibangkong”. Tegasnya…”Wah, premanan daerah bapak dong..” tukas saya yang kemudian disambut sang bapak dengan tawa dan jabatan erat.

Bapak setengah baya berusia 68 tahun ini sebut saja namanya Bapak X, karena bapak ini meminta merahasiakan identitasnya sehubungan dengan masa lalunya yang mirip agen rahasia hehehehe.

Bapak X ini walaupun sudah berusia kepala 6 malah hampir 7 masih terlihat bugar walaupun uban di kepalanya sudah mendominasi. Bapak ini langsung menyambut kami ramah dan hangat setelah tahu saya dari negara & kota yang sama.

“Bapak habis pelesiran apa kerja pak?” Tanya saya….”hmm, saya pengangguran, sudah hampir lima belas tahun saya tinggal di Bangkok” jawabnya…”Pengangguran elit ya pak?” ujar saya…”Si bapak ini bukan orang sembarangan” pikir saya, sebab mana mungkin seorang pengangguran bisa tinggal mencla menclo beberapa tahun di Amerika dan Eropa (saya tahu saat si bapak memperlihatkan passportnya) terus akhirnya menetap di Bangkok, Thailand.

“Kamu sendirian?” Tanya si bapak kemudian…”Berdua pak, sama teman” sambil menunjuk reka saya Bayu Bhar yang sedang berada di antrian sebelah. “Ok, nanti setelah beres imigrasi kita sama-sama ke Station bus ya” uajr si Bapak.

Setelah beres segala urusan cap mencap passport, kami pun segera bergerak menuju station bus Nong Khai, Thailand. Kantor perbatasan Thailand-Laos ini memang terletak di kota Nong Khai, jadi kami harus melanjutkan Sembilan jam perjalanan menggunakan bus menuju Bangkok.

“Kalian muslim?” Tanya si bapak sesaat setelah kami berada di dalam tuk-tuk yang mengantar kami menuju station. “Iya pak” jawab saya…”Ok, sebelum ke station kita cari makan dulu ya, saya tau tempat makan halal di daerah sini”. Memang saat itu sudah waktunya untuk makan siang, perut kami memang sudah mulai berteriak lapar hehehe.

Tidak berapa lama tuk-tuk yang kami tumpangi tiba di sebuah rumah makan berlabel “Halal” yang dimiliki oleh keluarga keturunan Arab. Setelah memesan menu makanan sop daging sapi, kami pun menunggu sambil berbincang-bincang tentang pengalaman si bapak yang dari tahun 1988 tinggal berpindah-pindah di negeri orang, malah sempat tinggal di Amerika dan beberapa negara di Eropa hingga akhirnya ‘terdampar’ di Bangkok, Thailand selama belasan tahun.

Kami sempat terkesima oleh cerita si Bapak X ini tentang masa lalunya yang ‘fantastis’. Betapa tidak si Bapak ini dulunya adalah veteran Nusakambangan. Bersama beberapa temannya terlibat dengan ‘hitamnya’ dunia hingga membuatnya terdampar di Singapore pada tahun 1988 dan membuatnya bertualang ke mancanegara.

Cerita sang Bapak ini membuat saya seperti mendengar kisah petualangan agen rahasia dan yang pastinya cerita-cerita ini tidak bisa saya paparkan di sini demi menjaga nama baik sang bapak yang mengakhiri ceritanya dengan keinginan untuk bertobat. “…Dan tahun ini saya ingin pulang, ingin naik haji, saya ingin menangis di rumah Allah, saya ingin taubatan nashuha” lirihnya….

Tidak lama kemudian makanan yang kami pesan pun akhirnya muncul tersaji juga, sop sapi & nasi putih hangat…hmm…aromanya sungguh membangkitkan selera. Kami pun makan dengan lahap diselingi obrolan ringan.

“Menurut bapak, gimana kondisi negara kita di lihat dari kacamata bapak yang tinggal di luar Indonesia?” Tanya saya tiba-tiba. Si Bapak menghentikan suapannya sambil menunjuk ke sop daging sapi yang berada di dalam mangkuk…”Kalau sop yang ada di dalam mangkok ini sudah ga karuan rasanya, jangan kau campur bumbu ini, itu lagi yang membuat rasa sopnya semakin ga karuan…kau buang sop dalam mangkok ini dulu, ganti dengan yang baru” tukasnya sambil menyeruput es teh manis…sedaap…

Usai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan menuju station bus Nong Khai. Dengan fasih menggunakan bahasa Thailand si Bapak ini memesankan kami tiket Bus VIP menuju Bangkok. Di Bangkok si Bapak ini tinggal di sebuah home stay milik pasangan tua yang sudah dianggap orang tua sendiri. Dan kami pun tinggal di home stay dekat tempat tinggal si bapak dengan harga yang relative murah, 200 BHT, sebelum sore harinya kami beranjak menuju Bandara Don Mueang karena saya akan melanjutkan pulang menuju Jakarta dan rekan saya Bayu bhar melanjutkan perjalanan menuju Vietnam….

Kota Tua Siem Reap di Kamboja

Pub-Street-Siem-Reap-2

Kala tiba di Siem Reap pada pagi hari, para penumpang bis malam dari Phnompenh cukup terhenyak. Mereka tiba-tiba berada di sebuah pool bis yang becek, menyerupai kubangan kerbau. Ini kala berkunjung di tahun 2012. Lucunya, segera setelah bis masuk pool pintu gerbang digembok dari dalam untuk menghindari serbuan pengemudi tuk-tuk yang ingin menawarkan jasanya. Para penyedia jasa transportasi itu pun tak mau kalah, mereka berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu. Bukan main..!

Namun semangat para turis tak terpatahkan oleh suasana hiruk pikuk ini, mereka tetap dengan riang berjinjit mencari pijakan yang agak keras di antara genangan lumpur itu. Sebagian turis dengan santai membuka sepatu dan bertelanjang kaki agar sepatu mereka tak ditelan oleh lumpur, lalu menerobos kepungan pengemudi ojek dan tuktuk yang bergerombol diluar. Benar-benar sebuah pagi yang sibuk!

“One dollar each,” ujar pengemudi tuktuk dengan mantap, melihat kami berempat. Tarif untuk naik kendaraan yang berdaya tampung empat orang itupun dihargai empat dollar, tanpa bisa ditawar. Mengingat jarak antara pool bis dan hotel cukup jauh, tawaran itu pun disepakati. Apalagi tak ada angkutan selain tuktuk disini.

Pengemudi tuktuk akan menawarkan untuk selalu memandu anda selama di Siem Reap, dengan membayar di hari akhir. Bila anda mempunyai rencana lain katakan saja, namun bila buta informasi tawaran ini cukup menarik.

 

Siem Reap secara harfiah berarti “Kekalahan Siam”, sebuah sejarah perang pada masa lampau kala kerajaan Angkor mengalahkan Siam ditempat ini. Sejak ditemukan oleh peneliti Perancis, situs Angkor Wat di Siem Reap telah menjadi salah satu primadona pariwisata dunia. Perang dan kediktatoran di Kamboja kemudian menyurutkan nama Angkor Wat, namun sejak tahun 1990-an wisata kembali berdenyut di kota Siem Reap dan semakin lama semakin bergairah.

Pusat keramaian kota Siem Reap berada di sekitar kawasan Old Market, atau Chas Psah. Ini adalah pasar tempat berbelanja suvenir yang murah meriah. Bila anda berbakat tawar menawar, bisa mendapat barang dengan harga murah disini. Saat Old Market tutup pada sore hari, Night Market yang terletak tak jauh dari sini baru saja buka dan akan tutup pada tengah malam. Sementara itu di kawasan backpacker yang tak jauh dari Old Market, pub dan café terus buka hingga dini hari. Selain terdapat pasar souvenir di kawasan Old Market juga terdapat banyak hotel, restoran dan toko yang memanjakan para turis. Disaat kawasan Siem Reap lain sudah terlelap, tempat ini akan tetap ramai hingga lewat tengah malam.Bila tak suka hotel di tempat ramai, cobalah kawasan yang lebih adem seperti Wat Bo atau Wat Kesararam.

Di Siem Reap sendiri rumah makan halal cukup mudah ditemui disamping terdapat restoran cepatsaji internasional. Di jalan utama Siem Reap yaitu Sivutha Boulevard terdapat rumah makan India Curry Walla, Maharajah, KFC, vegetarian restoran dan jajanan sea food. Namun bila benar-benar ingin meyakini kehalalan masakan silakan mengunjungi sebuah rumah makan yang agak jauh keluar dari keramaian yaitu di Stoung Thymey Village, tepatnya di samping mesjid Neak Mah (An Nikmah).

Menuju Siem Reap :
Bis : dari Phnompenh (6 jam), Bangkok atau Ho Chi Minh (12 jam)
Pesawat : direct flight dari Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura
Perahu motor : dari Phnompenh (6 jam) menyusuri sungai Tonle Sap

Semalam di Chiang Rai

 

Sekitar pukul tiga sore Bar dan Baiz tiba di bandara Mae Fah Luang Chiang Rai setelah perjalanan sejam lebih dari Bangkok. Ini kali pertama mereka tiba di kota itu. Bandaranya tidak besar namun cukup apik dan menyenangkan. Seperti biasa tiba di tempat baru, yang pertama mereka lakukan adalah mencari peta atau denah lokasi kota itu. Sayang di Chiang Rai brosur atau map kota sepertinya tak berlimpah, hanya ada peta kota yang terpampang di dinding. Mungkin pula sudah habis oleh turis-turis yang mengalir cukup deras ke kota kecil di Thailand Utara ini. Namun Bar tak putus asa, setelah celingukan sebentar ia melihat sebuah brosur di meja staff bandara. Segera disambar ketika ditinggal sebentar oleh yang empunya meja. Lumayan ada sedikit gambaran, namun tak cukup memadai bagi yang pertama datang ke Chiang Rai. Terpaksalah akhirnya membeli juga sebuah peta wisata seharga 80 baht. Darisitu barulah mereka mendapat gambaran tentang kota ini.

Tak ada transportasi publik dari kota ke bandara, sehingga mereka harus memakai taxi menuju kota Chiang Rai yang terletak sekitar 10 km dari kotanya. Bandara Mae Fah Luang ini adalah bandara baru yang terletak diluar kota, sedangkan bandara lama yang ada di dalam kota sudah tak dipakai untuk penerbangan komersial. Tarif taxi ke kota seharga flat 150 baht, namun supirnya mesem-mesem ketika dibayar pas. Akhirnya tambahan 10 baht  pun berpindah tangan.

Mereka menuju sebuah tempat yang disebut Night Bazar di peta wisata. Kelihatannya tempat itu cukup strategis karena terletak dekat terminal bis Chiang Rai. Namun karena masih sore, tak ada keramaian disana. Merekapun mencari-cari tempat untuk ngopi dan wifi. Sebuah jajaran café di seberang terminal bis Chiang Rai tampak mejanjikan, mereka pun masuk ke dalam salah satu bakery café disana, memesan secangkir kopi dan setangkup  roti untuk mengisi perut yang belum terjamah kalori hingga sesore ini.

Setelah mengisi perut dengan secangkir kopi panas dan roti hangat, diputuskan untuk menginap semalam di Chiang Rai. Tak sulit mendapatkan tempat menginap disini, tak jauh dari café ini banyak bertebaran hotel dan guesthouse. Mereka menginap disebuah guesthouse seharga 700 baht  termasuk  free wifi,  free breakfast plus feel free untuk membuat kopi. Tak murah menurut ukuran mereka, namun karena dekat dari terminal bis akhirnya pilihan itu diambil. Takut bangun kesiangan esok harinya.

Setelah matahari terlelap,  kehidupan malam kota Chiang Rai mulai menggeliat dan kemeriahan Night Bazar pun dimulai. Jalan-jalan yang tadinya dipakai lalu-lalang kendaraan bersolek menjadi pasar tumpah yang berwarna-warni. Beragam kuliner, atraksi dan souvenir dijajakan kepada para wisatawan  yang datang dari beragam penjuru. Pernak-pernik yang ditawarkan sebenarnya cukup menggoda, namun mengingat perjalanan masih jauh mereka berusaha keras tak tergoda. Cukup menawar buah nenas segar seharga 20 baht, untuk menjaga kondisi badan tetap fit. Resep fit backpackeran menurut mereka sederhana saja, yaitu cukup mengkonsumsi  buah atau sayuran segar selama perjalanan. Dan cukup menyesap kopi, tentu saja.

Tak jauh dari kemeriahan Night Bazar ini terletak sebuah ikon kota Chiang Rai yang lain yaitu Clock Tower. Sebuah tugu penanda waktu di persimpangan jalan, yang berhiaskan ukiran dan bergelimang cahaya lampu di malam hari. Tak jauh dari tugu banyak turis yang bersantap hidangan kakilima di pinggiran trotoar seraya mengagumi keindahannya. Walau tak semeriah suasana Night Bazar, area di sekitar Clock Tower pun cukup semarak oleh keberadaan turis yang menikmati suasana malam. Puas menikmati suasana malam kota mereka kembali ke pengiapan, bersiap  terlena dibuai udara sejuk Chiang Rai yang menjanjikan kehadiran dewi-dewi mimpi.

Pagi terasa begitu lekas menjemput. Rasanya belum rela untuk pergi jauh dari kota ini. Tapi sudah hampir jam delapan, mereka harus bersiap karena perjalanan masih panjang.  Baiz sedikit berolahraga dengan melakukan freeletics  gerakan Metis.

“Meni getol olahraga euy…”, gumam Bar melirik rekannya itu, sambil leyeh-leyeh di kasur membaca buku Lonely Planet tentang Laos, negara yang akan mereka tuju.

“Hiss.. jaga kondisi atuh, perjalanan masih jauh.. buru olahraga pagi mumpung isuk keneh,” timpal Baiz bersemangat. Bar tetap tak tertarik, “Engke we mun geus di Laos,” jawabnya memberi alasan dan meneruskan berbaring malas-malasan sambil membaca. Tentu saja, sampai tiba kembali di tanah air hal itu tak terlaksana.

Menu sarapan pagi tidak mewah namun cukup menyenangkan. Roti, telur, buah-buahan, susu dan kopi tak dibatasi pengambilannya. Namun mereka tak pernah makan banyak di pagi hari, cukup menimbun kalori secukupnya saja untuk bekal nanti di perjalanan. Bukan apa-apa, males banget kalau sedang di bis tiba-tiba perut bergejolak. Setelah membayar ongkos penginapan keduanya berjalan santai menuju terminal bus yang berjarak sekitar 200 meter. Memulai perjalanan panjang dari kota kecil yang tak sampai 24 jam disinggahi, namun telah berhasil mencuri hati mereka. (@bayubhar )

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (Tamat)

tradisi & icon di Luang prabangLuang Prabang, sebuah kota yang menjadi salah satu andalan bagi industry wisata di Laos. Sebuah kota yang ramai oleh para wisatawan, baik domestic maupun mancanegara, sebuah kota yang sadar wisata. Saat tiba di pusat kota Luang Prabang, kami langsung menuju sebuah café yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Seteleh memesan minuman wajib yaitu kopi panas, kami pun duduk duduk sambil melihat sekeliling. Karena kursi kursi café itu terletak di halaman sebuah travel agent, maka kami bisa leluasa memandang aktivitas sekitar. Terlihat di seberang jalan, night market yang merupakan salah satu hiburan andalan di kota ini sudah mulai digelar, lampu lampu jalan warna warni menyemarakkan suasana sekitarnya. Sambil tentunya ber-wifi-an, dan akhirnya dapat mengabari kondisi kami kepada keluarga & rekan di luar sana sambil menikmati cerahnya suasana senja.

Malam itu kami menginap di sebuah guest house yang terletak di jalanan sekitar area night market, Sebuah guest house yang nyaman berlantai parquette. Sehabis mandi kami lalu menelusuri jalanan Luang Prabang, dari mulai area night market sampai kawasan backpacker di pinggiran sungai Mekhong.

Luang Prabang banyak dihiasi oleh bangunan bangunan khas Eropa, karena memang Laos adalah bekas jajahan Perancis, wajar jika kota ini ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Sayangnya bangunan antik tersebut banyak yang kurang terawat, catnya kusam dan mengelupas, sungguh sangat disayangkan, padahal bangunan bangunan tersebut bisa menjadi daya tarik wisata yang unik.

Keunikan tempat ini sangat jelas bisa dinikmati pada pagi hari. Usai menyaksikan upacara sedekah biksu yang telah menjadi bagian dari atraksi turis, sebuah moment dimana para biksu berbaris mengambil sedekah dari para turis dan penduduk setempat. Setelah itu kami berjalan menghirup udara segar pagi hari sambil menikmati suasana kota.

Menjelang malam, kami sudah standby di southern terminal Luang Prabang, kali ini kami berencana akan bergerak menuju Vientiane menggunakan Sleeper Bus atau Bus malam kelas sleeper dengan harga ticket 150.000 KIP/ orang, dengan pertimbangan menghemat biaya penginapan. Para backpacker dalam melakukan perjalanannya sering kali menggunakan bus malam baik itu kelas VIP atau Sleeper yang tempat duduknya dapat disetting sebagai tempat tidur dengan maksud menghemat biaya penginapan. Jadi biasanya saat sampai ditujuan mereka akan menghabiskan siang harinya untuk mengeksplore kota.

Saat kami sedang duduk duduk menunggu waktu keberangkatan, tiba tiba ada seorang bule menyapa…”hey guys, where are you going?” . Wow rupanya si turis Italia itu yang tempo hari bersama kami di terminal Luang Prabang, selanjutnya kami pun terlibat sedikit percakapan…rupanya dia juga akan bergerak meninggalkan Luang Prabang menuju Vientiane dan dari situ akan terus menerobos menuju Vietnam…wah, asyik juga nih perjalanan si italiano ini….bikin ngiler hehehehe.

Sementara rencana kami dari Vientiane akan terus menuju Nong Khai, kota perbatasan Laos-Thailand dan melanjutkan ke Bangkok untuk kemudian pulang ke tanah air. Akhirnya sesuai jadwal keberangkatan yaitu pukul 20.45, bus kami pun bergerak menuju Vientiane.

Sekitar pukul 04.30 AM kami tiba di Northern Terminal Vientiane, hari masih gelap & udara masih terasa dingin walau tidak sedingin saat di Luang Namtha. Kami pun turun dan duduk duduk sejenak di sekitar terminal sambil sedikit melakukan orientasi medan. Setelah menghabiskan sebatang rokok, saya pun beranjak mandi di toilet terminal setelah sebelumnya rekan saya Barbar mandi terlebih dahulu dengan membayar 5000 KIP. Sekitar pukul 06.00 AM kami pun melaju menggunakan tuktuk menuju pusat kota.

Vientiane adalah ibu kota Laos yang terletak di Lembah Mekong. Vientiane merupakan bagian dari prefektur Vientiane (kampheng nakhon Vientiane) dan terletak di perbatasan dengan Thailand. Penduduknya di tahun 2005 diperkirakan berjumlah 723.000 jiwa (Wikipedia).

Tidak berapa lama kami tiba di pusat kota Vientiane, jalanan masih sepi toko toko belum lagi buka, seperti halnya di Thailand atau Vietnam di sini pun toko buka rata rata pukul 10.00 pagi. Dari kejauhan di taman kota saya melihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas olah raga. Kami pun melangkah ke arah taman yang letaknya dipinggiran sungai Mekhong tersebut dan mengambil beberapa foto.

Matahari mulai meninggi saat kami menjelajahi pusat kota, panas mulai terasa menyengat. Kami pun memasuki sebuah café untuk sekedar istirahat & berteduh sambil memesan minuman dingin. Sementara saya terkantuk kantuk dibuai sejuknya semilir AC di dalam café itu, rekan saya Barbar membuka buku Lonely Planet tentang Laos yang dibawanya saat berangkat. Tiba tiba dia menunjuk pada sebuah halaman di buku Lonely Planet tersebut di situ tertera judul “ Classic Routes” sebuah jalur klasik yang sering dilalui para backpacker yang di mulai dari utara Thailand kemudian menyebrang ke Laos selanjutnya menyusuri menuju selatan dan itu ternyata jalur yang kami lalui.

Setelah badan sedikit segar, kami pun melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Laos menggunakan tuktuk dan kami meminta kepada supirnya sebelum ke perbatasan untuk diantar ke Monumen Patouksai & Museum Sisaket atau Wat Sisaket yang merupakan icon dari kota Vientiane.

Sesampainya di pos imigrasi perbatasan Laos saya liat bejibunnya orang yang antri untuk melintasi perbatasan menuju Thailand. Hal ini sangat jauh berbeda saat kami melintasi perbatasan Thailand menuju Laos. Antrian panjang pun terjadi saat kami memasuki pos imigrasi Thailand di kota Nong Khai. Di kota ini lah kami mengakhiri perjalanan karena sore harinya kami menuju Bangkok untuk kemudian kembali ke tanah air.

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (2)

terminal Luang namtha pagi hariAkhirnya kami menemukan sebuah guest house untuk rehat malam itu di belakang terminal Luang Namtha setelah sebelumnya nongkrong sepeminuman kopi di sebuah kedai di pinggiran terminal. Suhu di Luang Namtha lumayan dingin bahkan saat di dalam kamar sekali pun. Fasilitas water heater yg terdapat di dalam kamar mandi kami tidak berfungsi membuat saya enggan mandi malam itu. Setelah sekedar bersih bersih saya pun mulai terlelap dibuai mimpi.

Kabut pagi yang tebal masih menyelimuti seputar terminal saat kami beranjak meninggalkan kamar guest house. Setelah mengisi perut dengan sandwich tuna, karena memang di sekitar situ susah untuk mencari nasi walaupun pada daftar menu tertera Fried Rice and Egg, Fried Rice and Chicken, dll tapi ketika kami memesan, nasinya tidak ada. Jadi saya pikir yang cukup mengalas perut untuk sarapan saat itu ya sandwich ditemani secangkir kopi hitam panas plus welcome drink teh khas laos…hmmm lumayan buat menghangatkan perut. Setelah ritual pagi beres, kami pun bergerak menuju peron penjualan ticket, rencananya hari itu kami akan meneruskan perjalanan menuju Luang Prabang.

Rupanya kami baru menyadari kalau uang KIP kami mulai menipis dan kami tidak tau lokasi ATM terdekat, sementara yang ada di kantong kami uang Baht Thailand. Maka setelah melihat schedule keberangkatan & daftar harga bus menuju Luang Prabang yang tertera pada plang di atas peron, saya pun mencoba bertanya ke petugas penjualan ticket…”I want buy ticket to Luang Prabang, can I pay with bath?” (ini bahasa inggris tarzan-pen). Si petugas penjual ticket malah menunjuk ke arah bus yang terparkir di depan, saya tentu bingung…kembali saya ulangi pertanyaan tadi, dan kembali si petugas menunjuk ke arah yang sama. Hmmm…saya baru ingat, logat penyebutan “Bus” di Laos sama dengan di Thailand atau Vietnam yaitu “Bat”. Jadi mungkin mereka kira saya menanyakan bus yang menuju Luang Prabang. Akhirnya saya menjelaskan, kembali dengan bahasa Inggris ala kadarnya…” I mean…I want buy ticket to Luang Prabang with Baht Thailand, not KIP. Dan akhirnya si penjual ticket mengerti, lalu kami kami pun mengeluarkan 400 Baht per orang untuk bus yang menuju Luang Prabang.

Bus yang kami tumpangi kali ini lebih mirip dengan mini bus travel, berbeda dengan bus kami sebelumnya yang membawa kami dari Bokeo ke Luang Namtha. Kali ini agak lebih nyaman, walaupun tetap sama dengan bus sebelumnya, apabila bus menjemput penumpang yang menunggu di perjalanan supirnya selalu turun dan ngobrol ngobrol dengan penduduk di sekitar lokasi penjemputan, saya jadi berfikir, jika di Bandung kita lama di perjalanan karena terhambat macet, kalau di sini karena supirnya banyak ngobrol di setiap pemberhentian hehehehe. Selama melakukan perjalanan di sini saya melihat lalu lintas tidak ramai bahkan relative sepi jauh dari kondisi macet. Kemacetan paling terjadi karena ada perbaikan jalan sehingga diharuskannya buka-tutup jalan untuk satu jalur, dan itu pun tidak lama seperti saat melewati wilayah Oudom Xai, kota antara Luang Namtha dan Luang Prabang.

Terik mentari siang itu mengiringi perjalanan kami menuju Luang Prabang, di sebelah kanan dan kiri kami pegunungan & lembah hijau, pemandangan khas wilayah tropis menemani kami. Namun di hampir lembaran dedaunan terselimuti debu debu tipis, sepertinya hujan sudah lama tidak menyapa wilayah ini. Apalagi saat memasuki wilayah Uodom Xai, debu debu tebal dari jalanan yang sedang diperbaiki berhamburan menghalangi pandangan di depan bus yang kami tumpangi. Di Dalam bus terlihat beberapa penumpang terlelap tidur, diantaranya ada turis asing yang rupanya sedang melancong juga.

Sembilan jam sudah kami lewati, hingga akhirnya kami tiba di terminal Luang Prabang tepat pukul 6.00 PM, cuaca cukup cerah sehingga kami menyangka saat itu masih pukul empat sore. Kami pun lalu turun dari bus, seperti biasa para sopir tuktuk mendatangi para turis termasuk kami, sambil berteriak “Center, sir!! Center sir!!”. Maksudnya menawarkan angkutan menuju pusat kota tempat para pelancong berkumpul.
Seorang turis asing yang tadi satu bus bersama kami menawarkan untuk share ongkos tuktuk agar lebih murah, ini merupakan hal biasa bagi para backpacker, berbagi ongkos transport untuk menghemat budget, kami pun menyetujui. Setelah sebelumnya Barbar menemukan ATM dan akhirnya kami memiliki KIP yang cukup, tuktuk pun melaju menuju pusat kota dengan ongkos 20 ribu KIP per orang.

Di perjalanan menuju pusat kota, saya sedikit berbasa basi dengan turis asing tadi yang ternyata berasal dari Italia, rupanya dia juga melakukan perjalanan yang sama dari Thailand menyebrang ke Laos. Dia bilang “Nanti di Luang Prabang ingin langsung cari guest house yang ada wifi nya” sambil tersenyum. Rupanya pikiran kita sama, semenjak memasuki Laos kita tidak menemukan wifi dan otomatis kita tidak bisa kontak dengan keluarga & rekan untuk sekedar memberi kabar.

Kata “Get Lost” yang sering menjadi motto para backpacker yang artinya kurang lebih “menghilangkan” diri atau “menyesatkan” diri kami alami juga saat memasuki Laos walaupun tanpa kesengajaan dalam arti saat itu kami memang tidak menemukan wifi untuk bisa kontak dengan keluarga dan rekan di luar sana, kalaupun ada wifi saat di guest house di Luang Namtha signalnya sangat parah. Berbeda mungkin dengan para maniak backpacker yang memang sengaja “menghilangkan” diri tanpa membawa gadget atau alat komunikasi lainnya. ‪#‎Bersambung‬

MENYUSURI “NORTHERN CLASSIC ROUTES” VERSI LONELY PLANET (1)

Aroma babi panggang menyergap kami saat tiba di terminal bus Luang Namtha, Laos malam itu. Waktu menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Hari sudah gelap, terminal kota kecil itu mulai sepi, rupanya hanya bus yang kami tumpangi yang terakhir singgah.

Beberapa warung yang menjajakan makanan khas setempat mulai bebenah untuk tutup. Saya bersama rekan saya Bar bar celingukan sedikit bingung, betapa tidak…kami baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, tentu belum sempat kami untuk sekedar orientasi medan.
Dengan menyandang backpack, kami menyusuri jalanan yang gelap, beberapa kedai makanan di sepanjang jalan masih terlihat ramai dan itu setidaknya bisa “menemani” kesendirian dan keterasingan kami. Jalanan yang kami susuri mengingatkan kami akan jalur pantura di pulau jawa…besar dan banyak berseliweran truk truk container.

Kota Luang Namtha ini adalah kota kedua yang akan disinggahi dalam itenary kami, setelah malam sebelumnya kami menginap di Chiang Rai, sebuah kota yang terletak di utara Thailand. Memang pada backpackeran kali ini, kami merencanakan trip dengan menggunakan jalur darat dengan melintasi dua negara.

Perjalanan kami awali dari Bangkok dengan menggunakan penerbangan jam 10.00 AM dan tiba di bandara Chiang Rai sekitar pukul 14.00. Perjalanan kami lanjutkan dengan taxi menuju pusat kota. Sekitar pukul 15.30 kami tiba di terminal bus Chiang Rai.

Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu daerah, tradisi kami adalah mencari café yang ber – free Wifi untuk sekedar ngopi dan ber- Wifi gratisan heheheehe, maklum pelancong harus sebisa mungkin meminimalisir budget.

Setelah puas kami ber-Wifi an, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari guest house. Kota Chiang Rai ini merupakan kota kecil yang nyaman, jalanannya luas dan tidak ramai oleh lalu lintas. Tidak berapa lama kami menemukan guest house yang letaknya di jalan kecil seharga 700 bht untuk kamar yang kami sewa dan kami pun terus rehat sejenak, karena kami berencana akan mengeksplorasi kota tsb malam nanti. Karena menurut informasi di kota ini tiap malam selalu ada “nait basal” (bahasa penduduk setempat) yang maksudnya Night Bazar atau sejenis pasar malam.

Sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, kami mulai bergerak menyusuri jalanan kota Chiang Rai yang asri menuju Night Bazar yang berlokasi di sekitar terminal. Tidak berapa lama kami tiba di Night Bazar, di situ banyak sekali barang dagangan dijajakan dari mulai makanan, pakaian sampai barang barang souvenir. Selain itu ada juga pengamen jalanan yang menampilkan keahliannya dalam memainkan alat music biola. Semarak sekali suasana di tempat itu.

Setelah puas kami mengelilingi tempat itu, kemudian kami kembali menyusuri jalanan menuju “Clock Tower”, sebuah menumen yang menjadi icon kota Chiang Rai. Tugu yang berornamen khas Thailand yang di puncaknya terdapat jam yang besar. Di sekitar Clock Tower ini banyak bertebaran café dan kedai tempat para turis local maupun mancanegara berkumpul. Cuaca cerah malam, semakin menambah semarak suasana disekitar clock tower tersebut.

Sekitar pukul 11 malam kami kembali ke guest house, kami berniat untuk beristirahat untuk memulihkan stamina dan mengumpulkan energy, karena besoknya kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah menyebrang ke perbatasan Thailand-Laos menggunakan bus dan berniat singgah di kota Luang Namtha (Laos).
Esok paginya kami sudah mulai berkemas dan bersiap untuk check out untuk kemudian berangkat menuju terminal. Sekitar pukul 09.30 AM kami sudah berada di dalam bus menuju kota perbatasan Thailand, Chiang Kong. Penumpang di dalam bus selain masyarakat local juga ada turis turis asing yang rupanya punya tujuan sama, menyebrang ke Laos.
Dua jam berlalu, hingga akhirnya kami tiba di sebuah halte di pinggiran sungai Mekong. Saat turun dari bus kami langsung dikerubuti supir tuk tuk atau sejenis beca bermotor. Mereka menawarkan untuk mengantarkan kami menuju pos perbatasan, rupanya memang tuk tuk ini adalah satu-satunya kendaraan yang mengantar para turis menuju border control atau pos imigrasi. Kemudian kami pun melaju menggunakan tuk tuk bersama dua orang turis asing.

Setelah passport kami diperiksa dan menyerahkan formulir imigrasi, kami pun menuju perbatasan Laos dengan menggunakan bus seharga 25 Baht yang sudah menunggu di depan pos Border Control. Tidak kurang dari setengah jam setelah melewati Friendship Bridge kami tiba di perbatasan Laos. Sekedar informasi, beberapa tahun yang lalu menurut Barbar rekan saya yang pernah mengunjungi Laos lewat jalur darat saya, antara perbatasan Thailand & Laos dihubungkan dengan kapal Ferry sebelum dibangun “Jembatan Persahabatan”.

Memasuki kantor imigrasi Laos, seperti biasa setelah mengisi formulir imigrasi dan passport kami distempel, kami pun mulai menginjakkan kaki di wilayah yang berbeda tersebut. Saat keluar kantor imigrasi, beberapa supir tuk tuk mengerubungi kami, menawarkan jasa angkutan mengantar kami ke kota Bokeo, sebuah kota yang terletak di dekat perbatasan Laos.
Kami pun lalu berangkat menggunakan tuktuk bersama beberapa penumpang local dengan ongkos seharga 50 ribu KIP (mata uang Laos). Rupanya ada kesalahpahaman antara kami & supir tuktuk yang tidak bisa berbahasa Inggris, kami mengira di tempat yang kami tuju akan ada bus antar kota. Tapi ternyata, tempat yg kami datangi itu adalah pusat kota Bokeo, dan tidak ada bus di situ. Bus bisa di dapat di terminalnya langsung. Dengan dibantu penterjemah dadakan yaitu seorang ibu-ibu yang menumpang bersama kami yang bisa berbahasa Inggris akhirnya supir tuktuk bersedia mengantar kami menuju termina Bokeo dengan meminta ongkos tambahan tentunya…hehehe

Bokeo merupakan sebuah provinsi di Laos yang memiliki luas wilayah 6.196 km² dan populasi 149.700 jiwa (2004). Ibu kotanya ialah Ban Houayxay. Saya melihatnya sebagai kota kecil yang semi berkembang. Ketika kami dibawa oleh supir tuktuk ke pusat kotanya, saya melihat seperti wilayah pasar Pangalengan di Jawa Barat, sangat bersahaja…Ketika saya memasuki pasar, tidak terlihat seorang pun di sana yang merokok, padahal biasanya di pusat pusat keramaian pasti ada saja orang merokok seperti halnya di Saigon, Bangkok,dll di kota2 di negara yang pernah saya kunjungi.

Begitu pula saat di terminal, saya melihat hanya turis turis asing yang merokok. Awalnya saya mengira mungkin ada aturan yang melarang merokok di tempat umum seperti halnya di Singapore atau Bangkok, sehingga saat saya akan merokok saya bertanya dulu kepada penduduk local, dan mereka memperbolehkan. “Hmmm sebuah kebiasaan yang sehat hehehehe hidup tanpa rokok ..” itu yang ada di benak saya. Tapi ada satu kebiasaan penduduk kota ini yang kurang “berkenan” bagi saya yaitu meludah sembarangan, awalnya saya mengira hanya beberapa gelintir penduduk saja saat di terminal yang seperti itu, tapi saat di dalam bus menuju Luang Namtha, kondektur bus atau lebih tepatnya kenek bus membagikan kantong kresek yang akhirnya saya tahu kalau itu untuk penumpang yang mabuk darat atau ingin meludah…maka jadilah sepanjang perjalanan kami “dihiasi” dengan sura suara…”hoooek cuh!” (icon wajah ijo).

Dan yang lebih “Keren” lagi, mungkin karena tidak adanya shelter atau rest area sepanjang perjalanan jika penumpang yang ingin buang air kecil, bus akan berhenti di bedeng bedeng pinggir jalan yang saya lihat banyak pembuangan sampahnya lalu para penumpang pun secara masal baik itu pria maupun wanita “beser” di situ…dan tidak lupa setelah itu mereka akhiri dengan “hooeeek cuh!”

Seperti halnya asumsi saya tentang jalanan kota di Laos yang penuh debu, saat memasuki Bokeo banyak lahan lahan tanah merah yang berdebu kami lewati. Walaupun begitu wilayah pusat kotanya tempat para backpacker berkumpul terlihat agak sedikit nyaman bernuansa pedesaan di pinggiran sungai Mekhong. Tapi saat memasuki terminal yang letaknya di tengah tegalan tandus berdebu, Barbar rekan saya berkata “ Jiga di pilem koboy nya? Asa di Meksiko” wkwkwkwwkw

Setelah membayar ticket bus seharga 250 Baht, sekedar informasi di Laos selain mata uang KIP, Bath juga bisa diterima di sana selain USD atau mata uang Dollar yang lain kecuali Rupiah huuaaaaa (menyedihkan sekali…Rupiah oh Rupiah). Dan tepat pukul empat sore kami pun berlalu menuju Luang Namtha yang berjarak 180 Km dari Bokeo. ‪#‎Bersambung‬

Hotel Tertinggi di Asia Tenggara

Laban Rata resthouse and Mt Kinabalu

Jangan bayangkan hotel Stamford, Singapura yang berketinggian 226 meter atau Baiyoke Sky, Bangkok yang menjulang setinggi 304 meter.  Menginap di hotel-hotel itu biayanya tentu selangit untuk ukuran backpacker. Yang dimaksud adalah Laban Rata Resthouse di Taman Nasional Kinabalu, Malaysia. Hotel ini  terletak pada ketinggian  3.272 meter di atas permukaan laut. Jadi, bila menginap disini kita sudah lebih tinggi dari puncak gunung Lawu (3.265 meter dpl) di Jawa Timur. Tak terlalu salah bukan?

Tak perlu khawatir dengan akomodasi karena hotel cukup nyaman dimana tersedia tempat tidur susun, selimut hangat, air panas, pemanas ruangan, dan restoran buffet dengan hidangan ala western maupun Asia.  Syaratnya hanya satu, untuk menginap disini kita harus mengeluarkan keringat sebelum sampai di Laban Rata Resthouse, karena perjalanan menuju ke tempat ini memerlukan waktu 6-7 jam dari Timpohon Gate, pintu masuk start pendakian Taman Nasional Kinabalu,.  Tak perlu membawa perlengkapan naik gunung yang berat, karena semua keperluan sudah. Cukup membawa daypack berisi perlengkapan pribadi.

Kompleks penginapan ini sebetulnya adalah  peristirahatan untuk melakukan pendakian ke puncak gunung Kinabalu keesokan harinya. Namun tentu saja kita bebas untuk menentukan apakah melanjutkan pendakian tiga jam ke puncak atau meneruskan tidur.

Tak ada salahnya melancong ke ibukota negara bagian Sabah ini karena kita akan mendapatkan suasana berbeda yang tak kalah menariknya dimana kota pesisir tertata apik seraya memiliki pula beragam tujuan wisata pegunungan untuk menyambut turis. Wisata alam merupakan andalan pariswisata disini dengan Taman Nasional Kinabalu sebagai daya tarik utamanya. @districtonebdg