Pakse, Kota Persinggahan Menuju Selatan

Hari masih gelap ketika kami dibangunkan oleh kondektur local bus jurusan Thakek-Pakse. Dia memberitahu kami bahwa kami telah sampai di Kota Pakse. Bis tersebut seharga 60.000 kip/orang dan dipesan langsung di terminal Thaekek. Hari itu sekitar pukul 05.30, kami turun dan melihat sekeliling. Ini adalah pertama kalinya kami menginjak kota ini. Hari itu tanggal 2 Desember 2011, hari ketiga kami berada di Laos.

 

Hal yang pertama kami pikirkan adalah penginapan. Tanpa ragu-ragu kami memanggil tuktuk (angkutan umum khas Laos) dan menyuruh sopirnya untuk mengantarkan kami ke penginapan yang sesuai dengan kantong kami. Setelah kami tiba di salah satu penginapan yang tidak terlalu mahal tetapi nyaman, kami segera merebahkan badan dan tertidur sampai tengah hari karena perjalanan panjang yang kami lalui dari Vientiane ke Thakek dan dari Thakek ke Pakse.

Setelah cukup beristirahat, kami mencari  makan siang dan pilihan kami jatuh kepada rumah makan di depan penginapan. Karena teman saya seorang Muslim maka, kami makan makanan yang mengandung ayam. Aman. Kemudian, kami memulai berkeliling kota dengan berjalan kaki dan diteruskan dengan menyewa motor. Kota Pakse merupakan ibu kota dari Propinsi Champasak. Kota ini tidak terlalu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Banyak terdapat guest house dan hotel di pusat kota serta banyak wisatawan yang berkeliaran. Pakse merupakan kota persinggahan bagi wisatawan-wisatawan yang ingin melakukan perjalanan wisata di kawasan selatan negara Laos. Dari Pakse ada beberapa kawasan pariwisata andalan di wilayah Selatanyang dapat diakses dengan mudah seperti Bolaven Plateau, 4000 island (Si Phan Don), Wat Phou dan lain-lain. Beberapa di antaranya menyediakan perjalanan wisata menyusuri Sungai Mekong dengan menggunakan perahu.

Di Pakse hampir setiap guest house atau hotel berhubungan langsung dengan travel agent yang menyediakan trip-trip wisata sehingga sangat mudah untuk mengunjungi kawasan pariwisata yang diinginkan. Wisatawan hanya tinggal bilang mau ke mana dan kapan, maka resepsionis akan segera menelpon travel agent dan kita akan dijemput pada waktu yang telah ditentukan. Pembayaran dapat dilakukan langsung di guest house atau hotel. Selain itu, jika kita datang ke warung internet atau tempat penyewaan motor maka petugas akan memberikan kita peta kota kepada wisatawan agar mudah untuk berkeliling kota. Keren!

Sepanjang barat Kota Pakse dilalui oleh Sungai Mekong. Sore itu kami menyebrangi sungai Mekong melalui sebuah jembatan yang disebut Lao-Japan Bridge. Disebut demikian karena jembatan tersebut merupakan jembatan yang dibangun oleh pemerintah Jepang sebagai tanda persahabatan dengan pemerintah Laos. Selain jembatan tersebut, ada beberapa bangunan di Laos yang dibangun oleh pemerintah Jepang. Jika dari Kota Thaekek setelah  menyebrangi Friendship Bridge maka di seberangnya adalah wilayah Thailand, berbeda dengan menyeberang Lao-Japan Bridge. Setelah menyeberang, maka daerah seberang Sungai Mekong tersebut masih merupakan wilayah negara Laos. Daerah perbatasan Laos dan Thailand masih sekitar 68 km lagi dari jembatan.

Pada malam hari, suasana Kota Pakse hampir mirip dengan Kota Vientiane karena banyak wisatawan asing yang memenuhi jalan, rumah makan dan kafe-kafe. Tetapi hal tersebut hanya sampai sekitar pukul 23.00 karena pada tengah malam, jalanan mulai sepi dan hanya terlihat beberapa pemuda yang duduk di depan rumah mengitari meja untuk mengobrol sambil meneguk bir. Hal ini bisa dibilang sebuah tradisi di Laos.

penulis+foto : Maya Rara Tandirerung

Vang Vieng Surga bagi Hippies Backpacker

Siang itu pusat kota Vang Vieng seperti biasa merupakan tempat yang santai, tidak ada yang tergesa. Turis asing banyak yang hanya sekedar minum dan menyaksikan acara televisi di cafe-cafe yang tersedia. Beberapa lainnya berjalan-jalan dari satu toko ke toko lainnya. Jalanan masih tenang, Sampai satu saat ketenangan pusat kota terganggu…BRAAKKK !!. Terdengar suara benturan cukup keras. Lokasinya hanya beberapa toko dari tempat kami duduk.  Suasana menjadi riuh rendah, dan orang-orang berkumpul di tempat terdengarnya benturan. Ternyata ada turis asing yang menggunakan motor, menabrak motor lainnya yang sedang terparkir.

Tidak lama keramaian itu muncul, orang-orang bubar, kembali pada kesibukannya masing-masing. Beberapa orang yang keluar dari keramaian berjalan sambil tetap menenteng botol birnya. Bahkan ada seorang turis asing (salah satu yang keluar dari keramaian) berhenti di hadapan kami. Sambil melinting ganja, membakarnya, dan berjalan kembali. Setidaknya saya tahu itu ganja dari baunya.

Bau alkohol di setiap sudut pusat kota bukanlah hal aneh di Vang Vieng. Sebagai kota tujuan wisata turis asing di Laos, Vang Vieng memanjakan turis asing dengan minuman-minuman keras berkelas internasional hampir di setiap blok jalanan Vang Vieng. Dengan harga yang relatif murah (perbandingan dengan di Indonesia dan Kuala Lumpur Malaysia) tidak sulit bagi turis asing meminum alkohol kapan pun mereka mau. Jadi tidak aneh jika ada kejadian turis yang sedikit mabuk dan menabrak motor yang terparkir tadi.

Bagaimana dengan ganja? Kami sempat bertanya pada Khouk, salah satu pegawai perusahaan travel di Vang Vieng. Dia menuturkan bahwa memang banyak turis yang menggunakan ganja di Vang Vieng, bahkan beberapa menghisapnya di ruang terbuka. Namun Khouk mengatakan bahwa ganja atau opium merupakan barang terlarang di seluruh Laos. Dan para penggunanya harus berhati-hati jika ada polisi. Namun menurut kami sepertinya tetap aman, karena polisi yang terakhir kami lihat di Vang Vieng adalah beberapa ratus meter dari pusat kota. Menjadi sebuah dilematis, ketika negara miskin seperti Laos yang pusat pendapatannya berada di sektor pariwisata, harus menghadapi turis asing yang sudah merasa terlalu bebas menggunakan ganja atau opium di Vang Vieng.

Namun tidak semua turis asing berlaku seenaknya di Vang Vieng. Kami juga sempat berbincang dengan salah seorang turis asing asal Spanyol. Dia mengatakan bahwa memang banyak turis asing datang kemari, namun beberapa dari mereka memang berlaku kurang sopan. Dia lalu menunjuk salah seorang turis pria yang berjalan tanpa pakaian sambil menenteng bir di pusat kota.

“Turis ya seperti itu”, ucapnya.

Ketika kami tanya mengapa kamu tidak seperti itu, dia hanya tersenyum,  “Saya pikir, saya tidak akan melakukan itu.”

(Hidayat Adiningrat,2011)

Singgah di Vang Vieng

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 12 jam dari Oudomxay, pukul 04.00 pagi kami tiba di kota Vang Vieng. Selama perjalanan, bus yang kami tumpangi seringkali berhenti, dan yang menarik ternyata hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada penumpang yang ingin muntah. Setiap kali bus berhenti, penumpang berjajar dan muntah.

 

Pagi itu, suasana sangat sepi, tidak ada seorang warga pun yang kami temui, hanya beberapa kendaraan yg sedang terparkir di sisi jalan. lalu Kami berjalan untuk mencari penginapan. Akhirnya kami menemukan penginapan Sisombat Guest House, dengan menekan bel, penjaga guest house yg sepertinya baru saja terbangun langsung menawarkan sebuah kamar double bed seharga 50.000 k- (LAK/Lao Kip). Setelah beberapa malam sebelumnya kami tidur di dalam bus, malam ini kami bisa tidur diatas kasur.

Pagi hari kami bertanya pada petugas guest house tentang lokasi dan akses menuju central city. Dia mengatakan bahwa central city berada tidak jauh dari guest house, dan cukup berjalan kaki untuk mencapainya. Ketika kami menanyakan peta kota, penjaga guest house tersebut mengatakan bahwa kami bisa mendapatkannya di central city dan dia sendiri tidak memilikinya.

Lalu, kami keluar dari guest house untuk mencari makan dan melihat keadaan kota Vang Vieng, saat kami keluar dari guest house didepan kami terlihat bentangan tebing andesit memanjang dari utara ke selatan yang konon menurut penjaga guest banyak digunakan untuk paket-paket wisata gua (caving) dan rock climbing.

Setelah sarapan -dengan biaya 15.000 k-, kami berjalan kaki menuju central city of Vang Vieng yang menurut penjaga warung tempat kami makan letaknya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Benar saja, kurang dari 10 menit kami telah tiba di central city of Vang Vieng.

Sesampainya di central city, terlihat di depan ada Laos tourism information. Tetapi ketika kami masuk ke sana, untuk mencari informasi tentang kota ini, kantor tersebut tutup dan tidak ada seorang pun yang bisa kami temui. Di dekat kantor tersebut terdapat penyewaan motor dan sepeda, lalu kami memutuskan untuk menyewa sepeda tersebut untuk berkeliling kota dengan biaya 10.000 k per satu unit sepeda sampai pukul 19.00, di tempat penyewaan sepeda ini pula kami mendapatkan peta kotaVang Vieng dengan cuma-cuma.

Sepanjang jalan di central city, terdapat banyak sekali guest house dan restaurant juga turis-turis asing yang berkeliaran. Seperti kota-kota wisata lainnya di Laos, turis di sini didominasi oleh turis-turis yang berasal dari Eropa. Sekilas, Vang Vieng tampak seperti Bali atau Pangandaran dengan luas wilayah yang lebih kecil tetapi minus pantai.

 

Wisata alam dan petualangan

Kota ini menawarkan banyak paket wisata, terutama wisata alam bebas. Di sini para wisatawan bisa mencoba beberapa objek wisata seperti cave, waterfall, rock climbing, dan tubing. Lokasi-lokasi wisata tersebut jaraknya bervariasi dari central city, dari yang paling dekat yaitu 4 km sampai terjauh 14 km. Untuk mencapai lokasi tersebut, para wisatawan bisa menggunakan tuk-tuk yang banyak tersedia di sini.

Kota Vang Vieng dikelilingi oleh deretan pegunungan yang di sekitarnya terdapat banyak gua dan tebing. Di sisi sebelah barat kota ini terdapat sebuah sungai yang digunakan untuk wisata tubing dari bagian utara sungai sampai ke selatan. Di sisi timur, terdapat hutan yang bisa digunakan untuk wisata cycling and motorbike, untuk rock climbing sendiri lokasinya adalah di Padeng Hill Climb di sebelah Barat kota Vang Vieng melewati sungai.

Masyarakat kota Vang Vieng rata-rata bekerja dalam sektor pariwisata dengan menjual paket-paket wisata, membuka restorant, guest house, penjual cindera mata, atau menyediakan transportasi untuk akses-akses ke lokasi-lokasi wisata. Karena banyaknya wisatawan asing yang datang ke kota ini, masyarakat kota Vang Vieng cukup banyak yang bisa berbahasa inggris, tidak seperti di Oudomxay, di sini kami cukup mudah dalam berkomunikasi.

Untuk masalah harga, paket-paket yang ada tidak dapat ditawar untuk diturunkan harganya, seperti kejadian yang kami lihat di internet cafe, saat salah seorang penjaga internet marah-marah kepada salah satu turis asing yang mencoba menawar biaya telepon yang telah ia gunakan, “Its not about your sucking money!!”, begitu kata-kata yang keluar dari mulut penjaga ‘warnet’ yang marah tersebut.

 

Malam di Vang Vieng

Vang vieng merupakan salah satu kota tujuan wisata di laos. Kota Vang Vieng dapat ditempuh melalui Viantiene menggunakan bus selama 5 jam perjalanan. Seperti kota-kota lainnya di Laos, pusat kota Vang Vieng tidaklah terlalu besar. Namun Vang Vieng memiliki keunggulan pada ekowisata dan wisata petualangannya. Ketika siang, para wisatawan tidak banyak yang melakukan aktivitasnya di pusat kota. Mereka lebih memilih untuk berwisata ke tebing-tebing alam di sekitar kota atau melakukan penelusuran gua.

Langit mulai mendung saat senja datang di Vang Vieng, lampu-lampu di pusat kota mulai terlihat gemerlapnya. Semakin mendekat ke pusat kota, di lokasi yang saat siang sepi itu, sayup-sayup terdengar musik-musik pengiring malam. semakin banyak wisatawan berkulit putih lalu-lalang di pusat kota. Cafe-cafe yang berdiri di sepanjang jalan utama kota pun semakin bersemangat saat malam. Berlatar belakang dinding-dinding tebing nan gagah, kota Vang Vieng mulai memperlihatkan geliat hidupnya.

Menarik melihat kuliner yang disajikan restoran dan pedagang di sepanjang jalan pusat kota. kebanyakan, restoran-restoran di tempat ini menyajikan masakan-masakan khas masyarakat barat. The Rising sun, Jungle bar restourant, dan Vang vieng steak house, merupakan sebagian dari banyak restoran yang khusus menyajikan masakan ala barat. Para pedagang ecerannya pun tidak mau kalah. Makanan-makanan seperti sandwich, pizza, burger pun menjadi komoditas perdagangan yang menggiurkan bagi mereka.

Di sudut lain di pusat kota, seorang ibu tampak asik menonoton TV. Ibu itu tidak banyak kerjaan memang, karena restorannya sepi dari pengunjung. Menyadari kehadiran kami, ibu itu langsung tersenyum dan berbicara dalam bahasa Laos. Kami langsung menimpali dengan bahasa inggris, agar dia tahu kami tidak mengerti apa yang diucapkannya. “Can we look the menu?” Setelah melihat menu kami memesan “two soup noodle with chicken”. Restoran tradisional ini memang kalah laris dengan restoran lain yang menghidangkan makanan ala barat di Vang Vieng. Namun dengan hidangan dua mangkuk bakmi di meja membuat Vang Vieng tidak kehilangan rasa Laosnya. Satu lagi kami teringat tentang Laos,”Do you have beer Lao?” Ibu itu mengangguk. “Oke,We buy one”.   (Hidayat Adiningrat, 2011)

 

 

foto/internet

 

 

Koloni Little Africa yang Unik di Guangzhou

“Aya naon kitu di Guangzhou?” tanya Dunga pertama ketika diajak ke kota itu.
“Aya Afrika hideung,” jawab Bar sekenanya.

Salah satu yang menarik perhatian milisi budget ini pada kota Guangzhou di China, adalah keberadaan koloni Afrika dalam jumlah yang cukup besar disini, sehingga kawasan tempat mereka tinggal pun sering disebut Little Afrika. Maka jangan heran bila di pertokoan kota Guangzhou terutama kawasan Xiaobei, akan mudah ditemui orang-orang Afrika yang hitam legam. Bukan bermaksud rasis, hanya untuk membedakan dengan ras Afrika lain di Utara yang lebih Arabik. Mereka berkoloni disini untuk mengirimkan barang ke negerinya seperti Nigeria, Kenya dan lainnya. Cina adalah partner utama Afrika dalam perdagangan, yang satu kelebihan barang produksi yang satu haus akan barang. Klop.

Suasana benua hitam langsung terasa ketika keduanya -seperti biasa- nyasar, lalu dalam keadaan terhuyung lapar masuk ke sebuah rumah makan. Disekeliling tampak warga berkulit hitam sedang menikmati makan siang.

“Asa di Zimbabwe..,” gumam Bar sambil melihat berkeliling,” bener kitu ieu teh di China?”
Dunga tak mempedulikan, ia sedang mencoba menyumpit makanannya ,”Daging naon ieu teh?” gumamnya mengernyit.

“Daging onta,” ujar Bar singkat sambil terus menyuap.

Kota terbesar ketiga di China ini memang memiliki histori sebagai jalur perdagangan sejak dulu. Mungkin juga sejak era jalur sutera jaman dahulu, entahlah. Namun koloni Afrika disini sudah lama ada terutama sejak reformasi China oleh Deng Xiaoping  tahun 90-an, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kota metropolitan ini. Tahun 2012 dianggap sebagai puncaknya dimana terdapat sekitar 100.000 warga Afrika disini, menjadikannya koloni Afrika terbesar di Asia. Di tahun-tahun berikutnya angka ini perlahan surut karena berbagai alasan, namun tetap merupakan konsentrasi Afrika yang besar diluar benuanya. Di bandara Baiyun, Guangzhou kita akan terbiasa melihat calon penumpang tujuan Afrika membawa bagasi seperti akan pindah rumah. Tampaknya sebuah kelaziman bagi penumpang tujuan Afrika untuk membawa bagasi yang membumbung.

Walaupun sudah turun temurun dan banyak terjadi perkawinan campur dengan warga lokal, keberadaan koloni Afrika kerap menghadapi permasalahan, terutama isu imigrasi. Sebagian warga Afrika menganggap pemerintah China tak serius menerima mereka sebagai warga kota, mempersulit bisnis dan imigrasi hingga terkesan ingin mengusir keberadaan mereka. Terkadang protes dan perselisihan dengan otoritas bisa pecah menjadi kerusuhan. Hal seperti ini tentu terjadi dimana-mana, hanya saja bila di negara lain kebanyakan menimpa pekerja migran maka disini adalah pedagang migran. Namun Guangzhou adalah kota metropolitan yang multirasial, tak hanya warga Afrika yang hilir mudik disini. Warga Arab,  Turki, Melayu juga kerap dijumpai. Sebenarnya kondisi multikultural ini juga menjadi salah satu daya tarik tersendiri dari kota Guangzhou. (2013)

@districtonebdg

Perjalanan Darat di “Indochina Circuit”

img-20150303-00656Perjalanan backpackeran di Indochina akan dihadapkan kepada banyak pilihan dimana kelima negara yang berbatasan darat yaitu Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam memiliki keunikan masing-masing.  Maka untuk menghapus kegalauan pilihan yang beragam itu mengapa tidak melakukan lintas negara sekalian. Kemudahan melintas perbatasan antar negara yang tak memerlukan visa memungkinkan pemegang paspor ASEAN keluar masuk disini.

Bila berencana melakukan perjalanan darat lintas negara, kita bisa memulai dari kota manapun dan melanjutkannya dengan bis atau kereta. Namun kami menyarankan perjalanan dimulai dari Bangkok karena selain letaknya yang strategis, transportasi di Thailand lebih maju dari yang lain.  Selama di kota Bangkok kita akan dimanjakan oleh kecepatan dan kenyamanan transportasi yang terintegrasi.  Tergantung akan pergi kemana kita bisa memilih kereta, bis, subway dan angkutan sungai sebagai angkutan publik. Demikian juga amat mudah untuk menyetop taxi, tuktuk atau lainnya.

Terminal bis Mochit dan stasiun kereta Hua Lamphong adalah hub transport yang paling utama untuk meretas jalan menuju ke perbatasan. Namun banyak pula bis-bis travel dari area backpacker di Khaosan atau dari pool yang siap mengantar hingga jauh ke negeri tetangga. Ke perbatasan manapun kereta dan bis siap mengantar hingga pemberhentiannya yang terakhir. Dari Bangkok setidaknya ada beberapa pilihan untuk menjalani perjalanan darat Indochina circuit  yang mendebarkan. Berikut beberapa pilihan rute darat yang banyak menjadi pilihan turis backpacker:

  1. Selain Bangkok, destinasi wisata Thailand terutama ke Selatan (pantai) dan Utara (pegunungan). Kota-kota utama di Utara seperti Chiangmai dan Chiangrai merupakan jalur masuk dari Utara ke Myanmar dan Laos.  Kota lainnya adalah Udon Thani dan Ubon Ratchathani yang berbatasan dengan Laos, serta Aranyaprathet dengan Kamboja.
  2. Kearah Myanmar bisa memakai bis atau kombinasi kereta dan bis. Myanmar bisa dimasuki dari Maesai atau Maesot. Namun bila hendak meneruskan ke Yangon ambil perbatasan darat di Maesot ( memerlukan visa darat). Myanmar merupakan jalan buntu, setelah puas mengeksplorasi kota-kotanya bila hendak kembali kita hanya bisa melewati perbatasan darat yang sama kecuali tentu memakai pesawat.
  3. Ke arah Laos ada beberapa pilihan dengan jalur utama ke Nongkhai. Selain Nongkhai ada juga perbatasan paling Utara di Bokeo, lalu di Timur adalah Thakek dan Pakse. Perbatasan Nongkhai merupakan yang paling dekat ke ibukota Laos yaitu Vientiane dan karena itu paling hiruk pikuk. Dari Laos perjalanan darat bisa dilanjutkan dengan menerobos pos imigrasi Vietnam di sebelah Utara dan Timur, atau menerobos Kamboja di Selatan.
  4. Kearah Kamboja pilihannya ada Poipet menuju Siem Reap atau Koh Kong ke Battambang. Jalur Siem Reap tentu yang paling popular karena turis ingin mengunjungi Angkor Wat di kota ini. Dari negara yang kerap didaulat sebagai negara candi ini perjalanan darat bisa diteruskan ke Vietnam dan Laos.
  5. Vietnam satu-satunya negara di Indochina yang tak berbatasan darat dengan Thailand, maka untuk memasukinya para backpacker biasanya melalui jalur perbatasan dengan Kamboja di pos imigrasi Mocbai. Jalur selatan ini merupakan yang paling popular, namun dari Laos  pun bisa meretas ke kota Dongkhoi di jalur tengah dan ke Dien Bien Phu di jalur Utara.

img-20150303-00652

@districtonebdg

Mari Melancong ke Indochina

indochinaIndochina adalah wilayah yang terletak antara India dan China, maka darinamanya saja wilayah tersebut dipengaruhi oleh budaya kedua negara besar tersebut. Hingga  kini wilayah ini terpengaruh  oleh dinamika diantara kedua kutub Asia itu dalam banyak hal ; politik, budaya, iklim, ekonomi dll. Sejak kebijakan bebas visa antar negara ASEAN diberlakukan, maka tujuan traveling ke negara-negara tetangga di Indochina semakin terbuka luas. Myanmar lah yang terakhir membebaskan visa untuk pemegang paspor negara ASEAN. Maka lengkaplah sudah bebas visa bagi pemegang paspor Indonesia untuk leluasa bepergian di wilayah Indochina.

Mengapa harus ke Indochina barangkali itu pertanyaannya. Namun mungkin yang lebih tepat adalah mengapa tidak ke Indochina? Tersedia beberapa alasan logis bagi para pelancong sehingga wilayah ini menjadi magnet tersendiri bagi turis dari seluruh penjuru dunia.

  1. Membicarakan backpacker, tentu tak dapat melewatkan kota Bangkok di Thailand. Metropolitan ini bahkan kerap didaulat sebagai ibukota backpacker dunia. Selain Bangkok dan kota-kota besar lainnya seperti Chiangmai, Ho Chi Minh, Hanoi, Siem Reap dll, area backapcaker dengan segala fasilitas pendukungnya tersebar pula hingga ke kota-kota kecil di pelosok yang telah menggeliat pula wisatanya.
  2. Bandara Don Mueang dan Suvarnabhumi merupakan salah satu hub udara terpenting di Asia darimana turis mengalir deras ke Thailand. Tiket penerbangan ke Bangkok relative murah, banyak direct flight dari Jakarta dan dengan low season yang berbeda dengan wisata domestik.
  3. Informasi tentang jalur perjalanan maupun tempat wisata sangat banyak. Sebagai salahsatu wilayah yang paling banyak dikunjungi turis, tak susah mengakses informasi ke spot manapun disini. Kemanapun kita berencana pergi, akan pernah ada orang lain kesana. Bahkan tempat yang paling terpencil pun.
  4. Perjalanan darat antar kota di wilayah ini terbilang cepat dan murah. Maka dengan jalur transportasi yang mulus, perjalanan darat melintasi batas negara di wilayah Indochina tidaklah sulit dan sangat menarik.
  5. Biaya hidup turis disini barangkali merupakan salah satu yang termurah. Tentu ini tergantung dari cara bepergian turis sendiri namun biaya hidup yang murah telah menarik turis dari seluruh penjuru dunia datang kesini.
  6. Kesadaran wisata di negara-negara yang paling miskin pun, cukup tinggi. Mereka sadar bahwa devisa dari turis asing bisa mendongkrak ekonomi.
  7. Bepergian di wilayah ini bisa dibilang sangat aman dan dengan situasi politik yang stabil kini keamanan bagi para turis telah semakin baik. Tentu saja jangan mengambil resiko berlebihan yang tak perlu selama bepergian .

Beberapa point tersebut masih merupakan pertimbangan teknis, belum memperhitungkan keunikan dari pariwisata yang ditawarkan. Setiap negara mempunyai kekhasannya masing-masing, mulai dari kuliner, budaya, atraksi wisata, lansekap alam, sejarah dan banyak lagi. Pertanyaan berikutnya adalah akan pergi kemana di wilayah yang amat luas itu. Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam tentu bukan wilayah yang kecil untuk dijelajahi.  Semenanjung Malaya sebetulnya masuk pula kedalam kawasan ini, namun karena konektivitas daratnya jauh dari negara-negara lain, sah-sah saja bila kota-kotanya sedikit diabaikan kala membicarakan  Indochina circuit.

@districtonebdg

 

Perjalanan Darat Bangkok – Siem Reap via jalur Poipet

poipet-borderTerdapat beberapa perbatasan darat Kamboja dan Thailand, namun yang paling populer adalah melalui Aranyaprathet di Thailand ke Poipet di Kamboja. Menuju kota kecil Aranyaprathet, dari Bangkok bisa menggunakan kereta atau bis. Kali ini (21/11/2016) kami memilih menumpang kereta ekonomi dari stasiun Hua Lamphong. Bila mendarat dari bandara Don Mueang, menuju stasiun kereta ini tinggal naik bis menuju stasiun MRT Mochit lalu memakai MRT hingga perhentian terakhirnya di Hua Lamphong. Atau lebih mudah lagi, memakai kereta langsung ke Hua Lamphong. Stasiun kereta Don Mueang terletak disamping bandara. Transportasi yang maju dan terintegrasi di Bangkok memudahkan perjalanan-perjalanan menjelajahi Indochina.

Bila terbiasa memakai kereta di tanah air tahun 90-an, maka memakai kereta ekonomi ke Aranyaprathet akan terasa familiar. Walau tak ber-AC kondisinya relative nyaman (dan murah). Harga tiket sebesar 48 baht yaitu sekitar 18 ribu untuk perjalanan enam jam. Keluar dari stasiun kereta, armada tuk-tuk siap mengantar menuju border.

Proses imigrasi berlangsung cepat tanpa ada biaya. Setelah beres dicap paspor di imigrasi Thailand, dilanjutkan berjalan kaki ke pos imigrasi Kamboja. Diantara kedua pos imigrasi, kasino-kasino mewah tampak leluasa beroperasi. Agak kontras bila membandingkan keduanya, pos imigrasi Thailand didalam gedung tingkat yang ber-AC dengan bangunan bersahaja pos imigrasi Kamboja yang semi permanen. Sekilas saja sudah terlihat ketimpangan ekonomi kedua negara bertetangga ini.

Tak jauh dari pos imigrasi Kamboja, di sebuah warung terdapat shelter bus untuk mengangkut penumpang ke terminal bus. Naik shuttle bus ini tak dipungut biaya, baru di terminal bis “internasional” Poipet  turis akan menimbang-nimbang akan naik moda transportasi apa ke Siem Reap.  Namun menurut informasi, sebenarnya ada tempat mangkal lain dimana harga-harga tiket bis nya lebih murah dibanding disini.

Siapkan dollar Amerika untuk bertransaksi selama di Kamboja, walau baht tetap diterima dengan hangat di kota perbatasan. Selamat tinggal untuk perjalanan kereta darisini, di Kamboja  kereta hanya melayani rute Phnompenh-Sihanoukville, itupun hanya diakhir minggu saja.  Ongkos sharing taxi 12 dollar dan bis 9 dollar menuju Siem Reap. Dari Poipet perjalanan akan dilewati selama tiga jam melewati Sisophon, lalu tibalah di Siem Reap tempat legendaris lokasi candi-candi masa kejayaan peradaban Khmer berserak ( lihat juga Megahnya Komplek Candi Angkor Wat ).

@districtonebdg

Melancong ke Kuang Si Waterfalls di Luang Prabang

berpose dengan latar air terjun utama Kuang Si Luang Prabang adalah sebuah kota yang menjadi destinasi andalan bagi industri wisata di Laos. Kota ini ramai oleh para wisatawan, baik domestic maupun – terutama- mancanegara. Sekilas  dapat dinilai bahwa turisme adalah andalan utama pemasukannya sehingga Luang Prabang menjadi sebuah kota yang sadar wisata. Kota tua ini banyak dihiasi oleh bangunan bangunan khas Eropa, karena memang Laos adalah bekas jajahan Perancis. Wajar jika kota ini telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO.

 

Saat melakoni tour Laos 2015, kota ini merupakan salahsatu yang disinggahi karena keunikannya tersebut. Namun kami tak berlama-lama disini, hanya menginap satu malam dan pada malam berikutnya kembali bergerak ke Selatan menuju Vientiane. Maka ketika cek out dari hotel kala itu, salah satu yang timbul dibenak kami adalah mengisi waktu hingga sore tiba. Maklum karena bis ke Vientiane baru berangkat malam hari. Setelah mempertimbangkan berbagai alternatif, pilihan pun jatuh untuk mengunjungi Kuang Si waterfall yang terletak di pinggiran kota Luang Prabang. Setidaknya ini akan membawa kami ngabuburit menunggu malam.

Kuang Si Falls, kadang-kadang dieja Kuang Xi atau dikenal sebagai Tat Kuang Si adalah air terjun karst sekitar 29 kilometer ( 18 mil ) selatan dari Luang Prabang. Tempat ini merupakan salah satu destinasi perjalanan favorit bagi wisatawan yang datang ke Luang Prabang. Atraksi air terjun dimulai di kolam dangkal di atas sebuah bukit yang curam lalu kemudian semakin keatas makin banyak air terjunnya, Setidaknya ada tiga tingkat air terjun yang menjadi obyek kunjungan turis, bukan tidak mungkin lebih banyak lagi ke atasnya. Di beberapa tempat aliran sungai terkumpul dalam berbagai kolam berwarna biru turquoise yang mengalir ke hilir.  Air terjun karst ini mengingatkan pada obyek wisata karst Bantimurung di Maros, walau harus diakui disini jauh lebih tertata.

IMG-20150305-00719

Selain atraksi air terjun, lokasi ini juga merupakan penangkaran beruang hitam. Di awal jalan setapak menuju air terjun, pengunjung dapat melihat beruang yang ditangkarkan di kandang-kandangnya. Pengunjung dapat memberikan donasi untuk pelestarian beruang ini.

Tak terasa waktu semakin sore, setelah puas menyaksikan air tejun yang indah ini kami pun kembali dengan  tuk-tuk sewaan ke Luang Prabang, dalam hal ini langsung menuju terminal bus di Selatan kota. Menjelang malam, kami sudah standby di Southern Terminal Luang Prabang, bersiap bergerak menuju Vientiane menggunakan Sleeper Bus se harga ticket 150.000 KIP/ orang. Setalah sedikit tertunda akhirnya pada pukul 20.45, bus kami pun bergerak menuju Vientiane.

 

Mandalay Ibukota Kerajaan Myanmar  yang Terakhir

IMG-20160123-02956

Saat siang hari berjalan mengelilingi Mandalay Palace di seberang jalan tampak sebuah  kafe bernama Café Kipling. Namanya mengingatkan pada sosok penulis Rudyard Kipling yang menyanjung negara ini dalam bukunya. “This is Burma. It is quite unlike any place you know about,” sepotong kalimat dalam bukunya yang menambah kepenasaran siapapun yang berniat mengunjungi negara ini. Sebuah bukunya Road to Mandalay –yang belum pernah saya baca- digambarkan melukiskan bekas ibukota kerajaan ini kedalam suasana tradisional yang mengingkari waktu. Entahlah, terus terang saya memang jarang membaca buku novel.

Saya merogoh saku menghitung lembar-lembar kyat yang ada di dompet, kan akan tampak tematik dan stylish perjalanan ini bila singgah di sebuah kafe bernama Kipling di kota Mandalay sambil memikirkan sebuah tema tulisan. Seakan mengidentifikasi menjadi Rudyard Kipling itu sendiri. Namun pikiran menjadi penulis yang stylish itu segera rontok oleh minimnya kyat yang tersisa. Apalagi tak tampak ada ATM disekitar sini.

Bulan Januari 2016, kurs kyat (MMK) terhadap IDR adalah 1 kyat =  11 rupiah atau 1 USD = 1300 kyat, jadi bila 3000 kyat belum tentu cukup untuk ngafe seraya menerawang sebuah tulisan. Maka siang yang cerah itu dilanjutkan berjalan saja mengelilingi bangunan kuno di tengah kota ini. Mandalay Palace ukurannya luarbiasa,  sebuah area bujursangkar dikelilingi parit yang lebar dengan masing-masing sisinya sekitar 1,5 kilometer. Jadi mengelilinginya saja butuh sejam setengah. Ukuran bangunannya diluar perhitungan saya, dikira tak sepanjang ini. Padahal kalori belum lagi terisi setiba di kota yang asing ini, baru secangkir kopi untuk membuat tubuh terjaga setelah tadi pagi tiba dari Yangon.

IMG-20160122-02926IMG-20160122-02930

Tiga perempat jalan mengelilingi Mandalay Palace perut tak lagi bisa diajak kompromi, sebuah jajanan jalanan segera saya hampiri. Menunya berupa cakwe yang dihidangkan dengan sambal dan sayur berupa slada dan recahan timun. Terlalu bersahaja untuk upload di Instagram, jangan-jangan nanti dikira di sebuah kantin di Ciroyom. Minumannya antara air kemasan, jus jeruk atau jus alpuket. Saya memilih yang terakhir saja, agar ada tambahan kalori setelah ditandem dengan cakwe.

Tak jauh dari bangunan kuno ini, juga ada ikon kota Mandalay lain yaitu sebuah bukit bernama Mandalay Hill. Sebagian hikayat mengatakan bahwa kota ini mendapatkan namanya dari bukit Mandalay ini. Entahlah benar tidaknya, saya datang kesini tanpa mempelajari sejarah kota. Bukitnya tampak menjulang tinggi hingga membuat kecil hati untuk mendakinya, saya pun merelakan melihatnya dari jauh saja sambil memotretnya dengan kamera handphone. Hasilnya, tentu tak spektakuler namun kan nanti bisa mengelak bahwa ini foto “jurnalistik.”

Sekilas berjalan-jalan di kota tua ini tak terlalu mengesankan sebuah  kota yang kuno, pasar tampak sibuk, pertokoan ramai dan lalu lintas di kawasan niaga yang berseliweran. Di kota terbesar kedua  di Myanmar ini, motor bebas berkeliaran tak seperti Yangon yang melarang kendaran roda dua melintas didalam kota. Diam-diam saya bersyukur, nanti bila capek tinggal mencari ojek saja. Walau demikian jalan-jalan yang saya lalui kebanyakan selalu tampak lengang karena  tampaknya tak terlalu banyak mobil di kota berpenduduk 1,3 juta jiwa ini.

Setelah longmarch sepanjang 10 kilometer dari siang hingga sore saya kembali ke hotel, lagipula menjelang malam kehidupan disini akan segera berhenti berdenyut. Lebih baik memulihkan diri  di hotel setelah jalan-jalan yang agak diluar perkiraan ini.

Esok paginya, setelah selesai sarapan di hotel, saya kembali berniat jalan-jalan mengenal  kota. Ketika sedang berjalan, sebuah motor ojek menghampiri.

”Motobike?” setelah dipikir-pikir malas juga berjalan kaki menjelang siang begini apalagi tempatnya belum tahu. Saya berencana  melihat kehidupan masyarakat di sekitar sungai Ayeyarawaddy yang termashur itu.

“2000 kyat,” ujar tukang ojek, tanpa bisa ditawar. Baiklah, bila dilihat dari peta juga memang tak dekat.

IMG-20160123-02952IMG-20160123-02938

Ia mengarahkan motornya ke sebuah dermaga di tepi sungai Ayeyarawaddy, ternyata dari Mandalay Palace kemarin tinggal lurus saja kearah Barat namun memang cukup jauh juga.  Kondisi dermaga tampak kumuh, berbeda dengan dermaga yang pernah dilihat di Yangon. Kapal-kapal kayu yang bersandar juga tampak kusam, tak mengesankan bahwa darisini tempat turis bersauh menuju destinasi lain, biasanya sebuah tempat bernama Mingun Paya. Beberapa orang pun sigap menawarkan mengantar ke Mingun Paya, sebuah lokasi pagoda.

Setelah puas melihat dermaga sungai Ayeyarawaddy, saya kembali ke hotel dengan perasaan masygul. Terlalu dini untuk menilai, namun dari dermaga Maya Chan ini kemashyuran sungai Ayeyarawaddy tampak kusam. Tadinya saya berniat nongkrong sebentar disini, minum-minum teh atau sekedar mencoba makanan lokal namun suasana yang kumuh membuat berpikir dua kali. Mungkin ada baiknya turis mencoba naik kapal ke Mingun Paya, agar mengenal lebih jauh sungai besar ini sehingga tak buru-buru menilai.

Pulang dari dermaga, sudah hampir jam chek out,  maka setelah packing saya duduk-duduk saja  di lobby hotel membaca banyak majalah tentang negara ini. Banyak informasi lain yang bisa didapat bila membaca majalah domestik, dibandingkan ulasan-ulasan dariluar. Sejenak saya tenggelam dalam bacaan, hingga tak menyadari waktu semakin sore. Jam lima sore adalah jadwal kereta ke Yangon, jadi tak banyak waktu lagi untuk jalan-jalan. Saya pun memesan secangkir kopi lagi, berusaha menyesap kesan terakhir tentang sebuah kota yang pernah berjaya di masa lalu, dan kini sedang berjuang menata dirinya.

Sejak era kolonial, Mandalay lebih berfungsi sebagai kota administratif dibanding menjadi tempat favorit  tinggal penjajah Inggris. Dikabarkan mereka lebih suka mendirikan kota baru di kawasan yang sejuk di sebelah Utara yang kini disebut  Pyin Oo Lwin, sekitar  dua jam perjalanan kereta api dari Mandalay. Posisi Mandalay sebagai kota terbesar kedua di Myanmar kini lebih sebagai hub bagi kota-kota kecil yang lain di sekitarnya dan kota-kota di Utara Myanmar, daripada sebuah kota penuh romantisme dari grandeur dunia kerajaan masa lalu.

 

 

 

 

 

 

 

Perjalanan Kereta Api Yangon – Mandalay

IMG-20160121-02900IMG-20160121-02904

Ketika petugas konter mengatakan bahwa tiket KA Yangon-Mandalay kelas upperclas sudah habis, saya hanya bisa membayangkan bakal tersiksanya duduk di bangku kayu dalam perjalanan sepanjang 700 kilometer. Mungkin kalau beli dari kemarin tidak akan kehabisan, keluh saya mengutuki sikap menunda-nunda yang sering melekat ini. Bila demikian halnya, berarti saat tiba di Mandalay sebaiknya langsung membeli tiket untuk pulang ke Yangon agar tak kebagian duduk di kelas ordinary lagi. Tiketnya memang murah tak sampai 50 ribu rupiah, namun untuk duduk di bangku kayu selama 14 jam ..waduh.. masa-masa itu sudah lama berlalu.

Tiket kereta rute Yangon-Mandalay ini ada tiga jenis, yaitu ordinary class, upperseat dan upper sleeper. Yang paling murah adalah ordinary clas, berupa tempat duduk berhadapan dengan bangku dari kayu, sementara upper seat mirip kelas bisnis disini (masih ada gak sih?) dan upper sleeper berupa kompartemen dengan ranjang bertingkat. Semuanya tanpa AC, hanya kipas angin di atap gerbong yang sayup-sayup mengalun. Walau tiket ordinary ini yang paling murah, namun justru yang paling saya hindari dengan alasan kenyamanan. Sementara harga tiket upper seat dua kali lipat dari tiket ordinary, dan upper sleeper tiga kali lipatnya.

IMG-20160123-02958IMG-20160123-02959

Suasana berkereta api di Myanmar mirip dengan kondisi di tanah air 1990-an,  dimana pedagang bebas keluar masuk menjajakan makanan. Setidaknya itulah yang saya alami dulu. Di kelas ordinary ini masih terlihat beberapa penumpang yang tak kebagian duduk, hingga duduk di lantai gerbong.  Namun kondisi ini tak terlihat di kelas upper seat.  Berkelebat bayangan berkereta api dulu masa-masa tahun 90-an.

Kebiasaan disini yang tak kalah unik adalah selalu membiarkan jendela kereta terbuka. Mungkin selain agar udara berangin juga supaya gampang membuang sisa sirih yang dikunyah. Seperti diketahui kebiasaan penduduk Myanmar mengunyah sirih sudah mendarah daging  sehingga harus dimaklumi bila mereka meludah keluar jendela. Alhasil, hampir semalaman tubuh terhembus angin malam selama di kereta. Baru lewat tengah malam mereka menurunkan kaca penutup jendela. Lalu bagaimana membuang sisa sirihnya? Rupanya mereka cukup sopan dengan meludahkannya ke cangkir yang dibawa.  Bagi yang kurang nyaman melihatnya, sedikit tips lebih baik tidur saja sepanjang perjalanan.

Setelah berangkat tepat pukul lima sore  sesuai jadwal, kereta dari Yangon tiba di Mandalay sekitar pukul delapan pagi setelah menempuh perjalanan selama 716 kilometer. Udara dingin segera terasa, berbeda dengan cuaca Yangon yang panas. Perlu beberapa saat untuk beradaptasi agar tak menggigil. Entah karena cuacanya sedang muram saja barangkali.

Stasiun kereta Mandalay merupakan bangunan baru, berbeda dengan Yangon Railway Station yang merupakan peninggalan kolonial Inggris. Platform kereta berada dibawah jadi kita naik tangga untuk keluar dari peron. Sebuah hotel menempel pada samping stasiun, tampaknya merupakan sebuah bangunan yang terintegrasi dengan stasiun. Keberadaan hotel ini sepertinya membidik konsumen pengguna kereta api.

Sesuai  rencana  untuk membeli tiket pulang lebih awal, saya segera menuju loket penjualan tiket hanya untuk melongo melihat tulisan berbahasa Myanmar yang mirip ukiran itu. Bagusnya, selalu ada petugas yang bisa berbahasa Inggris di loket. Namun loket yang mana karena banyak loket yang buka.

Ketika sedang memperhatikan loket, tiba-tiba seorang pengojek menyapa. “ Motobike?” tanyanya sambil  menggunakan gerakan tangan seperti sedang mengendarai motor.

Hemm kebetulan, biar tukang ojek ini saja yang jadi pusat informasi. “Where to buy tiket to Yangon?” tanya saya sambil menunjukkan contoh tiket kemarin.

“Yangon?” tanyanya.

“Yes.”

Ia lalu berjalan sambil memberi isyarat agar mengikutinya,  sempat ragu takut diantar ke calo namun ternyata benar saja ia mengantar ke loket yang dimaksud. Lalu cas cis cus sebentar dengan petugas konter, keluarlah tiket untuk kembali ke Yangon yang berkelas upperseat. Legalah, kini bisa leluasa melihat-lihat kota Mandalay tanpa memikirkan duduk di bangku kayu lagi.