oleh Ario PB Rachman
Memasuki Ibukota Laos, Vientianne (atau Vian Chang) seperti flashback Jakarta pada tahun 1960 – 1970an. Mungkin yang tidak sesuai dengan semangat flashback adalah banyaknya mobil-mobil luar negeri keluaran terbaru yang berseliweran di jalan yang seperti menyadarkan kami bahwa ini bukan perjalanan ‘back to the past’. Jalan-jalan yang sepi dan suasana samping jalan yang masih diselingi oleh tanah-tanah kosong dan rerumputan liar menambah ke eksotisan kota ini, ditambah dengan bangunan-bangunan klasik era pendudukan Perancis yang seakan menyapa kami dengan tatapan angkuhnya menandakan bahwa kuatnya aroma klasik kota ini yang hampir tidak tersentuh modernisasi. Tentu saja hal ini berubah ketika kami melewati pusat kota dan bergerak menuju kawasan padat wisatawan seperti di daerah Fa Ngum Rd, Luang Prabang Rd, Lane Xang rd. Banyak hotel megah dan mesin-mesin ATM seakan hendak menutupi keindahan klasik dari kota yang berpenduduk 822.433 ribu jiwa ini.
Patuxai Monument
Di ujung Kaysone Phomvihane Rd, kami disambut oleh sebuah bangunan yang mirip dengan ‘Arch de Triomphe’ nya Perancis, Patuxai atau Patuxay. Bangunan ini dibangun pada tahun 1957 dan selesai pada tahun 1968. Dahulu monumen ini bernama Anousavali yang berarti “Kenangan”. Setelah Komunis Pathet Lao menguasai Laos, nama monumen ini dirubah menjadi Patuxai, artinya “Gerbang Kemenangan”. Bangunan yang konon juga dibangun dengan dana dari Amerika Serikat untuk membangun sebuah landasan udara pada era Perang Vietnam di 1960an. Pemerintahan Laos malah membangun monumen ini dengan dana dari AS. Akhirnya kadang monumen ini disebut juga sebagai ‘Vertical Runway’. Lepas dari Patuxai, kami memasuki Setthathirath Rd, dan berbelok ke Manthathurath st., tempat dimana kami menginap, di Samsenthai hotel. Keadaan di sini dan terutama Fa Ngum rd sangat berbeda dengan keadaan di luar kota Vientianne. Disini terlihat sangat modern dan penuh wisatawan manca negara, tidak berbeda jauh dengan Bali pada high season.
Chao Anuvong Park
Hari pertama kami lakukan dengan berjalan-jalan di tepi sungai Mekong, yang dijadikan taman besar oleh pemerintah kota Vietianne, yang membentang sepanjang jalan Fa Ngum rd., dan pandangan kami tertuju pada sebuah patung besar di tepi sungai Mekong menghadap ke perbatasan Thailand, dengan tangan kiri memegang pedang dan tangan kanan menjulur ke bawah depan dengan posisi 45 derajat seakan membuat batasan. Ternyata patung tersebut adalah patung Chao Anuvong, salah satu Raja di Vientianne pada masa kerajaan Lan Xang (1767 – 1829). Taman tersebut didedikasikan atas namanya, yaitu Chao Anuvong Park. Banyak orang Laos menyebut Raja Chao Anuvong adalah pahlawan, yang memberontak dari Kerajaan Siam (Thailand), dan mati dalam penjara kerajaan Thailand setelah pasukannya dikalahkan dan Vientianne diratakan sebagai hukuman atas pemberontakannya. Tangan kanan yang menjulur ke depan dengan posisi menghadap ke wilayah Thailand di tepi sungai Mekong seakan menyeru dengan gerakan tubuh kepada rakyat Thailand dengan arti “This is My Land”. Taman dan Patung diresmikan oleh Presiden Laos pada tahun 2010. Figur Chao Anavong ini menandakan bahwa memang masyarakat Laos membutuhkan figur ‘heroes’ dengan mengaitkan cerita masa keemasan kerajaan Lan Xang dengan pemerintahan sekarang (pendiri Pathet Lao, merupakan pangeran dari kerajaan Lan Xang juga) sehingga sejarah mulai dari Kerajaan Lan Xang (Sejuta Gajah dan Payung Putih) sampai ke pemerintahan Lao PDR sekarang berkaitan erat.
Restoran Halal dan Mesjid
Kembali ke daerah Fa Ngum Rd (ternyata nama-nama jalan disini adalah nama-nama raja Laos pada periode kerajaan Lan Xang), ada 2 restoran muslim yang sudah terkenal namanya di pelbagai blog pribadi dan buku wisata untuk wisatawan muslim atau yang tidak suka babi. Restoran Fathima terletak di Fa Ngum Rd (dari hotel kami berjarak 70 meter) keluar dari Mathaturath st ke arah Fa Ngum rd lalu berbelok ke kiri. Sementara Restoran lain adalah Noor Restaurant, dari Mathathurath st ke arah Fa Ngum Rd berbelok ke kanan, sekitar 200 meter. Perbedaan dari keduanya adalah di Fathima, ada personel restaurant yang bisa berbahasa Malay, sehingga komunikasi akan dapat berjalan dengan baik, sementara di Noor, hanya bisa berbahasa Inggris.
Seperti yang telah dibahas dalam beberapa blog, Vientianne memiliki sebuah mesjid yang dibangun oleh komunitas Islam di Vientianne, kebanyakan dari India dan burma. Mesjid ini terletak di jalan kecil seberang National Library of Vientianne, di Setthatirath Rd., masuk ke gang kecil dan terletak di sebelah kiri jalan. Sayang, pada saat kami meninjau lokasi tersebut, tidak banyak orang yang sedang beribadah di sana, sehingga kami tidak mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang keberadaan mesjid tersebut.
Pasar Kaget Malam Minggu di Chao Anuvong Park
Seperti halnya Gasibu di Bandung, ternyata pada malam minggu terdapat pasar kaget di Chao Anuvong Park, yang lokasi pasar malamnya terletak tak jauh dari Restoran Hor Kang. Pengunjung dari pasar malam ini bukan hanya penduduk dari sekitar Fa Ngum rd, akan tetapi juga turis manca negara. Berbagai pernak-pernik dijual disini dan tentunya dengan harga yang miring dibandingkan dengan barang yang sama diperdagangkan di mall seperti mall yang terletak di samping Morning Market (Tallasau). Barang-barang yang diperdagangkan seperti cendera mata, ukiran, kain-kain tradisional khas Laos, sendal, kaus oblong dan sampai kepada jaket-jaket tentara peninggalan US Army. Akan tetapi untuk komoditi yang terakhir ini, jangan salah menilai bahwa ini merupakan jaket replika. Ini jaket jatah asli Angkatan Bersenjata Amerika dengan beberapa cap dan jahitan otentik serta nama pengguna terdahulu, lengkap dengan tanda kepangkatan dan badge dimana sang empunya dulu bertugas. Minat masyarakat Laos terhadap jaket militer AS ini cukup tinggi, di tandai dengan seringnya kami menemukan orang seperti pengendara Tuk-tuk memakainya. Akan tetapi harganya juga cukup mahal. Rekan penulis mencoba bertanya berapa harga sebuah jaket long-coat US Army di pasar ini, dan harga pembukanya adalah sebesar 750.000 Kip atau 862.500 Rupiah.