Railway Adventure ke Kampung Adat Cigumentong

Kampung Cigumentong dapat dikatakan terpencil, sebab lokasinya yang berada di Kawasan Gunung Kareumbi membuat wilayah tersebut jarang dijamah oleh orang. Hingga kinipun kawasan Gunung Kareumbi merupakan wilayah Hutan Konservasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat.

Meski terbilang terisolir namun sejak tahun 1884, Kampung Cigumentong sudah dihuni segelintir warga. Lalu pada tahun 1919, seorang Administratur dari Pemerintah Hindia Belanda datang ke kampung ini. Administratur tersebut bernama Mr Jansen atau warga kampung memanggilnya dengan sebutan Tuan Block. Sampai meninggalnya Tuan Block tinggal di sini dan menjadi bagian sejarah kampung ini dengan ditemukannya makam beliau.

Kampung dibalik gunung ini mengusik perhatian saat pertama survey Kareumbi tahun 2018 yang lalu, seperti dibisikkan oleh angin hutan. Bukan deng,  karena melihatnya di Gmap wkwk… Nah, walau kala itu tak sempat dikunjungi namun penasaran untuk suatu saat akan kesana.

Tahun 2019 sempat mengadakan trip ke Kareumbi, namun baru pada Februari 2022, dapat menuntaskan hajat ke kampung misterius ini. Seperti juga dulu,  perjalanan dimulai dari stasiun Bandung lalu turun di stasiun Cicalengka.  Setelah carter angkot ke ujung desa Sindangwangi,  lalu berjalankaki ke kampung Cigumentong sekitar dua kilometer. Taman Buru Kareumbi sendiri sedang tidak buka karena PPKM gara-gara si Covid.

Walau bertajuk kampung adat,  tak banyak yang bernuansa adat disini. Sebuah bale dari bambu sedikit mewakili namun terkesan  kurang terawat. Akhirnya rombongan lebih terkonsentrasi diwarung yang terletak disamping bale ini. Maklum ternyata sudah masuk jam makan siang.

Teteh warung pun dengan sigap meladeni pesanan cuanki yang bertubi-tubi. Ternyata di kampung terpencil pun ada cuanki ya hihi.. Lalu ada keajaiban apa lagi di warung tengah hutan ini?  Olala ternyata tampak ada kulkas juga didalam. Bagaimana ngangkutnya kesini?

“Diangkut  ngangge motor, ”  jawab teteh warung. Walau Cigumentong baru dialiri listrik enam bulan lalu,  si teteh rupanya tak menunda-nunda kemajuan teknologi. @districtonebdg

 

Curug Cikondang Bisa Jadi Destinasi Railway Adventure

Perjalanan ke curug Cikondang di Cianjur bisa dibilang dadakan karena tujuan utama Railway Adventure kali ini adalah situs Gunung Padang. Namun karena letaknya tak terlalu jauh,  usai dari situs megalitikum itu trip dilanjutkan menuju curug.

Ada dua rute untuk menuju ke Curug Cikondang. Rute pertama adalah melalui Cilaku dan Cibeber yang merupakan jalur utama menuju kesini. Rute kedua yaitu melewati Warung Kondang dan Lampegan seperti yang kami lakukan sekarang. Sangat disayangkan belum ada kendaraan umum yang melintasi kawasan ini, sehingga pilihan berkendara hanya jatuh pada kendaraan pribadi roda empat atau roda dua.

Curug Cikondang sendiri terletak di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Namanya berasal dari nama tanaman Kondang, yaitu nama lain dari pohon Loa, tanaman dengan ciri khas buahnya tumbuh di dahan.

Lokasi curug dikelilingi oleh lahan sawah dan perkebunan teh. Lokasi wisata ini masuk dalam wilayah PTPN VIII Panyairan. Bila kita akan langsung menuju curug Cikondang,  maka lebih baik turun di stasiun Cibeber darisitu lanjut memakai ojek. Jalur ini lebih nyaman karena bila dari arah Gunung Padang harus melewati kondisi jalan perkebunan teh yang sedikit rusak. @districtonebdg

Railway Adventure ke Situs Megalitikum Gunung Padang

Pon Purajatnika, M.Sc., yang memimpin penelitian Gunung Padang pada bidang arsitektur dan kewilayahan menyatakan bahwa struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Machu Pichu di Peru.

Situs Gunung Padang merupakan peninggalan Megalitikum berbentuk punden berundak yang terletak di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulaan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Keberadaan Situs Gunung Padang pertama kali dilaporkan oleh Nicolaas Johannes Krom pada 1914.

Di kawasan situs megalitikum Gunung Padang terdapat 5 teras. Untuk mencapai puncak situs ini bisa melewati jalur utara dan selatan. Jalur utara lebih menanjak dengan melwati 378 anak tangga sedangkan jalur Selatan lebih landai dan dengan melewati 750 anak tangga. Di setiap teras terdapat bebatuan punden berundak yang diyakini dulunya merupakan aktivitas masyarakat prasejarah.

Diperkirakan situs Gunung Padang dibangun pada periode 2500-4000 SM. Luas wilayah mencapai 3000 meter persegi dengan ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut. Pon Purajatnika, M.Sc., yang memimpin penelitian Gunung Padang pada bidang arsitektur dan kewilayahan menyatakan bahwa struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Machu Pichu di Peru.

Komunitas D1VA melakukan trip ke situs prasejarah ini dengan cara unik,  yaitu memakai moda kereta api. Memanfaatkan trayek Cipatat – Sukabumi yang baru dibuka,  perjalanan dimulai dari stasiun Bandung lalu turun di Padalarang. Setelah disambung angkot kuning menuju stasiun Cipatat, lalu memakai KA Siliwangi menuju Lampegan. Darisini rombongan diantar mobil ke tujuan.

Transportasi umum memang masih jadi kendala menuju lokasi karena tak ada angkot. Namun bila hanya sendirian pun,  akses dari Lampegan ke Gunung Padang tetap memungkinkan yaitu dengan naik ojek yang mangkal di stasiun. Sedikit tips, bila naik ojek dari Lampegan,  langsung saja minta diantar ke puncak teras agar hemat waktu karena harus mengejar kereta sore. @districtonebdg

Menimbang Railway Adventure Sebagai Lokomotif Wisata

Railway Adventure awalnya adalah sebuah konsep sederhana yaitu perjalanan menjelajah alam sekitaran Bandung dengan menggunakan Kereta Api lokal sebagai alat transportasi agar masyarakat lebih bervariatif dalam berwisata mengingat kebanyakan masih ‘roadtrip minded’. Berawal dengan menerapkan konsep berkereta api ini menuju Gua Pawon, Stone Garden dan Gunung Hawu di daerah Padalarang, lalu berkembang ke wilayah Purwakarta menuju Gunung Cupu dan melebar kemudian ke arah Cicalengka menuju Curug Cinulang dan Kareumbi.
Sejak D1VA menerapkan konsep ini, banyak masyarakat umum mulai tertarik mengikuti trip model ini. Terbukti dari permintaan mengunjungi  Cisomang Railway Bridge yang meningkat, sayang jadwal KA Lokal yang berubah menjadi kendala tersendiri. Sepertinya KA Lokal masih dipandang sebelah mata sehingga harus mengalah terhadap trayek KA antar kota luar propinsi. Padahal bila jadwal KA Lokal ini diposisikan strategis, dampak terhadap iklim pariwisata akan membawa angin segar dengan warna berbeda.
Mengapa trip Railway Adventure ini efektif diaplikasikan? Begini,  dengan jadwal yang terukur tentu jadwal berwisata akan lebih pasti dan terbebas dari belenggu resiko macet dibanding dengan berkendaraan mobil. Alasannya sungguh jelas, waktu sampai lebih cepat, selain faktor ekonomis dari sisi harga tiket yang murah meriah.

Mengapa RA ini juga sangat cocok untuk kaum masyarakat urban? Dengan mengenal dan berhenti di stasiun-stasiun kecil yang selama ini hanya terlewati ketika kita ke Jakarta atau Jogjakarta akan menjadi pengalaman tersendiri. Seperti ada perasaan campur aduk ketika turun di stasiun kecil dan lalu melihat sekeliling dengan ambience yang berbeda, mencoba  berkomunikasi dengan masyarakat lokal dengan karakter yang khas di setiap wilayah. Ini tentu akan memberikan pengalaman dengan warna tersendiri bagi masyarakat kota.

Saya sempat kaget setelah berbincang dengan warga lokal saat menunggu keberangkatan kereta api di Cikadongdong,  salah satu stasiun kecil di Purwakarta,  tiba-tiba dihadiahi tanaman cingcau untuk dibawa pulang. Pernah saat di KA tiba-tiba ada seorang kakek yang mengajak mengobrol  yang ujung-ujungnya meramal masa depan kita. Jangan kaget bila teman-teman saat di dalam gerbong,  mendengar sekelompok orang melakukan paduan suara atau melihat sekelompok remaja putri melakukan pengajian. Itulah warna kehidupan masyarkat kita, tidak perlu ‘judging’ menilai itu hal buruk, cukup memahami dan beradaptasi dengan keadaan, bukankah posisi kita hanyalah visitor?
Keluar sejenak dari kotak rutinitas kehidupan urban dengan melakukan railway adventure akan membawa kita  melihat ‘the other side of peoples life in certain area’.

Siapa  yang menyangka kita pernah menginjakkan kaki di stasiun kecil Cikadongdong  lalu merasakan adrenalin berjalan kaki di jembatan kereta api  Cisomang yang konon merupakan jembatan kereta api aktif tertinggi di Indonesia, atau melakukan hal yang simple sekedar makan sate Maranggi  di stasiun Plered, hiking ke Gunung Cupu, atau membeli street food yang beraneka ragam di stasiun Cicalengka ketika akan berkunjung ke Taman Buru Masigit Kareumbi atau Curug Cinulang.

Railway Adventure paling baru dilakukan D1VA tgl 22 Agustus lalu dengan mengunjungi  kawasan Kawah Talaga Bodas di Wanaraja,  Garut.  Trip ini memadukan moda transportasi kereta api dan ‘feeder car’ menuju titik lokasi wisata. Sayangnya, KA jurusan Kiaracondong-Cibatu yang memulai keberangkatannya pukul 7.35 pagi tidak dilengkapi dengan jadwal dari Cibatu yang memadai, sehingga kami tetap harus melakukan roadtrip pulang menuju Bandung. Andai saja PT KAI mengimbangi dengan menambah trayek  KA Lokal  lebih banyak lagi dengan jadwal yang bervariatif,  tampaknya akan membuka peluang-peluang memajukan pariwisata di kawasan Priangan dan sekitarnya.  Mungkin juga ini berlaku untuk kawasan lain di Indonesia yang sudah memiliki jalur KA, dimana moda transportasi dengan konsep KA lokal yang berhenti di stasiun-stasiun kecil akan memberikan peluang pengembangan kawasan wisata di wilayah kecilnya tersebut. Bila trip-trip ini berkembang, saya yakin industri pariwisata di Indonesia akan berkembang dengan nuansa yang makin kaya. Dan sedikit demi sedikit masyarakat kita akan mengubah perspektifnya dari ‘roadtrip minded’ menjadi ‘railway minded ‘. Semoga ke depannya, setelah stasiun Garut selanjutnya stasiun Cikajang rampung akan membuka celah-celah lain dengan memberikan trayek yang lebih beragam dengan frekuensi yang lebih banyak sehingga supporti ke pengembangan wisata di wilayah-wilayah  lebih terpencil.

Bandung, 23.08.2020
Penulis
Tanti Brahmawati
D1VA Organizer