Menjelajah ke Cukang Rahong

Saat musim kemarau tiba beberapa bulan yang lalu, kami berkesempatan untuk mengunjungi Sanghyang Heuleut dan Sanghyang Poek. Minggu berikutnya lalu bergerak lebih ke atas lagi, yaitu ke Green Canyon Cikahuripan. Lokasinya sangat indah, namun karena dirasa “kurang berkeringat” dari sini kami bergerak lebih jauh lagi, yaitu ke Cukang Rahong dan Cukang Binbin.

Walau yakin dengan pengalaman tim, namun tidak demikian dengan abah pemilik warung. Beliau serta merta mengutus kakak beradik Kang Hendra dan Kang Budi menemani kami menuju Cukang Rahong.

” Bilih aya nanaon, ” pesannya. Kami manut saja. Sekitar satu jam kemudian dalam cuaca panas ngajeos, tim pun sampai ditujuan setelah meliuk-liuk melewati medan sungai kering dengan bebatuan “sagarede bangsat” kalo istilah para surveyor DO yang memang sering hiperbol.

Diantara tebing beralaskan dasar sungai, kamipun rehat membuka bekal berupa buah alpukat yang tadi dibeli di warung parkiran. Walau cuaca ngajeos, dalam keteduhan tebing sungai dan aliran jernih sisa kemarau ini, sebuah dahaga akan petualangan di Citarum Purba terpuaskan dengan penuh kesegaran.

Aliran sungai Citarum yang dibendung untuk keperluan power house telah membuat beberapa aliran sungai Citarum ini surut, sehingga yang dulunya Cukang (jembatan) kini sudah tidak ada tapi kita bisa melihat jejaknya dengan mengunjungi Grand Canyon Cikahuripan Rajamandala dimana ada beberapa Cukang di sini. Teman-teman tinggal menengadah ke atas sana, lihat tebing di sisi kiri kanannya, bayangkan pada tahun puluhan tahun lalu disana pernah terdapat jembatan yang menghubungkan tebing-tebing tinggi tersebut, sementara jalur setapak yang kita lalui adalah dasar sungainya.

Maka ketika mengunjungi tempat ini, imaji kita mungkin akan berkeliaran membayangkan masa Citarum purba, atau mungkin malah jadi teringat film Flinstone. (2019)

 

Penulis : TB

Citarum Journal : Trilogi Sanghyang Plus Curug Halimun

Dimulai dari kunjungan ke waduk Saguling beberapa tahun lalu. Saat itu mulai mendengar Sanghyang Heuleut yang kabarnya sudah bisa dijambangi dengan trekking 2 jam-an. Sayang, saat itu sedang musim hujan dan kondisi tidak memungkinkan.

Tahun 2019 saat musim kemarau mulai menghampiri, kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang tepat untuk mengunjungi Sanghyang Heuleut dan Sanghyang Poek. Setelah selesai, Minggu berikutnya bergerak lebih ke atas lagi, yaitu ke Green Canyon Cikahuripan. Dari sini kami bergerak lebih jauh lagi, yaitu ke Cukang Rahong dan Cukang Binbin.

The Sanghyang journey berlanjut saling melengkapi dengan explore Sanghyang Kenit, tidak lupa melirik sebentar ke arah Sanghyang Tikoro yang penuh misteri itu.

Lengkaplah sudah jelajah the Sanghyang, menyempurnakan Saguling Trilogy yang membiarkan imaji berkelana ke tahun-tahun dimana air deras mengalir berbaur dengan legenda petualangan arung jeram pada masanya, mengisi katel- katel air berselimut tebing, terbentang sepanjang aliran sungai Citarum yang saat ini dasarnya bisa kita injak dengan leluasa. Saguling Trilogy acomplished!

Lalu, apakah cerita Citarum ini berhenti sampai di sini? Tentu tidak.

*****

Rencana survey ke Curug Halimun sudah bergulir sejak dua bulan lalu sejak terdengar kabar kawasan ini sudah dibuka dan dikelola warga sekitar. Posisi curug ini terletak antara Cukang Rahong dan Sanghyang Heuleut.

Jadwal survey tertunda tatkala ada dari kami yamg harus menuntaskan dahulu proses menjadi relawan uji klinis vaksin covid 19.

Ketika ada event Kamis MODO (Mom’s Day Out-door) jadilah sekalian saja menuntaskan bonus dari Sanghyang Trilogy ini, sehingga akhirnya kami pun ikut melakukan survey ke curug Halimun. Kesimpulan dari trek dengan view yang luarbiasa ini adalah, singkat saja, pondok tapi nyugak.

 

Penulis : Tanti Brahmawati