Keindahan Beraroma Mistis di Coban Pelangi

Setelah memutuskan untuk trekking ke Coban Pelangi yang berada di kaki gunung Semeru, Pak Wagini memberi instruksi agar kami segera menaiki Jeep. Kembali melewati  Pasir Berbisik, menyusuri padang Teletubbies lagi, memandang  wilayah Jemplang sampai puas kembali. Yay.

“Tinggal 10 menit lagi dari sini”, kata Pak Wagini ketika sampai di Desa Ngadas.

Benar saja pukul 5 sore kami sudah sampai di pintu masuk wisata Coban Pelangi. Wisata Air Terjun Coban Pelangi yang masuk ke wilayah  Desa Gubuk Klakah  Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang ini terlihat sepi. Tak ada kendaraan yang parkir selain Jeep kami.

Kami  lalu membeli tiket, petugas tiket memperbolehkan kami hanya sampai ke spot  selfie area. “Mba,  kita sudah mau tutup, mba boleh sampai di spot selfie aja ya. Kalau ke bawah jalan kaki satu kilometer, Mba akan kemalaman nanti pas baliknya. Saya kasih waktu 15 menit mba harus sudah kembali di sini ya.”

Saya mengangguk saja, lalu mengikuti Pak Wagini yang sudah melaju turun menuju air terjun. Kami setengah berlari mengejar, Pa Wagini ini cepat sekali, mentang-mentang asli orang sini, saya pikir. Track menuju Coban Pelangi sudah tertata, sangat aman, bahkan untuk kegiatan trail running. Tracknya mirip setapak menuju Curug layung di kawasan Sukawana. Kami setengah berlari, gak sia-sia juga sebelumnya  latihan trail running kala persiapan acara District One  Fun Green Run.

Hanya butuh waktu 20 menit untuk mencapai Coban Pelangi. Saya melihat Pa Wagini tersenyum pada kami. “Mba bentar aja ya di sini nya, sudah mau magrib.” Tapi benar kata Pa Wagini, Coban pelangi ini memang terlihat terang walau petang semakin gelap. Mungkin karena airnya tumpah ruah dan bening sehingga bercahaya. Air terjunnya keren banget.

“Airnya dari Semeru ini “ Pak Wagini berusaha mmeyakinkan sumber air deras tersebut.

Kami menikmati waktu di sini hanya sekitar 10 menit. Tapi saya balik lagi karena ingin membuat dokumetnasi berupa video. Nunung dan Novi sudah meninggalkan saya. Saya masih saja termenung memandangi air terjun.

“Enaknya pagi-pagi ke sini ya Pak Wagini,“ saya menoleh ke arah Pak wagini, tapi…hah, sudah tidak ada. Sekilas terlihat  ia sedang menaiki anak tangga sambil menunggu saya. Setengah berlari saya pun mengejar.

Perjalanan pulang ternyata sebaliknya dengan pergi yang kebayakan track menurun.Tentu saja menanjak harus kami lewati , tentu akan menghabiskan waktu, dan tenaga tentunya.  Pa Wagini menunggu saya kemudian mempersilakan saya jalan duluan. Langit belum terlalu hitam, birunya masih terlihat walau gelap, sehingga setapak masih terlihat.

“Asa teu nepi-nepi,” gumamta Nunung gelisah.

Memang perjalanan terasa lama, track seakan tidak berujung, mungkin karena menanjak, ditambah langit menuju gelap. Perasaan was was menghampiri.

Novi tampak diam, tidak banyak bicara. Suasana berubah. Leher saya tiba-tiba merasa merinding. Mata kami berusaha meraba-raba trek karena jarak pandang sudah semakin kabur. Saya menoleh ke belakang Pa Wagini tidak ada. Saya menunggu beliau untuk meminta senter, tetap ia tidak muncul muncul.. Sering saya menoleh ke belakang mencari Pa Wagini.  Tetap tidak terlihat. Lalu kemana Pak Wagini?

Jalanan semakin gelap, pace kami semakin lambat. Batere HP kita semua habis, tidak bisa menyalakan torch. Saya meminta Nunung dan Novi jalan duluan.

“Tungguan Pa Wagini ah, naha jadi gak ada nya” Saya merasa tambah aneh.

Ketika ada belokan saya mencoba melihat ke belakang kembali. Tampak pria bertopi berjaket biru muda melambaikan tangan di kegelapan. Nah itu pa Wagini. Saya pun merasa tenang lalu meneruskan trekking menuju pintu keluar.

Sampai di pintu keluar kami disambut  beberapa petugas berseragam dengan masing-masing senter di tangan mereka. Mereka menyorotkan senter ke wajah kami dan lalu menghitung kami.

“Nah mba-mba datang, kami mau menyusul mba-mba ini tadinya. Sudah semua sampai ya. Bertiga. OK. Mba kan saya bilang mainnya hanya sampai tempat selfie, mba pasti turun ke bawah ya.”

Saya hanya tersenyum. “Tinggal sopir Jeep yang belum sampe, Mas”

“Ya ampun Mba, jalan kaki tanpa senter gelap-gelapan, gimana kalau hilang” salah satu petugas mulai menakit-nakuti.

“Lho kok Pak Wagini udah ada di sini.” Saya menunjuk laki-laki bertopi berjaket biru yang tiba-tiba ada di hadapan saya.

“Saya pedagang di sini mba, buka sopir jeep nya Mba.”

“Hah, kok mirip, jaketnya, topinya.” Saya merasa linglung.

“Lah tadi yang melambai tangan di trek hutan siapa?” Saya semakin penasaran,

Salah satu petugas berbicara bahas jawa dengan seseorang dari balik jeep kami.

“Lho itu pak wagini udah di mobil jeep.” Seru Novi

“Hah,  tadi kan waktu di hutan saya di depan, saya liat Pa Wagini melambaikan tangan di belakang saya,  pakai topi dan jaket biru”

“Saya pulang pake jalur lain Mba, saya liat mba-mba jalan cepat malah bisa berlari, jadi saya tidak terlalu khawatir mba jalan sendiri. Saya gak pake jaket, disimpan di mobil”

Saya tambah terheran-heran.” Whattttaaa, Pa Wagini ini gimana, trekking gelap gelapan kok kita ditinggal, saya nunggu Pa Wagini kan mau ambil senter.”

Pa Wagini hanya tersenyum, “Senter juga saya tinggal di  mobil, heheheh.”

Walau merasa bingung kami segera masuk ke Jeep, meninggalkan misteri. Menyusuri jalan aspal gelap nan sepi menuju Desa Jeru, Tumpang. Tak ada yang bercakap.  Sunyi sepanjang perjalanan, sampai akhirnya Pak Pak Wagini membuka obrolan bahwa di pegunungan yang kami lihat sepanjang trek, ada wilayah yang dijadikan tempat “pesugihan”, terkenal angker, tadi saya gak cerita takut mba mba gak mau turun ke bawah.

Lalu ia meyalahan music player,  Via Vallen pun bernyanyi.

“Nah ini bikin better Pa Wagini. Gak terlalu sepi. Nanti kalo ada tempat makan kita berhenti ya” pinta saya.

Akhirnya semangkuk soto lamongan hangat menutup perasaan kami yang tidak tentu. Mungkin juga kami terkena halusinasi efek perut lapar. Entahlah, Bagi kami perjalanan trekking ke Coban Pelangi tidak akan kami lupakan. Tetap menyimpan misteri.

Alam memang bisa menjadi sahabat karib yang menyenangkan dan menggembirakan, tetapi bisa juga tiba-tiba berubah menjadi monster yang menakutkan.

 

TB

18.09.18

 

 

Backpacking or Flashpacking? Tak Ada Kata Terlambat ke Bromo

Rencana flashpacking ke Bromo ini bisa dibilang mendadak  yang kemudian  disertai dengan tak henti-hentinya  kami  harus menjawab beragam pertanyaan keheranan dari teman teman terdekat. “Oh kalian teh belum pernah ke Bromo? Kemana aja selama ini?” Salah seorang teman berseloroh yang  dijawab, “Iya kan  mumpung ada kesempatan nih. Anak-anak kan udah gede, udah bisa ditinggalin”.

Lalu pertanyaan lain, “Kalian dulunya gak pernah main ya, sekarang baru mulai addicted?” Jawaban bersahaja pun keluar dari mulut saya,  “Iya kan dulu rajin kuliah, sampai lupa main”.

Ada juga pertanyaan “Orang lain mah udah dari kapan backpackingan, ini klean baru sekarang.“ “Oh iya, kan dulu kita memang berdompet tipis, apalagi jaman kuliah, boro-boro buat backpakingan, buat hidup di kostan juga pas-pasan.  Kan sekarang udah dapet uang sendiri jadi bisa bebas mau pergi kemana juga.” Jawaban yang sebenernya bertolak belakang dengan pemesanan tiket KA kelas  ekonomi 😀

Jadi  sebenarnya  kami ini emak-emak yang ingin main agak jauh tanpa mengambil cuti kerja terlalu lama, sekalian merayakan ultah Saya dan Novi yang kebetulan bertepatan di akhir Januari lalu.

Dengan anggaran ala emak-emak yang harus mepet-mepetin isi dompet,  akhirnya kami memulai perjalanan dari KA Bandung dengan menggunakan KA malam  Malabar kelas Ekonomi.  Ya sudah, jadinya kita namai  perjalanan ini flashpacking to Bromo, karena memang perjalanan dipersingkat dan terjadwal, beda dengan backpackingan sejati yang banyak jeda hari untuk lebih explore mencari pengalaman  perjalanan .

Setelah diburu waktu dan rasa deg-degan karena gojek yang ditumpangi  Nunung  tiba di stasiun Bandung pada  injury time (sampai petugas pun tidak sempat  mengecek kartu identitas),  akhirnya kami  masuk gerbong  beberapa detik sebelum KA melaju. Tentunya dengan wajah pucat pasi dan HP yang habis batere di tangan, belum lagi mendengar teriakan saya untuk berlari  kencang, Nunung hampir seperti Keanu Reeves  dalam adegan  film Speed, yang berlari kencang bak angin.

Kereta melaju, dan kami  masih mencari kursi, sambil mengusap dada tertawa terbahak Nunung  melontarkan joke,  “ Mun urang katinggaleun , didinya arek angger indit?” What a drama….

Esok paginya kami sampai di Stasiun Kota Lama Malang. Perjalanan 18 jam membuat pantat merasa teriris, dan jalan-jalan pagi sepertinya obat yang mujarab.  Sesuai itinerary,  singgah sebentar  ke Kampung Pelangi (Tridi) yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Di seberangnya  ada perkampungan dengan bagunan  bangunannya didominasi  cat berwarna biru, ternyata itu Kampung Arema . Udara kota Malang yang tidak jauh beda  dengan Bandung tampak agak terik di pagi  itu. Keistimewaan kampung  Tridi ini sebenarnya terletak di cat rumah yang  berwarna warni bak warna pelangi dan lebih tertata,  kalau di Bandung  selintas suasananya  seperti  kampung di daerah  Tamansari-Cihampelas.

Jam 10 pagi kami sarapan pagi di Toko Oen yang terkenal itu, walau mendapati waitress dan cashier yang rada-rada jutex, kami memilih pura pura  gak bête asal kami bisa istirahat lebih lama di sini.  Rencana makan pagi di Toko Oen ini agak melipir dari rencana semula karena tadinya kami akan sarapan di terminal bus Arjosari  untuk  kemudian menaiki  angkutan umum  menuju  Tumpang. Karena ada yang bilang  entah siapa…  belum  ke Malang kalo gak mampir ke Toko Oen ini (padahal gak apa-apa gak mampir juga kayanya).  Dari sini kita  yang awalnya mau naik angkot ke terminal Arjosari berganti rencana menjadi naik Grab Car. Drivernya masih muda, bersih,  dan baik hati melayani ibu-ibu backpacker.

”Backpakingan nih Mba?” si mamang driver mencoba ramah sambil melirik ke backpack kami  “Liat di aplikasi tujuan Mba mau ke Arjosari , trus kemana Mbak ?” Saya yang duduk di depan menjawab mewakili teman-teman “ Mau ke Bromo, tapi via Tumpang .“ “Udah dapet travel agent buat Jeep- nya, Mba?” “ Gak pake travel agent sih Mas, tapi ada kenalan baik kakak saya yang nanti akan mengantar  kami ke Bromo, dia tinggalnya di Desa Jeru Tumpang.”  “Oh kalau gitu udah aja saya antar langsung ke sana, kayaknya sekitar 40 menitan dari sini,” ia menawarkan.

Hmmm..setelah  terkantuk kantuk  karena kesulitan tidur didalam kereta, rasanya kurang elok juga  kalau memaksakan ke terminal lalu mencari angkutan umum ke Tumpang. “Ok lah  Mas kalau gitu, nanti kita tambah aja ya biayanya. “ “Boleh mba,  bisa mba liat aja ya di aplikasi, berapa rupiahnya.” Siiip, saya pun lega karena bisa istirahat juga.

“Eh tapi backpackingannya jadi gak sempurna dong?”” Wait..maksudnya?..“Iya kan jadinya pake grab gak from terminal to terminal,”  Ya ampuuun… gara gara komen terakhir itu membuat  saya akhirnya masih juga dibingungkan oleh istilah backpacking dan flashpacking. Ah yang penting sampai ke tujuan dengan selamat.

Sampai di  Desa Jeru ia masih bertanya pada saya apakah betul  itu desa yang dituju. Tapi kemudian setelah melihat ada  Jeep berjejer di depan alamat tersebut, tampaknya kekhawatiran dia pun hilang.

Sebetulnya Desa Jeru ini posisinya sudah melewati Kota Tumpang, sangat strategis  untuk transit  meneruskan  perjalanan ke Semeru maupun Bromo. Di rumah Pa Arif  kami beristirahat. “Pa Arif nya lagi ngantar tamu ke Bromo, Mba Tanti, nanti jam 2 an balik.” Pa Arif adalah owner beberapa jeep yang disewakan pada para turis. Istrinya yang dari sejak kami masih  di perjalanan menelepon saya, menyambut kami dengan ramah, ternyata dia adalah pengelola travel juga.

“Trus kita ngapain di sini, kan ke Bromo nya nanti malam?” Novi bertanya. “Istirahat aja dulu gogoleran sambil ngecharge HP, mandi we.” Nunung mengusulkan

Bu Arif mengajak saya berkeliling memperlihatkan guest house yang sedang ia bangun, “Sayang ya Mba mau ke Ranukumbolo tapi wilayahnya sedang ditutup, rehabilitasi, lumayan lama. Tahun depan ke sini aja lagi, sekalian coba nginap di guest house baru, Insha Allah cepat beres ini.”

Tak lama Pa Arif datang lalu sesuai arahan beliau sebaiknya kami jalan siang-sore ke Bromo via Tumpang, karena akan lebih indah view nya di sore hari.

“Mba mba akan kenyang nikmatin suasana, gak terlalu panas juga.  Sekarang musim hujan, udah berminggu-minggu kami tidak melihat sunrise,  percuma kalo malam ke sana, hujan iya, gelap gak keliatan apa-apa, kalo sore enaknya  sepi tidak penuh oleh pengunjung. Tapi kalo mba penasaran mau malam berangkat ya siap-siap bangun aja jam 1 nanti”.

Bromo, here we come.

 

Penulis : Tanti Brahmawati