Setelah beberapa kali hiking di kawasan Cikole, tergoda juga untuk menjajal single track gunung Lingkung yang indah itu dengan berlari. Maka tanggal 17 Februari, para pelari District One yaitu 3B (Bar, Bobby, Bais ) pertamakalinya mencoba jalur trail running jalur Cikole – Gunung Lingkung –curug Cibareubeuy . Jalur sepanjang 13 kilometer ini memiliki medan variatif dengan dominasi hutan lebat. Sebut saja hutan pinus, kebun kopi, semak, sawah hinggal aspal (yeakh..).
Bila sudah memasang mode single track, rasanya paling malas berjumpa kembali dengan jalan aspal. Namun apa boleh buat, setelah turun dari gunung jalur akan bertemu aspal di desa Cimulya sepanjang satu kilometer sebelum kembali naik bukit.
Sekitar pukul sebelas lari-lari kecil dimulai dari Treetop Cikole, tak memakan waktu lama mereka bertemu tanjakan pertama serupa slope yang cukup panjang menuju kebun kopi.
Setelah melahap tanjakan, mereka sejenak menarik nafas di pertigaan kebun kopi. Ke kiri maka jalur akan menuju Wates dan ke kanan lah arah yang dituju menuju gunung Lingkung. Darisini single track yang lebar benar-benar memanjakan para pecinta hutan, dengan disisi kanan kiri pepohonan besar dan rimbun sungguh memanjakan mata. Welcome to the woods..! Arah jalur lari terus lurus kedepan, walau ada beberapa persimpangan yang menggoda untuk ke kiri dan ke kanan. Beberapa persimpangan inilah yang menyebabkan banyak pejalan kehilangan arah didaerah ini, hingga berputar-putar tak keruan. Setiap orang yang lewat sini pernah mengalaminya, linglung di gunung Lingkung.
Arah yang lurus ini membawa ketiganya ke puncak gunung, dimana sebelumnya otot paha dipaksa bekerja keras. Sesekali berhenti sah-sah saja toh, selain menddinginkan otot yang terasa panas juga kesempatan menarik nafas. Area puncak merupakan dataran cukup luas, dengan sebuah shelter sederhanan dari kayu. Kabut mulai menyapa, hingga suasana menjadi cukup dramatis setiba di puncak. Disini sejenak beristirahat, mengganti cairan tubuh dan memasukkan kalori baru dari beberapa bekal yang dibawa.
Turun dari gunung menrupakan jalur downhill yang menantang, terkadang tikungan demikian tajam hingga harus berpegangan ke batang pohon kala menahan tubuh yang melaju deras. Lari zig-zag di trek terkadang harus dilakukan dalam mengakali turunan yang curam. Di beberapa tempat, lari-lari diganti berjalan saja karena di kiri jurang, khawatir bila tak bisa mengerem langkah.
Jalur downhill ini membawa ke sebuah warung di sisi kiri jalur setapak. Mang Entoy, sang empunya warung selalu siap menyambut tamu. Sayang kali ini warungnya sedang tutup karena tampaknya sedang memasak gula aren. Biasanya, disinilah tempat para pejalan untuk berhenti sejenak melepas lelah, sekedar minum kopi atau lahang bersama penganan ringan yang disediakan mang Entoy.
Selewat dari warung, turunan tak lagi sebrutal sebelumnya. Tinggal mengatur irama langkah saja hingga turun ke jalan aspal desa Cimulya. Pfff.. jalan aspal, seperti sedang makan lalu tersedak.. begitulah menggambarkan pertemuan single track dengan aspal.
Setelah “disiksa” jalan aspal, sebuah belokan menanjak bukit di kiri kembali membawa para pelari ke jalur tanah. Trek yang menanjak ini cukup membuat kehabisan nafas, jalan tanah yang lebar ini menurut warga rusak parah oleh bekas motor trail. Itulah sebabnya banyak yang resisten terhadap motor trail, karena aktifitas mereka sering merusak jalan. Beda dengan lari khan hehe..
Ada tiga jalur dari aspal menuju curug yaitu jalur bukit, sawah dan selokan. Terbuai eforia semakin dekat ke tujuan dengan gagah berani ketiganya memilih bukit saja..ambil yang paling menantang dong..kagok edan.. lagipula setelah melewati bukit ini tempat yang dituju yaitu curug Cibareubeuy akan segera sampai. Begitu awalnya dengan semangat membara melahap tanjakan bukit.
Namun di tengah jalan, semua berubah pikiran..nafas yang tersengal membuat berpikir ulang. Akhirnya realistis saja..meloncat ke jalur datar yaitu sepanjang saluran air disamping bukit. Disini ada insiden kecil, Bais yang berada di posisi depan tiba-tiba dipotong jalurnya oleh seelor ular yang besar. Sontak ia shock, lalu birat lari seperti dikejar pocong.
Biasanya di Kampung Senyum, yaitu sebuah desa buatan untuk berwisata di area curug, ada yang stanby menyambut pengunjung. Disini kita bisa memesan nasi liwet atau sekedar menikmati minuman hangat dan gorengan. Namun kali ini sedang apes, tak seorangpun disana. Alhasil, perut yang lapar ini tak bisa diisi. Terpaksalah melahap beberapa makanan sisa yang dibawa sepanjang berlari tadi, beberapa potong coklat.
Rencana melanjutkan lari uphill ke Wates tak jadi dilakukan. Tadinya setelah diisi nasi liwet, perjalanan kembali dilanjutkan masuk ke hutan menuju ke Wates. Itu sekitar lima kilometer dengan jalur menanjak. Namun apa daya tak ada tenaga tambahan dari sini…sebetulnya lega juga tak harus uphill ke Wates hehe.. Merekapun mundur teratur,kembali mengevakuasi diri ke Cibeusi dengan jalur paling singkat yaitu melewati sawah. Lapar, begitulah, tak ada lagi gagah-gagahan.