Aroma babi panggang menyergap kami saat tiba di terminal bus Luang Namtha, Laos malam itu. Waktu menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Hari sudah gelap, terminal kota kecil itu mulai sepi, rupanya hanya bus yang kami tumpangi yang terakhir singgah.
Beberapa warung yang menjajakan makanan khas setempat mulai bebenah untuk tutup. Saya bersama rekan saya Bar bar celingukan sedikit bingung, betapa tidak…kami baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, tentu belum sempat kami untuk sekedar orientasi medan.
Dengan menyandang backpack, kami menyusuri jalanan yang gelap, beberapa kedai makanan di sepanjang jalan masih terlihat ramai dan itu setidaknya bisa “menemani” kesendirian dan keterasingan kami. Jalanan yang kami susuri mengingatkan kami akan jalur pantura di pulau jawa…besar dan banyak berseliweran truk truk container.
Kota Luang Namtha ini adalah kota kedua yang akan disinggahi dalam itenary kami, setelah malam sebelumnya kami menginap di Chiang Rai, sebuah kota yang terletak di utara Thailand. Memang pada backpackeran kali ini, kami merencanakan trip dengan menggunakan jalur darat dengan melintasi dua negara.
Perjalanan kami awali dari Bangkok dengan menggunakan penerbangan jam 10.00 AM dan tiba di bandara Chiang Rai sekitar pukul 14.00. Perjalanan kami lanjutkan dengan taxi menuju pusat kota. Sekitar pukul 15.30 kami tiba di terminal bus Chiang Rai.
Seperti biasa, setiap kami tiba di suatu daerah, tradisi kami adalah mencari café yang ber – free Wifi untuk sekedar ngopi dan ber- Wifi gratisan heheheehe, maklum pelancong harus sebisa mungkin meminimalisir budget.
Setelah puas kami ber-Wifi an, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari guest house. Kota Chiang Rai ini merupakan kota kecil yang nyaman, jalanannya luas dan tidak ramai oleh lalu lintas. Tidak berapa lama kami menemukan guest house yang letaknya di jalan kecil seharga 700 bht untuk kamar yang kami sewa dan kami pun terus rehat sejenak, karena kami berencana akan mengeksplorasi kota tsb malam nanti. Karena menurut informasi di kota ini tiap malam selalu ada “nait basal” (bahasa penduduk setempat) yang maksudnya Night Bazar atau sejenis pasar malam.
Sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, kami mulai bergerak menyusuri jalanan kota Chiang Rai yang asri menuju Night Bazar yang berlokasi di sekitar terminal. Tidak berapa lama kami tiba di Night Bazar, di situ banyak sekali barang dagangan dijajakan dari mulai makanan, pakaian sampai barang barang souvenir. Selain itu ada juga pengamen jalanan yang menampilkan keahliannya dalam memainkan alat music biola. Semarak sekali suasana di tempat itu.
Setelah puas kami mengelilingi tempat itu, kemudian kami kembali menyusuri jalanan menuju “Clock Tower”, sebuah menumen yang menjadi icon kota Chiang Rai. Tugu yang berornamen khas Thailand yang di puncaknya terdapat jam yang besar. Di sekitar Clock Tower ini banyak bertebaran café dan kedai tempat para turis local maupun mancanegara berkumpul. Cuaca cerah malam, semakin menambah semarak suasana disekitar clock tower tersebut.
Sekitar pukul 11 malam kami kembali ke guest house, kami berniat untuk beristirahat untuk memulihkan stamina dan mengumpulkan energy, karena besoknya kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah menyebrang ke perbatasan Thailand-Laos menggunakan bus dan berniat singgah di kota Luang Namtha (Laos).
Esok paginya kami sudah mulai berkemas dan bersiap untuk check out untuk kemudian berangkat menuju terminal. Sekitar pukul 09.30 AM kami sudah berada di dalam bus menuju kota perbatasan Thailand, Chiang Kong. Penumpang di dalam bus selain masyarakat local juga ada turis turis asing yang rupanya punya tujuan sama, menyebrang ke Laos.
Dua jam berlalu, hingga akhirnya kami tiba di sebuah halte di pinggiran sungai Mekong. Saat turun dari bus kami langsung dikerubuti supir tuk tuk atau sejenis beca bermotor. Mereka menawarkan untuk mengantarkan kami menuju pos perbatasan, rupanya memang tuk tuk ini adalah satu-satunya kendaraan yang mengantar para turis menuju border control atau pos imigrasi. Kemudian kami pun melaju menggunakan tuk tuk bersama dua orang turis asing.
Setelah passport kami diperiksa dan menyerahkan formulir imigrasi, kami pun menuju perbatasan Laos dengan menggunakan bus seharga 25 Baht yang sudah menunggu di depan pos Border Control. Tidak kurang dari setengah jam setelah melewati Friendship Bridge kami tiba di perbatasan Laos. Sekedar informasi, beberapa tahun yang lalu menurut Barbar rekan saya yang pernah mengunjungi Laos lewat jalur darat saya, antara perbatasan Thailand & Laos dihubungkan dengan kapal Ferry sebelum dibangun “Jembatan Persahabatan”.
Memasuki kantor imigrasi Laos, seperti biasa setelah mengisi formulir imigrasi dan passport kami distempel, kami pun mulai menginjakkan kaki di wilayah yang berbeda tersebut. Saat keluar kantor imigrasi, beberapa supir tuk tuk mengerubungi kami, menawarkan jasa angkutan mengantar kami ke kota Bokeo, sebuah kota yang terletak di dekat perbatasan Laos.
Kami pun lalu berangkat menggunakan tuktuk bersama beberapa penumpang local dengan ongkos seharga 50 ribu KIP (mata uang Laos). Rupanya ada kesalahpahaman antara kami & supir tuktuk yang tidak bisa berbahasa Inggris, kami mengira di tempat yang kami tuju akan ada bus antar kota. Tapi ternyata, tempat yg kami datangi itu adalah pusat kota Bokeo, dan tidak ada bus di situ. Bus bisa di dapat di terminalnya langsung. Dengan dibantu penterjemah dadakan yaitu seorang ibu-ibu yang menumpang bersama kami yang bisa berbahasa Inggris akhirnya supir tuktuk bersedia mengantar kami menuju termina Bokeo dengan meminta ongkos tambahan tentunya…hehehe
Bokeo merupakan sebuah provinsi di Laos yang memiliki luas wilayah 6.196 km² dan populasi 149.700 jiwa (2004). Ibu kotanya ialah Ban Houayxay. Saya melihatnya sebagai kota kecil yang semi berkembang. Ketika kami dibawa oleh supir tuktuk ke pusat kotanya, saya melihat seperti wilayah pasar Pangalengan di Jawa Barat, sangat bersahaja…Ketika saya memasuki pasar, tidak terlihat seorang pun di sana yang merokok, padahal biasanya di pusat pusat keramaian pasti ada saja orang merokok seperti halnya di Saigon, Bangkok,dll di kota2 di negara yang pernah saya kunjungi.
Begitu pula saat di terminal, saya melihat hanya turis turis asing yang merokok. Awalnya saya mengira mungkin ada aturan yang melarang merokok di tempat umum seperti halnya di Singapore atau Bangkok, sehingga saat saya akan merokok saya bertanya dulu kepada penduduk local, dan mereka memperbolehkan. “Hmmm sebuah kebiasaan yang sehat hehehehe hidup tanpa rokok ..” itu yang ada di benak saya. Tapi ada satu kebiasaan penduduk kota ini yang kurang “berkenan” bagi saya yaitu meludah sembarangan, awalnya saya mengira hanya beberapa gelintir penduduk saja saat di terminal yang seperti itu, tapi saat di dalam bus menuju Luang Namtha, kondektur bus atau lebih tepatnya kenek bus membagikan kantong kresek yang akhirnya saya tahu kalau itu untuk penumpang yang mabuk darat atau ingin meludah…maka jadilah sepanjang perjalanan kami “dihiasi” dengan sura suara…”hoooek cuh!” (icon wajah ijo).
Dan yang lebih “Keren” lagi, mungkin karena tidak adanya shelter atau rest area sepanjang perjalanan jika penumpang yang ingin buang air kecil, bus akan berhenti di bedeng bedeng pinggir jalan yang saya lihat banyak pembuangan sampahnya lalu para penumpang pun secara masal baik itu pria maupun wanita “beser” di situ…dan tidak lupa setelah itu mereka akhiri dengan “hooeeek cuh!”
Seperti halnya asumsi saya tentang jalanan kota di Laos yang penuh debu, saat memasuki Bokeo banyak lahan lahan tanah merah yang berdebu kami lewati. Walaupun begitu wilayah pusat kotanya tempat para backpacker berkumpul terlihat agak sedikit nyaman bernuansa pedesaan di pinggiran sungai Mekhong. Tapi saat memasuki terminal yang letaknya di tengah tegalan tandus berdebu, Barbar rekan saya berkata “ Jiga di pilem koboy nya? Asa di Meksiko” wkwkwkwwkw
Setelah membayar ticket bus seharga 250 Baht, sekedar informasi di Laos selain mata uang KIP, Bath juga bisa diterima di sana selain USD atau mata uang Dollar yang lain kecuali Rupiah huuaaaaa (menyedihkan sekali…Rupiah oh Rupiah). Dan tepat pukul empat sore kami pun berlalu menuju Luang Namtha yang berjarak 180 Km dari Bokeo. #Bersambung